ISLAM
WETU TELU DI
LOMBOK
Makalah
Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Makalah
Dalam
Mata Kuliah Agama Lokal
Disusun
Oleh :
Nur
Kholis Swandy
Qonita
Rahmat
Fajri Al-Azis
Program
Studi Perbandingan Agama
Fakultas
Ushuluddin
Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2016
KATA
PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum
Wr. Wb
Segala
puji bagi Allah SWT yang telah menganugrahkan nikmat dan karunianya sehingga
kita, manusia merupakan makhluk yang paling utama dan sebaik-baiknya ciptaan
dari makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang lain. Dengan
karunia berupa potensi akal itulah kami dapat mengaktualisasikannya dalam
bentuk kecil berupa makalah ini.
Makalah dengan
judul “Islam Wetu Telu di Lombok”
ini adalah makalah untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Agama-Agama Lokal
dalam program studi Perbandingan Agama. Makalah ini
menghidangkan kepada pembaca penjelasan singkat tentang kepercayaan wetu telu, sejarah,
tokoh-tokoh serta pendirinya, pokok-pokok kepercayaan, konsepsi kepercayaan wetu
telu, ritual dan praktek keagamaan dan juga interaksi kepercayaan penganut Islam
wetu telu dengan agama-agama lain.
Selanjutnya,
ucapan terimakasih yang tiada terkira kami ucapkan kepada semua elemen sosial,
fasilitas akademis, referensi dan lain sebagainya yang tak dapat kami sebutkan
satu persatu, yang telah banyak membantu kami dalam menyelesaikan tugas mulia
ini.
Last but not least,
ucapan maaf juga ringan terucap dari lisan ini apabila pembaca banyak menemukan
kesalahan dalam ranah kontens maupun penulisannya. Karena semua yang baik
hanyalah datang dari Allah, dan yang buruk datangnya dari setan dan kami
manusia hanyalah korban.
Billahittawfiq
wal hidayah
Wassalamualikum
Wr. Wb
Ciputat, 17 Maret 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Aliran wetu telu adalah salah satu
bentuk paham dalam Islam yang khas dan hanya terdapat di Lombok.
Sebelum masuknya Islam, masyarakat yang mendiami pulau Lombok
berturut-turut menganut kepercayaan animisme, dinamisme kemudian Hindu. Mereka percaya bahwa roh orang yang sudah
meninggal pergi ke gunung Rinjani, roh itu bisa kembali pada waktu-waktu
tertentu atau bila diperlukan ke rumah anak cucu atu keluarganya yang lain.
Kemudian Islam yang masuk ke dalam
sistem ajaran agama pada waktu penyebaran Islam berlangsung di Bayan. Akibatnya
adalah Islam dan adat adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan.[1]
Sebegitu besar pengaruhnya terhadap perilaku masyarakat Bayan, apakah sebenarnya kepercayaan wetu telu itu? Sehingga masyarakat Bayan dapat menganutnya sebagai kepercayaan lokal setempat? Lalu, dari mana kepercayaan wetu telu itu berasal, sejarah,
pendiri dan tokoh-tokohnya itu muncul,
sehingga kepercayaan ini dianggap relevan atau sesuai dengan kultur masyarakat dan masih ada sampai sekarang?
Makalah kecil ini mencoba untuk menjawab beberapa pertanyaan diatas
yang menurut penulis paling fundamen dalam keagamaan masyarakat pada umumnya.
B. Rumusan Masalah
· Apakah yang dimaksud dengan kepercayaan wetu
telu, sejarah, tokoh-tokoh serta pendirinya?
· Apa saja pokok-pokok kepercayaan dan keagamaan
dalam kepercayaan wetu telu?
· Bagaimana konsepsi kepercayaan wetu telu?
· Bagaimana interaksi kepercayaan penganut Islam
wetu telu dengan agama-agama lain?
C.
Tujuan Penulisan
·
Mengetahui apa yang dimaksud dengan kepercayaan wetu telu, sejarah,
tokoh-tokoh serta pendirinya.
·
Mengetahui pokok-pokok kepercayaan dan keagamaan dalam kepercayaan wetu
telu.
· Memahami konsepsi kepercayaan wetu telu.
· Mengetahui interaksi kepercayaan penganut
Islam wetu telu dengan agama-agama lain.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Geografis Lombok dan Asal Usul Nama Wetu Telu
Di antara kepulauan Indonesia, Lombok terletak di sebelah
timur Bali dan di sebelah barat Sumbawa. Pada bagian barat, terletak selat
Lombok dan pada bagian timur, terdapat selat Alas. Di sebelah utara Lombok juga
berbatasan dengan Laut Jawa dan di sebelah timur lautan Indonesia di bagian
selatannya.
Provinsi NTB terdiri dari enam kabupaten dan satu
kotamadya. Enam kabupaten itu adalah Lombok Barat, Lombok Tengah, dan Lombok
Timur yang terletak di pulau Lombok dan Sumbawa, Dompu, dan Bima yang terletak
di pulau Sumbawa. NTB merupakan daerah dengan luas sekitar 2,015,315 kilometer
dan mempunyai penduduk sekitar 3,369,649 yang tersebar secara tidak merata di
keenam kabupatennya. Lebih dari 70% atau sekitar 2.4 juta penduduk NTB bermukim di Lombok.
Lombok sendiri merupakan kawasan dengan luas 470,000
kilometer atau hampir seperempat dari luas provinsi NTB. Lombok Barat dengan
penduduk berjumlah 859,273 orang merupakan kabupaten dengan penduduk paling
padat.[2]
Kecamatan Bayan berada diujung utara Pulau Lombok, dan kira-kira
berjarak 80 km dari pusat ibu kota provinsi. Untuk mencapainya dari arah
Mataram atau Ampenan, maka harus melewati Lombok Barat dan beberapa kecamatan
lain seperti Tanjung, Pemenang, Kayangan,
dan Gangga.
Wilayah Bayan terbentang di sebelah
utara Laut Jawa,
berada di sebelah barat
selat Lombok dan kabupaten Lombok Barat. Sebagian wilayah Bayan adalah pantai,
tapi sebagian lain wilayahnya adalah pegunungan. Dengan posisi geografis
seperti itu, maka Bayan dan Lombok Utara sangat strategis sebagai jalur
perhubungan laut dan daerah tujuan wisata dan turisme.
Selama puluhan tahun Bayan termasuk wilayah Lombok Barat namun pada
tahun 2008 terjadi pemekaran wilayah dan Bayan kini menjadi bagian dari
kabupaten Lombok Utara, NTB. Kecamatan Bayan memiliki luas wilayah 366,10 kilometer dengan total penduduk 47,01 jiwa. Dari aspek penduduk Muslim
berjumlah 45,382 orang, Prostestan 8
orang, Hindu
326 orang, dan Budha 1,325
orang. Sejauh ini tidak ada data mutakhir berapa jumlah resmi penganut adat dan
kepercayaan wetu telu di Bayan.
Namun sebuah sumber di Bayan menjelaskan bahwa mayoritas penduduk yang mengaku
muslim di Bayan adalah penganut wetu telu yang dianut oleh kurang lebih 95% penduduk muslim Bayan. Namun ini
hanyalah sekedar estimasi di lapangan karena hampir semua penduduk Bayan
meskipun mereka menganut paham wetu telu
tapi mereka tetap mengakui Islam sebagai agamanya.[3]
Sasak adalah penduduk asli dan kelompok etnik mayoritas
Lombok. Mereka meliputi lebih dari 90% dari keseluruhan penduduk Lombok.
Wetu telu adalah orang Sasak yang meskipun mengaku sebagai Muslim,
terus memuja roh para leluhur, berbagai dewa roh dan lain-lainnya di dalam
lokalitas mereka. Dalam kehidupan sehari-hari mereka cenderung mengabaikan
praktek Islam yang rutin yang dianggap wajib oleh kalangan waktu lima.
Adat memainkan peran dominan di kalangan komunitas wetu telu, dan dalam
beberapa hal praktek adat bertentangan dengan Islam. Meskipun mereka menyadari
aturan-aturan adat tertentu, sepertinya memberi penghormatan kepada leluhur di
kuburan dan memuja roh-roh mereka, jelas berlawanan dengan hukum Islam,
kalangan wetu telu memeliharanya sebagai bagian dari tradisi keagamaan
mereka. Wetu telu tidak menggariskan suatu batas yang jelas antara adat
dan agama. Karenanya adat sangat bercampur-aduk dengan agama lokal.[4]
Filosofi Nama Wetu telu
Aliran wetu telu adalah salah satu bentuk paham dalam Islam
yang khas dan hanya terdapat di Lombok.
Adat Bayan tercermin pada filosofi wetu telu (wetu artinya keluar atau lahir, dan telu artinya
tiga). Bilangan tiga ini kemudian selalu diulang-ulang dalam melihat dan
memahami realitas. Menurut kosmologi Bayan, makhluk hidup terbagi tiga: 1).
Yang lahir seperti manusia atau hewan, 2). Yang bertelur seperti ayam dan
bebek, 3). Yang tumbuh seperti tumbuhan. Demikian juga waktu: masa lalu, masa
kini, dan masa yang akan datang. Alam juga terbagi tiga: alam rahim, alam
dunia, dan alam akhirat. Kepercayaan pada yang serba tiga ini berasal dari
tradisi animisme dan Hindu-Buddha yang masuk ke dalam struktur adat.[5]
Wetu telu didefinisikan secara berbeda-beda sesuai dengan penafsiran
masing-masing kelompok, diantaranya sebagai berikut:
·
Kelompok
Islam wetu telu sendiri memberi batasan sebagai “proses kejadian makhluk di alam
semesta”.
·
Seorang
pakar dari Belanda menyebut wetu telu sebagai bentuk
kepercayaan zaman Majapahit yang terkena pengaruh ajaran Islam. Menurut
kenyataannya, wetu telu adalah
sekelompok masyarakat Islam yang belum menyempurnakan syariat atau ajaran
agamanya.[6]
Beragam pendapat menggapa aliran
atau paham ini disebut sebagai wetu telu
antara lain sebagai berikut:
a.
Disebut
penganut wetu telu karena sumber ajaran segala
sesuatu mereka perbuat berasal dari tiga pokok, ushul, tasawuf, dan fiqih.
b.
Seorang
tokoh adat di lombok timur bernama Pe Rumedi mengatakan disebut wetu telu karena segala sesuatu yang ada diatas dunia ini terdiri dari tiga
unsur adat, yaitu : 1. Unsur adat manusia
meliputi kelahiran, perkawinan, dan kematian. 2. Unsur pade (padi),
tentang cara penanaman padi yang tidak boleh menyimpang dari adat yang sudah
ditentukan oleh nenek moyang. 3. Unsur adat agama menyangkut keyakinan terhadap
pemahaman agama Islam yang mengacu pada al-Qur’an dan Hadis Nabi.
c.
Seorang
pemangku adat di Sembalun bernama Pe
Misnip, ia mengatakan bahwa istilah wetu telu
tidak ada sangkut pautnya dengan agama dan digunakan pada pelaksanaan upacara
penanaman padi yang berkisar tanggal 3 atau tiga waktu tertentu. Yakni; 1.
Tanggal 5 Syafar dilakukan penurunan bibit padi dari lumbung. Lalu bibit ini
disiram dengan air yang diambil dari “sumur zamzam”, yakni atas sebuah sumber
mata air; 2. Tanggal 15 Sya’ban, dilakukan upacara “benija” kemakam “kompu”. Air yang mereka bawa dari makam
terebut digunakan sebagai obat pembasmi hama tanaman padi yang akan dibuahi; 3.
Tanggal 25 Zulkai’dah dilakukan upacara terahir yakni “memakdung Oda’-oda” di makam “Reban Bande” untuk menyatakan rasa
syukur atas keberhasilan menanam padi.
d.
Di
daerah Bayan Lombok Barat disebut wetu telu
karena pada diri manusia ada tiga sidat hasil “perasan” dari 20 sifat Allah,
yaitu sifat-sifat dari Allah, sifat-sifat Adam dan sifat Hawa.
e.
Dikatakan
wetu telu karena penganutnya hanya
mengerjakan 3 macam sholat saja, yaitu sholat Jum’at, sholat Hari Raya dan
sholat Jenazah.
f.
Di
desa Lembuak, Lombok Barat mengangap
bahwa sebutan wetu telu karena
didasarkan pada pembagian martabat 3 yakni:
Asmak Sifat Zat
Wahidiyah Wahadah Ahadiah
Adam Muhammad Allah[7]
Pada prinsipnya, istilah Islam wetu telu
datang dari luar dan masyarakat adat penganut ajaran yang disebut wetu telu ini mengaku beragama Islam dan telah menganut ajaran ini selama
ratusan tahun.[8]
Akan tetapi, masalah tentang asal mula wetu telu ini banyak yang berbeda pendapat. Ada yang mengatakan berasal dari
pemeluknya dan ada pula menolak anggapan tersebut. Namun, pandangan yang
mengatakan bahwa istilah wetu telu
muncul dari mereka sendiri sulit diterima yaitu karena beberapa hal.
Pertama, para pengikutnya berbeda-beda menyebut faham mereka sesuai
dengan perbedaan daerah. Bahkan tidak sedikit yang keberatan dengan sebutan ini
yang sering dihubungkan dengan praktek ajaran Islam yang tidak sempurna, dan
berbeda dengan apa yang mereka anut yaitu
berdasarkan ajaran Islam yang benar dan telah diwariskan secara turun
temurun dari nenek moyang mereka.
Kedua, menurut keterangan para pemuka kepercayaan wetu telu, penyebutan istilah wetu telu ini
berasal dari kelompok yang merasa telah menjalankan ajaran Islam secara benar.
Selain itu, proses penamaan juga muncul dari para pengikut wetu telu yang dianggap berbeda dengan penganut ajaran agama Islam pada
umumnya.[9]
Penyebutan istilah wetu telu mempunyai perspektif yang berbeda-beda. Komunitas waktu
lima menyatakan bahwa wetu telu sebagai waktu tiga (tiga:telu) dan mengaitkan makna
ini dengan reduksi seluruh ibadah Islam menjadi tiga. Orang Bayan[10] sebagai penganut terbesar Islam Wetu telu ini,
menolak penafsiran semacam itu. Pemangku Adatnya mengatakan bahwa, term wetu
sering dikacaukan dengan waktu. Wetu berasal dari kata “metu” yang berarti
“muncul” atau “datang dari”. Sedangkan “telu” artinya “tiga”. Secara simbolis
makna ini mengungkapkan bahwa semua makhluk hidup muncul melalui tiga macam
sistem reproduksi, yaitu melahirkan (disebut menganak), bertelur (disebut
menteluk) dan berkembang biak dari benih (disebut juga mentiuk). Term Wetu
telu juga tidak hanya menunjuk kepada tiga macam sistem reproduksi, tetapi
juga menunjuk pada kemahakuasaan Tuhan yang memungkinkan makhluk hidup untuk
hidup dan mengembangkan diri melalui mekanisme reproduksi tersebut.[11]
Sumber lain menyebutkan bahwa ungkapan Wetu telu
berasal dari bahasa Jawa yaitu Metu Saking Telu yakni keluar atau bersumber
dari tiga hal: Al-Qur’an, Hadis dan Ijma. Artinya, ajaran-ajaran komunitas
penganut Islam Wetu telu bersumber dari ketiga sumber tersebut.[12]
B.
Sejarah
Islam Wetu Telu
Sebelum
masuknya Islam, masyarakat yang mendiami pulau Lombok berturut-turut menganut
kepercayaan animisme, dinamisme kemudian Hindu.
Erni
Budiwati mengatakan sebelum kedatangan pengaruh asing di Lombok, Boda
merupakan kepercayaan asli orang Sasak atau dikenal juga dengan Sasak-Boda.
Kendati demikian kepercayaan Boda ini tidaklah sama dengan Budhisme
karena ia tidak mengakui Sidharta Gautama atau Sang Budha sebagai figur utama
pemujaannya maupun terhadap ajaran pencerahannya. Agama Boda dari orang
Sasak asli terutama ditandai oleh animisme[13]
dan panteisme[14].
Pemujaan dan penyembahan terhadap roh-roh leluhur dan berbagai dewa lokal
lainnya merupakan fokus utama dari praktek keagamaan Sasak-Boda.
Konversi orang Sasak ke dalam Islam sangat berkaitan erat
dengan kenyataan adanya penaklukan kekuatan luar yang menaklukkan Lombok selama
berabad-abad. Orang Jawa, Makasar, Bugis, Bali, Belanda, dan Jepang berhasil
menguasai Lombok lebih kurang satu milenium.
Kerajaan Hindu-Majapahit dari Jawa Timur, masuk ke Lombok
pada abad ke-7 dan memperkenalkan Hindu-Budhisme ke kalangan orang Sasak.[15]
Islam
pertama kali masuk melalui para wali dari pulau Jawa yakni Sunan Prapen pada
sekitar abad ke-13, setelah runtuhnya kerajaan Majapahit. Sunan Prapen merupakan raja ke-4 dari dinasti
Giri Kedaton. Ia merupakan anak dari Sunan Dalem penerus Giri yg ke 2. Sunan
Prapen lahir tahun 1432 saka atau 1510 Masehi. Pada umur 46 tahun menjadi raja
Giri ke 4 bertepatan tahun 1556 M. Dan meninggal dunia tahun 2605 M. Umur Sunan
Prapen 95 tahun. Dan memimpin kerajaan Giri Kedaton selama 49 tahun. Islam segera menyatu dengan ajaran sufisme
Jawa yang penuh mistikisme.[16]
Kemudian, orang-orang Makasar tiba di Lombok Timur pada
abad ke-16 dan berhasil menguasai Selaparang, kerajaan orang Sasak asli.
Dibandingkan dengan orang Jawa, orang Makasar lebih berhasil dalam mendakwahkan
Islam Sunni. Kerajaan Bali dari Karangasem menduduki daerah Lombok Barat
sekitar abad ke-17, dan kemudian menkonsolidasikan kekuasaannya terhadap
seluruh Lombok setelah mengalahkan kerajaan Makasar pada tahun 1740. Akan tetapi,
kalangan bangsawan Sasak dan para pemimpin lainnya seperti Tuan Guru
yang telah terislamisasi, merasa tertekan dan bergabung untuk memimpin banyak
pemberontakan yang berakhir kekalahan yang akhirnya meminta campur tangan
Belanda untuk masuk ke Lombok untuk mengusir kerajaan Bali. Namun di luar
ekspektasi bangsawan Sasak, alih-alih mengembalikan kekuasaan kepada para
bangsawan setelah menaklukkan kerajaan Bali, Belanda malah menjadi penjajah
baru terhadap Sasak. Di bawah Belanda, Sasak mengalami kontrol dan penindasan
yang lebih keji daripada penguasa-penguasa sebelumnya. Olehkarenanya, Tuan
Guru membentuk gerakan pemberontakan dan memperoleh pengikut yang meningkat
dan juga meningkatkan polarisasi antara wetu telu (dipimpin bangsawan
Sasak dan memuja adat lokal) dan waktu lima (mengikuti Tuan Guru sebagai
pemimpin keagamaan) yang akhirnya menghasilkan kemerdekaan bagi Lombok pada
tahun 1946, dan pada tahun 1950 Tuan Guru Zainuddin Abdul Madjid yang
juga pemimpin nasionalis mendirikan pesantrennya, Nahdlatul Wathan. Namun
akhirnya banyak bangsawan wetu telu yang berpindah ke waktu lima,
dan wetu telu yang masih ada di Tanjung dan Bayan kian terpencil dari
komunitas Sasak yang mayoritas dan dianggap ketinggalan zaman.[17]
Sebelum masuknya Islam, orang Sasak percaya bahwa roh
orang yang sudah meninggal pergi ke gunung Rinjani, roh itu bisa kembali pada
waktu-waktu tertentu atau bila diperlukan ke rumah anak cucu atu keluarganya
yang lain. Dalam suasana pemahaman seperti itulah Islam masuk pertama kali ke
Lombok. Di satu sisi mereka menjalankan praktek ajaran Islam, tetapi pada sisi
lain mereka begitu kuat berpegang pada ajaran yang diwariskan oleh nenek
moyang. Jadi, jika ada anggapan bahwa pengikut waktu-telu ini adalah pemeluk
Islam yang belum menyempurnakan praktek ajaran Islam yang sesuai dengan
al-Qur’an dan sunnah nabi tergambar pada campur aduknya berbagai kepercayaan
lama dengan ajaran Islam. Islam tak sepenuhnya bisa diterima secara baik oleh
masyarakat asli, tapi setelah para muballig Islam menyesuaikan ajaran Islam
dengan kebudayaan dan adat istiadat setempat, akhirnya dapat diterima oleh
raja-raja dan kepala adat. Dengan kata lain, ajaran dan paham Islam dimasukkan
ke dalam praktek adat istiadat sehari-hari. Karena itu, pengikut waktu-teku ini
selalu mengaku agama yang dianutnya adalah “Islam Adat Gama” (Islam yang sesuai
dengan adat dan agama). Melalui cara itu, Islam berkembang pesat di Lombok. [18]
Islam yang masuk ke dalam sistem ajaran agama pada waktu penyebaran
Islam berlangsung di Bayan. Akibatnya adalah Islam dan adat adalah dua hal yang
tak bisa dipisahkan. Adat dilestarikan lewat lembaga yang ada di masyakarat dan
ditangani oleh pemangku adat yang didalam pembagian wewenang dan otoritas adat
terdapat struktur hirarkis yang mengaturnya. Perayaan ritual menjadi realisasi
pembagian wewenang ini sekaligus meneguhkan identitas kolektif masyarakat
Bayan.
Pada masa kemudian, setelah terjadi Islamisasi secara intensif,
agama di urus oleh tuan guru atau kyai. Dalam sejarah Bayan, adat dan agama
sebenarnya diurus oleh orang atau lembaga yang sama dan satu karena adat dan
agama adalah satu, yang hanya karena fungsinya saja kemudian keduanya dibedakan.
Adat berfungsi sebagai nilai yang menjadi rujukan masyarakat dan masyarakat
yang melanggar ketentuan adat mendapat hukuman yang telah ditentukan oleh adat.
Nilai ini diyakini dapat mengatasi berbagai permasalahan karena dianggap
bersumber dari sesuatu yang supranatural dan sakral. Pada praktiknya adat dan
agama dapat dilihat dalam berbagai peralihan (kelahiran, perkawinan, dan
kematian). Semua ada adatnya dan semua memiliki nilai agamawi di dalamnya. Menurut Lalu Lukman dalam bukunya disampaikan juga dugaan
bahwa praktik tersebut bertahan karena para wali yang menyebarkan Islam pertama
kali tersebut, tidak sempat menyelesaikan ajarannya, sehingga masyarakat waktu itu terjebak pada masa peralihan. Para murid yang ditinggalkan tidak memiliki keberanian untuk
mengubah praktik pada masa peralihan tersebut ke arah praktik Islam yang
lengkap. Hal itulah salah satu penyebab masih dapat ditemukannya penganut wetu telu di
masa modern.[19]
Bahasa pengantar yang digunakan para penyebar tersebut adalah
bahasa Jawa Kuno. Dalam menyampaikan ajaran Islam, para wali tersebut tidak
serta merta menghilangkan kebiasaan lama masyarakat yang masih menganut
kepercayaan lamanya. Bahkan terjadi akulturasi antara Islam dengan budaya
masyarakat setempat, karena para penyebar tersebut memanfaatkan adat-istiadat
setempat untuk mempermudah penyampaian dan penyebaran Islam. Kitab-kitab ajaran
agama pada masa itu ditulis ulang dalam bahasa Jawa Kuno. Bahkan syahadat bagi
para penganut wetu telu dilengkapi dengan kalimat dalam bahasa Jawa Kuno. Pada masa itu,
yang diwajibkan untuk melakukan peribadatan adalah para kiai atau pemangku adat
saja (sebutan untuk pewaris adat istiadat nenek moyang).[20]
Pasca kesuksesan Sunan Prapen mengislamkan masyarakat suku Sasak
saat itu, Sunan Prapen bergegas meninggalkan Lombok untuk menyebarkan agama
Islam ke wilayah Sumbawa dan Bima. Akan tetapi, sepeninggal Sunan Prapen timbul
masalah baru di kalangan masyarakat suku sasak Yakni kaum wanita suku Sasak menolak
memeluk agama Islam. Tak hanya itu, masyarakat Sasak juga terpecah menjadi 3
golongan yaitu golongan yanga memilih mempertahankan kepercayaan lamanya dan
lari ke hutan (orang Boda), golongan yang takluk dan memeluk Islam (waktu
lima) dan golongan yang hanya takluk pada kekuasaan Sunan Prapen (wetu telu).
Akibat dari adanya masalah ini Sunan Prapen akhirnya kembali lagi ke Lombok
untuk meluruskan dan memperbaiki penyebaran Islam di Lombok.
Dari ketiga golongan tersebut, Islam wetu telu
adalah golongan yang keberadaannya masih bertahan sampai sekarang. Hal ini
disebabkan oleh proses Islamisasi yang belum tuntas sebagai penyebab utama
munculnya Islam wetu telu.[21] Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut (1) kedatangan Islam
pada saat kuatnya kepercayaan tradisional seperti animisme, dinamisme, dan Boda,
(2) dominasi ajaran Hindu Majapahit yang telah berakar kuat di masyarakat, (3)
para muballigh dan ulama yang menyampaikan ajaran agama Islam terburu-buru
meninggalkan tempat tugasnya untuk menyebarkan agama Islam ke tempat lain
seperti Sumbawa, Dompu, dan Bima, (4) para murid yang menjadi kepanjangan
tangan para mubaligh dan ulama belum memiliki kemampuan menafsirkembangkan
ajaran Islam secara rasional dan (5) metode dakwah yang sangat toleran dengan komitmen
tidak akan merusak adat istiadat setempat.[22]
C.
Pendiri dan Tokoh-Tokoh Wetu Telu
Menurut penjelasan pendiri Pengurus Persatuan
Islam Wetu-Telu di Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat di Mataram. Pada waktu
yang tidak diketahui, datang seorang utusan bernama Pangeran Gusti Ngurah dari
Jawa Tengah dengan membawa dua buah al-Qur’an, yang al-Qur’an itu sampai
sekarang harus dibaca dengan menggunakan lampu dari buah jeruk, dan kedua
al-Qur’an itu ditinggalkan di Lombok ketika Sang Pangeran melanjutkan perjalanannya
ke Sumbawa. Beberapa tahun kemudian, datang lagi seorang utusan lain bernama
Gempa Agung yang datang mencari Pangeran Gusti Ngurah. Karena tidak ada, maka
Gempa Agung tinggal di Lombok dan mengajarkan Islam kepada penduduk.
Namun demikian, di beberapa tempat di Lombok
ada pula keterangan lain tentang siapa pendiri dan penyebar Islam wetu telu ini sesuai dengan daerah masing-masing. Misalnya yang dianggap sebagai
pendiri Islam wetu
telu (Lombok Barat
bagian Utara) adalah Ratu Mas Pahit Sembah Ulun yang disebut Wong Mukmin. Dia
adalah seorang penyebar Islam dari Jawa. Dalam penyebaran ajaran Islam ia
berpedoman pada sumber Islam yang hakiki, yakni al-Qur’an dan Hadist, tetapi
tidak membrantas adat yang berlaku di Lombok.[23]
Demikian pula di daerah Sembalun, Lombok
Timur, tidak diperoleh keterangan secara pasti nama dari orang yang pertama
kali membawa faham wetu
telu ini. Hanya
diperoleh cerita yang disampaikan secara turun-temurun. Dahulu kala, menurut
cerita tersebut, di daerah Lombok ada seorang guru yang datang untuk
mengajarkan agama Islam. Oleh masyarakat Sembalun, guru itu diberi gelar Titik
Selamin. Sebelum dai menyampaikan secara utuh ajaran Islam. Ia lalu melanjutkan
dakwahnya ke Pulau Sumbawa dan kemudian tidak pernah kembali lagi.
Adapun tokoh-tokoh wetu telu yang bisa disebutkan antara lain:
1.
Raden Singadriya, seorang tokoh adat yang besar di daerah Bayan, Lombok
Barat bagian Utara.
2.
Datu Sukowati, ia mantan hakim pada Pengadilan Negeri Selong, Lombok Timur.
3.
Lalu Badriai alias Manik Irmansyah, ia mantan pegawai Kantor Penerangan
Daerah Provinsi NTB.
4.
Mamiq Murti.
5.
Raden Suweno.
6.
Lalu Andaka.
7.
Aja, yang tinggal di desa Panarukan. Kecamatan Gerung, Lombok Barat.
8.
Lalu Jadid.
Di samping itu, juga ada tokoh-tokoh wetu
telu yang sudah meninggal dianataranya:
1.
Kyai Talun, meninggal tahun 1937,
2.
Guru Dolah, meninggal tahun 1939,
3.
Kyai Adet, meninggal tahun 1934,
4.
Dr. Raden Sujono, meninggal tahun 1944,
5.
Kapuk Magas,
6.
Mamiq Ocet Salim, meninggal pada tahun 1965,
7.
Lalu Bratayudha, meninggal pada tahun 1965.[24]
D.
Ritual
dan Praktek Keagamaan Wetu Telu
Pada
umumnya orang Bayan menghormati hari-hari besar Islam, ritus peralihan (rites
of passage)[25]
dan siklus tanam padi. Akibatnya sekalipun pada mulanya berasal dari Islam,
ritus-ritus tersebut sangat diwarnai dengan ciri khas adat lokal. Orang Bayan
menggunakan kalender qomariyah dan memperingati peristiwa-peristiwa penting
berdasarkan penanggalan tersebut. Selain itu orang Bayan juga memperhitungkan
waktu berdasarkan siklus 8 tahunan, suatu tata cara yang tidak dikenal dalam
Islam. Dalam kehidupan beragama juga ditemukan sikap mensakralkan sesuatu, baik
tempat, buku, orang, benda tertentu, dan lain sebagainya. Kepercayaan kepada
kesakralan sesuatu menuntut ia diperlakukan secara khusus baik berupa upacara
keagamaan ataupun ritual lainnya.[26]
Islam wetu telu mempunyai pandangan hidup yang serba Telu (tiga), seolah-olah
angka itu merupakan angka sakral. Inilah salah satu yang membedakan antara
Islam wetu telu
dengan Islam ortodok. Al Syahrastani juga menganggap penting al-adat
(angka). Rukun Islam yang lima oleh penganut Islam wetu telu
dipotong menjadi tiga yaitu syahadat, shalat dan puasa pada bulan Ramadhan.
Sedangkan rukun ke empat dan lima yaitu haji dan zakat mereka tinggalkan,
itupun tidak dilaksanakan dengan sempurna. Dalam hal puasa Ramadhan mereka
puasa hanya tiga hari pertama, tiga hari pertengahan dan tiga hari terakhir.
Selain itu juga kegiatan apapun yang berhubungan dengan daur hidup (kematian,
kelahiran, penyembelihan hewan, selamatan dan sebagainya, juga
harus diketahui oleh kiai atau pemangku adat dan mereka harus mendapat bagian
dari upacara-upacara tersebut sebagai ucapan terima kasih dari tuan rumah.[27]
Di
Bayan ini terdapat mesjid kuno yang biasa dipakai untuk melaksanakan ibadah
shalat bagi penganut wetu telu. Untuk memasuki mesjid ini tidak bisa sembarang memakai pakaian
tapi harus memakai sarung dan kemeja putih. Selain itu juga di wilayah ini
masyarakat melakukan berbagai upacara adat terutama dalam rangka bertani
seperti upacara adat bonga padi. Masyarakat di sini juga sangat tabu
melupakan leluhur karena bisa mengakibatkan terjadi bencana. Ada juga sebuah
tempat yang digunakan oleh umat berbagai agama untuk berdoa. Namanya “Kemaliq”
yang artinya tabu, suci dan sakral. Terletak di Desa Lingsar Kabupaten Lombok
Barat yang setiap tahun mengadakan sebuah upacara adat yang bernama “Upacara
Pujawali dan Perang Topat” sebagai wujud rasa syukur atas hujan yang
diberikan Tuhan YME pada umat manusia.
Penyebutan
Islam wetu telu ini
disangkal oleh Raden Gedarip, seorang pemangku adat Karangsalah. Menurutnya,
Islam hanya satu, tidak ada polarisasi antara waktu tiga (wetu telu)
dan waktu lima. “Sebenarnya wetu
telu bukan agama,
tetapi adat”, ucapnya. Lebih lanjut, ia
menyatakan bahwa masyarakat adat wetu
telu ini mengakui
dua kalimah syahadat, “Allah Tuhan kami yang kuasa dan nabi Muhammad sebagai
utusan Allah”. Dua kalimat syahadat pun diucapkan oleh penganut wetu telu
ini, Setelah diucapkan dalam bahasa Arab, kata Gedarip, diteruskan dalam bahasa Sasak, misalnya: “Asyhadu Ingsun
sinuru anak sinu. Anging stoken ngaraning pangeran. Anging Allah pangeran. Ka
sebenere lan ingsun anguruhi. Setukhune nabi Muhammad utusan demi Allah.
Allahhuma shali Allah sayidina Muhammad”. Artinya: “Kami berjanji
(bersaksi) bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan kami percaya bahwa nabi
Muhammad adalah utusan Allah”. Disebut “berjanji” karena diakui sudah menerima
agama Islam.[28]
Dalam
kehidupan masyarakat penganut Islam wetu
telu di mana dalam
agamanya pun tidak lepas dari kebudayaan yang terakulturasi dalam agama yang
mereka yakini sehingga terdapat pula ritual-ritual seperti halnya dalam
ritual-ritual kepercayaan yang ada dalam menganut Islam waktu lima.[29]
Adapun bentuk-bentuk dialektika antara Islam dan Budaya dalam wetu telu
tersebut yaitu:
1.
Adat
Hidup dan Mati: semenjak kelahiran hingga kematian dalam kehidupan seseorang
terdapat serentetan upacara-upacara adat sebagai berikut:
a.
Buang
Au, upacara
dilaksanakan menjelang seorang bayi berumur 7 hari kemudian langsung diberi
nama. Seperti halnya dalam waktu lima yang disebut Aqiqah.
b.
Ngurisan
dan Nyunatan, upacara
dilaksanakan apabila anak-anak mencapai umur tiga sampai enam tahun. Hal ini
juga dilakukan dalam Islam.
c.
Potong
Gigi dan Ngawinan,
merupakan upacara yang menandai peralihan dari kanak-kanak menjadi dewasa.
Dalam upacara ini pemangku atau kiai menghaluskan gigi bagian depan anak
laki-laki dan gadis remaja yang berbaring di berugak.
Begitu
pula dalam peristiwa kematian banyak sekali macam upacara bahkan terjadi
pengorbanan yang luar biasa karena dianggap sebagai penghor-matan terakhir pada
almarhum. Kegiatan upacaranya meliputi: penyelenggaraan jenazah seperti
memandikan, mengafankan, menyalatkan dan menguburkan. Setelah keempat upacara
tersebut selesai kemudian menyusul kegiatan lainnya, berupa upacara sebagai
berikut:
a.
Nelung, yaitu hari ketiga dari peristiwa kematian,
b.
Mituq, yaitu hari ke tujuh dari peristiwa kematian,
c.
Nyanga, yaitu hari kesembilan dari peristiwa kematian. Pada hari ini
diserahkan sebagian harta benda almarhum kepada pihak petugas atau acara ini
lazim disebut istilah nyelawat.
d.
Pelayaran, upacara ini dilaksanakan tiap-tiap minggu atau bulan tepat pada
hari kematian sesorang.
e.
Matangpulu,
Nyatus dan Nyiu; masing-masing
diadakan pada hari yang ke empat puluh, keseratus dan keseribu. [30]
2.
Adat
Agama; warna Islam juga ditemukan dalam ritual-ritual yang berkaitan dengan
hari besar Islam, seperti:
a.
Rowah
Wulan dan Sampet
Jum’at
Kedua upacara ini dimaksudkan untuk menyambut tibanya bulan puasa
(Ramadlan). Rowah Wulan diselenggarakan pada hari pertama bulan Sya’ban,
sedangkan Sampet Jum’at dilaksanakan
pada jum’at terakhir bulan Sya’ban. Tujuannya adalah sebagai upacara pembersihan
diri menyambut bulan puasa, saat mereka diminta untuk menahan diri dari
perbuatan yang dilarang guna menjaga kesucian bulan puasa.
Upacara-upacara ini tergolong unik, karena masyarakat wetu telu
sendiri tidak melakukan puasa. Yang melaksanakan hanyalah para kiai, itupun
tidak sama dengan tata cara berpuasa yang dilakukan oleh penganut waktu lima.
b.
Maleman
Qunut dan Maleman
Likuran
Maleman Qunut
merupakan peringatan yang menandai keberhasilan melewati separuh bulan puasa.
Upacara ini dilaksanakan pada malam keenam belas dari bulan puasa. Bila
dibandingkan dengan Waktu Lima, pada malam keenam belas dalam pelaksanaan
rakaat terakhir shalat witir setelah shalat tarawih disisipkan qunut.
Barangkali atas dasar ini kemudian wetu
telu
menyelenggarakan Maleman Qunut.
Sedangkan
Maleman Likuran merupakan upacara yang
dilaksanakan pada malam ke-21, 23, 25, 27, dan 29 bulan puasa. Perayaan tersebut
dinamakan maleman selikur, maleman telu likur, maleman selae, maleman pitu
likur, dan maleman siwak likur. Pada malam ini masyarakat wetu telu
secara bergiliran menghidangkan makanan untuk para kyai yang melaksanakan
shalat tarawih di masjid kuno. Adapun pada malam ke-22, 24, 26, dan 28
dirayakan dengan makan bersama oleh para kyai. Perayaan ini disebut sedekah
maleman likuran.[31]
c.
Maleman
Pitrah dan Lebaran
Tinggi
Maleman Pitrah
identik dengan saat pembayaran zakat fitrah di kalangan waktu lima.
Hanya saja dalam tradisi wetu telu terdapat sejumlah perbedaan dalam tata cara pelaksanaannya dengan
Waktu Lima. Dalam tradisi wetu telu, maleman Pitrah merupakan saat dimana masing-masing anggota
masyarakat mengumpulkan pitrah kepada para kyai yang melaksanakan puasa dan
hanya dibagikan di antara para kyai saja. Bentuk pitrahnya pun berbeda. Dalam
ajaran waktu lima, yang juga mentradisi di kalangan Islam pada umumnya,
zakat fitrah hanya berupa bahan makanan dengan jumlah tertentu dan hanya
dikeluarkan untuk orang-orang yang hidup. Dalam tradisi wetu telu,
Pitrahnya berupa makanan, hasil pertanian, maupun uang, termasuk uang kuno, dan
berlaku baik untuk yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Untuk yang
masih hidup Pitrah itu disebut Pitrah Urip, sedangkan untuk yang sudah
meninggal disebut Pitrah Pati.
Sedangkan
Lebaran Tinggi identik dengan pelaksanaan hari raya Idul Fitri bagi penganut waktu
lima. Bedanya, dalam upacara Lebaran Tinggi diadakan acara makan bersama
antara pemuka agama dan pemuka adat, serta masyarakat penganut wetu telu.
d.
Lebaran
Topat
Lebaran Topat
diadakan seminggu setelah upacara Lebaran Tinggi. Dalam perayaan ini, seluruh
Kyai dipimpin Penghulu melakukan Sembahyang Qulhu Sataq atau shalat empat
rakaat yang menandai pembacaan surat Al-Ikhlas masing-masing seratus kali.
Lebaran Topat berakhir dengan makan bersama di antara para kyai. Dalam perayaan
ini, ketupat menjadi santapan ritual utama.
e.
Lebaran
Pendek
Lebaran Pendek
identik dengan pelaksanaan hari raya Idul Adha di kalangan waktu lima.
Pelaksanaannya dilakukan dua bulan setelah lebaran topat. Dimulai dengan shalat
berjamaah di antara para Kyai disusul acara makan bersama dan setelah itu
dilanjutkan dengan pemotongan kambing berwarna hitam.[32]
f.
Selametan
Bubur Puteq dan Bubur Abang
Upacara
selametan Bubur Puteq dan Bubur Abang dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram dan
8 Safar menurut penanggalan wetu telu. Upacara ini untuk memperingati munculnya umat manusia dan beranak
pinaknya melalui ikatan perkawinan. Bubur puteq (bubur putih) dan bubur abang
(bubur merah) merupakan hidangan ritual utama yang dikonsumsi dalam upacara
ini. Bubur putih melambangkan air mani yang merepresentasikan laki-laki,
sedangkan bubur merah melambangkan darah haid yang merepresentasikan perempuan.
g.
Maulud
Dari
penyebutannya, terkesan bahwa upacara ini terkait dengan upacara peringatan
kelahiran Nabi Muhammad Saw, sebagaimana dilaksanakan oleh waktu lima.
Kendati waktu pelaksanaannya sama, yakni pada bulan Rabi’ul Awal, wetu telu
merayakannya untuk memperingati perkawinan Adam dan Hawa. Seperti
upacara-upacara lainnya, berdo’a dan makan bersama ditemukan dalam upacara ini.[33]
Gambar 1.1:
Persiapan acara Maulud
Gambar 1.2: Arak-Arak para pemuda membawa makanan untuk
diberikan kepada tokoh adat dan agama.
Gambar 1.3:
Para penganut Islam Wetu Telu berkumpul di Masjid
C. Konsepsi
Kepercayaan Islam Wetu telu
Bagi komunitas wetu telu di Bayan, salah satu
daerah konsentrasi penganut wetu telu,
paling tidak ada empat konsepsi mengenai wetu telu. Walau
berbeda- beda, keempatnya merupakan satu kesatuan pengertian, karena masing-masing
tokoh yang diwawancarai mengakui konsepsi yang dikemukakan oleh tokoh wetu
telu lainnya.
Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa wetu telu
berarti tiga sistem reproduksi, dengan asumsi kata Wetu berasal dari kata Metu, yang berarti muncul
atau datang dari, sedangkan Telu berarti tiga. Secara simbolis hal ini
mengungkapkan bahwa semua makhluk hidup muncul [metu] melalui tiga macam sistem
reproduksi: 1) melahirkan (menganak), seperti manusia dan mamalia; 2) bertelur
(menteluk), seperti burung; dan 3) berkembang biak dari benih atau buah
(mentiuk), seperti biji-bijian, sayuran, buah-buahan, pepohonan dan tetumbuhan
lainnya. Tetapi fokus kepercayaan wetu telu tidak terbatas hanya pada sistem reproduksi,
melainkan juga menunjuk pada Kemahakuasaan Tuhan yang memungkinkan makhluk
hidup untuk hidup dan mengembangbiakkan diri melalui mekanisme reproduksi
tersebut.[34]
Kedua, persepsi yang mengatakan bahwa wetu telu
melambangkan keter- gantungan makhluk hidup satu sama lain. Menurut konsepsi
ini, wilayah kosmologis itu terbagi menjadi jagad kecil dan jagad besar. Jagad
kecil disebut alam raya atau mayapada yang terdiri atas dunia, matahari, bulan,
bintang dan planet lain, sedangkan manusia dan makhluk lainnya merupakan jagad
kecil yang selaku makhluk sepenuhnya tergantung pada alam semesta.
Ketiga, konsepsi yang menyatakan bahwa wetu telu
sebagai sebuah sistem agama termanifestasi dalam kepercayaan bahwa semua
makhluk melewati tiga tahap rangkaian siklus; dilahirkan (menganak), hidup
(urip), dan mati (mate). Kegiatan ritual sangat terfokus pada rangkaian siklus
ini. Setiap tahap, yang selalu diiringi upacara, merepresentasikan transisi dan
transformasi status seseorang menuju status selanjutnya; juga mencerminkan
kewajiban seseorang terhadap dunia roh.
Keempat, konsepsi yang menyatakan bahwa pusat kepercayaan
wetu telu adalah iman kepada Allah, Adam dan Hawa. Konsep ini dari
pandangan bahwa unsur-unsur penting yang tertanam dalam ajaran wetu telu
adalah: 1). Rahasia atau Asma yang mewujud dalam panca indera tubuh manusia. 2).
Simpanan Ujud Allah yang termanifestasikan dalam Adam dan Hawa. Secara simbolis
Adam merepresentasikan garis ayah atau laki-laki, sementara Hawa
merepresentasikan garis ibu atau perempuan. Masing-masing menyebarkan empat
organ pada tubuh manusia. 3). Kodrat Allah adalah kombinasi 5 indera (berasal
dari Allah) dan 8 organ yang diwarisi dari Adam (garis laki-laki) dan Hawa
(garis perempuan). Masing- masing kodrat Allah bisa ditemukan dalam setiap
lubang yang ada di tubuh manusia dari mata sampai anus.[35]
D. Interaksi Kepercayaan Wetu Telu dengan Agama-Agama Lain
Agama sasak atau lebih spesifik lagi Islam sasak merupakan cermin dari
pergulatan agama lokal atau tradisional berhadapan dengan agama dunia yang
universal dalam hal ini Islam. Seperti yang terjadi di Bayan (Lombok), Islam wetu telu (Islam Lokal) yang banyak dipeluk oleh penduduk Sasak asli dianggap
sebagai “tata cara keagamaan Islam yang salah (bahkan cenderung syirik)” oleh
kalangan Islam waktu lima, sebuah varian Islam universal yang dibawa
oleh orang-orang dari daerah lain di Lombok. Islam waktu lima sejak awal
kehadirannya disengaja untuk melakukan misi atau dakwah Islamiyah terhadap
kalangan wetu telu.[36]
Beberapa kalangan melihat fenomena wetu telu dalam makna yang
sama dengan penganut Islam abangan atau Islam Jawa di Jawa, sebagaimana
trikotomi yang diajukan Geertz, dan ditulis oleh Mark Woodward. Namun
penyebutan Islam wetu telu ini disangkal oleh
Raden Gedarip, seorang pemangku adat Karangsalah. Menurutnya, Islam hanya satu,
tidak ada polarisasi antara waktu tiga (wetu telu) dan waktu
lima. “Sebenarnya wetu telu bukan agama, tetapi
adat”, ucapnya. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa masyarakat adat wetu telu ini mengakui dua kalimah syahadat, “Allah Tuhan kami yang kuasa dan nabi
Muhammad sebagai utusan Allah”. Dua kalimat syahadat pun diucapkan oleh
penganut wetu telu ini, Setelah diucapkan
dalam bahasa Arab, kata Gedarip, diteruskan dalam bahasa Sasak, misalnya: “Asyhadu
Ingsun sinuru anak sinu. Anging stoken ngaraning pangeran. Anging Allah
pangeran. Ka sebenere lan ingsun anguruhi. Setukhune nabi Muhammad utusan demi
Allah. Allahhuma shali Allah sayidina Muhammad”. Artinya: “Kami
berjanji (bersaksi) bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan kami
percaya bahwa nabi Muhammad adalah utusan Allah”. Disebut “berjanji” karena
diakui sudah menerima agama Islam.[37]
Kemampuan Islam untuk beradaptasi dengan budaya setempat, memudahkan
Islam masuk ke lapisan paling bawah dari masyarakat. Akibatnya, kebudayaan
Islam sangat dipengaruhi oleh kebudayaan petani dan kebudayaan pedalaman,
sehingga kebudayaan Islam mengalami transformasi bukan saja karena jarak
geografis antara Arab dan Indonesia, tetapi juga karena ada jarak-jarak
kultural.
Proses komporomi kebudayaan seperti ini tentu membawa resiko yang tidak
sedikit, karena dalam keadaan tertentu seringkali mentoleransi penafsiran yang
mugkin agak menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Kompromi kebudayaan ini
pada akhirnya melahirkan, apa yang di pulau Jawa dikenal sebagai sinkretisme
atau Islam Abangan. Sementara di pulau Lombok dikenal dengan istilah Islam wetu telu.
Proses islamisasi yang berlangsung di Nusantara pada dasarnya berada dalam
proses akulturasi. Seperti telah diketahui bahwa Islam disebarkan ke Nusantara
sebagai kaedah normatif di samping aspek seni budaya. Sementara itu, masyarakat
dan budaya di mana Islam itu disosialisasikan adalah sebuah alam empiris. Dalam
konteks ini, sebagai makhluk berakal, manusia pada dasarnya beragama dan dengan
akalnya pula mereka paling mengetahui dunianya sendiri. Pada alur logika inilah
manusia, melalui perilaku budayanya senantiasa meningkatkan aktualisasi diri.
Karena itu, dalam setiap akulturasi budaya, manusia membentuk, memanfaatkan,
mengubah hal-hal paling sesuai dengan kebutuhannya.[38]
Seperti yang telah kita bahas di atas
bahwa Boda adalah nama dari
kepercayaan asli Suku Sasak, beberapa menyebutnya Sasak Boda. Walapun ada
kesamaan pelafalan dengan Buddha, Boda tidak memiliki kesamaan dan
hubungan dengan Buddhisme. Orang Sasak yang menganut kepercayaan Boda tidak mengenal dan mengakui Sidharta
Gautama (Sang Buddha) sebagai figur utama. Agama Boda orang Sasak ini justru ditandai dengan
penyembahan roh-roh leluhur mereka sendiri dan juga percaya terhadap berbagai.
Kerajaan Majapahit masuk ke Lombok dan
membawa serta budayanya. Hindu-Buddha Majapahit pun kemudian dikenal oleh Suku
Sasak. Di akhir abad ke 16 hingga abad ke 17 awal perkembangan agama Islam
menyentuh pulau Lombok. Salah satunya karena peran Sunan Giri. Setelah
perkembangan Islam, kepercayaan Suku Sasak sebagian berubah dari Hindu menjadi
penganut Islam.
Berdasarkan sistem kepercayaan Suku Sasak
pada masa-masa selanjutnya, kemudian dapat diklasifikasikan tiga kelompok
utama; Boda, Wetu Telu,
dan Islam (Wetu Lima).
Ini menunjukkan adanya hubungan masa
lalu antara penganut Islam wetu telu dengan agama Buddha dan Hindu dalam
penyebarannya ke tanah Lombok khususnya Suku Bayan.[39]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Wetu telu,
adalah model “Islam Sinkretik” di
Lombok . Belum sempurnanya ajaran yang disebarkan kerajaan Demak melalui Sunan
Prapen dalam pelaksanaan syariat, sedangkan penduduk asli masih memegang teguh
ajaran yang dianut sebelumnya sehingga melahirkan Islam sengkritisme yang
mencampur adukkan antara kepercayaan lama dan Islam dalam waktu yang cukup
lama.
Kerajaan Hindu Bali yang bercokol di Lombok cukup lama
telah banyak memberikan ruang para penganut Wetu telu untuk bertahan dan
berintraksi dengan penganut Hindu, di samping politik pecah belah Belanda telah
membuka ruang saling berhadapannya Wetu telu dan waktu Lima sehingga
Wetu telu semakin menemukan jati diri dan merasa berbeda dengan penganut
islam pada umumnya.
Ritual-ritual Wetu telu terlihat pada acara; buang
au, ngurisan, ngitanan, merosok, merarik, lebaran
topat, selametan dan maulidan yang berbeda pada peringatan maulid
pada umumnya. Ritual ini
masih terpelihara di beberapa daerah dengan konstruksi konten yang lebih
bernuansa keislaman murni. Ada beberapa konsep mengenai kepercayaan Islam wetu tellu, diantaranya
adalah konsepsi yang menyatakan bahwa Wetu telu sebagai sebuah sistem
agama termanifestasi dalam kepercayaan bahwa semua makhluk melewati tiga tahap
rangkaian siklus; dilahirkan [menganak] hidup [urip] dan mati [mate]. Kegiatan
ritual sangat terfokus pada rangkaian siklus ini.
Dalam hal interaksi dengan kebudayaan asing, masyarakat
setempat sudah banyak mengambil hal-hal baru yang sekiranya cocok dengan adat
setempat sehingga nantinya akan banyak ditemukan percampuran budaya diantara
kedua kubu dan mengakibatkan sinkretisme kebudayaan yang sampai sekarang masih
terasa dengan tanpa menghilangkan adat istiadat asli suku sasak.
B. Penutup
Demikianlah sedikit simpulan dari kami pemakalah, jika
pembaca menemukan banyak kesalahan konten maupun penulisan kami mohon maaf
daripadanya, karena yang baik datangnya dari Allah. Kami mengharapkan kritik
dan saran yang membangun guna kemajuan makalah kami kearah yang lebih baik. Semoga
makalah singkat ini dalam menambah khazanah kelimuan kita semua dalam
memperluas ilmu pengetahuan khususnya dalam kajian ilmu Perbandingan Agama.
DAFTAR PUSTAKA
Agus,
Bustanudin. 2007. Agama dalam
Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi Agama.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
Asnawi. Respon
Kultural Masyarakat Sasak Terhadap Islam, Ulumuna, Volume IX Edisi 15 Nomor 1
Januari-Juni 2005.
Athar,
Zaki Yamani. Kearifan Lokal Dalam Ajaran Islam Wetu Telu di Lombok, Ulumuna,
Volume IX Edisi 15 Nomor 1 Januari-Juni 2005.
Budiwanti, Erni. 2000. Islam Sasak: Wetu telu Versus
Waktu Lima. Yogyakarta: LKiS.
Burhani, Najib.
Pergumulan Islam dan Budaya Sasak, Diakses dari http://nusantaraislam.blogspot.com/2011/06/pergumulan-islam-dan-budaya-sasak.html pada 14 Maret 2016.
Kementrian
Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan. 2014. Dinamika
Agama Lokal Di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan
Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI.
Lukman,
Lalu. 2007. Pulau
Lombok dalam Sejarah, cet. 4,
Parimartha, I Gede. Politik dan perdagangan di
Lombok Abad XIX ,
majalah: Sejarah: Pemikiran,
Rekonstruksi, dan Persepsi, Penerbit Gramedia Jakarta, vol 3.
Rasmianto. 2009. Interrelasi Kiai, Penghulu dan
Pemangku Adat dalam Tradisi Islam Wetu telu di Lombok. Jurnal el-Harakah, Vol.
11, No. 2, Malang: UIN Malang.
Sastrodiharjo, Soekardjo. 1961. Beberapa
Djatatan Lombok. Djakarta: Pusat Djawatan Pertanian Rakjat.
Sejarah dan
Tradisi Suku Sasak Lombok, NTB, http://www.wacananusantara.org/ sejarah -dan-tradisi -suku-sasak/ diakses
pada tanggal 28 April 2016.
Surjo dkk, Djoko. 2001. Agama dan Perubahan Sosial. Yogyakarta:
LKPSM.
Tim Peneliti Badang Litbang. 1999. Tradisi
dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang
Agama Departemen Agama RI.
Zakaria, Fathurrahman. 1998. Mozaik Budaya Orang
Mataram. Mataram: Yayasan Sumurmas Al-Hamidy.
Zuhdi, Muhammad Harfin. Islam Wetu Tellu di Bayan
Lombok; Dialektika Islam dan Budaya Lokal. Diakses dari http://as-salafiyyah.blogspot.com/2012/05/islam-wetu-telu-di-bayan-lombok.html. pada 14 Maret 2016.
Zuhdi, Muhammad Harfin. Parokialitas Adat Wetu telu di
Bayan, Istinbath, Vol. 13, No. 1, Desember 2014.
[1] Tim Peneliti Badang Litbang, Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa
Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama Departemen Agama RI,
1999), h, 60-61.
[2] Erni Budiwanti, Islam Sasak Wetu Telu versus Waktu Lima,
(Yogyakarta: LkiS, 2000), h. 4-6.
[3] Kementrian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan
Keagamaan, Dinamika Agama Lokal Di Indonesia, (Jakarta:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI,
2014), h. 158-160.
[5] Kementrian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan
Keagamaan, Dinamika Agama Lokal Di Indonesia, (Jakarta:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI,
2014), h. 192.
[6] Tim Peneliti Badan Litbang Agama, Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada
Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama Departemen Agama
RI, 1999), h. 57.
[7] Tim Peneliti Badan Litbang Agama, Tradisi
dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan
Litbang Agama Departemen Agama RI, 1999), h. 58-59.
[8] Kementrian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan
Keagamaan, Dinamika Agama Lokal Di Indonesia, (Jakarta:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI,
2014), h. 163.
[9] Kementrian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan
Keagamaan, Dinamika Agama Lokal Di Indonesia, (Jakarta:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI,
2014), h. 163,
[10] Penganut Islam Wetu
telu tidak hanya di Bayan (Lombok Barat), tetapi juga di daerah lombok
Tengah (Sengkol). Lihat Asnawi, Respon Kultural Masyarakat Sasak Terhadap Islam, Ulumuna,
Volume IX Edisi 15 Nomor 1 Januari-Juni 2005, h. 11. Lihat Juga Fathurrahman
Zakaria, Mozaik Budaya Orang Mataram, Mataram: Yayasan Sumurmas Al-Hamidy, 1998, h. 158.
[11] Erni Budiarti, Islam..., h. 136.
Juga John Ryan Bartholomew, Alif Lam Mim; Kearifan Masyarakat Sasak, Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2001, h.98
[12] Zaki Yamani Athar,
Kearifan Lokal Dalam Ajaran Islam Wetu telu di Lombok, Ulumuna, Volume
IX Edisi 15 Nomor 1 Januari-Juni 2005, h. 76.
[13]
Animisme adalah kepercayaan kepada roh-roh yang dianggap mendiami benda, pohon, batu, sungai, gunung dan sebagainya.
[14] Panteisme 1) ajaran yang menyamakan Tuhan dengan kekuatan-kekuatan dan
hukum- hukum alam semesta; 2) penyembahan /pemujaan kepada semua Dewa dari
berbagai kepercayaan.
[18] Tim Peneliti Badang Litbang, Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa
Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama Departemen Agama RI,
1999), h. 60-61.
[19] Kementrian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan
Keagamaan, Dinamika Agama Lokal Di Indonesia, (Jakarta:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI,
2014), h. 189-190.
[20]
Rasmianto, Interelasi Kiai, Penghulu dan Pemangku Adat dalam Tradisi Islam Wetu
telu di Lombok. Jurnal el-Harakah, Vol. 11, No. 2, (Malang: UIN Malang, 2009), h. 138.
[21] R.
Soekarjo Sastrodiharjo, Beberapa Tjatatan Tentang Daerah Lombok, (Djakarta: Pusat Djawatan Pertanian Rakjat, 1961), h. 22.
[22] Zaki Yamani Athar, Kearifan
Lokal Dalam Ajaran Islam Wetu Telu di Lombok, Ulumuna, Volume IX Edisi 15 Nomor 1
Januari-Juni 2005, h. 76.
[23] Tim Peneliti Badang Litbang, Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa
Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama Departemen Agama RI,
1999), h. 66-67.
[24] Tim Peneliti Badang Litbang, Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa
Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama Departemen Agama RI,
1999), h. 69-71.
[25]
Contoh kegiatan ritus peralihan adalah kelahiran, pernikahan, pindah rumah
ataupun kematian.
[26]
Bustanudin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi Agama,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007, h. 80.
[27] Muhammad Harfin Zuhdi, Islam Wetu Tellu di Bayan Lombok; Dialektika
Islam dan Budaya Lokal. Diakses dari http://as-salafiyyah.blogspot.com/2012/05/islam-wetu
telu-di-bayan-lombok.html. pada 14 Maret 2016.
[28] Muhammad Harfin Zuhdi, Islam Wetu Telu di Bayan Lombok; Dialektika Islam
dan Budaya Lokal. Diakses dari http://as-salafiyyah.blogspot.com/2012/05/islam-wetu
telu-di-bayan-lombok.html. pada 14 Maret 2016.
[29]
Rasmianto, Interelasi Kiai, Penghulu dan Pemangku Adat dalam Tradisi Islam Wetu
telu di Lombok, h. 146.
[30] Muhammad Harfin Zuhdi, Islam Wetu Tellu di Bayan Lombok; Dialektika
Islam dan Budaya Lokal. Diakses dari http://as-salafiyyah.blogspot.com/2012/05/islam-wetu
telu-di-bayan-lombok.html. pada 14 Maret 2016.
[31] Muhammad Harfin Zuhdi, Islam Wetu Tellu di Bayan Lombok; Dialektika
Islam dan Budaya Lokal. Diakses dari http://as-salafiyyah.blogspot.com/2012/05/islam-wetu
telu-di-bayan-lombok.html. pada 14 Maret 2016.
[32] Muhammad Harfin Zuhdi, Islam Wetu Tellu di Bayan Lombok; Dialektika
Islam dan Budaya Lokal. Diakses dari http://as-salafiyyah.blogspot.com/2012/05/islam-wetu
telu-di-bayan-lombok.html. pada 14 Maret 2016.
[33] Muhammad Harfin Zuhdi, Islam Wetu Tellu di Bayan Lombok; Dialektika
Islam dan Budaya Lokal. Diakses dari http://as-salafiyyah.blogspot.com/2012/05/islam-wetu
telu-di-bayan-lombok.html. pada 14 Maret 2016.
[34] Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Wetu telu di Bayan, Istinbath,
Vol. 13, No. 1, Desember 2014. h. 33.
[36] Najib Burhani, Pergumulan Islam dan Budaya Sasak, Diakses dari http://nusantaraislam.blogspot.com/2011/06/pergumulan-islam-dan-budaya-sasak.html
pada 14 Maret
2016.
[37] Muhammad Harfin Zuhdi, Islam Wetu Tellu di Bayan Lombok; Dialektika
Islam dan Budaya Lokal. Diakses dari http://as-salafiyyah.blogspot.com/2012/05/islam-wetu
telu-di-bayan-lombok.html.
pada 14 Maret 2016.
[38] Muhammad Harfin Zuhdi, Islam Wetu Tellu di
Bayan Lombok; Dialektika Islam dan Budaya Lokal. Diakses dari http://as-salafiyyah.blogspot.com/2012/05/islam-wetu
telu-di-bayan-lombok.html. pada 14 Maret 2016.
[39] Sejarah dan
Tradisi Suku Sasak Lombok, NTB, http://www.wacananusantara.org/ sejarah -dan-tradisi -suku-sasak/ diakses
pada tanggal 28 April 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar