AGAMA TRADISIONAL ORANG TRUNYAN DI BALI
Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok
pada Mata Kuliah Agama-Agama Lokal
Dosen Pengampu: Siti Nadroh, M.A.
Oleh :
Dede Nurafiyah (11140321000068)
Wildan Zaenudin
(11140321000036)
M. Munip Akbar
(11140321000011)
PROGRAM
STUDI PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS
USHULUDDIN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dalam
sejarah perkembangan agama-agama besar sering dijumpai suatu kondisi dimana
agama besar yang sudah keluar dari tempat asalnya dan bersinggungan dengan
agama atau kebudayaan, tradsi, di suatu tempat, akan melahirkan suatu pemahaman
atau bahkan varian baru agama tersebut. Ada beberapa pola hasil persinggungan
antara agama besar dengan agama lokal setempat. Terkadang agama besar dapat
masuk dan dapat menggantikan kepercayaan setempat bahkan bisa saja tertolak
karena kuatnya resistensi dari kepercayaan setempat. Namun hasil persinggungan
antara agama besar dengan agama lokal yang banyak di jumpai di Indonesia adalah
adanya akulturasi bahkan sampai sinkretisasi. Hal ini tentu saja karena kuatnya
resistensi dari masyarakat dalam memegang adat istiadatnya. Di Bali hal ini
dapat kita temukan dengan melihat agama Hindu Bali di Trunyam.
1.2
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, penulis berusaha merumuskan pembahasan
yang akan dibahas dalam makalah ini. Rumusan masalah tersebut adalah sebagai
berikut:
1.
Bagaimana
asal usul orang suku Trunyan?
2.
Bagaimana
adat kebudayaan, dan Ritual agama Trunyan?
3.
Bagaimana
upacara Kematian dan pemakaman Trunyan?
1.3
Tujuan Penulisan
Dari
rumusan masalah yang sudah penulis rumuskan di atas, dapat ditarik kesimpulan
tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu:
1.
Untuk
mengetahui asal usul orang suku Trunyan.
2.
Untuk
mengetahui adat kebudayaan, dan ritual agama Trunyan.
3.
Untuk
mengetahui upacara kematian dan pemakaman Truyan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Asal-usul Suku Trunyan/Bali Aga.
Dahulu ada seorang Dewi yang
karena terpesona oleh Bau Harum, yang datang dari suatu tempat di bumi, telah
turun dari langit untuk mencari sumber bau harum itu setelah mencari-cari beberapa
waktu lamanya, akhirnya ia tiba di tempat bau harum itu berasal. Bau harum
tersebut ternyata keluar dari suatu pohon Taru
Menyan (pohon menyan/ benzoin). Sejak
itu dinamakan Trunyan yang berasal dari
kata taru dan menyan.
Desa Trunyan terletak di dalam
satu kepundan gunung berapi purba, yang telah meletus beberapa ribu tahun yang
lalu. Gunung berapi itu ialah Gunung Batur Purba. Sebagian dari lubang kepundan
itu kemudian terisi dengan air, sehingga kini telah berubah menjadi danau yang
indah sekali, yang bernama Danau Batur. Di sebelah barat kepundan tersebut,
kemudian tumbuh anak gunung berapi setinggi 1717 meter, yang terkenal dengan
nama Gunung Batur. Wilayah sekitar Danau Batur ternyata sudah dihuni jauh
sebelum masuknya kekuasaan Majapahit di Bali, dan dijadikan sebagai salah satu
pusat perlawanan oleh masyakat Bali Aga kepada kekuasan Majapahit di Bali pada
masa pemerintahan Sri Kresna Kapakisan. Danau Batur merupakan salah satu tempat
berkembangnya kebudayaan dan tempat bermukinya masyarakat Bali Aga.
Desa Trunyan adalah desa yang
telah ada sejak jaman kuno, dan mungkin juga sejak jaman purbakala. Pada
prasati Truyan Al, yang berasal dari abad x Masehi, (833 caka) dapat dibaca
mengenal izin pembangunan satu kuil bagi Batara Da Tonta (Goris, 1954, II: 183),
yang pada dewasa ini oleh penduduk lebih dikenal dengan nama Ratu Sakti
Pancering Jagat.[1]
http://wisatabaliutara.com/2014/12/keunikan-desa-trunyan-bali-tentang-pemakaman.html/ diakses pada
tanggal 15 april 2016 pada pukul 17.00.
Penduduk Trunyan sendiri tidak
suka disebut dengan nama Bali aga, mereka lebih senang jika disebut sebagai
orang Bali Turunan. Nama Bali Aga diperolehnya dari penduduk Bali lainnya, yang
menyebut diri mereka sebagai orang Hindu, dan mereka ini merupakan penduduk
Trunyan karena mempunyai arti tambahan yang merendahkan martabat mereka, yaitu
sebagai “orang gunung yang bodoh”.[2]
Bahasa Trunyan adalah apa yang
disebut bahasa Bali “Kasar”, tetapi bahasa Trunyan dan bahasa Bali mempunyai
beberapa perbedaan, sehingga orang Bali dari desa lain sukar mengerti waktu
mereka untuk pertama kali mendengarnya. Perbedaan yang paling menonjol adalah
cara pengucapan vokal “a” pada suku terakhir dari satu kata, yaitu jika pada
bahasa Bali resmi semua vokal “a” pada suku terakhir diucapkan sebagai “e”
(pepet), maka pada orang Trunyan vokal itu tetap di ucapkan sebagai “a”
(seperti dalam mama).
Jauh sebelum terbentuknya
masyarakat Bali keturunan Majapahit (Wong Majapahit), masyarakat Bali di
perkirakan konon berasal dari keturunan “Austronesia”. Mereka telah tinggal
secara berkelompok dengan pemimpinnya masing-masing di wilayah Bali.
Kelompok-kelompok inilah yang kemudian menjadi beberapa desa di Pulau Bali
mereka adalah Bali Aga yang di kenal dengan nama Pasek Bali.
Bukti
peninggalan dari masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana
diketemukan di Desa Sembiran dan di wilayah pesisir timur serta tenggara Danau
Batur. Peninggalan-peninggalan itu diantaranya berupa kapak perimbas, kapak
genggam, alat serut dan lain-lain. Peninggalan Prasejrah di bali juga berlanjut
hingga masa Perundagian, yang terkenal adalah Nekara Pejeng.
Sebelum
masuknya pengaruh Hindu-Buddha, masyarakat Bali masih menganut kepercayaan
nenek moyang yang mereka namakan Hyang. Menurut beberapa pendapat, kondisi
spiritual dan kepercayaan masyarakat Bali pada saat itu “masih kosong”. Keadaan kosong ini
dikatakan berlangsung hingga awal tarikh Masehi, bahkan kurang lebih hingga sekitar
abad pertama Masehi. Dengan keadaan Bali yang demikian konon mulai berdatangan
orang-orang dari luar Bali ke pulau ini. Di samping mengajarkan agama Hindu,
mereka juga bertujuan memajukan Bali kehidupan penduduknya. Untuk maskud tersebut
kemudian datang seorang RSI ke Bali bernama Maharsi Markandeya dari India.
Pendapat
di atas dapat dipastikan keliru, karena dari tinggalan benda-benda prasejarah
yang banyak diketemukan di Pulau Bali, menunjukan masyarakat Bali pada masa
lalu telah mengembangakan suatu sistem kepercayaan yang kompleks, jauh sebelum penanggalan
Masehi dikenal, bahkan jauh sebelum “Hindu” dan India menyentuh pulau Bali.
Mungkin yang dimaksud kosong di atas lebih merujuk belum beragama “Hindu-Bali”.[3]
B.
Mite Atau Legenda.
·
Mite Tentang Dewi
Yang Turun Dari Langit.
Trunyan
mempunyai satu mite (dongeng suci) mengenai asal-usul penduduk Trunyan, yang
menceritakan bahwa leluhur wanita mereka adalah seorang Dewi dari langit yang
diusir dari kahyangan (entah karena dosa apa), untuk turun ke suatu tempat di
bumi yang kemudian terkenal dengan nama desa Trunyan. Rahim Dewi ini kemudian
dibuahi secara ajaib oleh matahari (Sang Surya) karena sering menghina Sang Surya dengan cara
memperlihatkan alat kelaminnya sambil menungging ke arahnya. Sebagai akibat
kenakalannya itu secara ghaib ia
mengandung, dan setelah tiba waktunya Sang Dewi melahirkan sepasang anak kembar berlainan jenis kelamin (kembar buncing), seorang
diantaranya adalah anak banci dan seorang lagi anak perempuan. Setelah anak tersebut
besar Sang Dewi kemudian kembali ke Kahyangan.[4]
·
Legenda Tentang
Anak-Anak Dalem Solo Yang Menggembara Mencari Sumber Bau Harum.
Bau harum yang berhamburan dari desa Trunyan juga tercium
sampai ke puri (Keraton) Dalam Solo.
Bau harum yang luar biasa ini telah menarik minat empat orang anak Dalam Solo
untuk bersama-sama mencari sumbernya. Dari empat orang anak Dalam Solo itu,
tiga yang lebih tua usianya adalah laki-laki, sedangkan yang termuda adalah
seorang wanita. Dalam pengembaran tersebut, akhirnya mereka tiba di Pulau Bali.
Anak Dalem Solo yang perempuan berkeputusan untuk berdiam ditempat itu, yaitu
bertempat di Pura Batur, sekarang Gelar Putri tersebut setelah menjadi dewi
adalah dewi Ratu Ayu Mas Maketeg. Ketiga saudara laki-lakinya melanjutkan
perjalanan menyusur pinggir Danau Batur, dan ketika tiba di suatu tempat yang
datar sebelah barat daya Danau, terdengar oleh mereka terdengar seekor burung.
Maka sejak itu tempat itu bernama Kedisan, karena burung dalam bahasa Bali
adalah Kedis. Wauktu terdengar suara itu, karena girangnya, putra Dalam Solo
yang termuda berteriak. Hal ini membuat kakanya yang tertua kurang senang,
sehingga menginginkan supaya adiknya untuk selanjutnya tinggal ditempat itu,
dan tidak lagi ikut penggembaraan mereka. Tetapi si kecil menolak, sehingga
dalam kemarahannya, ia ditendang denga keras oleh kakanya sampai jatuh bersila.
Itulah sebabnya, maka didesa Kedisan pada dewasa ini terdapat satu patung batu
Betera (dewa) yang duduk dalam sikap bersila. Betera yang asalnya adalah putera
Dalam Solo yang ketiga ini, kemudian bergelar Ratu Sakti Sang Hyang Jero, dan
kini bersemayam (melinggih) di Meru Tumpang Pitu (bangunan suci dalam kuil yang
beratap tujuh tingkat) di dalam Kuil Pura Dalam Pingit di Desa Kedisan.[5]
C.
Religi, Adat kebudayaan, dan Upacara Keagamaan.
Religi
orang Trunyan adalah suatu variant,
atau satu versi yang berbeda dari agama Hindu Bali, yang dapat di sebut sebagai
agama Hindu Bali Trunyan yang selanjutnya merupakan sebagai salah satu agama
resmi di Indonesia.
Agama
Hindu Trunyan dapat disebut sebagai variant
(versi berbeda) dari agama Hindu Bali, karena agama tersebut pada dasarnya jika
dibandingkan dengan agama Hindu Bali, masih lebih banyak berlandaskan
kepada kepercayaan Truyan asli. Apa yang disebut kepercayaan Trunyan asli itu
adalah kepercayaan yang berdasarkan kepada pemujaan roh leluhur, yakin tentang
adanya roh lainnya di alam sekeliling tempat tinggalnya, sehingga perlu juga di
puja, percaya bahwa benda-benda dan tumbuh-tumbuhan di sekelilingnya selain
berjiwa dapat juga berperasaan seperti manusia, dan percaya tentang adanya
kekuatan sakti pada segala hal atau benda yang luar biasa.
Walaupun
dari luar religi Trunyan tersebut kelihatannya sudah termasuk agama Hindu,
karna sudah mempergunakan liturgi Hindu, atau lebih tepat lagi Hindu Bali,
yaitu antara lain diciri oleh adanya pelinggih-pelinggih, meru, dan hias
ragam puncak dinding berupa ratna, yang merupakan atribut utama kuil Hindu,
namun semua ini di pergunakan untuk memuja dewa-dewa asli Trunyan[6].
Pelinggih-pelinggih,
dan meru yang didirikan di dalam kuil utama
Trunyan, Bali Desa Pancering Jagat Bali sebagian besar dan terutama bukan di
peruntukkan bagi para dewa Hindu asli Trunyan. Memang di antara pelinggih-pelinggih
tersebut ada beberapa yang diperuntukkan bagi dewa-dewa Hindu asal India, yaitu
misalnya pelinggih Ida Ayu Maospati tempat
bersemanyamnya Betara Indra dan Betara Gangga. Namun letak pelinggih tersebut
bukan tempat kuil utama Trunyan yang tersuci, melainkan di Tempek Semangen, yang termasuk bagian terluar (jaban) dari kuil utama tersebut, walaupun di kuil utama mereka terdapat
pelinggih, tempat bersemayam dewa yang bernama Betara Galungan-Kuningan.
Keadaan Pelinggih ini sangat menyedihkan, karena sudah lapuk kurang
pemeliharaan, serta kecuali bentuknya. Dewa tersebut hanya diupacarakan, jika
kebetulan hari Raya Galungan jatuhnya bertepatan dengan Purnama Kadesa
(kesepuluh), yaitu keadaan yang disebut nemu purnama (bertemu bulan purnama)
yang jarang terjadi.
Penduduk
Desa Trunyan
tidak merayakan Hari Raya Galungan, Nyepi,
Ciwaratri[7],
Saraswati[8],
Pagerwesi[9],
dan Kuningan, secara yang di lakukan orang Hindu Bali, melainkan sebagai
gantinya pada sebagian hari-hari yang sama, mereka merayakan upacara Khas Trunyan
sendiri, atau tidak merayakannya sama sekali.
Menurut
kepercayaan orang Trunyan aspek jiwa manusia yang bersifat perempuan bersemanyam
di bagian hulu hati mereka, sedangkan aspek jiwa manusia yang bersifat
laki-laki bersemayam dii ubun-ubun kepala mereka. Oleh karnanya maka untuk
menghormati aspek jiwa yang bersifat perempuan tetebasan[10]
didekatkan pada hulu hati seseorang oleh seseorang Pemangku dan Balian
yang melakukan upacara, yang orang yang di upacarakan harus mempergunakan kedua
tangannya untuk melakukan gerakan seolah-olah sedang meraup-raup sari yang
keluar dari sajian tersebut kearah hulu hatinya agar masuk kesitu. Untuk menghormati
aspek jiwa seseorang yang bersifat laki-laki sajian tetebasan sapu lara secara perlahan-lahan diletakkan diatas kepala
orang yang sedang di upacarakan. Maksud upacara Natab ini adalah agar jiwa seseorang bersedia trus
menjaga keselamatan badan kasarnya yang sedang disemayam itu. Karena upacara
ini di lakukan bagi perorangan, maka sajian yang di buat pun harus bersifat
perorangan.[11]
Pada
upacara Natab ini juga sekalian nyama pat[12]
setiap anggota rumah tangga, di panggil berkumpul kembali untuk menemani jiwa
pribadi masing-masing, untuk turut menjaga keselamatan dan kesehatan badan
kasarnya. Hal ini dilakukan karena orang trunyan percaya bahwa selama enam
bulan itu keempat saudara jiwa manusia dapat terpancar, terutama bagi mereka
yang suka berpergia jauh ke tempat-tempat berbeda. Keadaan ini dapat melemahkan
kesehatan tubuh jiwa yang bersangkutan selalu gelisah atau sakit-sakitan. Untuk
memulihkan kesehatan serta ketenangan tubuh dan jiwa yang bersangkutan, nyam
pat-nya harus di panggil berkumpul kembali dalam upacara Natab tersebut.
Hari
Raya orang Bali Hindu yang di lewatkan begitu saja oleh orang Trunyan, karna
memang bukan merupakan hari raya mereka, adalah Hari Raya Kuningan, Nyepi
(tahun baru orang Bali Hindu). Khusus mengenai Hari Raya Nyepi jika pada orang Bali Hindu
dirayakan dengan tidak bekerja, yang dilambangkan dengan adanya pantangan untuk
menyalakan api pada hari itu, di Trunyan pada har itu justru terlihat orang
sedang sibuk-sibuknya menyalakan dengan mereka untuk menyiapkan masakan, yang
akan disajikan nkepada dewa mereka di Pura Dalem.[13]
Upacara
yang diadakan oleh orang Trunyan bertepatan dengan hari Raya Nyepi pada bulan
mati kesembilan adalah apa yang mereka sebut upacara Saba Kangin atau Tilem
Ing Kasanga itu disebut Saba Kangin (pesta di utara), karena dewa
yang di peringati hari ulang tahunnya adalah dewa yang bersemanyam di Pura
Dalem, yang terletak di sebelah utara (kangin) desa induk Trunyan. Sebenernya
yang mengadaan upacra sembahyang pada hari itu bukan penduduk Trunyan yang
hidup, melainkan leluhur atau kerabatnya yang telah meninggal, tetapi karena
mereka kini sudah tidak memiliki lagi tubuh kasar yang dapat mengerjakan
persiapan untuk sajian, maka kerabatnya yang hiduplah yang menolong
melaksanakanya.
Mengapa
sampai dapat terjadi sehingga agama Hindu Trunyan dapat menjadi suatu variant
dari agama Hindu Bali, sudah tentu dapat diterangkan karena tempat tinggal
umatnya yang terpencil itu, tetapi lebih-lebih lagi disebabkan karena sejak
zaman dahulu kala kalau umatnya menghadapi orang-orang yang hendak menyebarkan
agama Hindu versi orang Bali, seperti yang telah diusahakan oleh warga pasek
selalu ditanggapinya dengan penolakan bukan bersift konfrontatif, melainkan
non-konfrontatif. Siasat ini menyebabkan para penyebar agama tersebut
terpedaya, karena mengira bahwa misinya telah berhasil, sehingga menghentikan
usahanya. Akibatnya penyebar agama Hindu tersebut hanya berhasil menghidupkan roh-roh
leluhur orang Trunyan saja, sehingga menjadi dewa-dewa Hindu Trunyan, tetapi
kurang dapat menghidupkan desa tersebut.
Sikap
penolakan yang non-konfrontatif tersebut ternyata sampai sekarang masih
dipraktekan oleh penduduk Trunyan zaman sekarang. Berkat ajaran orang-orang
Parisda Hindu Dharma, orang petani desa Trunyan dewasa ini sudah mengenal Sang
Hyang Widhi, Tuhan yang Maha Esa, bahkan mereka pun mulai juga yakin bahwa dewa
tertinggi mereka Ratu Sakti Pancering Jagad adalah manifestasi atau penjelmaan
Sang Hyang Widhi. Sebagai akibatnya mmereka berkesimpulan bahwa dewa-dewa seperti Siwa, Wisnu dan Brahman
adalah putera-putera dewa tertinggi mereka.
Begitulah
dengan adanya kekhasan dalam sistem religi orang Trunyan, ditambah lagi dengan
cara pemakamannya yang bersifat mepasah dan perawatan air tuban, darah
yang keluar dari Rahim ibu sewaktu anak dilahirkan, ari-ari
dan tali pusar yang menghubungkan seorang janin dengan ari-ari, bukannya
ditanam didalam tanah seperti yang dilakukan
oleh umat Hindu Bali, melainkan digantungkan pada ranting semak-semak.[14]
Seperti
halnya dengan religi-religi lainnya di dunia, maka religi Hindu Bali Trunyan
juga mempunyai empat unsur pokok tersebut menurut koentjaraningrat (1967 : 218)
adalah:
·
Emosi
keagamaan atau getaran jiwa yang
menyebabkan manusia itu bertindak serba religi.
·
Sistem
kepercayaan atau bayang-bayangan manusia tentang bentuk dunia, alam, alam ghaib, hidup, maut
dan sebagainya.
·
Sistem
upacara-upacara keagamaan yang bertujuan
mencari hubungan dengan dunia ghaib berdasarkan atas sistem kepercayaan
tersebut.
·
Kelompok
keagamaan atau kessatuan-kesatuan sosial yang mengkonsepsikan dan mengaktifkan
religi beserta sistem upacara-upacara keagamaannya.[15]
Ø Adat Kebudayaan Suku Trunyan.
Adat kebudayaan yang dapat kami jelaskan di
suku truyan sebagai berikut:
·
Pementasan Burung Bentuk
Trunyan memiliki tarian langka bernama Barong Brutak
sangat jarang di pentaskan terkecuali saat Odala di Pura Pancering Jagat desa
Trunyan. Pada umumnya Barong di Bali itu bentuknya wujud binatangseperti macan,
singa, gajah, naga maupun babi. Namun, yang ada di Trunyan ini berbeda,
wajahnya barongnya menggunakan seperti topeng primitive, dipakaikan kepada
seorang remaja dengan pakaian dari daun pisang kering. Tokoh pada Barong Brutuk
seseorang berfungsi sebagai raja, kemudian ratu, kaka sang ratu dan patih,
selebihnya menjadi anggota biasa (unen-unen), di petaskn pada siang hari
upacara odalan tersebut selama tiga hari berturut-turut. Penampilan Barong ini
dimulai dengan penampilan unen-unen tingkat anggota Berutuk, mereka mengeliligi
penyengker pura selama tiga kali sambil melembaikan Semeti dengan suara melengking
kepada para penonton, sehingga membuta para penonton takut. Kemudian doa-doa
dan sesajian di haturkan oleh seorang pemangku tatkala para tokoh ningrat
seperti raja, ratu, patih dan kaka ratu tampil kemudia keempatnya juga
mengelilingi tembok pura bergabung dengan unen-unen para peserta berlomba
mengambil pakaian daun pisang yang lepas, yang nantinya disebar diarea
perkebunan untuk kesuburan.[16]
·
Tari Baris
dalam Kebudayaan suku Trunyan
Tari baris menurut Soedarsono adalah tari ritula yang
penting di Bali tari ini juga merupakan tari ke pahlawanan, dan khusus di
tarikan oleh pria. Sifat ritual ini tari ini adalah untuk membuktikan
kedewasaan seorang secara jasmani, dan kedewasaan seseorang ini di pertunjukkan
kemahirannya dalam olah keprajuritannya yang biasanya disertai kemahiran dalam
memainkan senjata. Tarian ini diiringi oleh gamelan, dan di tarikan berpasangan
yang terdiri dari empat, delapan, bahkan sampai berpuluh-puluh pasangan. Gerak
tarinya lebih menekankan ketegapan dan kemantapan dalam langkah kaki serta
kemahiran memainkan senjata. Kostum para penarinya juga khas, yaitu selain
memakai tutup kepala yang bebentuk kerucut, juga pakaian yang dihiasi dengan
kain-kain kecil panjang, sehingga memberi kesan pakaian besi..
Ø Tempat dan Upacara Keagamaan Suku Trunyan.
Upacara keagamaan yang terdapat di suku Trunyan terbagi
menjadi lima yaitu sebagai berikut: pertama, Dewa Nyadnya, bisa disebut dengan
Odalan yang bertujuan untuk mengambil hati dewa yang di upacarakan. Hampir
setiap bulan ada upacara ini. Salah satunya adalah upacara Saba Gede yang di lakukan pada saat Tilem Kasama dan Odalan Ratu
Pingit dalem pada saat purnama Saddha. Kedua, Putra Yadnya, upacara yang di lakukan untuk para leluhur dan para
kerabat, apabila ada kematian. Ketiga, Resi
Nyandnya upacara yang dilakukan untuk pentahbisan pendeta. Keempat, Buta
Nyadnya upacara yang dilakukan untuk Para
Buta kala, biasanya juga dengan Mercaru.
Kelima, Manusia Nyadnya, upacara yang
dilakukan untuk manusia yang masuh hidup misalnya, upacara ulang tahun otonan
yang berlangsung 6 bulan sekali.
Seperti halnya dengan upacara-upacara keagamaan di
Trunyan juga terdapat dari empat bagian, yaitu: pertama, tempat-tempat upacara keagamaan, yang kedua saat-saat upacara, ketiga,
benda-benda dan alat-alat upacara, keempat,
orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara. Karena upacara-upacara
keagamaan adalah suatu yang dianggap kramat, maka semua yang merupakan bagian
dari itu secara otomatis juga dianggap kramat.
Dalam kebudayaan orang Trunyan, jika seseorang tidak
dalam keadaan Sebel maka bisa
dikatakan bahwa upacara-upacara yang rutin akan di lakukan setiap 15 hari
sekali. Dari kelima jenis upacara diatas
hanya upacara Odalan, Mercaru, dan Otonan
yang dapat dikatakan sebagai upacara rutin.[17]
Ø Tempat-tempat
Upacara suku Trunyan.
Tempat upacara bagi keempat kelompok upacara keagamaan di
Trunyan tidak sama. Upacara Dewa Yadnya
misalnya, harus dilakukan di tempat tertentu misalnya di Kuil Bali Desa
Pancering Jagat Bali, baik di dalam maupun di luar kompleks kuil itu. Upacara Resi
Yadnya di lakukan di dalam Kuil Bali Desa Pancering Jagat. Upacara Buta Nyadnya di lakukan di muka Bali
desa Pancering Jagat Bali, terutama di Pamedalan kalangan dari Bali Desa.
Upacara Manusia yadnya dilakukan di
tempat manusia Trunyan berada, yaitu di dalam rumah, di perkarangan
masing-masing.
Tingkat kesucian, tempat-tempat keagamaan di Trunyan dapat
di bagi menjadi dua yaitu: pertama, Kuil pertama Trunyan, dan kedua, Kuil-kuil
tambahan serta tempat suci lainnya sebagian terletak di desa Induk Trunyan, dan
sebagian lagi di tempek-tempek atau belongan-belongan lainnya. Dari kedua
tempat suci tersebut yang tersuci adalah Kuil utama Trunyan.
Ø Upacara-upacara Perkawinan Trunyan Bali
Perkawinan
orang Trunyan lebih di tunjukan kepada perkawinan
endogami dadia, yaitu menurut orang ideal Trunyan, warga dadia sebaikanya
mencari jodoh dekat di
kalangan dadinya sendiri yakni, misalnya pemuda dari Dadia Nang Saripen, sebaiknya mencari seorang gadis dari Dadia
Nang Saripan. Biarppun demikian entogami dadia ini ada batasnya juga karena
tidak boleh terjadi antara kerabat yang terlalu dekat hubungan kekerabatannya.
Artinya paling sedikit harus diantara saudara sepupu derajat kedua. Perkawinan
antara saudara sepupu derajat pertama hanya boleh terjadi di antara
sodara-sodara sepupu yang merupakan anak-anak dari dua orang bersaudara
sekandung yang bekelainan jenis kelamin (cross coushin). Jadi Ego di
perbolehkan menikah dengan putri saudara perempuan sodara ayahnya (Paternal
cross coushin). Ego boleh juga menikah dengan putri saudara laki-laki sekandung
ibunya.
Usia pemuda Trunyan untuk menikah adalah 25 tahun, dan
untuk pemudinya 20 tahun. Di Trunyan berlaku tiga macam cara untuk memulai
suatu perkawinan, sebelum perkawinan itu disahkan dengan upacara keagamaan,
yaitu dengan cara meminang si gadis (memadik),
dengan cara lari bersama si gadis (ngerorot),
dan kawin paksa dengan menculik gadis yang diingini (melegendang), di antar ketiga cara tersebut yang paling di gemari
dan yang paling umum adalah yang kedua yaitu (ngerorot), atau bersama-sama melarikan diri. Menurut pendapat
orang Trunyan cara ini berlandaskan pada percintaan yang datang dari kedua
belah pihak sedangkan cara pertama yaitu meminang (memadik) sama sekali tidak berlandaskan cinta, karena berlandaskan
kemauan orang tua belah pihak, dan yang ketiga yaitu kawin paksa dengan
menculik gadis yang diingini (melegandang).
Tidak berlandaskan percintaan sama sekali, karena cinta hanya datang dari pihak
laki-laki terhadap seorang gadis yang menolak cintanya.
Persetubuhan sebelum diadakan upacara perkawinan adat (Pramalital union) diperbolehkan oleh
adat Trunyan, karena tujuan utama Trunyan adalah untuk memperoleh keturunan,
sehingga upacara keturunan adat yang mahal itu, baru akan diadakan jika seorang
lelaki dengan pasti bahwa menjalin hubungannya dengan gadis idamannya ini akan
menghasilkan keturunan baginya[18].
Dalam upacara ini selama enam hari sepasang mempelai
tidak boleh menampakkan diri, jika tidak demikian di anggap sebagai tidak
menghargai orang tua si gadis. Mereka akan menjadi marah benar jika merka
sampai bertemu dengan bakal menantu atau putrinya persemian ini. Setelah
persembunyaian 6 hari lamanya, sepasang mempelai itu boleh menampakan diri, dan
harus segera mengunjungi rumah-rumah kediaman orang tua dan kerabat si gadis,
lalu menyerahkan persembahan berupa ketupat dan sirih. Dalam upacara ini
mempelai pria dia antar oleh saudara-saudaranya sendiri, kemudian ia kembali
lagi kerumah mertuanya untuk di jamu, dan dari sana istrinya ia kembali kerumah
ketempat persembunyan yang terletak beberapa meter dari rumah mertuanya.
Upacara pemesrah ini terdiri dari 4 tahap, yaitu Mebiekaon, memperagap atau mekalakalan,
Bhakti Pascaren, Mepekandal. Sebelum menunaikan tempat upacara pengesahan
perkawinan ini, kedua mempelai tersebut hanya di aku sebagai orang yang sudah
kawin, tetapi belum sebagai anggota krama desa penuh karna masih di anggap
belum bersih.
Unsur mas kawin tidak ada dalam adat perkawinan orang
Trunyan. Unsur yang ada hanya apa yang di sebut gagapan. Gagapan adalah semacam oleh-oleh yang di berikan oleh
orang tua mempelai laki-laki kepada calon menantunya sewaktu meminangnya.
Gagapan terdiri dari sehelai kain batik, sepotong baju kebaya sehelai handuk
berwarna menyala.
Pada waktu seorang gadis telah di setujui oleh orang
tuanya untuk berumah tangga dengan pemuda pilihannya, maka ia oleh orang tuanya
di beri semacam bawaan dari rumahnya yang di sebut metatadan. Metatadan adalah berupa bahan makanan, satu stel pakean
perumpuan, hasil-hasil bumi seperti bawang merah, bawang putih untuk bibit, dan
alat pertanian, jika orang tuanya orang berada, maka sigadis di beri juga
perhiasan dari logam atau batu mulia[19].
Ø Cara Pemakaman
Trunyan.
Cara pemakaman orang Trunyan ada 2 macam yaitu: pertama,
Meletakan jenazah di atas tanah di bawah udara terbuka tilah mepasah dan kedua,
di kuburkan di dalam tanah.
Orang-orang yang di mepasahkan adalah mereka yang pada
waktu matinya termasuk orang-orang yang telah berumah tangga, orang-orang yang
masih bujangan, dan anak kecil yang telah mekutus, yaitu telah tinggal gigi
susunya. Adapun orang-orang yang di kebukan setelah meninggal adalah orang
telah cacat tubuhnya sewaktu meninggal, yaitu misalnya sudah tidak lagi lengkap
salah satu anggota tubuhnya, bahakan pada saat matinya pada tubuhnya terdapat
luka yang belum sembuh, seperti yang terjadi pada tubuh para penderita penyakit
cacar, lepra dan lain-lain.
Keperluan pemakaman di Desa Trunyan di sediakan tiga
tempat pemakaman yaitu: Pertama, Sema Wayah kedua, Sema Nguda, ketiga, Sema
Bantas. Sema Wayah di pergunakan untuk pemakan jenis mepasah, sedangkan Sema
Bantas di pergunakan bagi jenis pemakaman dengan penguburan, Sema Nguda di
pergunakan bagi kedua jenis pemakaman, yaitu baik mepasah, maupun penguburan.
Sema Wayah, tempat pemakan secara mepasah bagi orang-orang yang pada waktu, matinya sudah kawin, dan matinya normal
artinya karena sakit biasa, atau sudah tua. Sema Bentas adalah tempat pemakaman
secara mengubur bagi orang baik yang sudah kawin atau belum, baik anak-anak
maupun orang muda, maupun orang tua yang matinya tidak wajar atau tubuhnya
cacat. Sedangkan Sema Muda adalah pemakaman khusus bagi orang-orang yang belum
kawin dan anak-anak yang sudah meketus yang di lakukan secara mepasah dan di
samping itu juga di pergunakan sebagai tempat pemakaman bagi anak-anak bayi
yang belum mekutus tetapi, secara penguburan. Hanya tempatnya untuk yang di
mepasah di lakukan di tanah lapangan terbuka, sedangkan untuk penguburan di
kaki lereng bukit batu. Perbedaan penguburan di Sema Bantas dengan penguburan
di Sema Muda bagi anak-anak bayi yang belum meketus ialah mayat di timbuni
dengan tanah melainkan dengan batu.[20]
Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa
dalam mepasah, setelah upacara pembersihan dengan cara dimandikan dengan air
hujan, jenazah hanya digeletakan di permukaan tanah. Tempat pembaringan jenazah
diberi lubang sekitar 10 hingga 20 cm agar posisi jenazah tidak bergeser akibat
kontur tanah pemakaman yang tidak rata. Kemudian selain bagian wajah, bagian
tubuh jenazah dibalut kain berwarna putih. Sebagai penanda, jenazah ditutup
dengan bambu yang disusun membentuk prisma yang disebut ancak
saji. Yang unik adalah meski pun jenazah diletakan di permukaan tanah,
mayat tersebut tidak tercium baunya. Jenazah
tersebut diletakan di antara pohon Taru Menyan, taru berarti
pohon dan menyan berarti harum. Kiranya, aroma yang keluar
dari pohon taru menyan inilah yang dapat menetralisir udara di sekitarnya.
Pohon yang mengeluarkan aroma khas yang kuat tersebut hanya dapat tumbuh
didaerah ini, meskipun telah dicoba ditanam di daerah lain. Keunikan pohon ini
agaknya telah menjadi cikal bakal nama desa Trunyan.[21] Di bawah satu
pohon taru menyan, hanya dapat diletakakan maksimal sebelas jenazah. Hal tersebut
sudah diatur oleh kepercayaan adat
setempat. Tetapi ada yang mengatakan bahwa satu pohon taru menyan hanya bisa
menetralisir sebelas jenazah, jadi jika lebih dari itu maka jenazah tersebut
akan mengeluarkan bau. Bila ada jenazah yang baru, maka maka satu jenazah yang
paling lama akan dipindahkan, ke tempat terbuka, tidak ditutupi dengan kurung ancak
saji
(Ancak saji merupakan anyaman bambu segitiga sama sisi). Jenazah yang lama akan disatukan dengan jenazah lainnya dalam tatanan
batu atau di bawah pohon. Maka tidak
heran jika di tempat tersebut, terdapat tulang belulang dan barang-barang bekal
sesaji seperti sandal, sendok, piring, pakaian, dan lain-lain berserakan di
area pemakaman. Hal tersebut memang disengaja karena tidak boleh ada barang
yang yang dibawa keluar dari area pemakaman ini.[22]
http://samarabalitor.blogspot.com/2015/07/desa-trunyan-uniknya-pohon-penetralisir.html. diakses pada tanggal, 15 april 2016 pada pukul 08.00.
http://agungrarebali.blogspot.com/2015/03/desa-trunyan-uniknya-pohon-penetralisi.html. Diakses pada tanggal, 15 april 2016 pada pukul 18.00.
D. Interaksi Kepercayaan Orang Trunyan Dengan Agama-agama Lain.
Interaksi antara etnis Bali dengan etnis Sasak (Islam). Kerjasama antara
etnis Bali dan etnis Sasak sudah terjadi jauh sebelumnya, pada saat kedatangan
Islam (Sasak) dengan pihak kerajaan Karangasem. Masyarakat Islam Sasak
ditempatkan berdampingan dengan masyarakat hindu dan bekerja sama dalam menjaga
keamanan wilayah kerajaan Karangasem dari serbuan kerajaan lainnya di Bali. Kerjasama
tersebut berlanjut sampai sekarang, namun dalam konteks menjaga keamanan
wilayan Desa Pakraman yakni sebagai pencalang dan jagabaya. Sebagai pencalang
umat Hindu dan umat Islam ikut bergabung menjaga keamanan, berkeliling di
wilayah Desa dan Banjar. [23]
Selain itu antara etnis Bali dan Etnis
Sasak (Islam) juga terjadi interaksi jual beli di pasar tradisional antara
pedagang etnis Sasak misalnya (pedagang sate, cendol, buah, kain, tukang jarit
dan sebagainya) dengan pembeli masyarakat etnis Bali dan begitu pula
sebaliknya. Tidak hanya sebatas pedagang dan pembeli, interaksi juga terjadi
pada sesama pedagang etnis Bali dan Etnis Sasak. Mereka saling memberikan
rekomendasi dagangan teman atau kerabat mereka kepada pembeli yang ingin
membeli kebutuhan sehari-hari.
Dinamika budaya serta perubahan
sosial di Trunyan juga menjadi salah
satu bukti interaksi Trunyan terhadap agama-agama lain. Letak Trunyan yang
terpencil dari kehidupan orang bali pada umumnya, dan bangsa Indonesia pada
lainnya. Biarpun seperti itu desa ini telah lama menjadi perhatian orang luar,
terutama dalam penyebaran agama Hindu disana, yang mayoritas di anut oleh
masyarakat Bali. Persentuhan desa Trunyan dengan budaya luar, sebenarnya sudah
mulai sejak lama. Namun persentuhan tersebut sebatas pada Hindu Bali saja.
Setelah itu, persentuhan yang dibawa dari masa kolonialisasi baik budaya Asia,
seperti Jawa, India dan Cina, ternyata tidak berdampak begitu berarti pada
perkembangan kepercayaan. Mereka dengan teguh tetap berusaha melestarikan
kebudayaan yang dimiliki. Apalagi dewasa ini, Bali secara keseluruhan telah
dikenal di mata Internasional menjadi salah satu tujuan wisata.
Dukungan dari pemerintah untuk
peristiwa seperti ini yang menyebabkan tradisi budaya lokal terus digalakan
perkembangannya. Dewasa ini, pertumbuhan pembanguna modern sudah sangat nampak
di daerah Trunyan. Pembangunan hotel, villa, restaurant, serta tempat
peristirahatan lainnya berkembang pesat. Disamping itu, pembanguna kuil
sesembahan, tempat pemujaan, juga banyak di bangun, meski sepertinya ada sangat
besar. Pergeseran nilai yang terjadi seperti pergeseran kehidupan pertanian ke
sektor pariwisata, namun pelestarian kebudayaan dan kepercayaan masih trus akan
bertahan dan berkembang.[24]
BAB III
Kesimpulan
Jadi
begitulah asal usul suku Trunyan di Bali dengan proses yang sangat panjang
mulai dari penamaan sampai menjadi desa yang cukup luas. Dari asal usul hingga
tradisi,adat dan kebudayaan orang Trunyan yang menyimpan banyak keunikan
didalamnya sehingga masyarakat Trunyan selalu menjaga dan melestarikannya
sampai sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
James
Danandjaja, Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali, (Jakarta: penerbit
Universitas Indonesia, 1989)
Trisila,
Akulturasi Budaya Islam Hindu di Bali,
(Depasar : Universitas Udayana, 2002).
[1] DR. James
Danandjaja, Kebudayaan Petani Desa Trunyan Di Bali, (Jakarta: UI Press, 1989), h. 1-11.
[3] ”Judul”
: http://travel.okezone.com/read/2011/02/21/407/426926/tradisi-masyarakat-desa-trunyaN pada tanggal, 15 maret 2016,
Pada Pukul 08.00.
[4]
”Judul” :
http://travel.okezone.com/read/2011/02/21/407/426926/tradisi-masyarakat-desa-trunyaN
pada tanggal, 15 maret 2016, Pada Pukul 08.00.
[7]. Ciwatri yang berarti malam
Ciwa, tetapi di Bali diinterpretasikan sebagai “malm renungan suci” atau “malam
peleburan dosa”.
[8] . Saraswati adalah hari raya
untuk memuja Sang Hyang Widhi dalam kekuatannya menciptakan ilmu pengetahuan
dan ilmu pensucian.
[9] Pagerwasi
adalah hari pemujaan Sang Hyang Widhi dengan Perbhawanya sebagai Sang Hyang
Paramesti Guru yang sedang beryoga untuk kesentausaan alam ciptaannya dengan
diiringi oleh para dewa, pitara-pitara
[10].
Tetebasan tersebut terbuat dari janur kelapa yang dirangkaikan serta diukir
berbentuk bulat pipih seperti bulan, sedangkan tetebasan sapu lara juga terbuat
dari janut kelapa tetapi berbentuk mahkota Raja Jawa dalam wayang orang
(topeng).
[12] Nyam-pat
adalah roh-roh empat saudara anak bayi Trunyan, sewaktu masih berada di dalam
rahim ibunya. Empat saudara tersebut adalah Yeh
Nyem, getih, ari-ari, dan tali pusar.
[18] DR. James Danandjaja, op. cit., h.161-163
[21]
“judul” http://wisatabaliutara.com/2014/12/keunikan-desa-trunyan-bali-tentang-pemakaman.html/ diakses pada tanggal 14 maret 2016
pada pukul 17:00
[22] “ judu” http://www.wacananusantara.org/mepasah-tradisi-pemakaman-desa-trunyan-bali/ diakses pada tanggal 16
maret 2016 pukul
21:00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar