A.
Sejarah
Banten
Suku Banten
adalah penduduk asli di Tatar Pasundan yang mendiami bekas daerah kekuasaan Kesultanan Banten di luar
Parahiyangan, Cirebon dan Jakarta. Menurut sensus BPS tahun 2000, suku Banten
populasinya 2,1% dari penduduk Indonesia. Orang Banten menggunakan bahasa Banten. Bahasa Banten
adalah salah satu dialek bahasa Sunda yang lebih
dekat kepada bahasa Sunda kuna yang pada tingkatan bahasa Sunda modern
dikelompokkan sebagai bahasa kasar.
Perbedaan tata
bahasa antara Bahasa Banten dan Bahasa Sunda dikarenakan wilayah Banten tidak
pernah menjadi bagian dari Kesultanan Mataram sehingga tidak
mengenal tingkatan halus dan sangat halus yang diperkenalkan oleh Mataram.
Bahasa ini dilestarikan salah satunya melalui program berita Beja ti Lembur
dalam bahasa Banten yang disiarkan oleh siaran televisi lokal di wilayah
Banten.
Kata Banten
muncul jauh sebelum berdirinya Kesultanan Banten. Kata ini
digunakan untuk menamai sebuah sungai dan dan daerah sekelilingnya yaitu Cibanten atau sungai
Banten. Rujukan tertulis pertama mengenai Banten dapat ditemukan pada naskah
Sunda Kuna Bujangga Manik yang
menyebutkan nama-nama tempat di Banten dan sekitarnya sebagai berikut:
tanggeran
Labuhan Ratu.
Ti kaler alas Panyawung,
tanggeran na alas Banten.
Ti kaler alas Panyawung,
tanggeran na alas Banten.
Itu ta na
gunung (.. .)ler,
tanggeran alas Pamekser,
nu awas ka Tanjak Barat.
Itu ta pulo Sanghiang,
heuleut-heuleut nusa Lampung,
tanggeran alas Pamekser,
nu awas ka Tanjak Barat.
Itu ta pulo Sanghiang,
heuleut-heuleut nusa Lampung,
Ti timur pulo
Tampurung,
ti barat pulo Rakata,
gunung di tengah sagara.
Itu ta gunung Jereding,
tanggeran na alas Mirah,
ti barat pulo Rakata,
gunung di tengah sagara.
Itu ta gunung Jereding,
tanggeran na alas Mirah,
ti barat na
lengkong Gowong.
Itu ta gunung Sudara,
na gunung Guha Bantayan,
tanggeran na Hujung Kulan,
ti barat bukit Cawiri.
Itu ta gunung Sudara,
na gunung Guha Bantayan,
tanggeran na Hujung Kulan,
ti barat bukit Cawiri.
Itu ta na
gunung Raksa,
gunung Sri Mahapawitra,
tanggeran na Panahitan,
gunung Sri Mahapawitra,
tanggeran na Panahitan,
Dataran lebih
tinggi yang dilalui sungai ini disebut Cibanten Girang atau disingkat Banten Girang ("Banten
atas"). Berdasarkan riset yang dilakukan di Banten Girang pada tahun 1988
dalam program Franco-Indonesian excavations, di daerah ini telah ada pemukiman
sajak abad ke 11 sampai 12 (saat kerajaan Sunda). Berdasarkan riset ini juga
diketahui bahwa daerah ini berkembang pesat pada abad ke-16 saat Islam masuk
pertama kali di wilayah ini.
Perkembangan
pemukiman ini kemudian meluas atau bergeser ke arah Serang dan ke arah
pantai. Pada daerah pantai inilah kemudian didirikan Kesultanan Banten oleh Sunan Gunung Jati. Kesultanan
ini seharusnya menguasai seluruh bekas Kerajaan Sunda di Jawa Barat. Hanya saja Sunda Kalapa atau Batavia direbut oleh Belanda serta Cirebon dan Parahiyangan direbut oleh Mataram. Daerah kesultanan
ini kemudian diubah manjadi keresidenan pada zaman penjajahan Belanda.
B.
Suku
Banten
Suku Banten, lebih tepatnya Orang Banten adalah penduduk asli yang mendiami
bekas daerah kekuasaan Kesultanan Banten di luar Parahiyangan, Cirebon dan
Jakarta. Sejak abad ke 11 hingga 12 saat berdirinya Kerjaan Sunda, di daerah
Banten sudah ada pemukiman. Daerah ini berkembang pesat pada abad ke-16 saat
Islam masuk pertama kali di wilayah tersebut. Perkembangan pemukiman ini
kemudian meluas atau bergeser ke arah Serang dan ke arah pantai.
Mula-mula Banten merupakan pelabuhan yang sangat ramai disinggahi
kapal dan dikunjungi pedagang dari berbagai wilayah hingga orang Eropa yang
kemudian menjajah bangsa ini. Pada tahun 1330 orang sudah mengenal sebuah
negara yang saat itu disebut Panten, yang kemudian wilayah ini dikuasai oleh
Majapahit di bawah Mahapatih Gajah Mada dan Raja Hayam Wuruk.
Orang asing kadang menyebut penduduk yang tinggal pada bekas
kersidenan ini sebagai Bantenese yang mempunya arti ”orang Banten”. Setelah
provinsi Banten terbentuk, ada sebagian orang yang menterjemahkan Bantenese
menjadi suku Banten sebagai kesatuan etnik dengan budaya yang unik. Penggunaan
nama Banten sebenarnya sudah muncul jauh sebelum berdirinya Kesultanan Banten.
Kata ini digunakan untuk menamai sebuah sungai dan dan daerah sekelilingnya
yaitu Cibanten atau sungai Banten.
Orang Banten menggunakan bahasa Banten. Bahasa Banten adalah salah
satu dialek bahasa Sunda yang lebih dekat kepada bahasa Sunda kuno yang pada
tingkatan bahasa Sunda modern dikelompokkan sebagai bahasa kasar.
Perbedaan tata bahasa antara Bahasa Banten dan Bahasa Sunda
dikarenakan wilayah Banten tidak pernah menjadi bagian dari Kesultanan Mataram,
sehingga tidak mengenal tingkatan halus dan sangat halus yang diperkenalkan
oleh Mataram. Bahasa ini dilestarikan salah satunya melalui program berita Beja
ti Lembur dalam bahasa Banten yang disiarkan oleh siaran televisi lokal di
wilayah Banten. Selain Bahasa Sunda Banten, masyarakat Banten juga menggunakan
Bahasa Banyumasan dan Bahasa Jawa Banten di daerah pesisir utara Banten.
Sebagian besar anggota masyarakat Banten memeluk agama Islam dengan
semangat religius yang tinggi, tetapi pemeluk agama lain dapat hidup
berdampingan dengan damai. Kekhasan budaya masyarakat Banten antara lain seni
bela diri Pencak silat, Debus, Rudad, Umbruk, Tari Saman, Tari Topeng, Tari
Cokek, Dog-dog, Palingtung, dan Lojor. Di samping itu juga terdapat peninggalan
warisan leluhur antara lain Masjid Agung Banten Lama, Makam Keramat Panjang,
dan masih banyak peninggalan lainnya.
Di Banten terdapat Suku Baduy yang terbagi menjadi dua, yaitu Baduy
Dalam dan Baduy Luar. Suku Baduy Dalam merupakan suku asli Sunda Banten yang
masih menjaga tradisi antimodernisasi, baik cara berpakaian maupun pola hidup
lainnya. Perkampungan masyarakat Baduy umumnya terletak di daerah aliran Sungai
Ciujung di Pegunungan Kendeng. Daerah ini dikenal sebagai wilayah tanah titipan
dari nenek moyang, yang harus dipelihara dan dijaga baik-baik, tidak boleh
dirusak.
Sistem pengetahuan yang dimiliki masyarakat Banten adalah
kosmologi, tentang alam semesta. Pada fase perkembangan awal pengetahuan
tentang kosmologi orang Banten, bahwa alam ini milik Gusti Pangeran yang
dititipkan kepada Sultan yang berpangkat Wali setelah Nabi. Karena itu hierarchi Sultan adalah suci.
Gusti Pangeran ini mempunyai kekuatan yang luar biasa. Sebagian
kecil dari kekuatannya diberikan kepada manusia melalui pendekatan diri. Orang
yang mengetahui formula-formula pendekatan diri untuk memperoleh kekuatan itu adalah
para Sultan dan para Wali, sehingga memperoleh kesaktian yang dapat disebarkan
kepada keturunan dan kepada siapa saja yang berguru atau mengabdi.
Dalam sistem lapisan sosialnya bisa ditelusuri pada awal di jaman
Kesultanan. Lapisan atas dalam stratifikasi sosial adalah pada Sultan dan
keluarganya/keturunannya sebagai lapisan bangsawan. Kemudian para pejabat
kesultanan, dan akhirnya rakyat biasa. Pada perkembangan selanjutnya, hilangnya
kesultanan, yang sebagian peranannya beralih pada Kiyai (kaum spiritual), dalam
stratifikasi sosial merekalah yang ada pada lapisan atas. Jika peranan itu
berpindah kepada kelompok lain, maka berpindah pulalah lapisan itu.
Adapun mata pencaharian suku Banten umumnya adalah bertani. Dalam
sistem pertaniannya ada tradisi yang masih nampak, misalnya hubungan antara
pemilik tanaman (petani) dan orang-orang yang berhak ikut mengetam dengan
pembagian tertentu menurut tradisi. Selain bertani, masyarakat Banten yang
tinggal di dekat lau bermata pencaharian sebagai nelayan.
C.
Kebudayaan
Lokal Banten
Banten merupakan salah satu daerah yang kaya akan tradisi dan
kebudayaan. Tidak hanya saja kaya akan tradisi dan kebudayaan, Banten juga kaya
akan Bahasa-bahasa daerah yang sangat beragam. Untuk itu, akan sedikit
dipaparkan mengenai tradisi dan kebudayaan yang ada di Banten.
a. Angklung Gubrag
Angklung
Gubrag Merupakan salah satu kesenian tradisional yang sudah langka, namun
masyarakat Desa Kemuning, Kecamatan Kresek – Kabupaten Tangerang masih
melestarikan kesenian Angklung Gubrag pada acara khitanan, perkimpoian dan
selamatan kehamilan. Pada masa lalu kesenian Angklung Gubrag dilaksanakan pada
saat ritual penanaman padi dengan maksud agar hasil panen berlimpah. Instrumen
yang digunakan 6 buah angklung menggunakan bambu hitam, masing-masing memiliki
nama: bibit, anak bibit, engklok 1, engklok 2, gonjing dan panembal, dilengkapi
dengan terompet kendang pencak dan seruling. Di atas angklung dikaitkan pita
yang berasal dari kembang wiru, menurut kepercayaan kembang wiru dan air yang berasal
dari angklung dipercaya dapat menjadi obat dan penyubur tanaman. Semua pemain
berdiri tidak menari kecuali penabuh dogdog lojor menabuh sambil ngibing
diiringi beberapa penari perempuan dengan kostum kebaya dan kain.
b. Bendrong Lesung
Bendrong Lesung merupakan salah satu kesenian tradisional
masyarakat Cilegon-Banten, yang tumbuh dan berkembang secara turun temurun di
masyarakat hingga saat ini. Awalnya kesenian ini merupakan tradisi masyarakat setempat dalam menyambut Panen Raya.
Tujuannya untuk mengungkapkan kebahagiaan atas jerih payah yang dilakukan, dan
yang telah membuahkan hasil. Dalam
perkembangannya, Bendrong Lesung tidak hanya ditampulkan
pada penyambutan Panen Raya, tetapi ditampilkan juga pada acara-acara pesta
perkimpoian atau upacara peresmian. Bendrong Lesung memadukan musik Lesung atau
Lisung (tempat menumbuk padi) dengan musik lainnya yang dimainkan oleh beberapa
orang.
c. Debus
Debus adalah
seni pertunjukan yang memperlihatkan permainan kekebalan tubuh terhadap
pukulan, tusukan, dan tebasan benda tajam. Dalam pertunjukanya, debus banyak
menampilkan aktraksi kekebalan tubuh sesuai dengan keinginan pemainnya. Pada
masa pemerintahan sultan ageng tirtayasa sekitar abad ke-17 ( 1651-1652), debus
difokuskan sebagai alat untuk membangkitkan semangat para pejuang dalam melawan
penjajah. Pada perkembangan selanjutnya, debus menjadi salah satu bagian ragam
seni budaya masyarakat banten sehingga kesenian ini banyak digemari oleh
masyarakat sebagai hiburan yang langka dan menarik di banten, permainan debus
berkembang di kabupaten lebak, pandeglang, kota cilegon dan kota serang.
d. Dogdog Lojor
Dogdog
merupakan alat musik yang terbuat dari batang kayu bulat, tengahnya diberi
rongga, namun kedua ujung ruasnya mempunyai bulatan diameter yang berbeda (± 12
– 15 cm) dengan panjang ± 90 cm. Pada ujung bulatan yang paling besar ditutup
dengan kulit kambing yang telah dikeringkan dan diikat dengan bambu melingkar
yang dipaseuk/baji untuk menyetel suara atau bunyi. Suara yang dihasilkan akan
berbunyi dog dog dog (dalam telinga orang Sunda). Oleh karena itu alat ini
diberi nama Dog Dog. Sedangkan kata lojor berarti lonjong atau lodor yang
sepadan dengan kata panjang. Jadi Dogdog Lojor sama artinya dengan Dogdog
Panjang. Kesenian ini berkembang di Banten bagian Selatan Kabupaten Lebak,
dengan pemain berjumlah 12 orang. Pada awalnya pertunjukan seni Dogdog Lojor
ini, dilakukan sebagai pelengkap dalam rangka pelaksanaan upacara adat seperti
Seren Taun, sedekah bumi ataupun ruwatan. Oleh karena itu, pertunjukan Dogdog
Lojor dilaksanakan secara khidmat. Sejalan dengan perkembangan zaman,
pertunjukan Dogdog Lojor dilakukan dengan penuh kegembiraan sehingga berkembang
menjadi seni pertunjukan hiburan dan permainan rakyat.
Seni Saman
atau disebut juga Dzikir Maulud yaitu kesenian tradisional rakyat Banten
khususnya di Kabupaten Pandeglang yang menggunakan media gerak dan lagu (vokal)
dan syair-syair yang dilantunkan mengagungkan Asma Allah dan pujian kepada Nabi
Muhammad SAW. berdasarkan literatur disebut Dzikir Saman karena berkaitan arti
Saman yaitu Delapan dan dicetuskan pertama kali oleh Syech Saman dari Aceh.
Tari Saman berasal dari Kesultanan Banten yang dibawa para ulama pada abad 18
sebagai upacara keagamaan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW
pada bulan Maulud, namun dalam perkembangan selanjutnya dapat pula dilakukan
pada upacara selametan khitanan, pernikahan atau selametan rumah. pemain seni
Dzikir Saman berjumlah antara 26 sampai dengan 46 orang. 2 sampai 4 orang
sebagai vokalis yang membacakan syair-syair Kitab.
Kesenian
tradisional yang berkembang di kampung curugdahu desa kadubeureum kecamatan
padarincang kabupaten serang,
iringan ngarak buaya putih biasanya dilakukan dalam kegiatan mengirimkan
bahan-bahan keperluan hajatan yang menjadi ciri khas daerah setempat, dimana
keperluan hajatan ditata sedemikian rupa pada sebatang pohon bambu yang
dibentuk rangka mirip seekor buaya, dengan panjang mencapai 8 sampai 10 meter,
dengan dihiasi janur kelapa. Buaya putih dimainkan secara keseluruhan oleh 40
orang, dimana 4 orang pemain laki-laki yang bertugas memegang umbul-umbul
sebagai pembatas barisan, 2 orang bagian paling depan dan 2 orang lagi sebagai
pemegang spanduk, 1 orang sebagai penarik penonton, di belakang 10 orang
sebagai penari mojang desa, berdiri sepasang pengantin yang diapit kedua orang
tua yang di lengkapi dengan seorang pembawa payung kebesaran. Dibagian tengah
terdapat 4 orang sebagai pemikul buaya putih yang harus mampu memainkan buaya
putih dengan baik, dibawah kendali seoranag pawang buaya yang bernama ma ijah,
tarian buaya putih ini diiringi oleh 14 orang pemain musik rudat, dengan alat
yang terdiri dari : Gending paria ria, kemplongan, dan gembrung.
Pantung
Bambu adalah alat musik tradisional khas masyarakat cilegon yang terbuat dari
bambu berdiameter rata-rata 10cm, panjang 80 cm, beruas
dua dengan lubang di tengah dan berlidah disayat dengan tiga buah senar bernada
empat tangga nada. Dalam satu grup pantun bambu dibutuhkan paling sedikit tiga
pantun yang terdiri dari pantun melodi gendang tapak, pantun bas gendang dan
pantun ritme patingtung. Pada awalnya musik pantun di mainkan disaat-saat
melepas lelah setelah para petani berkerja disawah, dengan peralatan bambu
sederhana dapat menimbulkan irama yang menghibur. Dalam perkembangannya saat
alat musik "Pantun" telah di kolaborasi dengan alat musik lainnya
seperti musik patingtung, rudat, terbang gede dan sebagainya. Pantun sekarang
ini juga digunakan untuk mengiringi lagu dan tarian.
h. Terbang Gede
Terbang gede
merupakan salah satu kesenian tradisional Banten yang tumbuh dan berkembang
pada waktu para penyebar agama islam menyebarkan ajarannya di Banten, oleh
karena itu kesenian terbang gede berkembang secara pesat di lingkungan
pesantren dan mesjid-mesjid. Kesenian ini disebut terbang gede karena salah
satu instrumen musik utamanya adalah terbang besar (gede). Pada awalnya
kesenian terbang gede berfungsi sebagai sarana penyebaran agama islam, namun
kemudian berkembang sebagai upacara ritual seperti : ngarak panganten, ruwatan
rumah, syukuran bayi, hajat bumi, dan juga hiburan. Terbang gede dimainkan oleh
beberapa orang biasanya laki-laki yang telah lanjut usia terdiri atas Penabuh
terbang gede (besar) , penabuh sela, penabuh pengarak, penabuh kempul, penabuh
koneng, yang diiringi dengan sholawatan nabi dengan bahasa Arab ataupun jawa.
Rampak Beduk
merupakan sajian instrumen berupa perkusi, yang ditingkahi suara-bedug berbagai ukuran. Ada empat bedug diikat kain merah
biru, yang dipukul oleh pemain yang berdiri di tengah. Di pinggirannya,
kelompok musik menimpali dengan bedug berbagai ukuran. Sesekali suara terdengar
dari mulut para pemainnya, mirip suara musik tiup. Namun, tak ada sajian
instrumen tiup. Yang terdengar, suara harmonis antara bedug dan para vokalis
tradisi saling menyahut. Seni Rampak Bedug berawal dari kebiasaan penduduk
berkeliling kampung sambil memukul bedug kala sahur di bulan puasa. Yang
kemudian dijadikan ajang untuk beradu keras memukul bedug. Alhasil terjadilah
pertemuan antar mereka, saling beradu kekuatan bedug. Tari Rampak Beduk Banten
dimainkan oleh secara masal. Sekilas, gerakannya mirip tarian dari daerah Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar