Disusun Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Agama-Agama Lokal
Disusun oleh:
Agus Berani (11140321000035)
Zikri Sulthoni (11140321000012)
Siti Syifa Fauziah (11140321000024)
PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Segala
puji dan rasa syukur kami panjatkan kehadirat ilahirobbi yang telah memberikan
taufik, hidayah, dan inayah-Nya. Sehingga kami mendapatkan kesempatan,
kemampuan, dan kemudahan untuk dapat menyelesaikan makalah ini. Kemudian sholawat
dan salam semoga selalu tercurahkan kepada nabi kita yakni Nabi Besar Muhammad
SAW dan kepada keluarganya, para sahabatnya, umumnya kepada umat islam yang
taat kepadanya.
Dalam
menyusun makalah ini kami menyadari sepenuhnya bahwa banyak sekali kekeliruan
dan kesalahan, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun, karena kami menyadari masih banyak kekurangan, terutama keterbatasan
dalam mencari referensi untuk dijadikan sumber pembahasan.Dalam menyusun
makalah ini juga tidak akan selesai tanpa bantuan dan dukungan dari semua
pihak. Maka dari itu Kami mengucapkan banyak terimakasihyang sebesar-besarnya
kepada:
1.Ibu Siti Nadroh,M.A,. selaku dosen kita.
2.
Teman-teman yang telah memberikan motivasi kepada kami.
Akhir
kata penyusun mengucakn banyak terimakasih, semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi penyusun maupun pembaca umumnya.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nama Sakai diberikan
oleh orang luar yang merendahkan suku bangsa itu. Suku bangsa Sakai dianggap
sebagai salah satu masyarakat terasing di Provinsi Riau, dalam arti belum
terjangkau oleh kegiatan pengembangan dan kemajuan budaya yang lain, mereka
berdiam di beberapa lokasi pemukiman kembali (resetlement) di sekitar
Kabupaten Bengkalis, seperti di Kandis, Balai Pungut, kota Kapur, Minas, Duri,
Sungai Siak dan Sungai Apit bagian hulu. Pada tahun 1984 yang lalu diperkirakan
populasinya berjumlah sekitar 6.500 jiwa atau sekitar 1.400 keluarga. Suku
bangsa ini diperkirakan sebagai sisa-sisa kelompok ras Melayu yang berlebihan
yang kemudian datang ke daerah ini, kemudian terdesak oleh gelombang Melayu
yang lebih muda. Bahasa yang mereka guanakan memang dapat digolongkan ke dalam
kelompok bahasa Melayu, tetapi dengan beberapa ciri tersendiri. Masyarakat ini
umumnya masih melakukan kegiatan mata pencaharian berburu dan meramu di
hutan-hutan atau menangkap ikan di sungai-sungai. Sebagian kecil telah mulai
bercocok tanam di ladang. Selain itu ada pula yang meramu hasil hutan seperti
rotan, dammar, dan menebang kayu untuk di barter dengan keperluan sehari-hari
dari pedagang perantara. [1]
Sistem kekerabatan
mereka kurang jelas, tetapi mungkin cenderung parental atau bilateral. Rumah
tangganya terbentuk dari kesatuan beberapa keluarga inti neolokal. Pemukiman
mereka terbentuk dari hunian beberapa keluarga inti, yang biasa dipimpin oleh
seorang tokoh senior yang mereka sebut batin[2],
setiap masalah dalam komuniti mereka putuskan dengan musyawarah dan mufakat. Menurut
catatan pemerintah perovinsi pada masa sekarang sebagian dari masyarakat ini
sudah memeluk agama baru. Tahun 1985 sekitar 400 orang memeluk agama Islam, dan
sekitar 600 orang memeluk agama Kristen yang disebarkan oleh pendatang Batak.
Selebihnya masih mempertahankan keyakinan lama mereka yang animistis.[3]
B. Rumusan Masalah
1.
Apa itu Suku Sakai?
2.
Bagaimana mengetahui Suku Sakai ?
3.
Cara dan keagamaan Suku Sakai?
4.
Bagaimana cara interaksinya?
C. Tujuan Masalah
1.
Mengetahui apa itu Suku Sakai.
2.
Dapat di ketahui apa itu Suku Sakai.
3.
Mengetahui bagaimana cara mereka
beragama dan adata budayanya.
4.
Mengetahui cara interaksinya Suku
Sakai.
PEMBAHASAN
A. Asal-Usul Orang
Sakai di Kepulauan Riau
Suku
Sakai adalah salah satu komunitas pedalaman di Nusantara yang menempati wilayah
Kabupaten Bengkalis Sebelum pemekaran wilayah, ketiga kabupaten tersebut
dulunya merupakan satu wilayah kabupaten, yakni Kabupaten Bengkalis, Provinsi
Riau. Jumlah terbanyak orang Sakai di daerah tersebut berada di Dusun Paneso,
Kelurahan Muara Basung, Kecamatan Mandau. Daerah ini merupakan lokasi
permukiman orang Sakai yang tertua.
Tak mengherankan jika daerah ini menjadi inti atau sentral dari semua
kebudayaan orang Sakai. Terdapat cukup banyak versi
mengenai riwayat bagaimana orang Sakai dapat sampai ke Mandau dan daerah
lainnya di Kabupaten Bengkalis. Ada versi yang mengatakan bahwa orang-orang
Wedoid dan Austroloid yang merupakan penduduk asli nusantara terdesak ke
daerah-daerah pedalaman dan hutan oleh golongan ras Proto-Melayu (Melayu Tua)
yang datang sekitar tahun 2.500-1.500 SM. Kedatangan golongan ras Deutro-Melayu
(Melayu Muda) pada tahun 300 SM menyebabkan golongan ras Proto-Melayu tersisih
ke daerah pedalaman. Orang-orang Melayu Tua yang tersisih ini kemudian bertemu
dengan orang-orang ras Wedoid dan Austroloid yang telah terlebih dahulu
tersingkir ke daerah pedalaman. Ketiga golongan ras tersebut kemudian
bercampur-baur dan melakukan kawin campur. Hasil perkawinan campur inilah yang
kemudian diyakini sebagai nenek moyang orang-orang Sakai.[4]
Adapun
versi kedua
menyebutkan bahwa orang-orang Sakai berasal dari Kerajaan Minangkabau yang
berpusat di Pagarruyung. Menurut versi ini, orang-orang Sakai dulunya adalah
penduduk Negeri Pagarruyung (yang berjumlah sekitar 190 orang) yang
dimigrasikan oleh Raja Pagarruyung ke kawasan rimba belantara di sebelah timur
negeri tersebut untuk mencari pemukiman yang baru karena penduduk negeri
Pagarruyung pada waktu itu sudah sangat padat. Setelah menyisir kawasan hutan,
rombongan tersebut akhirnya sampai di tepi Sungai Mandau dan mendirikan
permukiman baru di daerah tersebut. Keturunan merekalah yang kemudian dianggap
sebagai orang-orang Sakai. Ada pula versi yang mengatakan bahwa orang-orang
Sakai bermigrasi ke pedalaman di daerah Mandau karena mereka tidak mau tunduk
kepada kekuasaan kolonial Beland. Terlepas dari perbedaan alasan kepindahan
orang-orang Sakai dari Pagarruyung ke Mandau tersebut, orang-orang Sakai
meyakini bahwa leluhur mereka memang berasal dari Negeri Pagarruyung.[5]
Dalam
catatan sejarah Riau (Suwardi MS, 1980) dinyatakan bahwa wilayah ini pernah
berada di dalam kekuasaan kerajaan Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan Melayu. Di
samping itu dengan
kedatangan bangsa Cina, Portugis, Inggris dan Belanda yang berdagang, dan
bahkan belanda yang sempat berkuasa menjajah Indonesia, terdapat sisa-sisa dari
pengaruh kebudayaan Hindu, Islam, Cina dan Barat (termasuk kebudayaan Belanda)
dalam teradisi-teadisi kebudayaan dari masyarakat Riau. Secara umum teradisi
Islam adalah yang terkuat dibandingkan dengan teradisi-teradisi budaya lainnya yang
datang dari luar. Dengan
mengikuti Suwardi MS, sejarah Riau secara terminologi terdapat diuraikan
secara singkat sebagai berikut: [6]
1.
Masa
pengaruh kerajaan Sriwijaya: masa ini berlangsung sampai abad ke-13, yaitu
sampai dengan menjelang akhir keruntuhannya. Kerajaan di Muara Takus diduga
merupakan kerajaan yang mewakili kerajaan Sriwijaya dalam menguasai
kerajaan-kerajaan kecil yang ada di Riau pada waktu itu. Kerajaan-kerajaan
kecil tersebut adalah kerajaan-kerajaan Melayu yang kemudian bebas dan berdiri
sendiri setelah runtuhnya kerajaan Sriwijaya.
2.
Masa
kemerdekaan kerajaan-kerajaan melayu: suatu masa dimana kerajaan-kerajaan
melayu di Riau tidak dikuasai oleh suatu kekuasaan yang lebih besar dari
sesuatu kerajaan lainnya. Kerajaan tersebut
adalah Bintan Tumasik di kepulauan Riau dan malaka dan Malaka di
semenanjung melayu, Kandis-Kuantan, Gasib-Siak, Keriteng-Indragiri, Rokan,
Segati, Pekantuan, Andiku-Nan-44-Kampar.
3.
Masa
Pudarnya Kerajaan-kerajaan Melayu: suatu masa dimana kerajaan-kerajaan kecil
melayu tersebut berada di bawah kekuasaan kerajaan Malaka, yang kemudian
direbut oleh kerajaan Johor. Sedangkan kerajaan Andiku-Nann-44 dan kerajaan
kuantan berada di bawah pengaruh kekuasaan kerajaan Pagarruyumg-Minang kabau.
4.
Masa
kepunahan kerajaan-kerajaan Melayu: suatu masa dimana dibuat Kerajaan-kerajaan
kecil Melayu tersebut punah, yang kepunahaannya tidak diketahui sebab-sebabnya.
Kerajaan-kerajaan yang punah tersebut adalah: Kandis, Segati,
Pekantua, dan Gasib.
5.
Masa
munculnya kerajaan-kerajaan baru: suatu masa munculnya kerajaan-kerajaan: Siak
Sri Indra Pura, Indra Giri, dan Pelalawan.
6.
Masa
kerajaan Riua-Lingga dan kemudian menjadi jaya menggantikan kejayaan kerajaan
Johor, tetapi kemudian menghilang dan punah kekuasaannya bersama dengan
berkuasanya kekuasaan Belanda di Indoneisa.
7.
Masa
menjelang kemerdekaan Indonesia: yang dalam masa tersebut terdapat
kerajaan-kerajaan kecil: Siak Indrapura, Indra Giri, Pelalawan, Rokan, Singingi,
Kampar Kiri, dan Kuantan. Pada masa sekarang kerajaan-kerajaan ini sudah tidak
ada lagi. Walaupun demikian gelar-gelar kebangswanan masih di gunakan oleh
orang-orang yang menjadi keturunan mereka, dan gelar-gelar tersebut antara lain
adalah Tengku.[7]
B.
Dalam Zaman Pemerintahan Kerajaan Siak
Para
Batin Orang Sakai (baik perbatinan Lima maupun Perbatina Delapan) memperoleh
surat pengangkatan menjadi Batin dari Raja Atau Sultan Siak. Dua buah kelompok
Perbatinan tersebut masing-masing di perlakukan sebagai sebuah satuan
administrasi kekuasaan yang jelas Wilayah kekuasaan masing-masing. pemerintahan
kerajaan Siak menarik Pajak dan upeti dari Perbatinan-perbatinan tersebut.
pajak dan upeti yang ditarik berupa berbagai hasil hutan dan anak gadis.
Pajak-pajak tersebut dalam Wilayah Perbatinan Lima di serahkan kepada Raja Siak
melalui tangan Penghulu (Kepala Desa) Mandau, sedangkan pajak-pajak dari
perbatina Delapan diserahkan melalui tangan Penghulu (Kepala Desa) petani.
Adapun Gadis-gadis orang Sakai diserahkan di Balai pungut, tempat parabangsawan
beristirahat (Balai=Rumah atau tempat, dan Pungut= memungut memilih untuk di
ambil) seorang batin memperoleh bagian kira-kira 10% dari pajak-pajak yang telah
dikumpulkan dan di serahkan kepada rakyat tersebut. pada mulanya daerah ini
termasuk dalam wilayah perbatinan Tengganau. Melelui hubungan mengangkat
saudara (hubungan adik beradik) yang di kukuhkan antara pegawai istana kerajaan
tersebut yang menjadi kepala pemukiman Balai Pungut dengan Batin Tengganau maka
Balai Pungut dapat dijadikan dan dinaikan kedudukannya sama dengan sebuah
kepenghuluan (Desa) yang setaraf kedudukannya dengan Tengganau. Menurut para
informan, Kepala Desa Balai Pungut pada waktu itu berfungsi sebagai mata-mata
dalam sistem keamanan Orang Sakai.
Pengangkatan seorang Batin pada
Zaman kerajaan Siak selalu dilakukan dengan suatu upacara Penobatan yang
diikuti dengan pesta minum-minum selama Tujuh hari Tujuh malam. Tugas seorang
Batin dalam Zaman Kerajaan Siak yang kemudian juga dilanjutkan dalam masa
pemerintaha kerajaan Belanda.[8]
C.
Dalam Zaman Penjajahan Belanda Dan Jepang.
Karena orang Sakai hidup di
tempat-tempat pemukiman yang terletak di daerah pedalaman dan selalu menjauhkan
diri dari kehidupan bermasyarakat yang lebih luas, mereka tidak pernah atau
jarang mempunyai kontak langsung dengan orang-orang Belanda atau kekeuasaan
pemerintahan penjajahan Belanda yang ada di Riau. Meneurut keterangan beberapa
orang Sakai yang telah lanjut Usia, mereka selalu menghindari orang asing baik
orang Belanda maupun orang Melayu karna takut dan malu. Mengenai
masalah-masalah yang berhubungan dengan khusus, seperti pembunuhan, penyiksaan,
barulah Opas atau Polisi, yang merupakan alat kekuasaan pemerintahan Belanda
menangani maslah ini sampai kedareh-daerah pedalaman orang Sakai.
Selama
zaman pendudukan Japang kehidupan orang sakai tidak dipedulikan oleh orang
Jepang mereka dibiarkan menjalani cara hidup mereka sebagaimana sebelumnya, dan
bahkan mereka terbebas dari kewajiban membayar pajak ataupun kerja wajib,
walaupun wilayah tempat kehidupan mereka dijadikan tempat kegiatan-kegiatan
pembangunan jalan dan kegiatan-kegiatan pembangunan-pembangunan lainnya mereka
melihat kekejaman tentara jepang terhadap para pekerja wajib (Romusha) yang di
datangkan dari jawa. Sebagian kecil dari Romusha ini dapat melarikan diri dari
rombongan-rombongan tersebut. mereka di tolong dan di beri makan serta di
sembunyikan oleh orang-orang Sakai setempat. Di antara mereka yang di tolong
ini kemudian hidup bersama dengan dan menjadi warga masyarakat orang Sakai yang
menolongnya dan kawin dengan wanita orang setempat.[9]
D.
Zaman Kemerdekaan Republik Indonesia
Kalau selama zaman pemerintahan
jajahan Belanda dan jepang di Indonesia itu nasib ornag Sakai tidak
diperhatikan maka ketika Indonesia mulai merdeka menjadi sangat diperhatikan
oleh Indonesia sama dengan daerah-daerah pedalaman lainnya. Pada Tahun 1954,
pemerintah Indonesia melakukan upaya ingin membebaskan kehidupan masyarakat
Sakai dari keterasingan atau isolasi. Kegiatan ini dinamakan dengan Civilisatie
Masyarakat Terasing dengan kegiatan-kegiatan melakukan inventarisasi jumlah
penduduk dan cara-cara hidup mereka. Pada Tahun 1963, sebagai hasil lebih
lanjut dari Civilisatie di dirikan Pos PMT (Pemukiman Masyarakat Terasing) di
Muara Basung oleh Kantor Inspeksi Social Riau. Pos PMT di Muara Basung di
dirikan di hutan yang sudah didirikan. Bangunan yang pertama di bangun adalah
Kantor dan dua buah Rumah untuk petugas bangunan. Pada Tahun 1964 muali di
bangun perumahan untuk penduduk orang Sakai yang akan di mukimkan perumahan
yang di bangun sebanyak 30 buah, dan bersamaan dengan itu para petugas lapangan
mulai mendatangi rumah-rumah penduduk yang tinggal di Ladang-ladang mereka,
dalam kelompok-kelompok kecil 2 atau 3 Rumah, di tepi-tepi sungai di sekitar
Muara Basung dalam radius 17 meter. Ketika pada Tahun 1965 perumahan tersebut
selesai di bangun, dan penduduk di sekitar Muara Basung sudah siap masuk ke
pemukiman samapai dengan permulaan Tahun 1970. Jumlah yang tercatat pada tahun
tersebut sebanyak 68 keluarga. Masing-masing keluarga tersebut menerima tanah
garapan seluas 32x80 meter persegi. Selama Satu Tahun mereka diberi bekal hidup
secara Cuma-cuma oleh pemerintah, baik berupa bahan makanan pokok, pakaian,
peralatan dapur mereka jug diberi peralatan sederhana untuk petani (pacul dan
parang). Pemerintah juga menyediakan pelayanan kesehatan serta di berikan
sebuah pesawat Televisi (dengan tenaga Batrai) yang dapat di nikmati secara
bersama pada petang hari. Sejak Tahun1963 di Muara Basung telah didirikan
sebuah sekolah yang bernama persiapan Sekolah Dasar yang terdiri sebuah ruang
dan seorang Guru dengan muridnya 16 orang di selenggarakan oleh Departemen
Sosial dan kemudian oleh Departemen pendidikan dan kebudayaan. Pada Tahun1967
ruang kelas tersebut roboh. Akhirnya para warga dan departemen social ingin
memperbesar dan memperbanyak ruang kelas karena ada tambahnya murid berjumlah
65 orang.
Nama pemukiman masyarakat terasing
(PMT) Pada Tahun 1976 diganti namanya dengan Pembinana Kesejahtraan Masyarakat
Terasing (PKMT). kelompok-kelompok masyarakat tersing yang telah dimukimkan dan
dibina adalah di PKMT Buluh Kasap (1977), PKMT Sialang Rembon (1979), PKMT
Kandis (1980) dalam zaman pemerintahan Repubilk Indonesia kelompok-kelompok
orang Sakai yang tidak mau di mukimkan dan di bina di tempat-tempat pemukiman
dibiarkan tinggal ditempat-tempat pilihan mereka masing-masing. [10]
E. Kepercayaan dan
Magi Orang Sakai
Salah satu diantara
ciri-ciri yang dimiliki orang Sakai dianggap oleh orang Melayu atau oleh
golongan suku lainnya sebagai ciri-ciri orang Sakai, adalah agama mereka yang
diselimuti oleh keyakinan pada “animisme”, kekuatan magi, dan tenung. Dalam
kenyataannya walaupun mereka telah memeluk agama Islam tetapi “agama asli” mereka
tetap diyakini. Orang Sakai dimuara Basung memeluk agama Islam. Tetapi hanya
sebagian saja yang betul-betul menjalankan salat lima kali dalam satu hari dan
berpuasa dalam bulan Ramadan. Mereka yang saat ini justru kebabanyakan adalah
anak-anak muda. Sebagian diantara mereka yang taat menjalankan ibadah tersebut
tergolong dalam dua kelompok keagamaan, yaitu tarekat Naksabandiyah dan Ahlusunnah
Wal Jamaah.
Tarekat Naksbandiyah
merupakan Aliran dalam Agama Islam yang telah berabad-abad berkembang di Riau
dan Pulau Sumatra. Pada umumnya, dan di Riau ajaran ini berpusat di kerajaan
Siak. Tarekat Naksabandiah menuntut pemeluknya agar melakukan sejumlah upacara
ritual diluar kewajiban yang melakukan oleh para pemeluk Aliran Sunnah yang
antar lain mencakup kegiatan-kegiatan seperti berdzikir, berpuasa dan
lain-lainnya. mereka yang telah menjalankan upacara ritual di bawah bimbingan
seorang guru atau Khalifah dan di anggap telah menamatkan nya dengan baik di
namakan Khilafah. Karena oleh para pemeluk tarekat tersebut seorang khalifah
dilihat sebagai orang yang banyak pengetahuan mengenai Agama Islam dan sebagai
orang yang mempunyai kekuatan gaib dan sanggup mengatur dan menguasai
makhluk-makhluk gaib yang berada disekitar kehidupan manusia, maka di mata
pemeluk tarekat kedudukan sosial seorang Khalifah itu tinggi.[11]
Sebagian Orang Sakai tidak terlibat dalam komflik-komflik tersebut, karena
mereka tidak merasa menjadi bagian yang sebenarnya dari salah satu dua Aliran
tersebut. mereka masih lebih percaya terhada kepada kepercayaan-keparcayaan
asli nenek moyang mereka, bahwa lingkungan hidup mereka di huni oleh makhluk
gaib yang dinamakan “antu” atau “hantu”. Antu itu ada yang baik dan ada yang
buruk. Mereka tinggal dan menjadi penghuni Pepohonan, Sungai-sungai, Rawa-rawa,
Wilayah hutan, Lading, tempat pemukiman, Rumah dan sebaginya. Seperti halnya
dengan manusia, maka antu-antu ada yang hidup menyendiri dan ada juga yang
hidup dalam satu kesatuan masyarakat yang kecil dan besar atau kerajaan. Dalam
konsep budaya orang sakai kerajaan antu berada di tengah-tengan rimba belantara
yang belum pernah di rabah manusia ataupun di rabah manusia di lihat dan di
terawang. Orang Sakai percaya bahwa antu-antu hidup dalam dunia mereka sendiri
yang berbeda dengan dunia manusia. Bedanya dengan manusia adalah bahwa manusia
tidak dapat melihat antu akan tetapi antu-antu dapat melihat manusia dan bahkan
mengganggu mereka. Hanya orang-orang tertentu yang memiliki kemampuan dan
pengetahuan untuk melakukan upacara sacral yang dapat berhubungan, memanggil
serta menyeluruh antu-antu untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan yang di
khendakinya.
Kemudian mengenai masalah
penyakit yang mereka derita: kemalangan dan kematian, sebagian besar di
sebabkan oleh bagian antu. Walaupun demikan tidak ada rasa takut terhadap antu,
kecuali anak-anak keci yang biasanya di takut-takuti orang tuanya atau oleh
mereka yang lebih tua kalau mereka selalu menangis atau tidak menurut perintah.
Ketidak takutan mereka terhadap antu tersebut di sebabkan oleh adanya keyakinan
bahwa antu-antu itu memang ada di Alam sekeliling tempat mereka hidup, dan
bahwa ada mantra-mantara dan upacara-upacara ritual yang dapat digunakan untuk
mengobati penyakit-penyakit oleh antu tersebut.
Dalam konsep mereka, arwah dari
orang-orang mati juga menjadi bagian dari antu-antu tersebut, arwah dari
orang-orang yang meninggal ditakuti oleh anggota-anggota keluarganya yang masih
hidup, terkecuali anak kecil atau bayi yang baru lahir ketakutan itu di
sebabkan oleh adanya keyakinan bahwa arwah yang baru saja meninggal sebenarnya
hidup di dunia lain tetapi berada di tempat anggota keluarganya yang masih
hidup.[12]
oleh karena itu, bila ada orang yang meninggal dunia maka keluarga yang di
tinggalkan mati keluar meninggalkan rumah kediaman mereka selama satu minggu
setelah si mati dikubur, dan supaya arwah si mati tidak menempel terus pada
diri mereka maka caranya adalah menyebrangi sungai, karen orang mati tidak
menyebrangi sungai.[13]
C. Upacara Adat Dan
Keagamaan Suku Sakai
Suku
Sakai merupakan komunitas asli suku pedalaman yang hidup di daratan Riau.
Mereka selama ini sering dicirikan sebagai kelompok terasing yang hidup
berpindah-pindah. Dari tempat tinggal, masyarakat Sakai dapat dibedakan menjadi
Sakai Luar dan Sakai dalam. Sakai dalam merupakan warga
Sakai yang masih hidup
setengah menetap dalam rimba belantara, dengan mata pencarian berburu,
menangkap ikan dan mengambil hasil hutan. Sakai Luar adalah warga yang mendiami
perkampungan berdampingan dengan pemukiman-pemukiman Puak Melayu dan Suku lainnya. Propinsi Riau didiami
masyarakat suku terasing yang terdiri dari 5 suku yang termasuk kategori
masyarakat terasing. Kelima Suku
terasing tersebut adalah:
Ø
Suku
Laut
Ø
Suku
Hutan
Ø
Suku
Talang Mamak
Ø
Suku
Bonai
Ø
Suku
Akit
Suku
Sakai tergolong dalam Ras Veddoid dengan ciri-ciri
rambut keriting berombak. Kulit coklat kehitaman, tinggi tubuh laki-laki
sekitar 155 cm dan perempuan 145 cm. Untuk berhubungan satu sama lain, Orang Sakai menggunakan Bahasa Sakai. Banyak diantara
mereka mengujar logat-logat bahasa batak Mandailing, Bahasa Minangkabau dan
bahasa Melayu. Dilingkungan
masyarakat Suku
Sakai masih ditemukan
upacara yang berkaitan dengan daur hidup. Pelaksanaan upacara tersebut
dilaksanakan secara turun temurun yang masih dipertahankan oleh masyarakat suku
Sakai. Adapun upacara
tersebut antara lain:
Ø
Upacara
kematian
Sebelum
orang Sakai memeluk Agama Islam atau Kristen maka jika ada seorang Sakai
meninggal dunia, maka mayatnya di letakan di tengah-tenga rumah. Para kerabat
dan tetangga satu “perbatinan” diberitahu. Jika seorang “pak kuneng” atau
saudara laki-laki ibu tertua dari “ego” maka si “ego” harus segera mengambil
sebilah parang dan dengan parah tersebut melukai keningnya sampai darahnya
mengucur. Bila yang meninggal dunia seorang yang massih muda maka “pak kuneng”
dari si mati melakukan hal yang sama. Darah yang mengucur tersebut harus
diteteskan di muka dan dada si mayat.[14]
Ø
Upacara
kelahiran
Ø
Upacara
pernikahan
Ø
Upacara
penobatan batin (orang yang dituakan atau pemimpin suku) baru.
Selain
upacara yang berkaitan dengan lingkungan hidup ada juga upacara yang berkaitan
dengan peristiwa alam diantaranya,
Ø
Upacara
menanam padi
Ø
Upacara
menyiang
Ø
Upacara
sorang sirih
Ø
Upacara
tolak bala.
Pada
saat ini masyarakat suku Sakai
sudah mengalami perubahan sebagian sudah memeluk agama Islam dan memperoleh
pendidikan mulai Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Masyarakat suku Sakai tidak
hanya bekerja sebagai peramu tetapi sudah ada yang bekerja sebagai guru,
pegawai negeri, pedagang, petani dan nelayan. Walaupun sudah mengalami
perubahan dalam masyarakat Sakai
tetapi masih berkaitan dengan upacara daur hidup masih melekat dalam kehidupan
mareka. Masyarakat berpandangan apabila tidak melaksanakan upacara tersebut
akan mendapatkan musibah menurut kepercayaan mereka yaitu akan diganggu oleh
makhluk-makhluk gaib yang dinamakan antu (hantu).[15]
D. Interaksi Kepercayaan Orang Sakai Dengan
Agama-Agama Lain
Sebagian dari orang Sakai di kecamatan
Mandau ada yang memeluk agama keristen di samping mayoritas agama keristen
walaupun jumlah mereka yang memeluk agama Keristen amat sedikit bila di
bandingkan dengan yang memeluk agama Islam, Tetapi Tokoh-Tokoh Islam Di
Kecamatan Manda umeng khawatirkan perluasan jumlah mereka. Kemudian masyarakat
Sakai yang memeluk Agama Kristen ini tetap menjalankan cara-cara kehidupan
mereka sebagai Orang Sakai yaitu berladang; sedangkan bagian lainnya mengubah
mata pencaharian mereka menjadi pedagang atau buruh. Yang menarik adalah bahwa
kalau sehari-hari Orang-orang Sakai beragama Kristen itu tampak kumal tetapi
pada hari Minggu, pada waktu pergi ke gereja, mereka tampak berpakaian rapih.
Karena itu Agama Orang Sakai itu bersifat lokal dan hanya berlaku untuk tingkat
lokal, baik dalam pengertian wilayah maupun corak kegiatannya yang khusus lokal
yang tidak tercakup di dalam dan oleh ajaran-ajaran Agama besar Islam dan
Kristen. Salah satu perwujudannya adalah cara pengobatan yang mereka namakan
“dikir” (yang tidak sama “zikir” dalam Islam).[16]
DAFTAR PUSTAKA
Hidayah Zulyani,
Ensiklopedia: Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: PT pustaka LP3ES, 1997.
http://www.knowledge-leader.net/2011/03/definisi-agama-di-indonesia-sebuah-dilema-agama-pribumi/
Suparlan Supardi,
orang sakai di riau: Masyarakat Terasing Dalam Masyarakat Indonesia. Jakarta.
Yayasan Obor Indonesia : 1995.
[1] Zulyani
Hidayah, Ensilopedia, Suku Bangsa di Indoneisa.( Jakarta: PT Pustaka LP3ES,
1997) Hal. 330)
[3] Zulyani
Hidayah, Ensiklopedia: Suku Bangsa di Indonesia.(Jakarta: PT pustaka LP3ES,
1997) Hal. 331
[4] http://melayu.online.com/ind/culture/dig/2597/umah-rumah-panggung-tradisional-orang-sakai-di-riau,
pada waktu 03:36, hari kamis
[5] http://melayu.online.com/ind/culture/dig/2597/umah-rumah-panggung-tradisional-orang-sakai-di-riau,
pada waktu 03:36, hari kamis
[11] Parsudi
suparlan, orang sakai di riau: Masyarakat Terasing Dalam Masyarakat Indonesia.
(Jakarta. Yayasan Obor Indonesia 1995) hal. 194-196
[15]http://onlineallarticles.blogspot.co.id/2011/10/makalah-adat-istiadat-suku-sakai.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar