KATA
PENGANTAR
Puji syukur
kami haturkan kehadirat Allah SWT. Karena berkat rahmat hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah dengan judul Agama Tradisional Orang Jawa yang mana
tujuan dari penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas diskusi mata kuliah
Agama-Agama Lokal.
Dalam
penyusunan makalah ini kami berusaha memaparkan dan menjelaskan tentang
kepercayaan Tradisional Orang Jawa, Upacara Keagamaan, Kepercayaan Kejawen,
Kitab-kitab Kejawen dan Interaksi Kepercayaan Orang Jawa . Kami menyadari,
tidak ada manusia yang sempurna, sehingga bila terdapat kesalahan, baik dalam
penulisan atau dalam pembahasan makalah ini, dimohon kritik dan sarannya. Agar
dapat kami jadikan referensi di masa yang akan datang.
Semoga makalah
ini dapat bermanfaat untuk menyumbang ilmu dan Pengetahuan dalam bidang kajian
Agama Tradisional orang Jawa
PENDAHULUAN
Seluruh
kepercayaan manusia Jawa berunsur pada animisme dari jaman prasejarah sampai
sekarang, termasuk kepercayaan tentang mahluk halus, roh leluhur yang mendiami
macam-macam tempat tertentu. Dalam sejarah pulau Jawa ada tiga jaman pokok
mengenai agama yaitu :
• Jaman
prasejarah sampai abad 8, dimana jaman itu rakyat Jawa tinggal di dalam
masyarakat kecil dan kepercayaan animisme. Kepercayaan animisme termasuk kepercayaan
manusia mengenaqi mahluk halus dan roh lelehur yang mendiami bermacam-macam
tempat.
• Jaman
kerajaan Hindu-Budha. Pertama dengan kerajaan Mataram dari abad 8 sampai abad
10 yang terletak di Jawa Tengah, kerajaan Majapahit dari abad 13 sampai abad 16
yang terletak di Jawa Timur. Pada jaman tersebut masyarakatnya beragama Hindu
serta Budha.
• Jaman
Islam setelah abad 16 waktu kerajaan Majapahit turun. Kerajaan Islam yang
dibentuk masih menyimpan banyak tradisi dari kerajaan Hindu-Budha tetapi memakai
agama Islam.
Karena
ketiga jaman agama tersebut, agama Jawa saat ini berlapiskan tiga, yaitu
kepercayaan animisme, agama Hindu-Budha, dan agama Islam. Walaupun mayoritas
orang Jawa beragama Islam, agama Islam yang dilakukan di Jawa punya perbedaan
dari agama Islam yang di lakukan di daerah Timur Tengah. Agama Islam di Jawa
dicampuri dengan kepercayaan manusia lain asli Jawa, yaitu kepercayaan animisme
dam kepercayaan dari kerajaan Hindu-Budha yang di sebut dengan Kejawen, dimana
kata “Kejawen” berasal dari kata Jawa, sebagai kata benda yang memiliki arti
dalam bahasa Indonesia yaitu segala yg berhubungan dengan adat dan kepercayaan
Jawa (Kejawaan).
Penamaan
“kejawen” bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar ibadahnya menggunakan
bahasa Jawa. Dalam konteks umum, kejawen merupakan bagian dari agama asli
Nusantara. Seorang ahli anthropologi Amerika Serikat, Clifford Geertz pernah
menulis tentang agama ini dalam bukunya yang ternama The Religion of Java atau
dalam bahasa lain, Kejawen disebut “Agama Jawa”. Kejawen dalam opini umum
berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap serta filosofi
orang-orang Jawa. Kejawen juga memiliki arti spiritualistis atau spiritualistis
suku Jawa.
Penganut
ajaran kejawen biasanya tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam
pengertian seperti agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih
melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi
dengan sejumlah laku. Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang
ketat, dan menekankan pada konsep “keseimbangan”. Dalam pandangan demikian,
kejawen memiliki kemiripan dengan Konfusianisme atau Taoisme, namun tidak sama
pada ajaran-ajarannya. Hampir tidak ada kegiatan perluasan ajaran (misi) namun
pembinaan dilakukan secara rutin.
Simbol-simbol
“laku” biasanya melibatkan benda-benda yang diambil dari tradisi yang dianggap
asli Jawa, seperti keris, wayang, ritual, penggunaan bunga-bunga tertentu yang
memiliki arti simbolik, dan sebagainya. Akibatnya banyak orang yang tidak memahami
yang dengan mudah mengasosiasikan kejawen dengan praktek klenik dan perdukunan.
Ajaran-ajaran
kejawen bervariasi, dan sejumlah aliran dapat mengadopsi ajaran agama
pendatang, baik Hindu, Buddha, Islam, maupun Kristen. Gejala sinkretisme ini
sendiri dipandang bukan sesuatu yang aneh karena dianggap memperkaya cara
pandang terhadap tantangan perubahan zaman.
Sejak
dulu, orang Jawa mengakui keesaan Tuhan sehingga menjadi inti ajaran Kejawen,
yaitu mengarahkan insan : Sangkan Paraning Dumadhi (lit. "Dari mana datang
dan kembalinya hamba tuhan") dan membentuk insan se-iya se-kata dengan
tuhannya :Manunggaling Kawula lan Gusthi (lit. "Bersatunya Hamba dan
Tuhan"). Dari kemanunggalan itu, ajaran Kejawen memiliki misi sebagai
berikut:
1. Mamayu Hayuning Pribadhi (sebagai
rahmat bagi diri pribadi)
2. Mamayu Hayuning Kaluwarga (sebagai
rahmat bagi keluarga)
3. Mamayu Hayuning Sasama (sebagai rahmat
bagi sesama manusia)
4. Mamayu Hayuning Bhuwana (sebagai rahmat
bagi alam semesta)
Berbeda
dengan kaum abangan, kaum kejawen relatif taat dengan agamanya, dengan menjauhi
larangan agamanya dan melaksanakan perintah agamanya namun tetap menjaga jati
dirinya sebagai orang pribumi, karena ajaran filsafat kejawen memang mendorong
untuk taat terhadap tuhannya. jadi tidak mengherankan jika ada banyak aliran
filsafat kejawen menurut agamanya yang dianut seperti : Islam Kejawen, Hindu
Kejawen, Kristen Kejawen, Budha Kejawen, Kejawen Kapitayan (Kepercayaan) dengan
tetap melaksanakan adat dan budayanya yang tidak bertentangan dengan agamanya.
A.kepercayaan Tradisional Jawa Dan Aneka
Laku Yang Dipraktekan Orang Jawa Sehari-hari
Definisi kepercayaan
adalah suatu keadaan psikologis pada saat seseorang menganggap sesuatu itu
benar menurutnya dan belum tentu benar menurut orang lain. Dan kata tradisional
juga berasal dari kata tradisi dalam bahasa latinnya : Traditio,”diteruskan”
atau kebiasaan dalam pengertian yang paling sederhana adalah suatu yang sudah
dilakukan sejak lama secara turun tumurun dari nenek moyang dan menjadi bagian
dari suatu kelompok masyarakat dan tradisional sendiri.[1]
Jadi tradisi adalah suatu hal yang telah menjadi
kebiasaan seseorang atau sekelompok masyarakat yang telah melewati proses yang
sangat cukup lama, yaitu dari nenek moyang sebelumnya dan sampai sekarang
hingga tradisi pun dapat mengalami perubahan .
Kalau di bahas lebih
dalam makna dari budaya sebagai tradisi dan tradisionalisme pada masyarakat
jawa merupakan suatu simpulan dari segimana kita melihat budaya pada masyarakat
jawa. Contoh dari pada adanya fakta-fakta positif yang menggambarkan sikap kita
terhadap kebudayaan jawa atau cara pandang terhadap kebudayaan jawa dalam
menghadapi tantangan dan perubahan zaman. Sikap itu adalah yakin dan sadar
bahwa nilai-nilai dalam kebudayaan jawa sungguh kuat dan elastis dalam
menghadapi setiap tantangan zaman.
Dan koentjaraningrat sera teritis lebih melihat budaya
sebagi tradition seluruh kepercayaan,anggapan, dan tingkah laku melembaga yang
mewariskan dan diteruskan dari generasi kegenerasi yang memberikan kepada
masyarakatnya sistem norma untuk dipergunakn menjawab tantangan zaman akan
berubah secara wajar atau lenyap dengan sendirinya.Dalam tradisi atau tindakan
orang jawa selalu berpegang teguh dalam dua hal :
1. Kepada pandangan hidupnya atau bisa di sebut falsafah hidupnya yang
religious dan mistis’
2. Pada sikap hidupnya yang etis dan menjunjung tinggi moral atau
derajat hidupnya. Pandangan hidupnya
yang selalu menghubungkan segala sesuatu dengan tuhan yang secara rohaniah atau
mistis dan magis, dengan menghormati arwah nenek moyang atau karuhunya serta
kekuatan-kekuatan yang tidak tampak oleh indra manusia.
B.Aneka laku yang dilakukan oang jawa sehari-sehari
Aneka laku adalah kebiasaan masyarakat jawa
sehari-hari misalnya dalam berbicara, bahasa. Dan perbuatan. Kebiasaan ini yang
di lakukan oleh orang jawa secara turun tumurun tentunya dalam hidup
bermasyarakat seperti melakukan ritus-ritus dan ritual lainnya yang sifatnya
ketradisionalan misalnya melakukan dan menjalankan kebatinan dan mengagungkan
berbagai tembang :
Tembang panembahan
Nuladha laku utama,
Tumrape wong tanah jawi
Wong agung hing ngeksi ganda
Panembahan senopati
Kapati hamarsudi,
Sudane haw lan nepsu[2]
Pinesu tapabrata,
Tanahpihing siang ratri
Amemangun karianak
Tyasing sasama
Samangsane pasamuan
Membangun matamartani
Sinambi hing saben masa,kalakalaning asepi
Lelana tka-teki ngayuh geyoganing kayun,
Kayungyun heninging tyas;sanetyasa pinrihatin punguh pangah
Cegah dahar lawan hindra
Saben nindri saking wisma lelono laladan sepi
Ngisep sipuhig supana ,mrih prana pranaweng kapti titising tyas marsudi
,mardawaning budi tulus
Mesu reh masudarman ,neng tepining jolo nidhi sruning brata kataman
wahyu jatmika
Mencontohlah tingkah laku yang utama untuk kalangan
orang tanah jawa orang mulia dari mataram : penambahan senapatti seseorang yang
sangat tekun mengurangi hawa nafsu dengan jalan bertapabrata di siang dan malam
hari membangun kebahagiaan hati sesama dalam suatu pertemuan menciptakan
kebahagiaan merata sambil di setiap saat waktu-waktu yang sepi berkelana sambil
bertapa demi mencapai cita-cita terpendam di lubuk hati selalu berprihatin
berpegang teguh mengurangi makan dan tidur setiap pergi meninggalkan istana, pergi
ketempat sepi menyerap berbagai ilmu keutamaan agar faham dan jelas kelak yang
di tuju maksud hati mencapai kehalusan budi yang tulus mempelajari ilmu tua di
tepi samudra dari ketekunannyalah di dapat petunjuk yang baik.[3]
Tembang ini menggambarkan nasihat orang tua atau dalam
kata bahasa jawanya piniseupuh kepada mereka yang ingin mendalami kebatinan
dengan cara kejawen. Kiranya perlu dipahami bhwa tujuan yang sebenarnya
(hakiki) dari kejawen bahwasannya berusaha mendpatkan ilmu sejati untuk mencapai
kehidupan yang sejati. Sehingga manusia berada dalam keadaan hidup yang
harmonis hubugan kawula dengan gusti (pencipta )pendekatan kepada yang maha
kuasa secara total .
Keadaan spiritual ini dapat di capai oleh setiap orang
percaya kepada tuhan, yang mempunyai moral yang baik, bersih dan jujur,
beberapa laku harus di praktekan dengan penuh kesadaran diri dan ketetapan hati
yang mantap dan matang. Pencari dan penghayat ilmu sejati di wajibkan untuk
melakukan sesuatu yang berguna bagi semua orang serta melalui kebersihan hati
dan tindakannya. Diantaranya cipta, rasa, karsa dan karya harus elegan,benar,
suci dan ditujukan untuk mamayu hayuning bawono ati suci jumbuhing kawulo gusti
– hati suci itu adalah hubugan yang serasi antara manusia dan tuhan yaitu gusti
alloh. Kejawen adalah aset masyarakat tradisional orang jawa yang berusaha
memahami dan mevariasi makna dan hakikat hidup yang sesungguhnya dan mengandung
nilai-nilai.
Dalam budaya jawa sangat terkenal adanya simbolisme.
yaitu suatu faham yang menggunakan simbol lambang atau simbol untuk memmbimbing
pemikiran manusia terhadap pemahaman terhadap sesuatu hal yang lebih mendalam.
Dan juga manusia menggunakan simbol itu digunakan sebagai media penghantar
komunikasi antar sesama dan segala sesuatu yang dilakukan manusia. Merupakan
perlambang dari tindakan karakter dari manusia itu generasi seanjutnya. Ilmu
pengetahuan adalah simbol-simbol dari tuhan, yang diturunkan kepada manusia,dan
oleh manusia pulalah simbol-simbol itu di kaji di telaah di buktikan, kemudian
di ubah menjadi simbol-simbol yang lebih mudah difahami agar bisa diterima oleh
manusia lainnya karena manusia itu memiliki daya tangkap yang berbeda-beda.
Biasanya sebutan orang jawa adalah orang yang hidup di
wilayah sebelah timur sungai citanduy dan cilosari.Bukan berarti wilayah di
sebelah baratnya bukan wilayah orang jawa dan masyarakat jawa sangat mnjungjung
tinggi rasa kekeluargaan dan suka bergotong royong dengan semboyannya dalam
bahasa jawa “saiyeg saekoproyo”berarti sekata satu tujuan.
C.Asal Usul suku jawa
Asal usul lahirnya sukujawa dengan kedatangan seorang
satriya pinandita yang bernama Aji Saka, sampai kemudian satriya itu menulis
sebuah sajak yang kemudian sajak tersebut diakui menjadi huruf jawa dan di
gunakan sebagai tanda di mulainya penanggalan tarikh Caka.[4]
Kejawen adalah faham orang jawa atau aliran
kepercayaan yang muncul dari masuknya berbgai macam agama ke jawa. Dan kejawen
juga mengakui adanya Tuhan Allah tetapi juga mengakui adanya kekuatan mistik
yang berkembang dari ajaran tasawuf dari agama-agama yang ada.
Tindakan tersebut dibagi tiga bagian :
1. Tindakan simbolis dalam religi
2. Tindakan simbolis dalam tradisi
3. Tindakan simbolis dalam seni
Tindakan simbolis dalam religi adalah contoh kebiasaan
orang jawa yang percaya bahwa tuhan adalah dzat yang tidak mampuh di jangkau
oleh penalaran manusia. Karenanya harus disimbolkan agar dapat diterima dan di
akui keberadaannya msalnya dengan menyebut tuhan dengan bahasa khas jawanya
Gusti ingkang murbheng dumadi, gusti ingkang maha kuaos, dan sebagainya.
Tidakan simbolis dalam
tradisi dimisalkan adanya tradisi upacara kematian yaitu dengan cara mendoakan
orang yang meninggal pada tiga hari ,tujuh hari,empat puluh hari ,seratus
hari,satu tahun,dua tahun, tiga tahun, dan bahkan sampai seribu hari nya
setelah seseorang meninggal diadakan tahlilan bahasa jawanya tawasul.
Tindakan simbolis dalam
seni di misalkan dengan berbagai macam warna yang terlukis pada wajah wayang
kulit; warna ini menggambarkan karakter dari masing-masing tokoh dalam wayang
dan sebagainya.
·
Mangkunegara
Mangku negara memiliki
empat ajaran utama yang meliputi sembah raga , sembah cipta ,(kalbu) , sembah
jiwa, dan sembah rasa :
1. Sembah raga
Sembah raga ialah menyembah tuhan dengan mengutamakan gerak laku
badaniah atau amal perbuatan yang bersifat lahiriah. Cara bersuciny sama dengan
sembahyang biasa, yaitu dengan mempergunakan Air wudhu. Sembah yang demikian
biasa dikerjakan lima kali sehari semalam dengan mengindahkan pedoman secara
tepat, tekun dan terus menerus,seperti bait berikut.
Sembah raga puniku/ pakartiningwong amagang
laku/ secucine asarana saking warih/ kang wus lumrah limang wektu/wantu
wataking wawaton[5].
2. Sembah cipta (kalbu)
Sembah ini kadang-kadang di sebut sembah
cipta dan kadang-kadang di sebut sembah kalbu ,seperti terungkap pada pupuh
gambuh bait 1 terdahulu dan pupuh gambuh bait11 berikut.
Samengkon sembah kalbu
Yen lumintu uga dadi laku
Laku agung kang kagungan narapati
Patitis teteking kawruh
Meruhi marang kang momong
Apabila cipta mengndung arti gagasan
angan-angan harapan atau keinginan yang tersimpan di dalam hati maka sembah
cipta disini mengandug sembah laku atau sembah hati ,bukan sembah gagasan atau
nagan-angan.
3. Sembah jiwa
Sembah jiwa dalah sembah kepad hyang sukma(Allah)
dengan menggunakan peran jiwa .jika sembah cipta /kalbu mengutamakan peran
kalbu ,maka sembah jiwa lebih halus dan mendalam dengan menggunakan jiwa atau
rus .sembah ini hendaknya diresapi secara menyeluruh tanpa batas setiap hari
dan dilaksanakan dengan tekun dan konsisten secara terus menerus seperti
terlihat dalam bait berikut.
Samengko kang tinutur
Sembah katri kang sayekti katur
Mring hyang sukma suksmanen saari-ari
Arahen dipun kecakup
Sembahing jiwa sutengong.[6]
Sembah jiwa ini menempati kedudukan yang
sangat penting .Ia di sebut pepuntoning
laku (poko tujuan atau perjalanan akhir suluk ) inilah perjalanan terakhir
hidup batiniah. Cara bersucinya ini sangat berbeda dengan sembah-sembah cipta,
rasa . dan sembah jiwa ini tidak pula seperti pada sembah kalbu dengan
menundukan hawa nafsu ,tetapi dengan awas emut (selalu waspada dan ingat /zikir
kepada keadaan alam baka /langgeng ), alam illahi betapa penting dan sangat
mendalam sembah jiwa ini tampak dengan jelas pada bait tersebut.
Sayekti luwih perlu
Ingaranan pepuntoning laku
Kelakuan kang tumrap bangsaning batin
Sucine lan awas emut
Maring alaming lama amota.
B.Upacara Keagamaan Dan Makna keselamatan Orang Jawa
Upacara (ritual) adalah
kegiatan yang meliputi berbagai bentuk ibadah sebagaimana yang terdapat dalam
rukun islam yaitu syahadat ,sholat,zakat,puasa, dan haji. Agama islam
mengajarjkan kepada umatnya supaya melakukan kegiatan –kegiatan upacara
/ritualistik dalam ritual sholat dan puasa selain terdapat dalam solat wajib
yang lima waktu.
Waktu dan puasa wajib di bulan ramadhan, terdapat pula
sholat dan puasa sunnah .yang inti dari solat adalah doa yang ditujukan kepada
Allah swt, sedangkan puasa adalah suatu bentuk pengendalian nafsu dalam rangka
pensucian rohani.
Dalam doa dan puasa
mempunyai pengaruh yang begitu besar dan luas, mengenai berbagai bentuk upacara
tradisional orang jawa.bagi orang jawa, hidup ini penuh dengan upacara yang
berkaitan dengan lingkaran hidup manusia sejak dari keadaannya dalam perut ibu,
lahir, anak-anak, remaja, dewasa, sampai
kematiannya.
Dalam kepercayaan lama,
upacara dilakukan dengan mengadakan sesaji atau semacam korban yang di sajikan
kepada daya-daya kekuatan ghaib tertentu yang bertujuan supaya kehidupannya senantiasa
dalam keadaan selamat. Setelah islam dating, secara luwes Islam memberikan
warna baru dalam kepercayaan itu dengan sebutan kenduren atau selamatan.dalam
uapacara ini yang pokok adalah yang di pimpin oleh kiai dalam selamatan ini
terdapat seperangkat makanan yang diidangkan pada peserta selamatan, serta
makanan yang di bawa kerumah seperti berkat. [7]
Berkaitan dengan lingkaran hidup orang jawa
koentjaraningrat memaparkan bahwa jenis uupacara yang di lakukan oleh orang
jawa diantaranya:
1. Upacara tingkeban atau miyoni
Upacara ini di lakukan pada saat janin berusia 7 bulan dalam perut ibu
.dalam tradisi santri , pada uapacara tingkeban ini seperti dilakukan di daerah
bagelen di bacakan nyanyian perjanjen atau perjanji dengan alat tamborin kecil.
2. Upacara kelahiran
Upacara ini dilakukan pada saat anak di beri nama dan pemotonggan
rambutt pada bayi berumur 7 hari atau sepasar .karena itu selamatan ini disebut
juga selametan nyepasari.
3. Upacara Sunatan
Upacara ini dilakukan pada saat anak laki-laki di khitan.namun pada usia
mana anak itu dikhitan pada berbagai masyarakat berbeda.
4. Upacara Perkawinan
Upacara ini dilakukan pada saat muda-mudi akan memasuki jenjang
berumahtangga.selamatan yang dilakukan berkaitan dengan upacara perkawinan
sering dilaksanakan dalam beberapa tahap yakni pada saat sebelum akad
nikah,pada tahap akad nikah dan sesudah akad nikah .
5. upacara kematian
Upacara ini dilakukan pada sat persiapan penguburan orang mati yang di
tandai dengan memandikan mengkafani ,mensholati dan pada akhirnya menguburkan.[8]
C. KEPERCAYAAN KEJAWEN (KEPERCAYAAN ORANG
ABANGAN DI JAWA)
1. Slametan Pesta Komunal Sebagai Upacara Inti
Di pusat seluruh sistem keagamaan orang Jawa terdapat
suatu upacara yang sederhana, formal, tidak dramatis dan hamper-hampir
mengandung rahasia slametan (kadang di sebut juga kenduren). Slametan adalah
versi Jawa dari apa yang barangkali merupakan upacara keagamaan yang paling
umum di dunia, ia melambangkan kesatuan mistis dan social mereka yang ikut
serta di dalamnya. Di mojokerto slametan merupakan semacam wadah bersama
masyarakat, yang mempertemukan berbagai aspek kehidupan social dan pengalaman
perseorangan, dengan suatu cara yang memperkecil ketidakpastian, ketegangan dan
konflik ¬ atau setidak-tidaknya dianggap berbuat demikian.
Slametan dapat diadakan untuk memenuhi semua hajat
orang sehubungan dengan suatu kejadian yang ingin diperingati, ditebus atau
dikuduskan. Kelahiran, perkawinan, sihir, kematian, pindah rumah, mimpi buruk,
panen, ganti nama, membuka pabrik, sakit, memohon kepada arwah penjaga desa,
khitanan, dan memulai suatu rapat politik, semuanya itu bisa memerlukan
slametan. Dari seluruh upacara itu, sebagian dilakukan dengan intens dan
meriah, sementara di bagian lainnya agak di kendorkan. Suasana kejiwaannya
mungkin berubah-ubah sekedarnya, tetapi struktur upacara yang mendasarinya
tetap sama. Senantiasa ada hidangan khas (yang berbeda-beda menurut slametan),
dupa, pembacaan doa Islam, dan pidato tuan rumah yang disampaikan dalam bahasa
Jawa tinggi yang sangat resmi (yang isinya tentu saja berbeda-beda menurut
peristiwanya) selalu terlihat tata karma yang sopan dan sikap malu-malu, yang
mengesankan bahwa sekalipun penyelenggaraan upacara itu begitu ringkas dan
tidak dramatis, tetapi sesuatu yang penting sedang berlangsung. [9]
·
Pola Slametan
Kebanyakan slametan di selenggarakan di waktu malam,
segera setelah matahari terbenam dan sembahyang maghrib telah dilakukan oleh
mereka yang mengamalkannya. Upacaranya hanya dilakukan oleh kaum pria. Wanita
tinggal di mburi ( belakang dapur ), tetapi mereka ini tentu saja mengintip
lewat dinding bumbu ke ngarepan (depan – di ruangan utama) di mana kaum pria
bersila di atas tikar melakukan upacara dan menikmati hidangan yang mereka
siapkan.[10]
Secara tradisional, acara slametan di mulai dengan doa
bersama, dengan duduk sila di atas tikar sambil melingkari tumpeng dengan lauk pauk
dan sesaji. Sesaji yang diadakan untuk mengiringi upacara, maksud dan tujuannya
adalah untuk doa. [11]
Tamu yang di undang biasanya para tetangga yang
rumahnya dekat dengan rumah yang mengadakan slametan tersebut. Para tamu
laki-laki akan duduk sila di atas tikar, yang di tengahnya ada berbagai macam
sesaji dan tumpeng. Lalu barulah upacara tersebut di mulai.
Tuan rumah membuka upacara dengan bahasa Jawa tinggi
yang sangat resmi. Pertama-tama, ia mengucapkan terima kasih atas kehadiran
tetangganya, karena mereka menganggap bahwa para tamu yang dating itu adalah
saksi keikhlasan dan kesungguhan niatnya. Kedua, ia mengutarakan niatnya ia
menyebutkan maksud khusus slametan itu. Kemudian ia menyebut maksud umum
upacara itu.
Bila tuan rumah sudah menyelesaikan sambutan pembukaan
yang di sebut Ujub, ia meminta salah seorang yang hadir untuk membacakan doa
dalam bahasa arab. Sebenarnya kebanyakan mereka yang berkumpul itu tidak tahu
bagaimana cara berdoa, tetapi tuan rumah selalu takkan melupakan agar seseorang
yang bisa membaca doa terdapat juga di situ. Untuk jasanya itu, pebaca doa
memperoleh sekedar uang yang disebut wajib.
Setelah upacara pembukaan selesai, irama datar doa
Arab telah diimbangi kembali dengan sambutan bahasa Jawa yang iramanya mekanis
dan tetap, maka suguhan hidangan pun dimulai. Setiap yang hadir ( kecuali tuan
rumah yang tidak makan ) menerima secangkir teh dan piring dari daun pisang
yang berisikan macam-macam pangan yang telah di hidangkan di tengah tikar.
Makanan itu jauh lebih baik dari makanan biasa, biasanya ada beberapa macam
daging, ayam atau ikan basah, plus aneka warna panganan dari beras atau bubur,
masing-masing mengandung arti yang masih di ketahui atau sudah tidak diketahui
lagi oleh hadirin. [12]
·
Makna slametan
Mengapa orang Jawa menyelenggarakan slametan ? bagi
orang Jawa alasannya yaitu, bila anda menyelenggarakan slametan, tak seorang
pun merasa dirinnya dibedakan dari orang lain, dan menjaga mereka dari roh-roh
halus, dengan begitu roh-roh halus tdak akan mengganggu anda ,[13]
dan bersyukur kepada gusti tuhan, serta semoga dengan berkah-Nya segala tugas
akan di laksanakan dengan baik, selamat, benar, juga membawa
kesejahteraan. [14]
2. Kepercayaan Terhadap Makhluk Halus
Kepercayaaan orang abangan terhadap mahkluk ghaib yang
mereka percayai adalah Pertama, memedi (tukang menakut-nakuti), jenis ini hanya
menakuti-nakuti orang saja tanpa membahayakan bagi orang yang ditakutinya.
Memedi laki-laki disebut gondoruwo dan yang perempuan disebut wewe (istri
gendoruwo yang selalu menggendong anak kecil dengan selendang di pinggang
sebagaimana ibu-ibu biasa). Memedi biasanya ditemukan pada malam hari,
khususnya ditempat-tempat yang gelap dan sepi. Seringkali mereka ini tampak
menyerupai orang tua atau wujud lainnya. Kedua, lelembut (mahkluk halus)
sebaliknya dari Memedi, dapat menyebabkan orang menjadi jatuh sakit atau gila.
Lelembut biasanya masuk kedalam tubuh orang, dan kalau orang tidak diobati
oeleh seorang dukun maka akan menyebabkan orang tersebut menjadi gila bahakan
ia bisa mati, dan dukun ini biasanya orang jawa asli. Ketiga, Tuyul (anak-anak
mahkluk halus), Tuyul menyerupai anak-anak dan biasanya dapat menjadikan
sesorang menjadi kaya raya. Dan masih banyak lagi yang lainnya seperti, Sundel
Bolong(pelacur dengan lubang di tubuhnya), Danyang (roh pelindung) dan lain
sebagainya.[15]
3. Siklus Slametan : Slametan Menurut Penanggalan
Berikut slametan penanggalan yang di akui oleh orang Jawa :
·
1 Suro : Ini lebih merupkakan hari raya Budha dari
pada hari raya Islam, dan karena itu ia hanya diadakan oleh mereka yang secara
sadar anti Islam.
·
10 Suro : Untuk menghormati Hasaan dan Husein , yang
menurut cerita ingin mengadakan slametan untuk Nabi Muhammad ketika beliau
sedang berperang melawan kaum kafir. Slametan ini di tandai dengan 2 mangkuk
bubur, yang satu dengan krikil dan pasir, dan satunya kacang dan potongan ubi
goreng untuk melambangkan ketidakmurnian.
·
12 Mulud : Hari yang menurut konvensi, Nabi dilahirkan
dan meninggal dunia. Slametan ini disebut Muludan. Slametan ini di tandai
dengan ayam utuh yang diisi sesuatu di dalamnya.
·
27 Rejeb : Slametan ini merayakan mi’raj, perjalanan
Nabi menghadap Allah dalam satu malam.penanganannya sama saja dengan Muludan.
·
29 Ruwah : Permulaan puasa, yang disebut Megengan.
Slametan ini tanpa kecuali diadakan oleh mereka yang paling sedikitnya salah
seorang dari orangtuanya sudah meninggal. Slametan ini ditandai adanya panganan
dari tepung beras, apem, yang merupakan lambing orang Jawa untuk kematian.
·
21, 23, 25, 27, atau 29 Pasa : Slametan yang diadakan
pada salah satu dari hari-hari ini disebut Maleman, karena diadakan malam hari,
sebab makan pada siang hari bulan Puasa di larang. Kadang-kadang orang
mengatakan 21, 23, 25 adalah untuk orang “ islam sejati “ ( kaum santri ),
tanggal 27 untuk orang muda, dan tanggal 29 untuk orang tua.
·
1 Sawal : Mengakhiri puasa, yang disebut Bruwah. Nasi
kuning dan sejenis telur dadar merupakan hidangan yang special.
·
7 Sawal : Suatu slametan kecil yang disebut Kupatan.
Hanya mereka yang memiliki anak kecil yang telah meninggal di anjurkan untuk
mengadakan slametan ini.
·
10 Besar : Ini adalah penghormatan terhadap
pengorbanan Nabi Ibrahim dan hari Jemaah haji berkumpul di Mekkah untuk
melaksanakan lagi pengorbanan itu. Biasanya dengan adannya sembelih sapi dan
kambing untuk fakir miskin, tetapi jarang diadakan slametan. [16]
4. Pengobatan,
Dan Sihir
Kalau
kepercayaan-kepercayaan mengenai roh dan berbagai slametan merupakan dua
sub-kategori yang paling umum daripada agama Abangan, maka kompleks pengobatan,
sihir, dan magi yang berpusat di sekitar peranan seorang dukun merupakan
sub-kategori yang ketiga. Sebenarnya membatasi dukun-dukun kepada konteks
Abangan saja tidaklah benar, karena kepercayaan dan ketidakpercayaan terhadap
baik kekuatan mereka maupun mereka sebagai orang-orang yang menjalankan seni
pendukunan yang sebenarnya, tersebar di seluruh masyarakat Jawa baik dikalangan
priyai, santri, maupun abangan. Tetapi frekuensi yang lebih besar dan lebih
penting dalam kehidupan sehari-hari dan barangkali lebih besarnya kepercayaan
kepada pedukunan itu di kalangan abangan yang predominan, dengan dukun-dukun
santri dan priyai sebagai variasi sekunder.[17]
·
Dukun : Tabib, Juru Sihir Dan Spesialis Keupacaraan
Ada beberapa macam dukun : dukun bayi, dukun pijet,
dukun prewangan ( medium ), dukun calak ( tukang sunat ), dukun wiwit ( ahli
upacara panen ), dukun temanten atau ahli upacara perkawinan, dukun petungan (
ahli meramal dengan angka ), dukun sihir atau juru sihir, dukun susuk, dukun
japa ( tabib yang mengandalkan mantra ), dukun jampi ( tabib yang menggunakan
tumbuh-tumbuhan dan berbagai obat asli ), dukun siwer, spesialis dalam mencegah
kesialan alami seperti datangnya hujan saat pesta, dan supaya piring tidak
pecah saat pesta, dll, dan dukun tiban, tabib yang kekuatannya temporer dan
merupakan hasil dari kerasukan roh. [18]
Menjadi dukun dianggap berbahaya bagi seseorang,
karena kekuatan luar biasa yang menjadi alatnya dapat menghancurkan dirinya
sendiri kalau dia tidak kuat secara spiritual. Karena menjadi gila adalah
akibat yang tipikal bagi orang yang mencoba dengan segala daya sepanjang garis
ini. [19]
·
Teknik-Teknik Pengobatan
Dalam konteks ini, metode yang biasa dipakai adalah
mengambil hari lahir orang yang bersangkutan dalam hubungannya dengan hari
jatuhnya sakit, dana dengan berbagai perhitungan bisa dihasilkan satu angka
yang berkaitan dengan suatu bentuk pengobatan dan dalam beberapa kasus juga
menunjukkan sebab sakitnya. Ini adalah metode diagosa paling umum, khususnya di
kalangan dukun, karena ini paling mudah dan paling cepat diterapkan.
Analisa tentang gejala penyakit memang kena, khususnya untuk
penyakit-penyakit yang spesifik dengan penggambaran penyakit yang di rumuskan
secara baik dan didasarkan atas kategori yang cermat dan cukup akurat, yang
tersebar luas dikalangan penduduk pada umumnya. Jika seseorang pergi kepada
seorang dukun, ia akan memperoleh tumbuhan obat, dan juga mantra yang
dilekatkan kepadanya.[20]
5. Perkawinan
Menurut pandangan abangan pada umumnya berpendapat
bahwa perkawinan hendaknya dilakukan atau diselenggarakan di luar keluarga,
karena jika tidak, apabila perkawinan tersebut berakhir dengan perceraian maka
hubungan antara keluarga yang semula dekat itu akan menjadi goyah dan bahkan
mungkin tidak saling bertegur sapa untuk waktu yang lama.
Pola pinangan secara formal yang benar menurut kejawen terdiri dari dua
tahap yaitu :
·
Tahap pertama, Semacam perundingan penjajakan yang
dilakukan oleh seorang teman atau saudara si pemuda, dengan maksud
menghindarkan rasa malu apabila ditolak.
·
Tahap kedua, sekurang-kurangnya dengan suatu jamuan
yang serba basa-basi, kunjungan resmi pemuda tersebut ke rumah si gadis yang
disertai ayah atau sanak saudaranya yang lain, kunjungan ini di namakan
nontoni.
Setelah dipinang didakan proses lamaran ( nglamar )
yang intinya itu adalah memohon agar anak perempuannya diperbolehkan untuk
diambil menantu. Dalam acara nglamar peran congkok sudah tidak diperlakukan
lagi, namun kadang-kadang tugasnya berlanjut menjadi juru bicara pihak
laki-laki. Orang tua pihak laki-laki beserta anaknya, dan beberapa anggota
keluarga juga turut hadir ke rumah pihak perempuan.
Jika latar belakang proses akan besanan ini jauh hari
sudah tidak ada masalah lagi, maka acara nglamar ini sebenarnya hanya memenuhi
formalitas adat seperti yang dipahami oleh masyarakat jawa. Akan tetapi jika
kedua belah pihak masih belum saling mengenal, dan memerlukan jawaban yang
pasti, maka upacara nglamar menjadi begitu penting dan menentukan sekali.[21]
Acara selanjutnya dilanjut dengan upacara Ningset.
Pningset atau ningset, artinya mengikat, dalam hal ini terjadinya komitmen akan
sebuah perkawinan antara putra putri kedua pihak.
Bila lamaram diterima, pada hari yang disepakati keluarga
laki-laki datang kerumah pihak perempuan dengan maksud untuk menyerahkan
beberapa barang penyerahan ( peningset ) sebagai bukti bahwa anak perempuan
tersebut sudah dipasangkan ( akan dijodohkan ) dengan anak laki-lakinya. [22]
Barang-barang apa saja yang dibawa sebagai peningset,
tergantung kemampuan pihak laki-laki. Berikut ini sekedar contoh yang
sedarhana, apa saja yang biasanya dibawa sebagai peningset :
a. Jarit ( kain ) batik dengan motif yang dapat dipilih.
b. Kemben ( jarit kecil tutup dada ) corak pelangi
c. Cincin pengantin
d. Jodhang ( peti tempat kue dan makanan yang ditandu oleh dua orang )
berisi,
Pada saat pertemuan untuk menyerahkan peningset,
biasanya dibicarakan juga hari pernikahan. Dalam adat jawa, yang mempunyai
hajat mengawinkan adalah pihak orang tua perempuan, sehingga hari yang baik
untuk pernikahan biasanya ditentukan oleh pihak orangtua perempuan. Jika tidak
ada halangan yang luar biasa pentingnya, biasanya pihak laki-laki hanya
menyetujui saja hari yang ditentuksan oleh orangtua anak perempuan.
Orang jawa tidak mau mengadakan upacara pernikahan
maupun resepsi pernikahan pada bualan Sura (penaggalan jawa). Mereka
mempercayai bahwa pernikahan bulan tersebut akan berakhir dengan perpisahan
atau penderitaan.[23]
Kebanyakan orang jawa menganggap bahwa pendaftaran
perkawinan pada kantor pejabat agama kecamatan ( naib ), kurang penting bila
dibandingkan dengan upacara makan bersama secara keagamaan ( slametan ), yang diadakan di rumah
pengantin perempuan. Pada kesempatan penjamuan kecil bersama beberapa tetangga
ini, orang tua pengantin secara resmi memohon agar arwah baureksa rumah dan
desa memberikan kesehatan dan kesejahteraan kepada pasangan baru tersebut
nantinya.
Kegiatan upacara perkawinan yaitu:
·
Upacara pasang tarub merupakan upacara pertama. Tarup
mengambil kisah legenda Ki Jaka Tarup. Tarub itu sendiri berarti pemasangan
bangunan tambahan antara lain janur (daun kelapa muda), gula kelapa dan ragam
hiasan lainnya seperti pohon pisang raja, tebu, cengkir, padi dan daun beringin
serta janur yang semuanya mempunyai arti paedagogis.
·
Upacara buangan (bucalan) merupakan pengadaan sesaji
untuk roh halus baik ataupun jahat, yang tediri dari:
a) Pecok bakal yaitu berupa biji
kacang-kacangan, jagung, kluwak, kemiri, telur ayam mentah dan masi banyak
lagi. Semua itu ditempatkan dalam satu wadah besar.
b) Gecok
mentah yang terbuat dari daging sapi mentah yang sudah dipotong-potong lalu
dibumbui bawang, lombok, garam, kencur, santan yang kemudian diwadahi lalu
diletakan di pojok-pojok ruangan. Diletakan pada malam hari.
c) Buncalan diletakan, seperti setiap
pintu, sumur, toilet, pawuhan ( tempat sampah ), regol ( gapura masuk halaman
), perempatan jalan terdekat, sungai terdekat,jembatan terdekat.
·
Upacara menyiagakan beras di pedharingan. Maksudnya
adalah bapak ibu yang mempunyai hajatan sudah siap untuk memakai pakaian jawa.
·
Upacara menanak nasi . Upacara ini dilakukan oleh Ibu
dibantu dengan Bapak dimana Bapak mengambil beras dan air kemudian Ibu mencuci
beras dan dibawa ke dapur lalu bapak menyalakan api.
·
Upacara pasang tuwuhan, yang bermaksud agar kedua
pengantin kelak mendapatkan keturunan yang baik. Kegiatan ini dilakukan di
depan rumah ataupun di pintu kamar mandi calon pengantin wanita. [24]
6. Siklus
Kelahiran
Upacara
peralihan tahap ( rites of passage ) orang Jawa menggambarkan sebuah busur,
mulai dari gerak-gerik kecil tak teratur yang melingkungi kelahiran, sampai
kepada pesta dan hiburan besar yang di atur rapi pada khitanandan perkawinan
dan akhirnya upacara-upacara kematian yang hening dan mencekam perasaan. Dalam
keseluruhannya slametan menyediakan kerangka, apa yang berbeda adalah
intensitas, suasana hati, dan kompleksitas simbolisme khusus dari peristiwa
itu. Upacara-upacara itu menekankan kesinambungan dan identitas yang mendasari
semua segi kehidupan dan transisi serta fase-fase khusus yang dilewatinya.[25]
·
Tingkeban
Tingkeban
mencerminkan perkenalan seorang wanita Jawa kepada kehidupan sebagai Ibu.
Karena ketentuang yang relative tentang waktu konsepsi, maka tingkeban tidak di
adakan pada hari tertentu sesuai dengan mulainya kehamilan, tetapi selalu pada
hari sabtu yang terdekat dengan bulan kandungan yang ketujuh sepanjang hal itu
bisa diperkirakan.
Tingkeban itu diselenggarakan di rumah ibu si calon
ibu, dan slametan yang khusus disiapkan dengan unsur-unsur utama berikut :
1. Sepiring nasi untuk setiap tamu dengan nasi putih di atas dan nasi
kuning di bawahnya. Nasi putih melambangkan kesucian, dan nasi kuning
melambangkan cinta. Dihidangkan di atas daun pisang yang direkatkan dengan
jarum baja, agar sang anak lahir dengan kuat dan tajam fikirannya.
2. Nasi di campur dengan parutan kelapa dan ayam irisan. Ini dimaksudkan
untuk menghormati Nabi Muhammad maupun utuk menjamin slamet bagi semua tamu dan
anak yang akan lahir.
3. 7 tumpeng nasi yang melambangkan 7 bulan kehamilan.
4. 8 atau 9 bola nasi putih yang di bentuk dari genggaman tangan untuk
melabangkan 8 atau 9 wali penyebar Islam yang legendaris di Indonesia.
5. Sebuah tumpeng nasi yang besar, biasanya disebut tumpeng “ kuat “
karena ia sibuat dari beras ketan, yang dimaksudkan agar anak yang di dala
kandungan itu kuat dan juga memuliakan danyang desa itu.
6. Beberapa hasil tanaman yang di bawah tanah ( seperti singkong )bdan beberapa
buah yang tumbuh bergantung di atas ( seperti buah-buahan umumnya ), yang
pertama untuk melambangkan langit, yang masing-masingnya di anggap mmemiliki 7
tingkatan.
7. Tiga jenis bubur : putih, merah,, dan campuran dari keduanya yang
putih di seputar bagian luar dan yang merah di tengah piring. Bubur putih
sebagai “ air “ sang ibu, yang merah “ air “ ayah, dan campuran keduanya di
anggap sangat mujarab untuk mencegah masuknya makhluk halus jenis apapun.
8. Rujak legi, suatu ramuan dari berbagai jenis tanaman buah-buahan,
cabe, bumbu-bumbu dan gula. Konon, bila rujak itu terasa “ pedas “ atau “ sedap
“ oleh si ibu, ia akan melahirkan anak perempuan, sebaliknya kalau terasa biasa
saja, ia akan melahirkan anak laki-laki.[26]
Tata cara pelaksanaan upacara Tingkeban :
a. Siraman dilakukan oleh sesepuh sebanyak 7 orang.bermakna mohon doa
restu, supaya suci lahir dan batin. Setelah upacara siraman selesai, air kendi
tujuh mata air di pergunakan untuk mencuci muka, setelah air dalam kendi habis,
kendi di pecahkan.
b. Memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain calon ibu oleh suami
melalui perut sampai pecah, hal ini merupakan simbol harapan supaya bayi lahir
dengan lancar.
c. Berganti nyamping sebanyak tujuh kali secara bergantian, serta kain
putih. Kain putih sebagai dasar pakaian pertama, yang melambangkan bahwa bayi
yang akan di lahirkan adalah suci, dan mendapat berkah dari Tuhan YME. [27]
7. Kematian
Kalau terjadi kematian disuatu keluarga, maka hal
pertama yang harus di lakukan adalah memanggil modin dan kedua menyampaikan
berita di daerah sekitar bahwa suatu kematian telah terjadi. Kalo kematian itu
terjadi di sore atau malam hari, mereka menunggu sampai pagi berikutnya untuk
memulai proses pemakaman.
Bila modin tiba, ia akan membuka pakaian orang yang
mati itu, menutupi kemaluan si mati dengan sarung secara longgar, mengikuti
rahang mayat dengan tali keatas kepalanya agar mulut tidak terbuka dan mengikat
kedua talinya menjadi satu. Kedua lengan si mayat di silangkan ke dada, tangan
tangan di atas tangan kiri, dengan ujung-ujung jarinya menyentuh lengan, dan
badan jenazah ditidurkan dengan kepala ke arah kepala, kadang-kadang dengan
sebuah lampu yang dinyalakan di atas kepalanya. Jasad si mayat kemudian
dimandikan oleh keluarga dan teman dekatnya. Kalau mayatnya perempuan maka
diutamakan orang-orang perempuan, dan kalau laki-laki meninggal maka diutamakan
laki-laki di bawah pimpinan modin.
Jenazah itu dimandikan dihalaman depan, dilingkari
tabir anyaman banbu yang dipasang terbur-buru. Biasanya digunakan tiga jenis
air, masing-masing dalam tempayan yang
berbeda, satu dengan bunga di dalamnya, satu dengan uang, sejenis daun khusus,
dan bermacam-macam tumbuhan obat, dan satunya lagi air murni tanpa campran
apa-apa. Sebagai tambahan di sediakan obat keramas dari erang yang dibakar
untuk mencuci rambut. Modin menuangkan gayung air yang pertama, lalu diikuti
oleh anggota keluarganya secara bergilir. Kesanggupan memangku jenazah saat
dimandikan disebut orang tegel.
Setelah pemandian ayat selesai, dilanjutkan ddengan
membaca ayat suci Al-Qur’an. Pembacaan itu berlangsung selama 5-10 menit.
Kemudian mayat di letakkan diusung bamboo yang ditutup dengan beberapa helai
kain baru dengan untaian bunga yang diletakkan melintang diatasnya, namun kain
tidak di kuburkan bersama jenazah.
Usungan dibawa ke halaman dan keturunannya akan
berlari-lari kecil pulang balik dibawahnya sebanyak tiga kali untuk
melambangkan bahwa mereka ikhlas. Sekedar uang receh dalam bungkusan kertas
kemudian di berikan kepada para tamu yang hadir pada pemakaman itu untuk ide
yang sama, yaitu sebagaimana mereka tidak menyesal melepaskan uang, mereka bisa
melepaskan almarhum tanpa perasaan yang tercekam ( namun, terkadang mereka
diberikan sebungkus nasi sebagai gantinya ). Sebuah kendi penuh air dilemparkan
ke tanah juga melambangkan bahwa mereka sudah ikhlas, dan usungan itu pun mulai
bergerak ke mmakam dipikul oleh kaum pria, sementara kaum wanita tinggal
dirumah, menaburkan garam agar jiwa almarhum tidak pulang lagi dan mengganggu
mereka. Lalu, jenazah tersebut di kubur menghadap utara dan di tidurkan di atas
7 batu. Lalu, sang modin membacakan 2 kalimat syahadat.[28]
Setelah jenazah
dikebumikan terdapat tradisi selametan yang haruh dijalankan. Bagi masyarakat,
selamatan yang berkenaan dengan kematian tidak hanya dilakukan pada malam
pertama (turun tanah) saja, tetapi juga malam ke-2 (mendua hari), ke-3 (meniga
hari), ke-7(memitung hari), ke-25 (mayalawi), ke-40 (mematang puluh), yang disebut sebagai dan ke-100 hari (manyaratus
hari), dan 1000 hari (nyewu) terhitung dari meninggalnya seseorang. Dalam
setiap slametan terdapat tahlilan yang harus dilaksanakan. Cara menentukan
hari-hari selamatan kematian orang Jawa memiliki teknik tersendiri. Untuk
menentukan hari itu, mereka menggunakan perhitungan hari dan pasaran dengan
perhitungan:
1. Ngesur tanah dengan rumus jisarji, maksudnya hari ke satu dan pasaran
juga ke satu.
2. Nelung dina dengan rumuslusaru, yaitu hari ketiga dan pasaran ketiga
3. Menujuh hari (mitung dina) dengan rumus tusaro, yaitu hari ketujuh
dan pasaran kedua
4. 40 hari (matangpuluh dina) dengan rumus masarama, yaitu hari ke lima
dan pasaran ke lima
5. 100 hari (nyatus dina) dengan rumus rosarama, yaitu hari ke dua
pasaran ke lima
6. Peringatan tahun pertama (mendhak pisan) dengan rumus patsarpatyaitu
hari ke empat dan pasaran ke empat
7. Perigatan seribu hari (nyewu) dengan rumus nemasarma yaitu hari ke
enam dan pasaran ke lima. [29]
D. KITAB-KITAB KEJAWEN
1. Kitab Serat Wulangreh
Serat Wulang Reh Putri berisi nasihat dari Paku Buana
X kepada para putri-putrinya tentang bagaimana sikap seorang wanita dalam
mendampingi suaminya. Isi nasihat itu antara lain bahwa bahwa seorang istri
harus selalu taat pada suami. Disebutkan bahwa suami itu bagaikan seorang raja,
bila istri membuat kesalahan, suami berhak memberi hukuman. Istri harus selalu
setia, penuh pengertian, menurut kehendak suami, dan selalu ceria dalam
mengahadapi suami meski hatinya sedang sedih.
Struktur Serat Wulang Reh terdiri dari 13 macam tembang (pupuh), dengan
jumlah pada/bait yang berbeda, yaitu :
1. Dandanggula, terdiri 8 padha/bait
Lenggah madyeng pandhapa Sang Aji/ lan kang garwa
munggwing nging dhadhampar/ panganten estri kalihe/ munggwing ngarsa Sang
Prabu/ duk wineling kang putra kalih/ winuruk ing masalah/ angladosi kakung/
Prabu Tarnite ngandika/ anak ingsun babo den angati-ati/ abagus lakinira//.
Sang raja duduk ditengah pendopo, dan sang istri berada di singgasana,
kedua mempelai putrid, berada didepan sang raja, kedua putrinya diberi pesan,
diajarkan suatu hal, tentang melayani suami, Raja Ternate berkata, “anakku,
berhati-hatilah!, baik-baik lah pada suami”
2. Kinanthi terdiri 16 padha/bait
Dene ta pitutur ingsun/ marang putraningsun estri/ den
eling ing aranira/ sira pan ingaran putri/ puniku putri kang nyata/ tri tetelu
tegesneki//.
Bahwa ajaranku (nasihatku), kepada anak perempuanku, agar ingat akan
namamu, engkau disebut putri, itu putri
yang sejati, tiga, ketiganya ini maksudnya.
3. Gambuh terdiri 17 padha/bait
4. Pangkur terdiri 17 padha/bait
5. Maskumambang terdiri 34 padha/bait
6. Megatruh terdiri 17 padha/bait
7. Durma terdiri 12 padha/bait
8. Wirangrong terdiri 27 padha/bait
9. Pocung terdiri 23 padha/bait
10. 10.Mijil terdiri 26 padha/bait
Ingsun nulis ing layang
puniki/ atembang pamiyos/ awawarah wuruk ing wijile/ marang sagung putraningsun
estri/ tingkahing akrami/ suwita ing kakung//.
Saya menulis karya ini,
dalam bentuk tembang, memberikan petuah dalam bentuk (tembang) mijil, kepada
seluruh anak perempuan saya, (tentang) tata karma dalam perkawinan, mengabdi
kepada suami.
11.Asmaradana terdiri 28 padha/bait
Pratikele wong akrami/
dudu brana dudu rupa/ among ati paitane/ luput pisan kena pisan/ yen gampang
luwih gampang/ yen angel-angel kelangkung/ tan kena tinambak arta//.
Bekal orang menikah,
bukan harta bukan pula kecantikan, hanya berbekal hati (cinta), sekali gagal,
gagallah, jika mudah terasakan amat mudah, jika sulit terasakan amat sulit,
uang tidak menjadi andalannya.
12Sinom terdiri 33 padha/bait
13.Girisa terdiri 25 padha/bait [30]
2. Kitab Serat Weddatama
Serat Wedhatama adalah
sebuah karya sastra Jawa Baru yang bisa digolongkan sebagai karya
moralistis-didaktis yang sedikit dipengaruhi Islam. Karya ini secara formal
dinyatakan ditulis oleh KGPAA Mangkunegara IV. Walaupun demikian didapat
indikasi bahwa penulisnya bukanlah satu orang Serat ini dianggap sebagai salah
satu puncak estetika sastra Jawa abad ke-19 dan memiliki karakter mistik yang
kuat. Bentuknya adalah tembang, yang biasa dipakai pada masa itu.
Serat ini terdiri dari 100 pupuh (bait, canto) tembang macapat, yang
dibagi dalam lima lagu, yaitu:
• Pangkur (14 pupuh, I - XIV))
• Sinom (18 pupuh, XV - XXXII)
• Pocung (15 pupuh, XXXIII - XLVII)
• Gambuh (35 pupuh, XLVIII - LXXXII)
• Kinanthi (18 pupuh, LXXXIII - C)
Isinya adalah merupakan falsafah kehidupan, seperti hidup bertenggang
rasa, bagaimana menganut agama secara bijak, menjadi manusia seutuhnya, dan
menjadi orang berwatak ksatria.[31]
3. Kitab Serat Gatholoco
a. Adapun isinya adalah sebagai berikut:
• Pupuh 1 dhandhanggula berisi 13 bait
• Pupuh 2 mijil berisi 20 bait
• Pupuh 3 khinanti berisi 29 bait
• Pupuh 4 gambuh berisi 69 bait
Pupuh 4 bait 56 menyatakan:
Kawula Gusti jumbuh/ Lan rasane apa bedanipun/ Seje-seje jinis/ Rasa
kawula Gusti den ranan tunggal kumpul/ den ranana seje saos.
Artinya:
Hamba Tuhan bersatu/ Dan rasa apa bedanya/ Berlain-lainan jenisnya/ Rasa
Kawula Gusti dikatakan satu nyatanya menyatu/ dikatakan berbeda nyatanya
lain-lain.
Pupuh 4 bait 58
menyatakan:
Kalihnya lir linimput/ Kasorotan srengenge semunu/ Ningyektine
morsarahsa anyoroti/ wor tunggal cahyo tetelu/ Allah Suksma jumbuh.
Artinya:
Keduanya (bulan dan bintang) seperti tertutup/ Disinari sinar matahari
yang cemerlang/ Padsahal bersama rahsa bersinar/ Sinar ketiganya bersatu/
Allah, Rasul, Suksma menjadi satu.
Dalam kedua bait itu
dikatakan bahwa unsur manusia yang bersatu dengan Allah itu ada dua,yang
rohaniah yaitu rahsa dan Rasul dan suksma, yang diberi simbol bulan dan
bintang. Bulan dan bintang ini mempunyai sinar sendiri-sendiri tetapi sinar
keduanya akan redup kalau berhadapan dengan sinar matahari yang dipergunakan
untuk menyimbolkan Tuhan. Matahari, bulan, dan bintang adalah simbol Allah,
rahsa dan suksma.
• Pupuh 5 sinom berisi 87
bait
Pupuh 5 bait 13 menyatakan:
Awit prentahe kang nanggap/ Ingkang nanggap Kiai sepi/ tan ketingal/
Anane datan ningali/ Langgeng tan kena ginsir/ Tanpa kurang tanpa wuwuh/ Tan
pangreh tan panggonan/ Iku ingkang misesa sami/ Ing solahe ki dalang kelawan
wayang.
Artinya:
Karena atas perintah yang nanggap/
yang nanggap itu adalah Kiai Sunyi/ Arti sunyi tidak terlihat/ Ada
tetapi tidak terlihat/ Bersifat tetap tidak berubah-ubah/ Tidak kurang tidak
tambah/ Tidak ada yang memerintah serta tidak menempat/ Itulah dia yang
berkuasa dan mempunyai wewenang/ Terhadap semua tingkah laku dalang dan
wayangnya.
Bait tersebut menggambarkan sifat Allah yang dinamakan
sebagai Yang Sunyi, Kiai Sunyi. Kemudian Tuhan yang dinamakan Kiai Sepi itu
diberi sifat-sifat yang diberikan oleh ahli ilmu kalam golongan Asy’ariyah .[32]
• Pupuh 6 pangkur berisi
68 bait
Pupuh 6 bait 63 menyatakan:
Dene sir bis ngucap/ Suksmane wong kafir mandung yomani/ Suksmane wong
Islam iku/ Kabeh mungguh swarga/ Apa sir dhewe wis nglakoni lampus/ Wus weruh
kang swarga/ Sira nyipati pribadi.
Artinya:
Anda dapat berkata/ Suksmane orang kafir mendapatkan kecelakaan/ Sedang
Suksma orang Islam itu/ Semuanya masuk surga/ Apa anda sudah pernah mengalami
mati/ Sudah melihat yang namanya surga itu/ Dan anda menghayati sendiri.
Jelas sekali bait ini
mencela kepercayaan terhadap surga, walaupun dalam tasawuf Islam ada juga yang
kurang mempercayai surga ini dan hanya mengharapkan dapat bertemu dengan Tuhan.
Memang dalam mistikisme itu tujuan akhir bukan surga tetapi pertemuan dan
persatuan dengan Tuhan.
• Pupuh 7 asmaradana
berisi 65 bait
Pupuh 7 bait 9 menyatakan:
Tanpa gawe sira muji/ Yen tan trus panembahira/ Tiwas tuwan muji bae/
Angucap Usali parlan/ Tegese iku lapal/ Aweruha asal-usul/ Urip uga prapteng
pejah.
Artinya:
Tidak berguna anda memuji/ Kalau tidak mengerti siapa yang disembah/
Sampai tua selalu menyempah/ Mengatakan usali parlan (mestinya ushalli fardlal
dan seterusnya niat shalat menurut Syafiiyyah)/ Lafaz itu mempunyai arti/
Hendaknya manusia mengetahui asal-usul hidupnya/ juga mengetahui masalah
matinya.
• Pupuh 8 gambuh berisi 16 bait
• Pupuh 9 sinom berisi 45 bait
• Pupuh 10 khinanti berisi 25 bait
• Pupuh 11 pangkur berisi 80 bait
• Pupuh 12 khinanti berisi 12 bait[33]
b. Diantara isi kitab Gatholoco
adalah sebagai berikut:
• Semua barang menurut
Gatholoco adalah halal, artinya dapat dan boleh dimakan, asalkan diperoleh
dengan baik. Babi dan anjing kalau mendapatkannya dengan cara membeli adalah
halal, daripada kambing yang diperoleh dengan cara mencuri.
• Gatholoco kurus karena
minum candu. Katanya ia berbuat demikian karena yang menyuruh adalah
Rasulullah. Tetapi dikatakannya yang dimaksud Rasulullah itu bukanlah orang
Arab yang hidup di Arab sana, sebab nyatanya ia sudah mati dan letaknya sangat
jauh dari Jawa ini. Dikatakannya juga bahwa menyembah kepada Rasulullah orang
Arab itu juga tidak bermanfaat sembahnya. Gatholoco menyembah Rasul yang ada
dalam dirinya, katanya.
• Pertunjukan wayang
kulit merupakan pemisalan dari kehidupan dunia ini. Yang pokoknya adalah lampu,
sebelum lampu menyala tidak ada gerakan wayang. Sesudah lampu padam tidak ada
apa-apa. Yang ada hanya kosong dan sunyi. Sebelum hidup didunia ini kita tidak
ada. Begitu juga setelah mati nanti
tidak ada apa-apa lagi.
• Aku (Gatholoco) ini
Tuhan dan berada di pusat dunia. Rasulullah adalah hati Gatholoco (manusia).
Agama Gatholoco adalah agama rasa.
• Pedoman hidupku
(Gatholoco) adalah bahrul qalbi, yakni lautan hati yang maha luas lagi sangat
dalam.
• Gatholoco menyatakan
selalu sembahyang tidak putus-putus. Sembahyang adalah nafasnya. Nafas dari
ubun-ubun adalah sembahyang kepada Tuhan. Nafas dari mulut adalah sembahyang
terhadap Muhammad.[34]
• Ada nafas yang keluar
dari hidung, itu adalah tali kehidupan. Oleh karena itu nafas manusia
(Gatholoco) itu berbunyi Allah Allah.
• Kiblat Gatholoco adalah
dirinya sendiri yang dinamakan Baitullah. Bait diartikan baita (bahasa Jawa
yang artinya kapal atau perahu) perahu butan Allah. Ka’bah itu bukan kiblat
manusia Jawa (Gatholoco) karena Ka’bah itu buatan Nabi Ibrahim bukan buatan
Allah.
• Sebelum dunia ini ada,
sebelum ada bintang dan matahari, yang ada adalh Nur Muhammad, yaitu yang ada
dibintang johar dan bintang itu menjadi puser (pusat) Nabi Muhammad.
4. Kitab Serat Darmogandhul
a. Sejarah suluk
Darmogandhul
Darmogandhul kerangka ceritanya adalah Tanya jawab antara Ki Kalamwadi
dengan muridnya yang bernama Darmogandhul, yang menceritakan jatuhnya kerajaan
Majapahit karena serangan orang-orang Islam pimpinan Raden Patah dan panglima perangnya
Sunan Kudus dan Sunan Ngudung. Raden Patah adalah anak raja Majapahit ketika
itu yaitu Prabu Brawijaya.[35]
b. Isi suluk Darmogandhul
adalah sebagai berikut:
• Pupuh 1 Darmogandhul 58
bait
Pupuh ini menceritakan raja Majapahit terakhir ayahanda Raden Patah yang
bernama Prabu Brawijaya yang mempunyai permaisuri dari Cempa. Kemenakan
permaisuri yang bernama Sayid Rahmat diberi tanah di Tuban dan dijadikan
adipati di sana serta diberi kebebasan menyiarkan agama Islam. Putra raja
dengan ibu Palembang yang bernama Raden Patah dari tanah Demak dijadikan
adipati disana serta diberi kebebasan menyiarkan agama Islam. Ada juga yang
menceritakan perdebatan antara Sunan Bonang atau Raden Rahmat dengan jin yang
bernama Ki Buta Locaya.
• Pupuh 2 Asmarandana 88
bait
Pupuh ini meneruskan cerita tentang Sunan Bonang dengan jin Nyi Plencing
dan jin Ki Buta Locaya. Di antara isinya menceritakan terjadinya beberapa nama
desa di daerah Kediri yang dilalui Sunan Bonang. Di antara nama-nama desa itu
adalah desa Gedhah dan desa Kewanguran.
• Pupuh 3 Dhandhanggula
52 bait
Pupuh ini berisi cerita perintah Prabu Brawijaya untuk mengusir orang
Islam dari wilayah Majapahit dan perintah penyerbuan ke Giri yang di tempati
Sunan Giri yang masih kemenakan permaisuri raja yang nama aslinya Sayid Rahmat.
Giri akan diserang karena dianggap membahayakan kekuasaan Majapahit.
• Pupuh 4 Pangkur 86 bait
Diantaranya berisi serbuan kaum muslimin ke Majapahit di bawah pimpinan
Raden Patah yang di akhiri dengan kekalahan Majapahit. Prabu Brawijaya
meloloskan diri lari meninggalkan istana menuju wilayah timur ke Blambangan
yang diikuti oleh keponaknnya yang bernama Sabdapalon dan Nayagenggong.
Terakhir, juga menceritakan keterangan bahwa rakyat Majapahit masuk Islam.
• Pupuh 5 Sinom 43 bait
Nyi Ngampe Gading memperingatkan Raden Patah bahwa penyerbuannya ke
Majapahit itu salah dan mengkhawatirkan. Karena Prabu Brawijaya mempunyai anak yang bernama Bathara Katong,
Adipati Ponogoro. Juga mempunyai menantu yang bernama Adipati Andayaningrat,
Adipati Pengging. Keduanya sakti-sakti. Disamping itu Prabu Brawijaya juga
banyak mempunyai sahabat di tanah seberang. Oleh karena itu, dinasehatkan agar
mencari Prabu Brawijaya dan mengembalikan tahta ke kerajaan serta meminta maaf
kepada Sang Prabu.
• Pupuh 6 Dhandhanggula
Diantara isi pupuh ini adalah wejangan Sunan Bonang kepada Raden Patah
untuk memantapkan sikapnya melawan Majapahit, walaupun Prabu Brawijaya itu
adalah ayahnya sendiri. Karena perjuangan Raden Patah adalah perjuangan melawan
kekufuran. Juga berisikan keterangan tentang dukungan Sunan Giri terhadap Raden
Patah. Berisi juga cerita perjalanan Sunan Kalijaga melacak kepergian Prabu
Brawijaya serta bagaimana Sunan Kalijaga membujuk Sang Prabu untuk kembali ke
Majapahit.
• Pupuh 7 Sinom
Diantara isi pupuh ini adalah cerita tentang perjumpaan Sunan Kalijaga
sebagai utusan Raden Patah dengan Prabu Brawijaya di Blambangan. Subab Kalijaga
membujuk Prabu Brawijaya untuk mau kembali ke Majapahit dan mau memeluk agama
Islam. Untuk itu Sunan Kalijaga menerangkan syarat-syarat masuk Islam dan
bagaimana kalau sudah masuk Islam, apa yang harus dikerjakan, apa yang tidak
boleh dikerjakan dan lain sebagainya. [36]
• Pupuh 8 Pangkur
Prabu Brawijaya mengajak abdi pengawalnya yang bernama Sabdapalon dan
Nayagenggong untuk bersama-sama masuk agama Islam. Sabdapalon dan Nayagenggong
yang merupakan penjelmaan makhluk halus penguasa pulau Jawa itu tidak mau dan
malah menerangkan bahwa agama yang sudah dipeluknya, yaitu agama Budha Jawa
adalah agama yang sesuai untuk orang Jawa dan tidak kalah baik dengan agama
Islam. Argumentasi tersebut menggoyahkan keyakinan Prabu Brawijaya yang tadinya
sudah cenderung meyakini Islam. Selanjutnya, juga menceritakan tentang Sunan
Kalijaga meninggalkan Blambangan menuju Ngampelgadhing sambil menceritakan
asal-usul nama Banyuwangi.
• Pupuh 9 Asmarandana
Prabu Brawijaya dari Ngampelgadhing berkirim surat kepada Sultan Demak
mengundangnya agar dating ke Ngampelgadhing. Karena Sultan Demak tidak segera
datang, kepada ayahandanya di Ngampelgadhing, maka sang ayah yaitu Prabu
Brawijaya meramalkan (nyedakake) bahwa Raden Patah menjadi penguasa Demak hanya
dua keturunan saja.
• Pupuh 10 Dhandhanggula
Diantara isi pupuh ini adalah menjelekkan orang Islam yang diberi
kebaikan tetapi dibalas dengan menyerbu dan meruntuhkan kerajaan Majapahit.[37]
• Pupuh 11 Mijil
Ki Kalamwadi bercerita tentang kisah Adam dan Hawa yang tidak ada
didalam kitab orang Jawa. Kitab Jawa yang tersisa hanya kitab Manikmaya. Semua
kitab Budha sudah dibakar oleh Sunan Kalijaga. Kemudian, juga menceritakan
tentang pelestarian wayang kulit Oleh Sunan Kalijaga. Yang terakhir,
menceritakan tentang keunggulan agama Budha. Menurutnya, agama inilah yang
cocok untuk orang Jawa, karena sudah dipeluk orang Jawa sejak zaman nenek
moyang meraka.
• Pupuh 12 Khinanti
Pembelaan Darmogandhul terhadap kelebihan agama Jawa, agama Budha. Bahwa, agama
ini sesuai dengan orang Jawa, sedangkan Islam sesuai dengan orang Arab. Agama
Jawa adalah agama Makrifat, sedangkan agama Islam adalah agama Tarekat. Naik
haji ke Mekkah tidak menjamin seseorang untuk masuk Surga. Yang dapat
memasukkan seseorang ke dalam Surga adalah yang mempunyai hati yang bersih dan
jiwa yang bersih.
• Pupuh 13 Megatruh
Pupuh ini berisi penjelasan Ki Kalamwadi tentang tujuan Tuhan menciptakan
agama yang bermacam-macam kepada manusia, agar manusia dapat memilih agama yang
terbaik untuk mereka. Dan untuk orang Jawa, agama Budha lah yang mereka anggap
yang paling baik.
• Pupuh 14 Pucung
Pupuh ini berisi ajaran tentang tugas suami terhadap istri yaitu
memberikan pelajaran agama kepada istri. Kalau sudah baik diusahakan agar lebih
baik. Ki Kalamwadi mengibaratkan suami-istri ini seperti Nahkoda dengan
kapalnya, keris dengan sarungnya. Dijelaskan juga rumah tangga itu harus ada
akar, pari, dan picis (seks, pangan, dan uang).
• Pupuh 15 Asmarandana
Dalam pupuh ini Ki Kalamwadi mengibaratkan rumah tangga dengan yang lain
lagi. Rumah tangga ibaratkan perahu. Suami ibarat satang (penggerak), istri
ibarat kemudi. Penggerak dan kemudi haruslah seirama.
• Pupuh 16 Gurisa
Ki kalamwadi memberikan pelajaran bahwa pengetahuan orang kuno dengan
orang sekarang itu tidak untuk diperbandingkan tetapi untuk dikaitkan. Ibarat
sebatang pohon, maka pengetahuan orang kuno ibarat akarnya yang menghujam
kedalam tanah yang membuahkan pohon yang berdiri. [38]
5. Kitab Serat Wirid
Hidayat Jati
A. Sejarah singkat Kitab
Serat Wirid Hidayat Jati
Serat Wirid Hidayat
Jati merupakan salah satu dari sekian banyak hasil karya pujangga mahsyur
kraton Surakarta Raden Ngabehi Ronggowarsito. Tulisan ini disempurnakan pada
tahun Jawa 1791 atau tahun 1862 yang ditulis dalam bahasa Jawa karma gancaran
(prosa) yang halus dan indah dengan tulisan huruf Jawa. Kemudian dibangun
kembali diantaranya oleh R. Tanoyo yang menyadari dengan dilatinkan, maka mudah
membacanya walaupun belum pasti mudah mengambil pengertiannya. Ada juga orang
lain yang mengubahnya kedalam huruf latin, yaitu Honggoprandoto. [39]
B. Menurut R. Tanoyo Isi Kitab Serat Wirid Hidayat Jati adalah sebagai
berikut: 1.Bebukaning Wirid (pembukuan wirid)
Dalam pembukuan wirid ini antara lain diuraikan sebagai berikut:
a. Persiapan yang harus
dilakukan sebelum pelaksanaan wejangan oleh guru mengenai ngelmu makrifat
kasampurnaning ngaurip, berwujud:
• Guru dan murid
mengambil air wudhu;
• Murid memakai pakaian
yang suci ala penganten;
• Menyediakan srikawin
(sesaji/ maskawin) disertai bunga dan kemenyan;
• Guru dan murid menuju
ketempat wejangan (pemberian pelajaran). Waktunya pada tengah malam, jika suasana sunyi, dan disertai
empat orang saksi yang seperguruan
(seilmu);
b. Uraian secara garis
besar pokok-pokok ajaran yang dipersiapkan sebagai ajaran pendahuluan.
Pokok-pokok ajaran itu ada delapan dalil:
• Wisikan ananing Dzat
(bisikan keberadaan Dzat);
• Wedaran wahananing Dzat
(uraian kejadian Dzat);
• Gelaran kahananing Dzat
(pembentangan keadaan Dzat)
• Pambukaning Tatamalige
ing dalem Baitulmakmur (pembukuan Tahta Mahligai di Baitul Makmur);
• Pambukaning Tatamalige
ing dalem Baitulmuqaddas (pembukuan Tahta Mahligai di Baitul Muqaddas);
• Santosaning imam
(keteguhan imam);
• Sasahidan (kesaksian);
c. Amarah patrape praboting
ngelmu. Pasal ini memuat penerapan penyatuan dengan Dzat Tuhan. Dalam hal ini
diuraikan tentang:
• Pamuja (pemujaan);
• Tobat (taubat);
• Pangruwat (perawatan);
• Saksi ing Dzat kita
(saksi didalam Dzat kita);
• Angawinake badan karo
nyawa (mengawinkan badan dengan nyawa);
• Sangkan paraning
tanazul taraqqi (asal usul dan tujuan tanazzul dan taraqqi);
• Pemberat asaling cahyo
(menghilangkan asalnya cahaya);
d. Siswa diberi perjanjian bahwa
selama gurunya masih hidup tidak diperkenankan berdiri sebagai guru, perjanjian
demikian dikritik oleh Bratakesawa dalam SERAT I.T.M.I sebagai alat akal-akalan
menutup kurang sempurnanya pengetahuan guru.
e. Selamatan sebagai penutup wejangan.
2. Uraian tentang syarat dan kewajiban guru dan murid.
3. Babaring wirid kang awama murad lan maksud (terbukanya maksud dan
tujuan yang dinamakan wirid). *lihat poin b
4. Macam-macam wejangan dari para guru, yang mencakup lima macam ialah:
• Wejangan guru yang menguraikan tentang apa yang dinamakan “rahsaning
ngelmu wisikan ananing Dzat’’ (rahasia ilmu tentang tanda-tanda Dzat);
• Wejangan guru yang menguraikan tentang apa yang dikatakan “rahsaning
ngelmu wedaran wahananing Dzat” (rahasia ilmu tentang tanda-tandaDzat);
• Wejangan guru yang menguraikan tentang “rahsaning ngelmu gelaran
kahananing Dzat” (rahasia ilmu tentang keadaan Dzat);
• Wejangan guru yang menguraikan “rahsaning ngelmu kayektening kahanan”
(rahasia ilmu tentang hakikat keadaan);
• Wejangan guru yang menguraikan “rahsaning ngelmu saha santosaning
imam” ( rahasia ilmu serta kuatnya imam).
5. Perjalan kembali kepada Tuhan.
6. Pasal selanjutnya membicarakan segala sesuatu yang akan terjadi pada
zaman karamatullah. Di waktu itu manusia sempurna dipandang sebagai kembali
kealam uluhiyah dengan melalui:
•Alam ruhiyah;
•Alam siriyah;
•Alam nuriyah;
•Alam nuriyah luhur;
•Alam uluhiyah;
•Alam uluhiyah luhur;
•Alam uluhiyah paling luhur.[40]
7.Wewarah (ajaran) Hidayat Jati
Didalam ini dijelaskan tentang “sangkan paraning manungsa” yang berarti
ajaran tentang asal usul serta tujuan hidup manusia. Secara ringkas dikatakan
bahwa setiap setiap manusia di dunia ini pada hakikatnya adalah Dzat Tuhan. Di
samping itu dalam pembahsan ini dijelaskan tentang tata cara menekung atau
semedi yang katanya merupakan wasiat dari Panembahan Senopati, salah seorang
raja Mataram.
8.Tanda-tanda kematian
Akan datangnya kematian sedari masa yang jauh sampai dekat proses
kematian bahkan sampai proses kematiannya serta bagaimana cara menghadapinya.[41]
E. INTERAKSI KEPERCAYAAN ORANG JAWA DENGAN AGAMA-AGAMA LAIN
·
Interaksi kepercayaan orang Jawa dengan Agama Hindu
dan Buddha
Pengaruh Hindu dan Buddha yang paling mengakar dalam
kehidupan orang Jawa terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur cukup kental,
karena Hindu Buddha memberikan alat tulis, perhitungan tahun Saka, serta sastra
yang mengandung filsafat keagamaan beserta ajaran mistik yang cukup halus.
Artinya, Hinduisme memberikan dan mengangkat budaya intelektual selapis suku
Jawa dan melahirkan kerajaan-kerajaan besar dengan budaya religi animism dan
dinamisme yang asli dan telah mengakar dengan berbagai macam tradisi dan aturan-aturan
(hukum) adatnya.
Agama Hindu-Buddha menguasai pulau Jawa selama delapan
abad dan agama itu memang mempengaruhi kepercayaan manusia Jawa terhadap
gunung. Tempat bergunung-gunung sepanjang sejarah agama ini dipakai sebagai
tempat semedi. Simbolisme agama Hindu dalam kepercayaan manusia Jawa memang
kuat sekali.
Sebenarnya agama Hindu-Buddha tidak mematikan budaya
Jawa asli akan tetapi sebaliknya justru memupuk dan menyuburkannya. Tidak hanya
itu, Hinduisme meningkatkan filsafat hidup dan wawasan tentang alam raya
beserta teori-teori kenegaraan yang dipengaruhi oleh raja-raja yang keramat
sebagai wakil para dewa untuk mengatur kehidupan masyarakat yang diberkati para
dewa. Oleh karena itu, Hinduisme kemudian mengakar dalam dan menjadi penyangga
kebudayaan priyayi kejawen yang menjulang di lingkungan istana
kerajaan-kerajaan. [42]
DAFTAR PUSTAKA
1. Koentjoroningrat,19977”system gotong royong
dan jiwa gotong royong“.dalam berita antropology,Jakarta
2. Jamil,Abduldkk,islam &kebudayaan Jawa,yogyakarta:Gama
Media 2002
3. Dr, Abdullah Ciptoprawiro, Filsafat Jawa,
Balai Putaka, 2000
4. Sutardjo,Imam.2010.Kajian Budaya
Jawa.Surakarta: Jurusan Sastra Daerah FSSR UNS
5. http://s-moc.blogspot.co.id/2012/12/agama-dan-kepercayaan-orang-abangan-di.htmlt-jawa/.
Diakses pada tanggal 5-4-2016.
6. Andrew Beatty, 2001, Variasi Agama di Jawa
Suatu Pendekatan Antropologi,
Jakarta, Raja Grafindo
7. http://buletinmadubranta.blogspot.co.id/2012/03/dukun-beserta-kemampuannya.html.di akses pada tanggal 5-06-2016.
8. http://oetjoepz.blogspot.co.id/2012/01/adat-perkawinan-orang-jawa-yang-kental.html
9. Mulder, Nieles.1973”kepribadian jawa dan
pembangunan nasional”.yogyakarta;Gadjah mada University Press
10. http://www.jagadkejawen.com/index.php?option=com_content&view=article&id=7&Itemid=7&lang=id.
Di akses pada tanggal 5-06-2016
11. Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, Gramedia
Pustaka Utama, 2003
12. http://tjokrosuharto.com/id/content/8-upacara-tingkepan.
diakses pada tanggal 5-06-2016
13. https://v3maximillion.wordpress.com/2012/07/19/makna-simbolis-tradisi-slametan-kematian-bagi-masyarakat-penganut-islam-kejawen/.
Diakses pada tanggal 5-06-2016
14. Drs. Romdon, MA. Ajaran Ontologi Aliran
Kebatinan hal.68-70
15. http://googleweblight.com/?lite_url=https://alifbraja.wordpress.com/about/serat-wulangreh-putri.
diakses pada tanggal 6 april 2016 22:00 WIB
16. Clifford Geerz, “ Abangan, Santri, Priyai
dalam masyarakat Jawa “, terj. Aswab Mahasin, Jakarta : Dunia Pustaka Jaya,
1983
17. http://googleweblight.com/?lite_url=http://m.kompasiana.com/bernad/religi-orang-jawa-masa-akulturasi-budaya-jawa-agami-jawi-gerakan-mistik-magic-ilmu-kebatinan-serta-memahami-konstruksi-sosial-tradisi-islam-lokal.
diakses pada rabu, 6 april 2016 waktu 22:30
[1] Koentjoroningrat,19977”system gotong royong dan jiwa gotong
royong“.dalam berita antropology,jakarta
[2] Andrew Beatty,
2001, Variasi Agama di Jawa Suatu Pendekatan Antropologi,
Jakarta, Raja Grafindo
[5] Mulder,
Nieles.1973”kepribadian jawa dan pembangunan nasional”.yogyakarta;Gadjah mada
University Press
[9] Clifford Geerz, “ Abangan, Santri, Priyai dalam masyarakat Jawa “,
terj. Aswab Mahasin, ( Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1983 ), Hal. 13
[10] Clifford
Geerz, “ Abangan, Santri, Priyai dalam masyarakat Jawa “, terj. Aswab Mahasin,
( Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1983 ), Hal.14
[11]
https://karlinasetiyanti.wordpress.com/budaya-jawa/pranata-upacara-selamatan-masyarakat-jawa/.
Diakses pada tanggal 5-4-2016.
[12] Clifford Geerz, “ Abangan, Santri, Priyai dalam masyarakat Jawa “,
terj. Aswab Mahasin, ( Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1983 ), Hal : 16
[13] Clifford
Geerz, “ Abangan, Santri, Priyai dalam masyarakat Jawa “, terj. Aswab Mahasin,
( Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1983 ), Hal : 17
[14]
https://karlinasetiyanti.wordpress.com/budaya-jawa/pranata-upacara-selamatan-masyarakat-jawa/.
Diakses pada tanggal 5-06-2016
[16] Clifford Geerz, “ Abangan, Santri, Priyai dalam masyarakat Jawa “,
terj. Aswab Mahasin, ( Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1983 ), Hal : 109
[17]Clifford Geerz,
“ Abangan, Santri, Priyai dalam masyarakat Jawa “, terj. Aswab Mahasin, (
Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1983 ), Hal : 116
[18]
http://buletinmadubranta.blogspot.co.id/2012/03/dukun-beserta-kemampuannya.html.
di akses pada tanggal 5-06-2016.
[19] Clifford
Geerz, “ Abangan, Santri, Priyai dalam masyarakat Jawa “, terj. Aswab Mahasin,
( Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1983 ), Hal : 116
[20] Clifford
Geerz, “ Abangan, Santri, Priyai dalam masyarakat Jawa “, terj. Aswab Mahasin,
( Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1983 ), Hal : 123
[22]
http://www.jagadkejawen.com/index.php?option=com_content&view=article&id=7&Itemid=7&lang=id.
Di akses pada tanggal 5-06-2016
[24] http://www.jagadkejawen.com/index.php?option=com_content&view=article&id=7&Itemid=7&lang=id.
Di akses pada tanggal 5-06-2016
[25] Clifford
Geerz, “ Abangan, Santri, Priyai dalam masyarakat Jawa “, terj. Aswab Mahasin,
( Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1983 ), Hal : 48
[26] Clifford
Geerz, “ Abangan, Santri, Priyai dalam masyarakat Jawa “, terj. Aswab Mahasin,
( Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1983 ), Hal : 50
[28] Clifford
Geerz, “ Abangan, Santri, Priyai dalam masyarakat Jawa “, terj. Aswab Mahasin,
( Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1983 ), Hal : 91
[29]
https://v3maximillion.wordpress.com/2012/07/19/makna-simbolis-tradisi-slametan-kematian-bagi-masyarakat-penganut-islam-kejawen/.
Diakses pada tanggal 5-06-2016
[30] http://googleweblight.com/?lite_url=https://alifbraja.wordpress.com/about/serat-wulangreh-putri.
diakses pada tanggal 6 april 2016 22:00 WIB
[42]
http://googleweblight.com/?lite_url=http://m.kompasiana.com/bernad/religi-orang-jawa-masa-akulturasi-budaya-jawa-agami-jawi-gerakan-mistik-magic-ilmu-kebatinan-serta-memahami-konstruksi-sosial-tradisi-islam-lokal.
diakses pada rabu, 6 april 2016 waktu 22:30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar