AGAMA
TRADISIONAL SUKU BATAK
Oleh :
Siti Mahfudzoh : 11140321000038
Binna Ridhatul Shaumi : 11140321000026
Zizi Mubarok : 11140321000022
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr. Wb.
Segala puji bagi
Allah SWT yang telah menganugerahkan nikmat dan karunianya sehingga kita,
manusia merupakan makhluk yang paling utama dan sebaik-baiknya ciptaan dari
makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang lain. Dengan karunia berupa potensi akal
itulah kami dapat mengaktualisasikannya dalam bentuk kecil berupa makalah ini.
Makalah dengan
judul “Ajaran Buddha Dharma tentang Manusia dan Alam” ini adalah makalah untuk
memenuhi nilai tugas kelompok pada mata kuliah Hindu-Buddha di Indonesia dalam
program studi Perbandingan Agama. Makalah ini menghidangkan kepada pembaca
penjelasan singkat tentang ajaran tentang manusia dan juga alam dalam paham
Buddha Dharma.
Selanjutnya,
ucapan terimakasih kami ucapkan kepada semua elemen sosial, fasilitas akademis,
referensi, dan lain sebagainya yang tak dapat kami sebutkan satu persatu, yang
telah banyak membantu kami dalam menyelesaikan tugas mulia ini.
Last but not least,
ucapan maaf juga ringan terucap dari lisan ini apabila pembaca banyak menemukan
kesalahan dalam ranah konten maupun penulisannya. Karena semua yang baik
hanyalah datang dari Allah, dan yang buruk datangnya dari setan, dan kami
manusia hanyalah korban.
Billahit taufiq
wal hidayah
Wassalamu’alaikum
Wr. Wb.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................... 1
DAFTAR ISI ...................................................................................................... 2
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................................... 3
B. Tujuan Masalah .................................................................................................. 3
C. Rumusan Masalah .............................................................................................. 3
BAB II PEMBHASAN
A. Asal-Usul Suku Batak.........................................................................................
4
B. Filsafat Batak ................................................................................................... 6
C. Sistem Kekerabatan dan Silsilah
...................................................................... 10
D. Upacara Adat dan Keagamaan ........................................................................ 24
E. Struktur Keagamaan..........................................................................................
32
F. Mitologi Batak..................................................................................................
33
G. Interaksi Orang Batak dengan Agama-agama Lain ........................................... 38
A. LATAR
BELAKANG
Indonesia
adalah sebuah negara yang kaya akan suku. Salah satu dari suku yang banyak itu
ialah suku Batak, yang pada mulanya berdiam di pinggiran danau Toba, Sumatra
utara, Indonesia. Suku ini dikenal memiliki sejumlah kebudayaan yang sejajar
dengan kebudayaan suku bangsa yang lain.
Dari
semua unsur kebudayaan yang dimiliki suku bangsa Batak, ia menampakkan ciri
kebudayaan yang khas jika dibandingkan dengan kebudayaan suku bangsa lain di
Indonesia, ia memiliki sistem kekerabatan, adat, hukum, dan sistem kepercayaan,
keagamaan yang berbeda dengan suku bangsa yang lain. Kebudayaan Batak dalam
proses awal perkembangannya telah banyak dipengaruhi oleh budaya-budaya asing.
Dalam
makalah ini kami akan memaparkan kepercayaan-kepercayaan suku Batak khususnya
agama Malim, yang sangat kaya akan tradisi dan ajaran-ajarannya.
B. TUJUAN
MASALAH
Untuk
mengetahui asal-usul dan perkembangan Batak, Mitologi Batak, Kepercayaan dan
Tradisi Keagamaan masyarakat Parmalim, dan interaksi kepercayaan orang Batak
dengan agama-agama lain.
C.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana mitologi Batak dan jenjang
kehidupan manusia zaman keberhalaan?
2. Bagaimana asal-usul dan perkembangan
kepercayaan parmalim?
3. Bagaimana kepercayaan parmalim dan
ajaran-ajarannya?
4. Bagaimana upacara keagamaan dan
kepercayaan parmalim?
5. Bagaimana interaksi kepercayaan orang
Batak dengan agama-agama lain?
BAB II PEMBAHASAN
A. ASAL-USUL
SUKU
BATAK
Orang Batak adalah salah satu suku di
Indonesia yang tinggal di provinsi Sumatera Utara. Orang Batak tinggal di
dataran tinggi Bukit Barisan sekitar danau Toba. Pada tahun 1991 jumlah orang
Batak diperkirakan mencapai tiga juta orang. Pada saat itu penduduk Indonesia
adalah 180.000.000 orang. Dengan demikian, Batak merupakan suku terbesar
keempat setelah orang Jawa, Sunda dan Bali.
Suku-suku di Indonesia dengan pengecualian beberapa
daerah di provinsi bagian Timur, menurut kelompok bahasa Austronesia.[1]
Mereka berasal dari daerah Yunan (Cina Selatan) dan melalui Vietnam menyebar ke
Asia Tenggara sekitar abad ke-8 dan ke-7 sebelum Masehi. Hal ini terjadi karena
migrasi dan hubungan perdagangan.
Sebagian
kelompok ini tiba di Tanah Batak . pada saat itu terjadi sedang ada pembersihan
hutan di dataran tanah tinggi Batak Toba pada tahun 5000 SM. Sejak tahun 2000
SM , masyarakat pulau Jawa dan Sumatera mulai mencari tempat tinggal di sekitar
danau. Mereka melakukan itu karena alasan kesehatan. Para migran pada masa ini
diperkirakan sudah mengenal hasil-hasil pertanian yang masih sangat sederhana.
Orang
Batak pada masa ini telah mempunyai kultur. Mereka sudah mengenal kultur Neolitis[2].
Tak hanya itu, mereka juga mendapat pengaruh dari kultur Dongson dari Vietnam .
pada masa ini sudah mulai memasuki tahapan berikutnya setelah kultur neolitis.
Di sini sudah ditemukan alat pertanian seperti pacul, pembajak sawah dan sistem
pengairan sudah dikenal. Artinya, sudah terlihat progres dalam intensifikasi
pertanian.
Orang
Batak mempunyai kultur yang memiliki kesamaan dengan bangsa Proto-Melayu. Dalam
religi mereka, orang Batak memuja-muja roh nenek moyang mereka dan
kekuatan-kekuatan alam yang memiliki peranan penting dalam seluruh aktivitas
keturunan mereka. Sistem keturunan mereka adalah patrilinear dan struktur
sosialnya diatur oleh perkawinan kemanakan a-simetris.
Di
Indonesia orang Batak dikenal sebagai migran. Orang Batak dikenal sebagai migran
yang sukses. Tempa mereka bermigran adalah ke Jakarta. Di sana mereka mempunyai
posisi yang penting, meskipun jumlah mereka di Jakarta adalah minoritas.
Semua
orang batak yang lain ialah berasal dari suku Batak Toba. Hal itu dikarenakan
jumlah generasi dalam silsilah orang Batak, silsilah orang Batak Toba lebih
panjang dari kelompok Batak lain.
Orang
Batak Toba tinggal di sekitar Danau Toba dan bagian selatan Danau Toba, yang
menurut daerah administratif Negara
Kesatuan Republik Indonesia masuk dalam kabupaten Tapanuli Utara. Di sebelah
barat Danau Toba terletak Gunung Pusuk Buhit, gunung yang suci untuk orang
Batak Toba sebab menurut mite penciptaan di kaki gunung inilah si Rajabatak
manusia pertama Batak mendirikan kampungnya (huta), yaitu Sianjurmulamula yang menjadi awal semua kampung orang
Batak.
Orang
Batak Toba hidup dengan bermata pencaharian sebagai petani. Oleh karena itu
mereka hidup di dekat danau sebab disanalah mereka mendapatkan air yang
diperlukan agar tanah dan sawahnya menjadi subur. Mereka hidup dalam ruang yang
terbatas dan terisolasi di lembah. [3]
Namun,
seiring dengan berjalannya waktu orang Batak Toba ini bermigrasi ke beberapa
daerah. Menurut statistik Sumatera Utara 1985, jumlah orang Batak Toba ada
sekitar 700.000 jiwa. Tetapi ini hanya dari Tapanuli Utara. Menurut Spaan
jumlah orang Batak Toba yang tinggal di luar daerah Batak Toba ada sekitar 40
%. Tahun 1930 sebanyak 30.000 orang Batak Toba berangkat ke Pematangsiantar,
daerah Batak Simalungun. Pada tahun 1950-1956, keluarlah orang Batak Toba dari
daerah mereka menuju Sumatera Timur sebanyak 250.000 orang.
Migrasi
orang Batak Toba itu sudah lama sebelum kelompok migrasi yang disebut di atas.
Hanya pada waktu sebelumnya jumlah penduduk yang bermigrasi tidak sebanyak
seperti jumlah yang disebutkan di atas. Tempat bermigrasi mereka pun belum
terlalu jauh, melainkan hanya bermigrasi kepada sub suku Batak lainnya. Migrasi
ini adalah mekanisme orang Batak untuk mendirikan kelompok (marga) yang baru
dan mengatasi kepadatan penduduk.
Dengan
demikian walaupun orang Batak Toba pada awalnya terisolir, namun mereka
melakukan migrasi ke beberapa daerah. Mekanisme migrasi mereka ialah untuk
mendirikan marga yang baru dan sebuah strategi mengurangi kepadatan penduduk di
daerahnya. Pada akhirnya mereka dikenal sebagai migran yang sukses.
B. Filsafat Batak
1.
Filsafat
tentang Ulos dan Mangulosi
Ulos adalah semacam kain tenunan khas
Batak yang berbentuk selendang dan mangulosi artinya memberi ulos. [4]
Sebuah filsafat Batak berbunyi : Ijuk
Pangihot ni hodong, Ulos pangihot ni holong.
Artinya: ijuk ialah pengikat pelepah
pada batangnya dan ulos ialah pengikat kasih sayang antara orang tua dan
anak-anak atau antara seseorang dengan orang yang lain.
Orang tua-tua dalam suku Batak
menerangkan bahwa mangulosi itu adalah suatu bagian penting dalam adat Batak.
Mangulosi artinya memberi ulos kepada seseorang. Hal ini memiliki tujuan. Dalam
pandangan orang Batak ada tiga unsur essential untuk dapat hidup, yaitu darah,
nafas, dan panas.
Orang Batak pada saat itu tidak
memikirkan darah dan nafas, namun hanya memikirkan panas. Panas menurut mereka
tidak cukup hanya dengan matahari.
Ulos memiliki beberapa fungsi. Pertama,
memberikan panas yang menyehatkan badan dan menyenangkan perasaan yang membuat
kita gembira dan bersuka ria. Kedua, memberi panas yang menyegarkan badan. Oleh
karena itu, istilah mangulosi dalam kehidupan sehari-hari diartikan sebagai
menyelimuti supaya panas dan jangan kedinginan.
Menurut orang Batak jiwa atau tondi
harus diulosi. Tondi manusia harus diulosi agar menjadi keras (pir). Tondi atau
jiwa yang pir (keras) bagi laki-laki agar memiliki kejantanan dan kepahlawanan
dan wanita memiliki sifat-sifat ketahanan melawan guna-guna dan kemandulan.
Dengan demikian, mengulosi pada zaman
dahulu memiliki dua tujuan. Pertama, mamberi panas kepada tondi orang yang
diulosi. Kedua, memberikan dia alat memanaskan badannya yang juga dapat
dipergunakan sebagai pakaian untuk mengahdiri pesta-pesta adat.
Dalam mangulosi ini dilakukan pada
waktu-waktu tertentu tidak sembarangan. Waktunya ialah pada waktu
pekerjaan-pekerjaan adat, seperti mengawinkan anak, memasuki rumah, menghormati
orang yang meninggal dan lain-lain.
Mengenai orang yang mengulos ini pun
memiliki aturan. Aturan yang utama kita hanya boleh mangulosi kepada orang yang
di bawah kita dalam tali kekeluargaan. Begitu pula macam ulos yang diberikan
pun tidak sembarangan. Masing-masing memiliki aturan. [5]
2.
Filsafat
Dalihan Na Tolu
Dalihan Na Tolu yang disebut juga dengan
Dalihan na Tungku Tiga yang selanjutnya akan disingkat dengan DNT, adalah suatu
ungkapan yang menyatakan satuan hubungan kekeluargaan pada suku Batak. Di dalam
DNT terdapat tiga unsur kekerabatan yang sama dengan tungku sederhana dan
praktis yang terdiri dari tiga batu. Ketiga unsur tersebut ialah:
1.
Dongan
Sabutuha (teman semarga)
2.
Hula-hula
(keluarga dari pihak istri)
3.
Boru
(keluarga dari pihak laki-laki menantu kita)
DNT ini memiliki peranan yang sangat
penting dan tak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Orang tidak dapat
hidup dengan baik dan wajar tanpa Dalihan. Hubungan kekeluargaan pun yang
disebut DNT tidak dapat dipisahkan dari penghidupan sehari-hari orang Batak,
sejak lahir hingga akhir hayatnya. DNT lah yang menjadi dasar filsafat dan
dasar yang kokoh bagi hubungan sosialnya dan interrelasi[6]
orang Batak. Berdasarkan DNT itulah akan muncul status, fungsi dan sikap
sosialnya orang Batak.
Pada hakikatnya DNT memiliki tiga unsur
seperti yang telah disebutkan. Ketiga unsur tersebut membawakan sifat-sifat
khususnya masing-masing.
a.
Unsur
pertama : Dongan Sabutuha (teman semarga). Tentang dongan sabutuha berlaku
semboyan “sekali dongan sabutuha tetap dongan sabutuha”. Karena kita tidak bisa
berpindah marga sekalipun kita bermusuhan dengan banyak teman semarga kita.
b.
Unsur
kedua : Hulahula (Keluarga dari pihak isteri)
Hula-hula bersifat pekat dan rapuh. Jika
tidak hati-hati dalam tindakan atau perlakuan terhadap hula-hula mudah saja
hubungan yang terjadi dengan hula-hula akan putus. Dan tak dapat diperbaiki
bahan bisa terhapus.[7]
Filsafat Batak mengenai Hulahula :
“Sigaton
lailai do na marhula-hula”. Artinya, serua dengan anak ayam yang waktu
mendapatkan kelaminnya kita memeriksa ekornya. Maka, kitapun harus mempelajari
sifat Hula-hula serta kemauannya dan hasilnya dinamakan sebagai pedoman dalam
pergaulan kita dengan mereka.
c.
Unsur
ketiga : Boru
Boru terbagi dua yaitu
1.
Hela (suami putri kita)
2.
Bere (anak saudara
perempuan kita)
Filsafat Boru pertama berbunyi : ”Bungkulan Do Boru”
Artinya : “Boru” adalah hubungan dalam rumah. Maksudnya dengan filsafat itu
adalah : kalau ada perselisihan di anatara hulahula yang membuat keretakan
diantara mereka itu, maka “boru” lah
yang berkewajiban menghilangkan keretakkan agar kembali kompa dan bersatu.,
serupa dengan balok hubungan rumah yang mengikat dan mempersatukan kedua belah
atap rumah.[8]
Filsafat kedua berbunyi :
“Durung
do boru, tomburan hulahula”
Artinya : Boru itu adalah alat menangkap
ikan dan “hulahula” adalah tempat mengumpulkan dan menyimpan ikan yang telah
tertangkap. Maksudnya : “Boru” itu harus menganggap dirinya berkewajiban benar
menolong “hulahula’-nya dalam segala hal. Terlebih-lebih dalam
pekerjaan-pekerjaan adat. “Hulahula” itu dari pihaknya bole berpendapat bahwa
ia berhak menerma sumbangan dari “Boru” nya.
Subu Batak juga percaya terhadap
beberapa pendapat :
1.
“Obuk do jambulan na nidandan bohen samara,
pasupasu ni hulahula mambahen pitu sundut soada mara”
Artinya : Doa restu “hulahula” dapat
menjauhkan mara bahaya selama tujuh generasi.
2.
“Nidurung situma, terihut porapora; pasupasu
ni hulahula, mambahen na pogos gabe mora”
Artinya : Doa restu hulahula dapa
membuat yang miskin menjadi kaya.
3.
“Hulahula do mula ni mata ni ari binsar”
Artinya : “Hulahula”-lah permulaan
terbitnya matahari untuk kita. Maksudnya, “Hulahula” –lah menjadikan kita dpaat
beristri dan doa restunyalah yang membuat kita berketurunan.
Imbalan yang diberkan kepada hulahula
a)
Imbalan
pertama dinamai “Pauseang”
Ini adala sebidang tanah (sawah) yang
diberkan oeh “hulahula” sebagai imbalan boli yang ditermanya.
b)
Imbalan
yang bernama “panjaean”
Imbalan ini berupa sebidang sawah, juga
yang diberikan “hulahula” kepada boru-nya agar “Boru” dapat berdiri atau
berdikari.
c)
Imbalan
yang bernam “indahan arian” (nasi untuk siang hari) berupa sebidang sawah yang
dapat diminta dan diperoleh “boru” dari “hulahula”-nya untuk anak sulungnya.
d)
Imbalan
yang bernama “andor ni ansimun”
(batang ketimun).
Imbalan ini berupa hewan (kerbau, lembu,
kuda) yang dapat diperoleh “boru” dari “hulahula”-nya untuk anak sulungnya.[9]
C. SISTEM
KEKERABATAN DAN SILSILAH SUKU BATAK
·
Sistem Kekerabatan Suku Batak
Suku Batak tidak
pernah menggunakan garis keturunan ibu (Matrilineal) dalam system
kekerabatannya, melainkan garis keturunan dari bapak (Patrilineal). Kaum
laki-laki menjadi penentu dalam membentuk hubungan kekerabatan, sedangkan
hubungan perempuan disebut sebagai pencipta hubungan kebesanan karena sebab
perkawinan. Dalam organisasi social orang Batak mengenal apa yang disebut dengn
marga. Marga memegang peranan pentig dalam menentukan hubungan kekerabatan masing-masing
individu baik hubungan kekerabatan yang satu marga maupun yang bukan satu
marga. Untuk meneluuri istilah panggilan yang bukan semarga bisa ditelusuri
dari partuturan dari ayah maupun dari ibu. Setelah itu barulah ditentukan
masing-masing. Marga juga berperan penting dalam hal perkawinan. Dalam hal
perkawinan masyarakat menganut pola eksgami marga atau dengan kata lain harus
megawini lingkungan marga lain.
·
Silsilah Suku Batak
Menurut
mitologi penciptaan diketahui bahwa semua orang Batak berasal dari si
Rajabatak. Si Rajabatak memiliki dua putra. Dua putra tersebut ialah Guru
Tateabulan dana Raja Isumbaon. Kemudian dua nama putranya ini menjadi nama dari
dua kelompok besar marga suku Batak, yaitu Lontung
dan Sumba. Dari kedua kelompok marga
inilah lahir marga-marga Batak yang ada pada saat ini.
Banyaknya dan besarnya marga tidak
sama pada setiap kelompok marga. Hal itu tergantung kepada banyaknya keturunan
marga tersebut. hal itu tergantung kepada banyaknya keturunan marga tersebut.
misalnya, pada generasi keempat keturunan Si Rajabatak, marga dari Guru
Tateabulan (Lontung) sudah dibagi dalam dua sub marga, yaitu Lontung dan Borbor
sementara Raja Isumbaon masih hanya mempunyai satu marga, yaitu Sumba[10].
Hubungan
antara marga : Lontung, Borbor dan Sumba.
Si
Rajabatak
A. LONTUNG B. SUMBA
Guru Tateabulan Raja Isumbaon
Sariburaja
Raja
Lontung Anak lain
1. Lontung 2. Borbor 3.
Sumba
Vergouwen
membagi marga dalam empat kelompok yang dimulai dari kelompok paling besar. Dia
memakai kata batang untuk satu
kelompok marga-marga, misalnya batang Guru Tateabulan darimana seluruh
keturunan Lontung berasal. Kemudian menyusul kepala marga, yaitu marga
keturunan Lontung :Situmorang, Sinaga, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang,
Aritonang dan Siregar. Marga ini berdiri sendiri. Setelah itu muncul cabang
marga, misalnya Ruma Hombar dan Si Batu untuk Nainggolan.
Dalam
kelompok marga sendiri secara horizontal mereka mengakui dan mengalami bahwa
mereka berasal dari perut yang sama. Artinya, mereka mengakui bahwa mereka
adalah sedarah. Tidak ada perbedaan antara anaknya dengan anak saudaranya.
Secara vertikal dalam marganya sendiri mereka membuat hierarki di anatara
mereka berdasarkan prinsip yang pertama dalam urutan marga dan yang pertama
lahir dalam marga sendiri. Dengan demikian, keterikatan sedarah ini membuat
orang yang semarga hidup berkelompok.[11]
Setiap
marga mempunyai daerahnya sendiri. Hal ini dilatar belakangi oleh corak
kehidupan orang Batak yang bersifat agraris. Kelompok marga yang pertama
membuka daerah baru disebut marga raja (marga penguasa) atau marga partano ,
yaitu marga pemilik daerah di mana marga itu tinggal. Mereka mendirikan tempat
tinggal di sana yang dinamakan dengan huta. Pertambahan anggota marga juga
mengakibatkan pertambahan huta.
Setiap marga mempunyai
tanah dan setiap daerah adalah milik marga tertentu maka dapat dikatakan bahwa
marga identik dengan tanah di daerah Batak Toba. Marga adalah klen setempat.
Orang Batak Toba meyakini bahwa tanah dengan marga/nenek moyang adalah satu.
Tanah adalah milik marga, maka anggota marga hanya berhak memakai tanah marganya
sendiri. Pada hakikatnya orang Batak tidak mengenal sistem jual beli tanah. Hak
mewarisi tanah ada pada anak laki-laki karena masyrakat Batak menganut sistem
patrilineal. Akan tetapi, jika tidak ada anak laki-laki maka hak pakai kembali
tanahnya kepada marga. Tanah tersebut dapat dipakai oleh orang lain yang satu
marga. Adapun wanita tidak memiliki hak atas pewarisan tanah.
Sebelum seorang bapak
meninggal, ia boleh membagikan sebidang tanah yang disebut panjaean kepada
putra-putrinya yang sudah kawin waktunya bersamaan dengan hari mereka menerima
panjaean dari mertua masing-masing. Boleh juga putra-putra dan putri-putri itu
meminta lagi sebidang tanah yang disebut indahan arian untuk anak sulungnya.
Dengan
keterangan di atas jelaslah bahwa marga menyangkut segala kehidupan masyarakat
Batak Toba. Marga menunjuk kepada keberadaan dan identitas orang Batak Toba.
Marga dapat mengatur pembagian tanah, politik, ekonomi, hukum, religi dan
sosial orang Batak Toba. Mereka bekerjasama dalam pengairan, perang dan berbagai
macam ritus.[12]
D. ASAL-USUL
DAN PERKEMBANGAN KEPERCAYAAN PARMALIM
Kepercayaan Batak sebelum lahirnya agama Malim
Sebelum agama Islam dan
Kristen dan datang ke Tanah Batak, orang Batak.telah mempercayai adanya Tuhan
Yang Maha Esa yang dinamakan Tuhan Debata Mulajadi Nabolon . kepercayaan yang
demikian diperkirakan telah berlangsung lama yakni sejak dari Siraja Batak.
Tetapi, meskipun kepeercayaan ketuhanan telah tumbuh begitu lama dalam
masyarakat Batak namun kepercayaan ini telah tumbuh begitu lama dalam masyarakat
Batak namun kepercayaan ini belumlah dinamakan sebagai sebuah agama seperti
nama agama Malim yang ada sekarang ini. Walaupun pada masa itu masyarakat Batak
dapat dikatakan tidak beragama (pagan), namun seluruh kehidupan pribadi dan
sosial orang Batak telah diresapi oleh konsep keagamaan.
Paganisme orang Batak
adalah campuran dari kepercayaan keagamaan kepada Debata, pemujaan, pemujaan
yang bersifat animisme terhadap roh-roh yang sudah meninggal dan dinamisme.
Ketiga unsur keagamaan ini saling berhubungan dan selalu ada setiap acara adat
istiadat.
Dalam kepercayaan
paganisme orang Batak Debata Mulajadi Nabolon merupakan Tuhan Yang Maha Esa.
Dia adalah pencipta dan Maha Kuasa yang tidak berawal dan tidak berakhir. Sifat
yang dimiliki oleh Debata disebut Ompu Rajamulamula dan Ompu Rajamulajadi.
Dalam kepercayaan
Batak, ketiga Debata yang digabung namanya menjadi Debata Natolu (Debata yang
tiga) tidak jelas secara terperinci apa kedudukan dan tugas masing-masing dalam
keberadaannya di tengah kosmos, walaupun dalam setiap upacara keagamaan seperti
pesta bius nama ketiga dewa itu dipanggil dalam do’a (tonggo-tonggo). Berbeda
dengan agama Malim masing-masing dewa ini memiliki kuasa.[13]
Semua kuasa supranatural yang diketengahkan di atas
pada zaman dahulu mereka selalu dihormati atau disembah melalui upacara
disetiap lembaga bius. Adapun lembaga
bius[14]
dipimpin oleh mereka yang dipilih dari Raja-raja Horja, akan tetapi pemimpin
bius itu sifatnya sementara. Dia hanya diangkat untuk pemimpin suatu rapat
balon besar dan seluruh penduduk diwajibkan hadir.
1.
Peresmian Agama Malim
Menurut kepercayaan agama Malim, ajaran
keagamaan itu dibawa oleh suruhan atau utusan Debata Mulajadi Nabolon. Suruhan
Debata yang membawa ajaran itu dinamakan Malim Debata.
Ada empat orang yang tercatat sebagai
malim yang diutus Debata kepada suku Batak yaitu Raja Uti, Simarimbulubosi,
Raja Sisingamangaraja dan Raja Nasiak Bagi. Mereka diyakini sebagai manusia
terpilih, dan diutus membawa berita keagamaan secara bertahap selama lebih
kurang 400 tahun. Tetapi pada masa Raja Uti, Simarimbulubosi dan
Sisisngamangaraja ajaran keagamaan itu belum disebut dengan nama agama. Mereka
yang tercatat sebagai Malim Debata disebut sebagai orang yang memiliki harajaon
malim ( kerajaan Malim) di Banua Tonga.(bumi).
Raja Uti adalah seorang pemimpin umat
yang karismatik dan disegani di zamnnya. Dia tampil di tengah-tenga suku
masyarakatnya pada masa itu dlam keadaan kacau yang ditandai dengan terjadinya
kekacauan sosial sesama suku Batak, dan ketika itu suku Batak mengalami goncangan
kepercayaan kepada Debata dan mengubah kepercayaannya kepada Sipelebegu
(menyembah roh-roh) atau disebut dengan paham animisme. Kemudian muncullah dia
sebagai Malim Debata dengan tujuan menyelamatkan manusia dan mengembalikan
kepercayaan Debata. Ialah yang pertama membentuk ajaran “marsuhi ni ampang na opat” (ampang yang bersegi empat atau SUNANO) terdiri dari Tona,
poda, patik, dan uhum yang diyakini ajaran itu telah ada di Banua
Ginjang sebelum diturunkan ke bumi ini.
Setelah itu Debata mengutus Tuhan
Simarimbulubosi sebagai malim yang
kedua untuk melanjutkan ajaran yang dibawa Raja Uti. Kedatangannya untuk
memantapkan keimanan suku Batak. Bagi agama Malim kehadirannya adalah berkat
kasih Debata suku Batak ,akan tetapi
setelah Simarimbulubosi meninggalkan umatnya pergi menghadap Natorasna (bapaknya) di Banua Ginjang,
kekacauan sosial muncul kembali yang sama dahsyatnya dengan kekacauan yang
terjadi sebelum Raja Uti. Inti penyebabnya adalah mereka semakin jauh dari
Debata dan berbuat jahat semaunya sehingga masa itu disebut sebagai masa lumlam (jahiliah). Mesipun demikian,
Debata masih memberikan kasihnya kepada suku Batak. Kemudian Debata menurunkan
lagi malim-Nya yang ketiga yaitu Sisingamangaraja dengan maksud agar umatnya
tetap berketuhanan kepada Debata Mulajadi Nabolon.
Kehadiran Sisingamangaraja adalah
mengisbatkan adat, patik, dan uhum (hukum) bagi suku bangsa Batak sebagai
panduan hidup dalam bermasyarakat.[15]
Pada masa Sisingamangaraja XII
penjajahan Belanda mulai datang di tanah Batak. Dalam penyerbuan ke tempat
persembunyiannya Sisingamangaraja XII ditembak mati oleh Belanda. Pihak Belanda
mengumumkan bahwa Sisingamangaraja XII telah gugur pada 21 Juni 1907, tetapi
menurut kepercayaan agama Malim Sisingamangaraja bukanlah mati, karena tidak
lama setelah peristiwa itu tiba-tiba muncul Raja Nasiakbagi tersebar diseluruh
Tanah Batak, yang sebenarnya Sisingamangaraja sudah berubah nama.
Raja Nasiakbagi ini tidak begitu banyak
yang mengenalnya melainkan hanya murid-muridnya, ia tidak memegang kerajaan
melainkan hanya memfokuskan diri terhadap pembinaan rohani umatnya yaitu
mengajarkan hamalimon (keagamaan).
Pada suatu ketika Raja Nasiakbagi memberikan arahan kepada murid-muridnya dan
berkata “malim ma hamu” (malimlah
kamu). Maksudnya “sucilah kamu atau senantiasalah suci dalam keagamaan” sejak
inilah ajaran yang dibawanya resmi dan populer disebut agama Malim.[16]
E.
KEPERCAYAAN
PARMALIM DAN AJARAN-AJARANNYA
a.
Kepercayaan Parmalim
Agama Malim berasal dari dua kata yaitu
“ugamo” dan “malim”. Secara harfiah istilah ugamo bermakna pulungan, atau ambu-ambuan pelean (kumpulan atau ramuan
dari bermacam-macam benda yang dijadikan sebagai pelean atau sesaji). Ramuan
atau pulungan yang dijadikan sebagai sesaji itu kemudian disebut dengan ugamo
atau agama. Sementara kata malim berrmakna ias
(bersih) atau pita (suci). Dengan
demikian secara etimologis pengertian agama Malim adalah “sekumpulan atau
sejumlah pulungan atau ramuan beda-benda pelean yang bersih lagi suci”.
Sedangkan menurut istilah agama Malim, ugamo
atau agama adalah jalan perjumpaan antara manusia dengan Debata melalui sejai
yang bersih lagi suci (dalan pardomuan ni
hajolmaon tu Debata marhite pelean na ias).orang yang masuk dalam agama
Malim disbut parugamo malim (penganut agama malim) yang sering disingkat dengan
parmalim.
Agama malim disebut sebagai jalan
pertemuan dengan Debata. Maksudnya, melalui agama itulah para penganutnya dapat
menjalin hubungan dengan Debata, namun bukanlah berarti agama Malim inilah
satu-satunya agama yang dapat dijadikan sebagai jalan untuk nbertemu dengan
Tuhan Yang Maha Esa. Penganut agama Malim mempercayai mengakui adanya agama
lain yang jumlahnya banyak di atas permukaan bumi dan agama-agama itu
dipercayai berasal dari Debata yang diturunkan kepada manusia yang berlainan
suku dan bangsa. Semua agama itu dijadikan masing-masing pemeluknya sebagai
jalan pertemuan dengan Debata. Tanpa agama manusia tidak akan dapat mengenal
dan bertemu dengan Tuhan Debata apalagi memperoleh keberkahan dari-Nya.
Ada dua hal yang dituju dalam agama
Malim, pertama pemgahpusam dosa (manopati dosa) dan memohon keberkahan dari
Debata. Kedua, mencari “ kehidupan roh” (hangoluon ni tondi) di sisi Debata
mulai dari sejak manusia mati hingga sampai pada kehiudpan kemudian hari.
b.
Ajaran-ajaran Agama Malim
1.
Konsep Kesucian Diri Menurut Agama Malim
Agama Malim sebagai jalan pertemuan
dimaksudkan bahwa melalui agama inilah para penganutnya dapat melakukan
hubungan dengan Debata baik pada waktu melakukan upacara keagamaan maupun di
luar upacara keagamaan.
Di dalam agama Malim apabila manusia
mengamalkan ajaran dan ibadat maka ia telah memiliki kesucian jiwa (tondi
hamalimon). Artinya pada dirinya telah tertanam ruh atau cahaya kesucian dari
Debata sebagai akibat dari pengamalan ajaran yang sempurna inilah konsep
kesucian diri yang tertinggi. [17]
Untuk sampai kepada kesucian diri
tersebut seseorang harus melewati fase pengamalan agama yang dibawahnya
memiliki pikiran dan perasaan suci (roha hamalimon) dan berkehidupan suci
(ngolu hamalimon) setelah kedua tahap ini dilakukan maka akan sampai pada taraf
kesucian diri, hal ini disebut dengan taqwa. Dalam setiap beraktifitas dirinya
akan selalu terhindar dari dosa dan terhindar darin perbuatan yang merugikan
dirinya dan orang lain.
Orang yang sudah mampu menjaga diri
(mersoalam diri), dan mersolam ngolu ( membatasi diri yang dapat menimbulkan
dosa), dan mampu menahan diri dari rayuan keindahan dunia termasuk mapu berbuat
ikhlas (mersolam tondi) ia akan masuk ke dalam peringkat manusia paripurna
disebut dengan martondi hamalimon (berjiwa kesucian) atau taqwa sejati.
Orang yang memiliki tondi hamalimon
dipercayai bahwa dirinya telah dibungkus dengan tondi Debata yang disebut
dengan tondi parabadia (roh yang suci) ia tidak akan tergoda oleh iblis yang
bisa merajai dirinya, maka ia dicintai oleh Debata. Sebaliknya jika kesucian
dirinya rendah dan perbuatannya bertentangan menyebabkan dirinya menjadi kotor.
2.
Konsep Dosa Menurut Agama Malim
Dosa dalam agama Malim dilukiskan
sebagai perbuatan yang menjijikkan Debata (Pangalaho Hagigion ni Debata), artinya tidak sesuai dengan hukum
Debata. Timbulnya dosa pada diri seseorang
pada hakikatnya berawal dari adanya sifat dan perbuatan jahat
(haangaton) yang dilatar belakangi oleh sifat telalu cinta terhadap dunia atas
dorongan nafsu serakah yang tak terkontrol, sifat seperti ini menyebabkan
manusia lupa terhadap peraturan yang diajarkan oleh Debata. Oleh sebab itu
muncullah perbuatan jahat sehingga terjadilah dosa.[18]
Dalam ajaran Malim ada dua macam dosa,
yaitu dosa yang kecil (na metmet) dan
dosa yang besar (na balga). Dosa yang kecil adalah perbuatan yang dapat digolongkan
kepada perbuatan dosa yang ringan seperti mencuri, menghina dan lai-lain.
Sedangkan dosa yang tergolong besar adalah membunuh orang. Untuk memperoleh
pengampunan dosa kecil dari Debata orang tersebut harus menebus dosa dengan
cara berjanji untuk bertobat pada saat upacara keagamaan. Untuk menebus dosa
besar tidak bisa hanya dengan upacara biasa saja melainkan harus dengan upacara
khusus.
3.
Tata tertib sosial
a.
Dasar peraturan sosial
Peraturan
semata-mata didasarkan atas ikatan kekerabatan, bersifat patrineal atau
mengikuti garis ayah (keturunan hanya diperhitungkan menurut garis ayah).
Kelompok sosial yang pertama adalah
keluarga. Kelompok kedua adalah suatu kelompok kerabat yang meliputi keturunan
adri seorang nenek moyang bersama. Kelompok ini terdapat dari empat atau lima
angkatan. Kelompok ini merupakan kelompok yang paling penting. Kelompok ketiga
adalah suatu kelompok yang terdiri dari enam atau tujuh angkatan keturunan dari
seorang nenek moyang yang sama. Kelompok ini dapat mewujudkan suatu kesatuan
yang lebih besar dengan kelompok-kelompok yang lain sehingga terdiri dari
sepuluh sampai lima belas angkatan.
Bagi
orang yang melakukan dosa besar tidak cukup hanya dengan upacara biasa, tetapi
dengan cara menebus dosa melalui upacara keagamaan khusus disebut dengan mardebata.
b.
Peraturan Perkawinan
Peraturan
perkawinan suku batak adalah perkawinan eksogami, artinya bahwa persekutuan
seksual diantara anggota marga sendiri adalah terlarang. Siapa yang
melanggarnya dianggap telah menodai darahnya. Oleh karena itu, isteri harus
diambil dari marga lain dan istri tetap menjadi anggota marganya sendiri serta
masih mempunyai marganya. Memilih isteri tidak boleh menurut kehendak sendiri.
Tiap kelompok harus memiliki hubungan yang tetap dengan kelompok marga yang
lainnya.[19]
4.
Sumber Hukum ajaran Malim
Kitab suci Parmalim disebut Pustaha Tumbaga Holing. Turunnya kitab
ini seiring dengan kelahiran Tuhan Simarimbulu
Bosi Nabadia (Nabadia suci).
Menurut kepercayaan Parmalim, kitab ini menempel pada badan Tuhan Simarimbulu.
Beberapa keajaiban terjadi saat
Tuhan Simarimbulu Bosi Nabadia lahir, yaitu suasana gelap-pekat dan sedikitpun
tidak ada cahaya. Yang ada hanyalah sinar langit yang menyinari badannya.
Ketika baru lahir, ia langsung bisa duduk dan berbicara. Dengan kesaktiannya
Pustaha yang menepel di badannnya kemudian dipindahkan ke daun. Pemindahan
tersebut berlangsung berkali-kali sehingga terkumpul menjadi satu buku.
Surat
pertama yang terdapat pada Pustaha tersebut adalah
A-Ha-Ma-Na-Ra-Ta-Ba-Sa-Da-Ga-Dja-Ka-Nga-La-Pa.
Huruf inilah yang kemudian menjadi abjad suku Batak.
·
Pustaha Tumbaga
Holing
Parmalim menyatakan diri sebagai agama
asli dari sumatera. Oleh karena itu ia memiliki konsep ajaran yang dapat
diamalkan oleh para pengikutnya. Ajaran-ajaran tersebut merupakan isi dari
kitab Pustaha Tumbaga Holing[20].
Diantaranya adalah :
a) Pemeluknya memuji dan memuliakan
kebesaran Tuhan Yang Maha Esa Debata Mulajadi Nabolon, hormat dan patuh
terhadap Raja Sisingamangaraja XII sebagai utusan dan kasih sayang kepada
sesama.
b) Rajin dan giat bekerja untuk kebutuhan
hidup di dunia sebagai bekal kekuatan jasmani dan rohani.
c) Patuh dan taat aturan hukum Parmalim.
d) Dilarang menghina umat yang hidup
melarat, menyesatkan orang buta dan orang bodoh, baik jasmanai maupun rohani.
e) Menghormati orang tua.
f) Dilarang menghina anak yatim, demikian
kepada orang tua yang tidak mempunyai anak atau keteurunan.
g) Dilarang mencuri, menipu, membunuh
manusia.
h) Dilarang berbuat curang, baik dalam
pemikiran maupun perbuatan.
i)
Dilarang
berzina.
j)
Diwajibkan
bergotong royong, membangun rumah ibadah untuk sembahyang bersama-sama dalam
rangka memuji Tuhan Yang Maha Esa, Debata Mulajadi Nabolon.
k) Dilarang membungakan uang atau sejenisnya,
karena itu hasil keuntungan hanya bisa diperoleh dari perdagangan yang sah dan
halal.
l)
Padi
di sawah tidak bleh dibungakan, demikian pula padi di lumbung dilarang
dilipat-gandakan dengan bunga.
Selain itu di Parmalim ada
larangan-larangan di bidang makanan seperti:
a) Dilarang memakan daging babi, anjing,
tikus, amprodi, kucing dan semua jenis harimau.
b) Jenis unggas (burung), bangau, jenis
elang (burung buas), burung enggang, kelelawar dan sejenisnya.[21]
Kitab
Pustaha Tumbaga Holing ini tidak dijadikan sebagai pedoman. Hal ini dikarenakan
menurut penelitian kitab ini tidak diketahui dimana keberadaannya. Posisinya
sama dengan kitab yang kedua, yaitu Pustaha Hadatuon. Kitab ini tidak dijadikan
sebagai pedoman karena hanya berisi tentang ketabiban yang memuat cara-cara
pengobatan bagi orang yang sakit.
kitab
yang dijadikan sebagai pedoman ialah Pustaha Habonoron. Ditinjau dari segi
isinya Pustaha Habonoron ini terdiri dari tiga bagian. Pertama, berisi
peraturan (patik) yang mengatur hubungan manusia dengan Debata dan manusia
dengan sesamanya. Kedua, peraturan yang berkaitan dengan kerajaan, terutama
pemberian hukuman. Ketiga, berisi tentang peraturan yang berkaitan dengan
pengaturan lingkungan alam sekitar dan pertanian.
Keseluruhan peraturan yang tercakup atau
termuat dalam Pustaha Habonoron ini dijadikan sebagai pedoman hidup dengan
tujuan agar tercipta hubungan yang harmonis antara manusia dengan Debata
Mulajadinabolon. Pada hakikatnya kitab ini juga dapat membuat manusia memiliki
rasa takut kepada Debata. Dengan demikian manusia dapat mengawasi dirinya
sendiri untuk tidak melanggar hukum, sehingga terciptalah ketaatan kepada hukum
yang membawa kepada kedamaian dan keharmonisan dalam masyarakat.
Sumber hukum yang juga dijadikan dalam
pengamalan agama Malim ada empat, yaitu Tona, Poda, Patik dan Uhum. Tona
berarti pesan. Tona dalam agama Malim diartikan sebagai ajaran yang diterima
manusia dari Debata Mulajadi Nabolon. Pertama kali diterima langsung oleh Raja
Ihat Manisia dan Si Boru Manisia.[22]
Di
dalam Tona terdapat dua pesan. Pertama, perkara suruhan/perintah dan larangan
yang boleh dikerjakan dan yang tidak boleh dikerjakan. Kedua, memesankan kepada
manusia agar menjalin hubungan yang baik dengan Debata dan pemilik kerajaan
Malim lainnya. Cara menjalin hubungan yang baik ini ialah dengan berbagai
ritual atau upacara keagamaan. Karena itulah yang dapat menjadi wasilah atau
perantara yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhannya.
poda
ialah sabda atau ucapan yang dikeluarkan dari para malim Debata. Semua pesan
atau ajaran yang keluar dari mereka dianggap sebagai kebenaran Debata yang tak
diragukan lagi kebenarannya.
Patik
secara harfiah berarti peraturan atau kaidah. Patik terdiri dari pasal-pasal
yang mengandung peraturan yang tujuannya untuk mengatur kehidupan manusia.
Patik dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, peraturan yang mengatur
hubungan manusia dengan Debata dan manusia dengan sesamanya. Kedua, peraturan
yang berkaitan dengan hukum dan ketentuan dalam pelaksanaan upacara keagamaan.
Uhum
secara harfiah artinya sama dengan hukum. Yang dimaksud hukum di sini ialah
semua peraturan yang berasal dari Debata maupun dari para malim Debata maupun
adat istiadat suku tersebut. tona, Poda, patik semuanya adalah uhum. Uhum ini
dapat diterjemahkan sebagi sanksi. Uhum tidak pandang bulu. Artinya, semua
orang dalam hukum sama tidak pandang kekayaan maupun kekuasaan. Jika ia
bersalah sekalipun bangsawan ia akan dikenakan hukuman.
F.
UPACARA KEAGAMAAN DALAM PARMALIM
1.
Upacara Mararisabtu
(Ibadat Mingguan pada Hari Sabtu)
Upacara
Mararisabtu adalah upacara yang dilaksanakan sepekan sekali yaitu hari sabtu.
Penetapan hari sabtu sebagai ibadat yaitu karena Siboru Deakparujar menggunakan
hari itu sebagai hari istirahat atau hari tanpa aktivitas[23].
·
Dasar
Hukum Mararisabtu
Dasar
hukum Mararisabtu ini terdapat dalam Patik atau Hukum yang berlaku dalam agama Malim. Yaitu sebagai berikut :
1) Setiap hari sabtu, seluruh penganut
agama Malim wajib berkumpul untuk beribadat di suatu tempat atau majelis yang
sudah ditentukan.
2) Tidak boleh mengerjakan sehari-hari, dan
berdiam diri seharian di rumah masing-masing.
3) Ibadat Mararisabtu dilakukan harus dengan penyertaan sesaji. Dan air
pensucian atau disebut Pangurason yang dipersembahkan melalui pelafalan doa-doa
dengan maksud untuk menebus dosa. Raja Nasiakbagi menetapkan hari sabtu sebagai
hari “berhenti dari pekerjaan”.
2.
Upacara Martutuaek
(Kelahiran Anak)
Sebelum agama Malim diresmikan,
tradisi martutuaek ini sudah ada
sejak dari Siraja Batak, tetapi namanya bukan martutuaek melainkan “Mangharonan”
yaitu menyambut kelahiran. Namun setelah agama Malim diresmikan pada saat Raja
Nasiakbagi berkuasa, Mangharonan ini
berubah status hukumnya menjadi wajib dalam agama Malim, namanyapun berubah
menjadi “Martutuaek” yang artinya
menyambut kelahiran tondi atau ruh.
Upacara ini dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur terhadap Debata Mulajadi
Nabulon.[24]
·
Dasar Hukum Martutuaek
1) Setelah bayi yang lahir genap erumur
satu bulan, barulah boleh ditabalkan namanya dalam suatu upacara yang
ditentukan waktunya.
2) Ibadat ini dilaksanakan dengan
persembahan dupa dan pangurason yang
berisi dua buah jeruk purut. Selain itu ada kain putih yang melambangkan
kesucian.
3) Tidak boleh dibawa bayi yang baru lahir
itu ke mata air sebelum dilaksanakan upacara martutuaek.
4) Apabila keadaan waktu yang membuat
terpaksa anak itu dibawa bepergian dan kebetulan pula melewati mata air, maka
pada waktu pemberian namanya, sia anak tidak perlu lagi dibawa ke mata air
untuk memandikannya.
5) Tidak ada alasan kemiskinan untuk tidak
mentaati aturan agama Malim (martutuaek),
telah tertulis dalam pustaha habonoron
(sumber hukum) yang berbunyi “nipisna mantet neangna, hapalna mantet dokna” artinya
dilaksanakan sesuai kemampuan.
6) Semua upacara agama yang merupakan
aturan (ibadat dalam agama Malim) harus dipimpin oleh pemimpin ritual (ihutan
atau wakilnya) kecuali upacara Mararisabtu.
3.
Upacara Pasahat
Tondi (kematian)
Upacara
pasahat tondi berasal dari dua kata yaitu “Pasahat”
adalah menyampaikan atau menyerahkan, sedangkan makna “tondi” adalah “ruh”. Dengan
demikian pasahat tondi berarti menyerahkan ruh kepada Debata Mulajadi Nabolon.
Sekaligus memohon kepada-Nya agar dosa-dosanya diampuni.[25]
·
Pandangan Malim tentang Kematian
Menurut
kepercayaan Malim, Manusia “hidup” dan dikatakan hidup adalah karena ruh masih
berada di dalam jasmani. Soal tondi adalah urusan Debata dan akan kembali pada
Debata. Ada dua tempat kembali tondi tersebut yaitu jalan simpang menuju dua
kampung, yang satu jalan kenan, itulah surga (huta hanguluon), sedangkan yang satu lagi adalah jalan kekiri yaitu
jalan ke neraka (huta hamatean).
Apabila sudah sampai disalah satu dari keduanya maka disanalah tempat ruh itu
bersemayam selamanya.
Dalam proses penyerahan tondi kepada Debata, Debata telah
mengutus habonaran (malaikat) untuk menjaga dan mengawal tondi yang akan pulang
kepada Debata[26].
·
Dasar Hukum Pasahat
Tondi
1) Tidak boleh menangisi bahkan meratapi
orang yang sedang sakit sekarat serta orang yang sudah meninggal dunia. Hal itu
akan berakibat terhambatnya ruhnya menghadap Debata.
2) Tidak boleh makan di rumah keluarga si
mayat selama jenazah itu belum dikuburkan.
3) Terlebih dahulu tanah kuburan disucikan
dan diberitahu kepada Nagapadohaniaji sebelum tanah itu digali.
4) Jenazah harus dimandikan sampai bersih
dengan beralaskan kain putih. Apabila sudah bersih, maka jenazah itu dibalut
dengan kai putih dan baru kemudian dimasukkan ke dalam peti jenazah.
5) Apabila sudah didoakan agar dihapuskan
dosa-dosanya, jenazah disucikan kembali. Barulah kemudian peti jenazah itu
boleh ditutup dan dibawa ke kuburan.
6) Selama tujuh hari dan tujuh malam, rumah
tempat persemayaman mayat harus isucikan.
·
Adab
terhadap Jenazah
Jika
yang meninggal anak kecil,hukumnya harus segera dikebumikan, tetapi jika yang
meninggal itu orang dewasa, atau lansia maka boleh saja disemayamkan lebih lama
selama tiga hari batas maksimalnya. Dikarenakan supaya kerabat yang dari jauh
atau merantau atau yang sedang bepergian dapat melihat jenazah untuk yang
terakhir kalinya.
4. Upacara
Mardebata (Sembah Debata)
Secara
harfiah, mardebata bermakna “menyembah Debata” menurut istilah adalah, upacara
penyembahan kepada Debata dengan perantaraan sesaji yang bersih yang diantarkan
melalui bunyi-bunyian gendang selengkapnya (gondang
sebangunan) atau gendang kecapi (gondang
hasapi).[27]
·
Dasar Hukum Mardebata
1) Barangsiapa yang lupa tentang patik
patuan Raja Malim (Raja Nasiakbagi) harus ditegakkannya sebuah langgatan atau podium yang didalamnya
berisikan sebuah sitompion. Bersamaan
dengan itu harus dipergelarkan gondang sabangunan dan disediakan juga ayam
jantan dan betina, kambing putih serta lembu stio-tio.
2) Ada upacara mardebata yang sifatnya
sebagai ungkapan rasa syukur atas berkat dari Debata.
5.
Upacara Mangan
Na Paet (Memakan yang Pahit)
Arti
mangan na paet dalam bahasa Batak adalah “memakan yang pahit” , sedangkan
meruut istilah adalah suatu aturan (ibadat) yang wajib diamalkan oleh setiap
warga parmalim pada setiap akhir tahun.
·
Dasar Hukum Mangan
Na Paet
1) Apabila sudah tiba diujung tahun,
tepatnya pada hari 29 dan 12 menurut kalender Batak diharuskan warga parmalim
untuk berkumpul di Bale Pasogit Partonggoan
(di pusat) atau di Bale Parsantian (di Cabang0 untuk beribadat dengan
tujuan “menebus dosa”.
2) Harus diyakini bahwa memang pahit
rasanya akibat dari dosa yang sudah dilakukan mulai dari pangkal tahun hingga
ujung tahun.
3) Disebabkan penderitaan yang dialami dan
juga dosa yang diperbuat sehingga yang pahit itu suatu bukti kesungguhan hati
(menebus dosa dan bertaubat) dalam ibadat mangan
na paet.
4) Tidak boleh memakan segala yang dapat
mengenyangkan perut dan mengerjakan “keinginan diri” termasuk hasrat seksual
selama menjalankan ibadat.
5) Orang yang sudah menebus dosa meskipun
tidak disaksikan oleh orang lain dan menegakkan amal didalam kesucian tuhan,
yakinlah pada hari esok ia akan mendapatkan kehidupan tondi dan sedikitpun tak merasa takut akan cobaan dan ujian yang
akan datang.[28]
6.
Upacara Sipaha
Sada (Kelahiran Simarimbulubosi)
Upacara
Sipaha Sada adalah upacara khusus untuk memperingati hari kelahiran Tuhan
Simarumbulubosi yang jatuh pada hari kedua dan hari ketiga bulan sipaha sada.
·
Dasar hukum Sipaha
Sada
1) Raja Nasiakbagi telah menetapkan bahwa
pada setiap hari kedua dan ketiga bulan Sipaha Sada adalah hari kelahiran
Simarimbulubosi dan diwajibkan memperngati hari kelahira itu. Pada hari itu
Simarimbulubosi menerima somba
(sembah) dari orang yang percaya kepadanya.
2) Dalam acara sipaha sada, harus dibakar
dupa sebagai sanga nonna atau sebagai alat pemanasnya dan diperas Pangurason
untuk air pemandiannya, kain putih sebagai kain pembalutnya serta kain panjang
tenun sebagai kain gendongannya. Pada upacara itu harus dipersembahkan sesaji
kambing putih dan ayam berwarna campur putih sebagai kurban untuk menyambut
hari klahirannya.
3) Pada hari itulah seluruh parmalim
memperingati hari kelahiran semua sahala
marsangap dan sahala martua yang
sudah marsiakbagi (menderita) memperjuangkan dan membina manusia.[29]
7.
Upacara Sipaha
Lima (persembahan Sesaji Besar)
Yaitu
upacara yang rutin setiap tahun dan wajib dilaksanakan selama tiga hari
berturut-turut. Yaitu pada tanggal 12, 13, dan 14 bulan lima atau sipaha lima
yang dipusatkan di Bale Pasogit Partonggoan., Hutainggi.
·
Dasar
Hukum Sipaha Lima
1) Pada bulan Sipaha lima, tepatnya pada
hari boraspatinitangkup (tanggal 12) hingga sarmisarapurasa (tanggal 14) semua
anggota penganut agama Malim baik orang dewasa maupun anak-anak harus berkumpul
di Bale Pasogit Partonggoan, Hutatinggi untuk mempersembahakan sesaji syukuran.
2) Tepat di buhu ni taon bulan yang penuh istimewa) patuan raja Malim menerima sesaji dari
umatnya dengan maksud agar lebih banyak hasil sawah ladang.[30]
8.
Upacara Mamasumasu
(Memberkati Perkawinan)
1) Apabila hendak kawin dengan anak
parmalim, maka dari pihak anak perempuan harus memberikan dua belas rupiah,
sedangkan dari pihak anak laki-laki sebanyak enam rupiah sebagai wujud gambaran
adat yang keduanya diletakkan diatas parbuesanti.
2) Apabila hanya pengantin perempuan yang
anggota parmalim, sedang pengantin laki-laki bukan berasal dari agama Malim
sementara mereka berdua harus dinikahkan dengan tata cara agama Malim, maka
untuk ini pengantin laki-laki harus lebih dulu masuk menjadi penganut agama
Malim dengan memberikan persyaratan yaitu memberikan uang dua rupiah dan kain
putih tujuh hasta yang diletakkan diatas parbuesanti.
3) Apabila pengantin laki-laki saja yang
hanya penganut agama Malim sedangkan pengantin perempuan berasal dari penganut
agama lain, sementara tata cara perkawinan bersikeras dinikahkan menurut agama
Malim, maka perempuan harus lebih dulu memberikan pengakuan lisan menjadi
penganut agama Malim.
9.
Upacara Manganggir
(Pensucian Diri)
Manganggir
adalah upacara yang disamakan dengan salah satu sacrament (baptis). Istilah Manganggir
ini artinya “Jeruk purut” akan tetapi jeruk purut ini selalu digunakan sebagai
bahan pensucian maka upacara ini lazim disebut upacara Manganggir.
G. STRUKTUR ORGANISASI KEAGAMAAN ORANG BATAK
Struktur kepemimpinan hanya terdiri dari
pimpinan pusat dan pimpinan cabang. Pimpinan pusat adalah pim[inan tertinggi
yang diketuai oleh seorang Ihutan. Selain ihutan ada juga pengurus
lain yang terlibat didalamnya. Seperti, sekretaris dan bendahara yang bertugas
membantu dalam menjalankan administrasi
ihutan sebagai pemilik tugas dan tanggung jawab dalam pembinaan anggota
secara keseluruhan. Ia juga sebagai ulama yang banyak mengetahui ajaran-ajaran
dalam upacara tertentu. Ia bertindak sebagai pemimpin upacara.
Pusa administrasi adalah berkedudukan Hutatinggi,
kabupaten Toba Samosir, disanalah semua surat menyurat dicanangkan baik
internal maupun eksternal. Disana pulalah pusat peribadatan agama Malim yang
disebut dengan Bale Pasogit Patonggoan.
Selain dari pimpinan pusat ada juga
pimpinan cabang yang berkedudukan di
tiap-tiap cabang keberadaannya tersebar diseluruh Indoenesia. Pimpinan cabang
diketuai oleh seorang ketua yang disebut Ulupunguan.
Ia dibantu oleh sekretaris dan bendahara, tugasnya memberikan pembinaan
terhadap anggota diperingkat cabang sekaligus sebagai pemimpin upacara dalam
tiap upacara agama di Persantian[31].
Dari segi administrasi, Ulupunguan memiliki tiga tugas yaitu :
·
Melaporkan
secara resmi seluruh anggota dicabangnya secara berkala kepada pimpinan pusat.
·
Melaporkan
jumlah iuran keuangan yang bersumber dari anggota.
·
Melaporkan
keadaan perkembangan cabang dalam hal pengamalan agama dan hambatan-hambatan
lainnya.
Jumlah
Punguan atau cabang hingga sekarang ini tercatat sebanyak 36 cabang yang
tersebar di seluruh indonesia (terutama Sumatra dan Jawa). Sedangkan tujuh lagi
cabang yang hendak didirikan sedang dalam proses peresmian. Adapun dari daerah
yang paling banyak cabangnya daerah kabupaten Toba Samosir.
H.
MITOLOGI BATAK
1.
KOSMOLOGI
1)
PANDANGAN AGAMA MALIM TENTANG ALAM
SEMESTA
Menurut
mitologi agama Malim, Alam jagad raya ini dengan tiga
bagia besar yaitu Banua Ginjang, Banua Tonga, dan Banua Toru. Tiga benua
tersebut dipercayai diciptakan oleh tuhan Debata Mulajadi Nabolon. Adapun yang
pertama kali diciptakan dalah Banua Ginjang (langit) kemudian baru disusul
dengan Banua Tonga (Bumi) dan terakhir Banua Toru (alam bawah).
Banua Ginjang diartikan
dengan langit beserta pengisinya, yang terdiri dari matahari, bulan, bintang
dan planet lainnya. Proses penciptaaannya merupakan rahasia Debata selaku
penguasa.
Setelah banua Ginjang
diciptakan Debata menciptakan sahala ina
dan sahala ama[32].
Setelah sahala ina dan
sahala ama diciptakan Debata kemudian menciptakan pembantunya, yang disebut
sebagai dewa. Pembantunya itu ialah Bataraguru, Sorisohaliapan dan Balabulan
(Debata Natolu). Mereka adalah sumber kepanjangan tangan Debata yang menurunkan
kerajaan Malim kepada manusia.
Bataraguru bertugas
sebagai sumber pemberi keadilan, kesejahteraan, hukum kerajaan, kearifan dan
pengetahuan bagi manusia yang dilambangkan dengan warna hitam. Sorisohaliapan
mengajarkan kesucian, kebenaran, kemuliaan dan dilambangkan dengan warna putih.
Sedangkan Balabulan adalah sumber pemberi kekuasaan, kekuatan dan kesaktian
bagi manusia serta dilambangkan dengan warna merah.
Dari sahala ama dan sahala ina Debata menciptakan Raja Odap-odap dan Nagapadohaniaji.
Mereka tidak memiliki tugas langsung dengan manusia di bumi. Raja Odap-odap
berkedudukan di matahari, sedangkan Nagapadohaniaji[33]
dewa yang berkedudukan di bawah tanah.
2)
GENESIS KEJADIAN MANUSIA
Dalam mitologi Batak, manusia yang pertama ialah Si Raja Ihat
Manisia dan Si Boru Ihat manisia. Sepasang Putra-putri ini adalah hasil
perkawinan antara Si Boru Deakparujar dengan Raja Odap-Odap.
Dalam cerita mitos yang lain disebutkan
bahwa sebelum mereka berdua kawin, Deakparujar sudah lebih dulu menciptakan
Banua Tonga (bumi) berkat kuasa dari Debata. Sedangkan Raja Odap-Odap adalah
salah satu dewa yang menururt cerita mitos itu berada di Banua Ginjang
bersama-sama dengan dewa-dewa lainnya. Perkawinan mereka berdua di Banua Tonga
adalah berkat persetujuan Debata meskipun sebelumnya Deakparujar sempat
menunjukkan penolakan untuk kawin karena Raja Odap-odap dilihatnya kurang
menawan. Namun pada akhirnya Deakparujar tunduk kepada perintah Debata walau
dengan liku-liku dan proses yang panjang.
Menurut kepercayaan agama Malim, ketika
Raja Ihat dan Boru ihat sudah mulai menginjak dewasa, mereka pun kawin atas
persetujuan Debata. Dari perkawinan itu lahirlah tiga orang anak yang bernama
Raja Miokmiok, Patundal Nibegu dan Aji lapas-lapas. Kemudian Raja Miokmiok
mempunyai seorang anak yang bernama Eng Banua, sedangkan yang dua orang lagi tidak
jelas diketahui apakah mempunyai keturunan atau tidak.
Selanjutnya
Eng Banua mempunyai tiga orang putra yaitu Raja Aceh, Raja Bonang-bonang ( Eng
Bonio) dan Raja Jau. Raja Bonang-bonang mempunyai seorang anak tunggal yang
bernama Guru Tantan Debata, sedangkan si Aceh menurut ceritanya adalah nenek
moyang semua suku Aceh. Tetapi menurut cerita yang lain bahwa kedua orang ini
yakni raja Aceh dan Raja Jau tidak jelas diketahui dimana rimbanya. Sedangkan
guru Tantan Debata yang juga bergelar Ompu Raja Ijolma mempunyai putra tunggal
yang diberi nama Siraja Batak dan dari anaknya inilah membuahkan dua orang
Putra bernama Guru Tutea Bulan dan Raja Isumbaon.[34]
Si Raja Batak menurut sejarah merupakan
peletak dasar permulaan sejarah suku Batak yang berupa tulisan, karena sejak
dari dialah baru ada permulaan catatan tarambo
(silsilah) seluruh suku bangsa Batak mempercayai bahwa dia adalah nenek
moyang orang Batak.sejarah Batak yang dimulai dari Tantan Debata hingga pada
Raja Ihat Manisia masih berbentuk mitos dan bersifat lisan saja.
Salah satu bukti peninggalan Si Raja Batak
adalah aksara (huruf) Batak. Dialah yang menyerahkan dua gulungan surat kepada
anaknya. Surat yang pertama diserahkan kepada Guru Tutea Bulan yang disebut
dengan surat agong isinya adalah ilmu
Hadatuon ( ketabiban ), keperwiraan,
kependekaran (pencak silat), dan kesaktian. Sedangkan yang kedua diserahkan
kepada Raja Isumbaon yang disebut surat Tombaga
Holing[35]
tentang ajaran-ajaran kerajaan, hukum peradilan, persawahan (pertanian),
perniagaan dan kesenian.
Keturunan si Raja Batak berkembang
semakin banyak melalui kedua orang anaknya Tutea Bulan dan Isumbaon. Pada
generasi kelima mulailah ada marga-marga yang saat ini diketahui. Khusus marga
Sisingamangaraja berasal dari keturunan Isumbaon dan generasi kedelapan setelah
si Raja Batak.
Meskipun pada zaman Raja Batak disebut
sebagai awal sejarah Batak khususnya mengenai silsilah, namun penganut agama
Malim tetap mempercayai bahwa Raja Ihat lah sebagai manusia pertama orang Batak
dan bahkan manusia pertama di dunia. Penganut agama Malim seolah-olah menolak
kenyataan sejarah yang mengatakan bahwa asal-usul bangsa Indonesia termasuk
suku Batak berasal dari Hindia belakang. Mereka mempercayai bahwa semua manusia
yang ada di dunia ini pada mulanya berasal dari Sianjurmulamula yang letaknya berada di kaki gunung Pusuk Buhit.
Istilah “sianjur” pada mulanya adalah nama sebuah kampung (huta) atau dusun
tempat kelahiran manusia pertama. Oleh karena disanalah Raja Ihat Manisia dan
Si Boru Ihat Manisia membuka kampung yang pertama sekali, maka disebutlah
tambahan nama kampung itu dengan “mula-mula” itulah sebabnya nama kampung itu
disebut “sianjurmulamula” sampai sekarang.
Menurut kepercayaan agama Malim satu
masa setelah Raja Ihat dan Si Boru Ihat mempunyai keturunan beberapa generasi,
ternyata manusia kala itu semakin jauh dari Debata. Akhirnya mengalami krisis
moral, banyak yang berbuat dosa, seperti membunuh, berzina, merampok, dan
perbuatan jahat lainnya.
Karena perbuatan jahat itu Debata
menunjukkan kemarahannya, Debata mendatangkan hujan yang lebat disertai petir
sehingga terjadi banjir besar (aek
nasumar) akibatnya banyak manusia yang mati hanya sebagian kecil yang masih
hidup di kala itu. Manusia yang hidup diartikan sebagai orang yang masih tetap
patuh terhadap peraturan hukum sedangkan yang lainnya dimaknakan sebaliknya.
Sebelum terjadi banjir besar anak cucu
Raja Ihat telah bertebaran (diaspora) diseluruh daratan dunia ini. Setelah
banjir besar, sebagian dari mereka menetap berdiam di sana sehingga beranak
pinak. Menurut kepercayaan agama Malim seluruh keturunan orang Batak yang ada
sekarang adalah keturunan dari manusia yang menetap tinggal di Sianjurmulamula
hinnga datangnya banjir (tetapi selamat dari marabahaya) dan orang-orang yang
kembali dari perantauan.
Agama Malim meyakini bahwa tidak benar orang
Batak dan bangsa Indonesia berasal dari Hindia belakang. Kalaupun ada pakar
yang mengatakan bahwa asal mula orang Batak dari Hindia belakang justru yang
dimaksudkannya itu adalah manusia yang asal-usulnya dahulu berasal dari
Sianjurmulamula. Ini merupakan kepercayaan yang harus diimani dan dipertahankan
oleh penganut agama Malim.[36]
3)
PANDANGAN MALIM TENTANG DUNIA MASA KINI DAN DUNIA
MASA DEPAN
Dunia
masa kini adalah suatu kehidupan yang sedang dilakukan manusia sekarang, yaitu
kehidupan di dunia yang bersifat sementara, sedangkan dunia masa depan adalah
suatu kehidupan selepas manusia mati yaitu kehidupan di alam akhirat yang
bersifat kekal. Dalam istilah agama Malim disebut ari paruhuman[37].
Sebelum
menemui dunia masa depan, manusia harus memiliki perintah Debata dalam menjauhi
larangan-Nya sampai hari kiamat tiba. Jika manusia berbuat buruk atau jahat,
maka akan dibalas dengan keburukan. Begitu pula sebaliknya, jika manusia
berbuat kebaikan maka akan dibalas dengan kebaikan dan kebahagiaan.[38]
2.
MAKHLUK SUPRANATURAL
1. Debata Mulajadi Nabolon, yaitu
dipercayai sebagai Tuhan Yang Maha Esa, bermakna Debata yang menciptakan segala
sesuatu. Ia adala awal mula dari segala yang ada. Dipercayai wujudnya adalah
wajib karena pemilik Banua Ginjang, Banua Tonga dan Banua Toru.
2. Debata Natolu, yaitu Debata yang tiga.
Terdiri dari Bataraguru, Sorisohaliapan dan Balabulan. Dipercayai sebagai dewa
pertama yang diciptakan setelah Banua Ginjang.
3. Si Boru Deakparujar, yaitu Dewa yang
wajib disembah dan dipercayai sebagai salah satu dewa yang ikut sebagai si
pemilik kerajaan Malim di Banua Ginjang.
4. Nagapadohaniaji, yaitu dewa yang ikut
dalam kelompok si pemilik keraaan Malim di Banua Ginjang. Ia diberi tugas untuk
memelihara Banua Tonga oleh Debata.
5. Si Boru Saniangnaga, yaitu dewa yang
sama kedudukannya dengan dewa lainnya. Ia merupakan putri Bataraguru dan adik
kandung Deakparujar. Ia menjadi pembantu Debata yang bertugas menguasai segala
bentuk dan jenis air yang ada di bumi
I.
INTERAKSI KEPERCAYAAN ORANG BATAK DENGAN AGAMA LAIN
1. Interaksi dengan Hinduisme dan Buddhisme
Para
sejarawan sepakat bahwa ada pengaruh yang masuk dari Hinduisme dan Buddhisme.
Hal ini dapat dilihat dari bukti-bukti peninggalan yang ada di Batak.
Ada
tiga pendapat yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang terjadi dari
Hinduisme.[39]
Pertama, pengaruh itu terlihat dengan penggunaan kata Debata. Debata dalam
agama Hindu-Jawa ialah berasal dari kata Deva. Ditemukan juga persamaan nama
mata angin. Kedua, berasal dari Kodding, Loeb dan Tideman. Pendapat itu mengatakan
bahwa masuknya pengaruh India langsung ke tanah Batak melalui pelabuhan Barus
yang merupakan pusat perdagangan pada masa itu. Pengaruh tersebut dapat
terlihat dari bahasa dan aksara, mitologi, kalender dan pustaha pada kultur
Batak tersebut. ketiga, datang dari Anicetus Sinaga (1975). Hinduisme dan
Buddhisme datang dari Sumatera bagian selatan ke tanah Batak. Dua kerajaan tua
di Sumatera memiliki tradisi Buddha: Sriwijaya di Sumatera Selatan(Palembang)
dan Minangkabau di Sumatera Barat. Yang pertama mempunyai tradisi Buddha
Mahayana.[40]
1. Interaksi dengan Islam
Kota Barus adalah yang pertama menerima
Islam di alam Melayu, lebih dahulu dari Pasai dan Samudera. Hal ini terkait
dengan daerah Barus sebagai penghasil kapur barus dan kemenyan. Kedua jenis ini
sudah diperdagangkan dengan orang-orang Cina, India, dan Timur Tengah sejak
abad ke-7, khusus para pedagang dari kesemuanya adlah Islam maka terjadi kontak
dengan para pekerja damar yang sebagian besar adalah Batak.
Dengan adanya kontak tersebut, maka terjadilah awal
proses islamisasi kepada segelintir orang Batak dan lebih jauh lagi terjadinya
perkawinan antara pedagang Arab dengan penduduk setempat serta keluarga pekerja
damar. Melalui perkawinan itu, maka terjadilah generasi baru Muslim di sekitar
kawasan Barus. Meskipun begitu, Islam tidak menyentuh sebelah utara Barus
dikarenakan kuatnya tradisi kepercacayaan tradisional yang masih kental, selain itu penyebar Islam
juga adalah para pedagang bukan Da’i. Dari sinilah Islam tak mampu meluas ke
wilayah Batak seluruhnya.
Tetapi kemudian, pada abad ke 15, seorang bermarga
Marpaung ini mendirikan sebuah masjid di Porsea sekaligus masjid pertama di
Batak. Kemudian pada tahun 1818 pasukan Paderi (Bonjol) datang menyerbu dari
Minangkabau ke tanah Batak dengan mengajarkan Islam bermazhab Hambali. Kedatangan
ini dipimpin oleh Tuanku Rao seorang panglima perang Bonjol dan menurut sejarah
ia adalah keponakan dari Sisingamangaraja X.
Akhirnya Sisingamangaraja X terbunuh ditangan Tuanku Rao.
Pada awal misi peperangan adalah untuk menyebarkan agama Islam di tanah Batak
khususnya Toba dan Silindung ternyata tidak efektif dan tidak terpengaruh
terhadap masyarakat Batak. Buktinya masyarakat Batk dikawasan itu tidak begitu
minat terhadap Islam karena melahirkan kesan buruk terhadap masyarakat Batak.
Mereka tetap menganut kepercayaan tradisional mereka hingga akhirnya misionaris
barat datang ke tanah Batak.[41]
2. Masuknya Kristen di Tanah Batak
Kristen
datang melalui misionaris Kristen, yang sudah diberi mandat untuk menyebarkan
agama Kristen di Indonesia dari Inggris. Yaitu Richard Burton, Nathaniel Ward,
dan Evans.
Pada tahun 1924 melalui Sibolga, mereka memulai
penjajahan Penginjilan, sasaran utama adalah daerah danau Toba. Setibanya mereka
di sana, mereka disambut baik oleh masyarakat di sekitar. Dalam pembicaraan,
misionaris itu mengungkapkan maksud dan
tujuan mereka datang ke daerah tersebut, akan tetapi raja menolak dan
menyatakan tidak sanggup untuk meninggalkan tradisi-tradisi mereka.
Selanjutnya, misionaris Kristen dari Amerika malah
bernasib malang, mereka dibunuh dan dimakan dagingnya oleh sekelompok orang
Batak. Karena ketakutan dan kemarahan orang Batak terhadap bahaya yang
mengancam kebebasan mereka.
Setelah kejadian tersebut, misionaris barat tak gencar,
setelah beberapa cara dilakaukan, akhirnya sebuah jemaat Kristen didatangkan
untuk bekerja di tanah Batak, melalui interaksi-interaksi yang masih sebagian
orang Batak masuk Kristen.[42]
Suatu laporan yang
lebih lengkap tentang orang-orang Sumatera dibuat oleh Nicolo di Conti (sekitar
1349-1469) yang berasal dari Venetie. Dia tinggal selama satu tahun di
Sumatera. Conti memberitakan bahwa mereka adalah orang yang ganas dan tidak
beradab. Salah satu isinya ialah pada salah satu bagian dari pulau itu, yang
disebut Batech, orang hidup kanibal yang terus menerus berperang dengan
tetangga mereka.[43]
DAFTAR
PUSTAKA
Badan Litbang Agama dan Departemen Agama
RI, Tradisi dan Kepercayaan Lokal,
(Badan Litbang Agama dan Departemen Agama RI, 1998).
Gultom,
Ibrahim.,
Agama Malim di Tanah Batak, (Jakarta: Bumi aksara, 2010).
Hadiwijono, Harun., Religi Suku Murba Di Indonesia, (Jakarta : Gunung Mulia, 2003).
Nainggalan,
Togar., Batak Toba di Jakarta,
(Jakarta : Bina Media Perintis, 2006).
Sihombing, Filsafat Batak tentang kebiasaan-kebiasaan
Adat Istiadat, (Jakarta : Balai Pustaka, 1986).
[1] Bahasa Austronesia adalah salah
satu rumpun bahasa utama didunia yang sangat luas pembahasannya di dunia dari
Taiwan dan Hawai di ujung Utara sampai Selandia Baru di ujung selatan dan dari
Madagaskar diujung barat sampai pulau Paskah (Rapanui) di ujung timur.
[2] Kultur neolitis adalah kutur
yang sejak ada pada jaman Neolitikum atau jaman Batu Baru seperti sudah
mengenal alat-alat bercocok tanam.
[4] Sihombing, Filsafat Batak
tentang kebiasaan-kebiasaan Adat Istiadat, (Jakarta : Balai Pustaka,
1986) h. 42.
[5] Sihombing, Filsafat Batak
tentang kebiasaan-kebiasaan Adat Istiadat, (Jakarta : Balai Pustaka,
1986) h. 43.
[6] Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Interrelasi adalah hubungan satu sama lain.
[7] Sihombing, Filsafat Batak
tentang kebiasaan-kebiasaan Adat Istiadat, (Jakarta : Balai Pustaka,
1986) h. 71
[8] Sihombing, Filsafat Batak
tentang kebiasaan-kebiasaan Adat Istiadat, (Jakarta : Balai Pustaka,
1986) h. 77.
[9] Sihombing, Filsafat Batak
(Jakarta : Balai Pustaka, 1986). 71-81
[14] Bius adalah lembaga yang terdiri
dari beberapa horja dan beberapa Huta.
[16] Ibrahim Gultom, Agama Malim di Tanah Batak,
(Jakarta:Bumi aksara, 2010). h.95.
[19] Harun Hadiwijono, Religi Suku Murba Di Indonesia, (Jakarta
: Gunung Mulia, 2003) hal. 78.
[20] Badan Litbang Agama dan
Departemen Agama RI, Tradisi dan
Kepercayaan Lokal, (Badan Litbang Agama dan Departemen Agama RI, 1998) H. 94.
[21] Badan Litbang Agama dan
Departemen Agama RI, Tradisi dan
Kepercayaan Lokal, (Badan Litbang Agama dan Departemen Agama RI, 1998) H.
98.
[31] Persantian adalah tempat
pelaksanaan upacara agama Malim di Cabang.
[32] Sahala adalah ruh (tondi).
Sahala ama adalah ruh yang
dilambangkan menyerupai bapak. Dan sahala
ina adalah ruh yang dilambangkan dengan ibu. ( dalam buku Ibrahim Gultom).
[33] Nagapadohaniaji adalah dewa yang
berkedudukan di bawah tanah ketika Nagapadohaniaji disuruh oleh Debata untuk
menyuruh Deakparujar kembali ke Banua
Ginjang. Tetapi malah jatuh hati dengan Deakparujar. Namun deakparujar tidak
mau dan memberikan persyaratan agar Nagapadohaniaji memperluas tanah, tetapi
akhirnya ia malah menjadi penghuni tanah yang dibuatnya.
[34] Raja Isumbaon adalah salah
seorang suku Batak yang akan menghasilkan marga sumba dalam suku Batak.
[35]
Tumbaga Holing adalah
kitab suci agama malim yang berisi perintah dan larangan. kitab tidak dijadikan
sebagai pedoman. hal ini dikarenakan menurut penelitian kitab ini tidak
diketahui dimana keberadaannya.
[36] Ibrahim Gultom, Agama Malim di Tanah Batak,
(Jakarta:Bumi aksara, 2010). h.39.
[37] Dalam agama Malim, ari paruhuman
ialah hari pengadilan. Kehidupan manusia selepas mati atau disebut alam akhirat
bersifat kekal. Disinilah semua amal perbuatan manusia di dunia
dipertanggungjawabkan.
[38] Ibrahim Gultom, Agama Malim di Tanah Batak,
(Jakarta:Bumi aksara, 2010). h.110-113.
[40] Togar Nainggalan, Batak Toba di
Jakarta, ( Medan: Bina Media Perintis, 2006). H. 49-50.
[42] Ibrahim Gultom, Agama Malim di Tanah Batak,
(Jakarta:Bumi aksara, 2010). h.89.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar