Rabu, 01 Juni 2016

Suku Trunyan di Bali


AGAMA TRADISIONAL ORANG TRUNYAN DI BALI
Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok pada Mata Kuliah Agama-Agama Lokal

Dosen Pengampu: Siti Nadroh, M.A.
Oleh :
Dede Nurafiyah          (11140321000068)
Wildan Zaenudin        (11140321000036)
M. Munip Akbar         (11140321000011)



PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Dalam sejarah perkembangan agama-agama besar sering dijumpai suatu kondisi dimana agama besar yang sudah keluar dari tempat asalnya dan bersinggungan dengan agama atau kebudayaan, tradsi, di suatu tempat, akan melahirkan suatu pemahaman atau bahkan varian baru agama tersebut. Ada beberapa pola hasil persinggungan antara agama besar dengan agama lokal setempat. Terkadang agama besar dapat masuk dan dapat menggantikan kepercayaan setempat bahkan bisa saja tertolak karena kuatnya resistensi dari kepercayaan setempat. Namun hasil persinggungan antara agama besar dengan agama lokal yang banyak di jumpai di Indonesia adalah adanya akulturasi bahkan sampai sinkretisasi. Hal ini tentu saja karena kuatnya resistensi dari masyarakat dalam memegang adat istiadatnya. Di Bali hal ini dapat kita temukan dengan melihat agama Hindu Bali di Trunyam.

1.2     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, penulis berusaha merumuskan pembahasan yang akan dibahas dalam makalah ini. Rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Bagaimana asal usul orang suku Trunyan?
2.    Bagaimana adat kebudayaan, dan Ritual agama Trunyan?
3.    Bagaimana upacara Kematian dan pemakaman Trunyan?

1.3    Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah yang sudah penulis rumuskan di atas, dapat ditarik kesimpulan tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu:
1.    Untuk mengetahui asal usul orang suku Trunyan.
2.    Untuk mengetahui adat kebudayaan, dan ritual agama Trunyan.
3.    Untuk mengetahui upacara kematian dan pemakaman Truyan.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Asal-usul Suku Trunyan/Bali Aga.
Dahulu ada seorang Dewi yang karena terpesona oleh Bau Harum, yang datang dari suatu tempat di bumi, telah turun dari langit untuk mencari sumber bau harum itu setelah mencari-cari beberapa waktu lamanya, akhirnya ia tiba di tempat bau harum itu berasal. Bau harum tersebut ternyata keluar dari suatu pohon Taru Menyan (pohon menyan/ benzoin). Sejak itu dinamakan Trunyan yang berasal dari kata taru dan menyan.
Desa Trunyan terletak di dalam satu kepundan gunung berapi purba, yang telah meletus beberapa ribu tahun yang lalu. Gunung berapi itu ialah Gunung Batur Purba. Sebagian dari lubang kepundan itu kemudian terisi dengan air, sehingga kini telah berubah menjadi danau yang indah sekali, yang bernama Danau Batur. Di sebelah barat kepundan tersebut, kemudian tumbuh anak gunung berapi setinggi 1717 meter, yang terkenal dengan nama Gunung Batur. Wilayah sekitar Danau Batur ternyata sudah dihuni jauh sebelum masuknya kekuasaan Majapahit di Bali, dan dijadikan sebagai salah satu pusat perlawanan oleh masyakat Bali Aga kepada kekuasan Majapahit di Bali pada masa pemerintahan Sri Kresna Kapakisan. Danau Batur merupakan salah satu tempat berkembangnya kebudayaan dan tempat bermukinya masyarakat Bali Aga.
Desa Trunyan adalah desa yang telah ada sejak jaman kuno, dan mungkin juga sejak jaman purbakala. Pada prasati Truyan Al, yang berasal dari abad x Masehi, (833 caka) dapat dibaca mengenal izin pembangunan satu kuil bagi Batara Da Tonta (Goris, 1954, II: 183), yang pada dewasa ini oleh penduduk lebih dikenal dengan nama Ratu Sakti Pancering Jagat.[1]

Penduduk Trunyan sendiri tidak suka disebut dengan nama Bali aga, mereka lebih senang jika disebut sebagai orang Bali Turunan. Nama Bali Aga diperolehnya dari penduduk Bali lainnya, yang menyebut diri mereka sebagai orang Hindu, dan mereka ini merupakan penduduk Trunyan karena mempunyai arti tambahan yang merendahkan martabat mereka, yaitu sebagai “orang gunung yang bodoh”.[2]
Bahasa Trunyan adalah apa yang disebut bahasa Bali “Kasar”, tetapi bahasa Trunyan dan bahasa Bali mempunyai beberapa perbedaan, sehingga orang Bali dari desa lain sukar mengerti waktu mereka untuk pertama kali mendengarnya. Perbedaan yang paling menonjol adalah cara pengucapan vokal “a” pada suku terakhir dari satu kata, yaitu jika pada bahasa Bali resmi semua vokal “a” pada suku terakhir diucapkan sebagai “e” (pepet), maka pada orang Trunyan vokal itu tetap di ucapkan sebagai “a” (seperti dalam mama).
Jauh sebelum terbentuknya masyarakat Bali keturunan Majapahit (Wong Majapahit), masyarakat Bali di perkirakan konon berasal dari keturunan “Austronesia”. Mereka telah tinggal secara berkelompok dengan pemimpinnya masing-masing di wilayah Bali. Kelompok-kelompok inilah yang kemudian menjadi beberapa desa di Pulau Bali mereka adalah Bali Aga yang di kenal dengan nama Pasek Bali.
Bukti peninggalan dari masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana diketemukan di Desa Sembiran dan di wilayah pesisir timur serta tenggara Danau Batur. Peninggalan-peninggalan itu diantaranya berupa kapak perimbas, kapak genggam, alat serut dan lain-lain. Peninggalan Prasejrah di bali juga berlanjut hingga masa Perundagian, yang terkenal adalah Nekara Pejeng.
Sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha, masyarakat Bali masih menganut kepercayaan nenek moyang yang mereka namakan Hyang. Menurut beberapa pendapat, kondisi spiritual dan kepercayaan masyarakat Bali pada saat itu “masih kosong”. Keadaan kosong ini dikatakan berlangsung hingga awal tarikh Masehi, bahkan kurang lebih hingga sekitar abad pertama Masehi. Dengan keadaan Bali yang demikian konon mulai berdatangan orang-orang dari luar Bali ke pulau ini. Di samping mengajarkan agama Hindu, mereka juga bertujuan memajukan Bali kehidupan penduduknya. Untuk maskud tersebut kemudian datang seorang RSI ke Bali bernama Maharsi Markandeya dari India.
Pendapat di atas dapat dipastikan keliru, karena dari tinggalan benda-benda prasejarah yang banyak diketemukan di Pulau Bali, menunjukan masyarakat Bali pada masa lalu telah mengembangakan suatu sistem kepercayaan yang kompleks, jauh sebelum penanggalan Masehi dikenal, bahkan jauh sebelum “Hindu” dan India menyentuh pulau Bali. Mungkin yang dimaksud kosong di atas lebih merujuk belum beragama “Hindu-Bali”.[3]
B.     Mite Atau Legenda.
·         Mite Tentang Dewi Yang Turun Dari Langit.
Trunyan mempunyai satu mite (dongeng suci) mengenai asal-usul penduduk Trunyan, yang menceritakan bahwa leluhur wanita mereka adalah seorang Dewi dari langit yang diusir dari kahyangan (entah karena dosa apa), untuk turun ke suatu tempat di bumi yang kemudian terkenal dengan nama desa Trunyan. Rahim Dewi ini kemudian dibuahi secara ajaib oleh matahari (Sang Surya) karena sering menghina Sang Surya dengan cara memperlihatkan alat kelaminnya sambil menungging ke arahnya. Sebagai akibat kenakalannya itu secara ghaib ia mengandung, dan setelah tiba waktunya Sang Dewi melahirkan sepasang anak kembar berlainan jenis kelamin (kembar buncing), seorang diantaranya adalah anak banci dan seorang lagi anak perempuan. Setelah anak tersebut besar Sang Dewi kemudian kembali ke Kahyangan.[4]
·         Legenda Tentang Anak-Anak Dalem Solo Yang Menggembara Mencari Sumber Bau Harum.
Bau harum yang berhamburan dari desa Trunyan juga tercium sampai ke puri (Keraton) Dalam Solo. Bau harum yang luar biasa ini telah menarik minat empat orang anak Dalam Solo untuk bersama-sama mencari sumbernya. Dari empat orang anak Dalam Solo itu, tiga yang lebih tua usianya adalah laki-laki, sedangkan yang termuda adalah seorang wanita. Dalam pengembaran tersebut, akhirnya mereka tiba di Pulau Bali. Anak Dalem Solo yang perempuan berkeputusan untuk berdiam ditempat itu, yaitu bertempat di Pura Batur, sekarang Gelar Putri tersebut setelah menjadi dewi adalah dewi Ratu Ayu Mas Maketeg. Ketiga saudara laki-lakinya melanjutkan perjalanan menyusur pinggir Danau Batur, dan ketika tiba di suatu tempat yang datar sebelah barat daya Danau, terdengar oleh mereka terdengar seekor burung. Maka sejak itu tempat itu bernama Kedisan, karena burung dalam bahasa Bali adalah Kedis. Wauktu terdengar suara itu, karena girangnya, putra Dalam Solo yang termuda berteriak. Hal ini membuat kakanya yang tertua kurang senang, sehingga menginginkan supaya adiknya untuk selanjutnya tinggal ditempat itu, dan tidak lagi ikut penggembaraan mereka. Tetapi si kecil menolak, sehingga dalam kemarahannya, ia ditendang denga keras oleh kakanya sampai jatuh bersila. Itulah sebabnya, maka didesa Kedisan pada dewasa ini terdapat satu patung batu Betera (dewa) yang duduk dalam sikap bersila. Betera yang asalnya adalah putera Dalam Solo yang ketiga ini, kemudian bergelar Ratu Sakti Sang Hyang Jero, dan kini bersemayam (melinggih) di Meru Tumpang Pitu (bangunan suci dalam kuil yang beratap tujuh tingkat) di dalam Kuil Pura Dalam Pingit di Desa Kedisan.[5]
C.    Religi, Adat kebudayaan, dan Upacara Keagamaan.
Religi orang Trunyan adalah suatu variant, atau satu versi yang berbeda dari agama Hindu Bali, yang dapat di sebut sebagai agama Hindu Bali Trunyan yang selanjutnya merupakan sebagai salah satu agama resmi di Indonesia.
Agama Hindu Trunyan dapat disebut sebagai variant (versi berbeda) dari agama Hindu Bali, karena agama tersebut pada dasarnya jika dibandingkan dengan agama Hindu Bali, masih lebih banyak berlandaskan kepada kepercayaan Truyan asli. Apa yang disebut kepercayaan Trunyan asli itu adalah kepercayaan yang berdasarkan kepada pemujaan roh leluhur, yakin tentang adanya roh lainnya di alam sekeliling tempat tinggalnya, sehingga perlu juga di puja, percaya bahwa benda-benda dan tumbuh-tumbuhan di sekelilingnya selain berjiwa dapat juga berperasaan seperti manusia, dan percaya tentang adanya kekuatan sakti pada segala hal atau benda yang luar biasa.
Walaupun dari luar religi Trunyan tersebut kelihatannya sudah termasuk agama Hindu, karna sudah mempergunakan liturgi Hindu, atau lebih tepat lagi Hindu Bali, yaitu antara lain diciri oleh adanya pelinggih-pelinggih, meru, dan hias ragam puncak dinding berupa ratna, yang merupakan atribut utama kuil Hindu, namun semua ini di pergunakan untuk memuja dewa-dewa asli Trunyan[6].
Pelinggih-pelinggih, dan meru yang didirikan di dalam kuil utama Trunyan, Bali Desa Pancering Jagat Bali sebagian besar dan terutama bukan di peruntukkan bagi para dewa Hindu asli Trunyan. Memang di antara pelinggih-pelinggih tersebut ada beberapa yang diperuntukkan bagi dewa-dewa Hindu asal India, yaitu misalnya pelinggih Ida Ayu Maospati tempat bersemanyamnya Betara Indra dan Betara Gangga. Namun letak pelinggih tersebut bukan tempat kuil utama Trunyan yang tersuci, melainkan di Tempek Semangen, yang termasuk bagian terluar (jaban) dari kuil utama tersebut, walaupun di kuil utama mereka terdapat pelinggih, tempat bersemayam dewa yang bernama Betara Galungan-Kuningan. Keadaan Pelinggih ini sangat menyedihkan, karena sudah lapuk kurang pemeliharaan, serta kecuali bentuknya. Dewa tersebut hanya diupacarakan, jika kebetulan hari Raya Galungan jatuhnya bertepatan dengan Purnama Kadesa (kesepuluh), yaitu keadaan yang disebut nemu purnama (bertemu bulan purnama) yang jarang terjadi.
Penduduk Desa Trunyan tidak merayakan Hari Raya Galungan, Nyepi, Ciwaratri[7], Saraswati[8], Pagerwesi[9], dan Kuningan, secara yang di lakukan orang Hindu Bali, melainkan sebagai gantinya pada sebagian hari-hari yang sama, mereka merayakan upacara Khas Trunyan sendiri, atau tidak merayakannya sama sekali.
Menurut kepercayaan orang Trunyan aspek jiwa manusia yang bersifat perempuan bersemanyam di bagian hulu hati mereka, sedangkan aspek jiwa manusia yang bersifat laki-laki bersemayam dii ubun-ubun kepala mereka. Oleh karnanya maka untuk menghormati aspek jiwa yang bersifat perempuan tetebasan[10] didekatkan pada hulu hati seseorang oleh seseorang Pemangku dan Balian yang melakukan upacara, yang orang yang di upacarakan harus mempergunakan kedua tangannya untuk melakukan gerakan seolah-olah sedang meraup-raup sari yang keluar dari sajian tersebut kearah hulu hatinya agar masuk kesitu. Untuk menghormati aspek jiwa seseorang yang bersifat laki-laki sajian tetebasan sapu lara secara perlahan-lahan diletakkan diatas kepala orang yang sedang di upacarakan. Maksud upacara Natab  ini adalah agar jiwa seseorang bersedia trus menjaga keselamatan badan kasarnya yang sedang disemayam itu. Karena upacara ini di lakukan bagi perorangan, maka sajian yang di buat pun harus bersifat perorangan.[11]
Pada upacara Natab ini juga sekalian nyama pat[12] setiap anggota rumah tangga, di panggil berkumpul kembali untuk menemani jiwa pribadi masing-masing, untuk turut menjaga keselamatan dan kesehatan badan kasarnya. Hal ini dilakukan karena orang trunyan percaya bahwa selama enam bulan itu keempat saudara jiwa manusia dapat terpancar, terutama bagi mereka yang suka berpergia jauh ke tempat-tempat berbeda. Keadaan ini dapat melemahkan kesehatan tubuh jiwa yang bersangkutan selalu gelisah atau sakit-sakitan. Untuk memulihkan kesehatan serta ketenangan tubuh dan jiwa yang bersangkutan, nyam pat-nya harus di panggil berkumpul kembali dalam upacara Natab tersebut.
Hari Raya orang Bali Hindu yang di lewatkan begitu saja oleh orang Trunyan, karna memang bukan merupakan hari raya mereka, adalah Hari Raya Kuningan, Nyepi (tahun baru orang Bali Hindu). Khusus mengenai Hari Raya Nyepi jika pada orang Bali Hindu dirayakan dengan tidak bekerja, yang dilambangkan dengan adanya pantangan untuk menyalakan api pada hari itu, di Trunyan pada har itu justru terlihat orang sedang sibuk-sibuknya menyalakan dengan mereka untuk menyiapkan masakan, yang akan disajikan nkepada dewa mereka di Pura Dalem.[13]
Upacara yang diadakan oleh orang Trunyan bertepatan dengan hari Raya Nyepi pada bulan mati kesembilan adalah apa yang mereka sebut upacara Saba Kangin atau Tilem Ing Kasanga itu disebut Saba Kangin (pesta di utara), karena dewa yang di peringati hari ulang tahunnya adalah dewa yang bersemanyam di Pura Dalem, yang terletak di sebelah utara (kangin) desa induk Trunyan. Sebenernya yang mengadaan upacra sembahyang pada hari itu bukan penduduk Trunyan yang hidup, melainkan leluhur atau kerabatnya yang telah meninggal, tetapi karena mereka kini sudah tidak memiliki lagi tubuh kasar yang dapat mengerjakan persiapan untuk sajian, maka kerabatnya yang hiduplah yang menolong melaksanakanya.
Mengapa sampai dapat terjadi sehingga agama Hindu Trunyan dapat menjadi suatu variant dari agama Hindu Bali, sudah tentu dapat diterangkan karena tempat tinggal umatnya yang terpencil itu, tetapi lebih-lebih lagi disebabkan karena sejak zaman dahulu kala kalau umatnya menghadapi orang-orang yang hendak menyebarkan agama Hindu versi orang Bali, seperti yang telah diusahakan oleh warga pasek selalu ditanggapinya dengan penolakan bukan bersift konfrontatif, melainkan non-konfrontatif. Siasat ini menyebabkan para penyebar agama tersebut terpedaya, karena mengira bahwa misinya telah berhasil, sehingga menghentikan usahanya. Akibatnya penyebar agama Hindu tersebut hanya berhasil menghidupkan roh-roh leluhur orang Trunyan saja, sehingga menjadi dewa-dewa Hindu Trunyan, tetapi kurang dapat menghidupkan desa tersebut.
Sikap penolakan yang non-konfrontatif tersebut ternyata sampai sekarang masih dipraktekan oleh penduduk Trunyan zaman sekarang. Berkat ajaran orang-orang Parisda Hindu Dharma, orang petani desa Trunyan dewasa ini sudah mengenal Sang Hyang Widhi, Tuhan yang Maha Esa, bahkan mereka pun mulai juga yakin bahwa dewa tertinggi mereka Ratu Sakti Pancering Jagad adalah manifestasi atau penjelmaan Sang Hyang Widhi. Sebagai akibatnya mmereka berkesimpulan bahwa  dewa-dewa seperti Siwa, Wisnu dan Brahman adalah putera-putera dewa tertinggi mereka.
Begitulah dengan adanya kekhasan dalam sistem religi orang Trunyan, ditambah lagi dengan cara pemakamannya yang bersifat mepasah dan perawatan air tuban, darah yang keluar dari Rahim ibu sewaktu anak dilahirkan, ari-ari dan tali pusar yang menghubungkan seorang janin dengan ari-ari, bukannya ditanam didalam tanah  seperti yang dilakukan oleh umat Hindu Bali, melainkan digantungkan pada ranting semak-semak.[14]
Seperti halnya dengan religi-religi lainnya di dunia, maka religi Hindu Bali Trunyan juga mempunyai empat unsur pokok tersebut menurut koentjaraningrat (1967 : 218) adalah:
·         Emosi keagamaan atau getaran jiwa  yang menyebabkan manusia itu bertindak serba religi.
·         Sistem kepercayaan atau bayang-bayangan manusia tentang  bentuk dunia, alam, alam ghaib, hidup, maut dan sebagainya.
·         Sistem upacara-upacara keagamaan yang  bertujuan mencari hubungan dengan dunia ghaib berdasarkan atas sistem kepercayaan tersebut.
·         Kelompok keagamaan atau kessatuan-kesatuan sosial yang mengkonsepsikan dan mengaktifkan religi beserta sistem upacara-upacara keagamaannya.[15]
Ø  Adat Kebudayaan Suku Trunyan.
Adat kebudayaan yang dapat kami jelaskan di suku truyan sebagai berikut:
·         Pementasan Burung Bentuk
Trunyan memiliki tarian langka bernama Barong Brutak sangat jarang di pentaskan terkecuali saat Odala di Pura Pancering Jagat desa Trunyan. Pada umumnya Barong di Bali itu bentuknya wujud binatangseperti macan, singa, gajah, naga maupun babi. Namun, yang ada di Trunyan ini berbeda, wajahnya barongnya menggunakan seperti topeng primitive, dipakaikan kepada seorang remaja dengan pakaian dari daun pisang kering. Tokoh pada Barong Brutuk seseorang berfungsi sebagai raja, kemudian ratu, kaka sang ratu dan patih, selebihnya menjadi anggota biasa (unen-unen), di petaskn pada siang hari upacara odalan tersebut selama tiga hari berturut-turut. Penampilan Barong ini dimulai dengan penampilan unen-unen tingkat anggota Berutuk, mereka mengeliligi penyengker pura selama tiga kali sambil melembaikan Semeti dengan suara melengking kepada para penonton, sehingga membuta para penonton takut. Kemudian doa-doa dan sesajian di haturkan oleh seorang pemangku tatkala para tokoh ningrat seperti raja, ratu, patih dan kaka ratu tampil kemudia keempatnya juga mengelilingi tembok pura bergabung dengan unen-unen para peserta berlomba mengambil pakaian daun pisang yang lepas, yang nantinya disebar diarea perkebunan untuk kesuburan.[16]
·         Tari Baris dalam Kebudayaan suku Trunyan
Tari baris menurut Soedarsono adalah tari ritula yang penting di Bali tari ini juga merupakan tari ke pahlawanan, dan khusus di tarikan oleh pria. Sifat ritual ini tari ini adalah untuk membuktikan kedewasaan seorang secara jasmani, dan kedewasaan seseorang ini di pertunjukkan kemahirannya dalam olah keprajuritannya yang biasanya disertai kemahiran dalam memainkan senjata. Tarian ini diiringi oleh gamelan, dan di tarikan berpasangan yang terdiri dari empat, delapan, bahkan sampai berpuluh-puluh pasangan. Gerak tarinya lebih menekankan ketegapan dan kemantapan dalam langkah kaki serta kemahiran memainkan senjata. Kostum para penarinya juga khas, yaitu selain memakai tutup kepala yang bebentuk kerucut, juga pakaian yang dihiasi dengan kain-kain kecil panjang, sehingga memberi kesan pakaian besi..
Ø  Tempat dan Upacara Keagamaan Suku Trunyan.
Upacara keagamaan yang terdapat di suku Trunyan terbagi menjadi lima yaitu sebagai berikut: pertama, Dewa Nyadnya, bisa disebut dengan Odalan yang bertujuan untuk mengambil hati dewa yang di upacarakan. Hampir setiap bulan ada upacara ini. Salah satunya adalah upacara Saba Gede yang di lakukan pada saat Tilem Kasama dan Odalan Ratu Pingit dalem pada saat purnama Saddha. Kedua, Putra Yadnya, upacara yang di lakukan untuk para leluhur dan para kerabat, apabila ada kematian. Ketiga, Resi Nyandnya upacara yang dilakukan untuk pentahbisan pendeta. Keempat, Buta Nyadnya upacara yang dilakukan untuk Para Buta kala, biasanya juga dengan Mercaru. Kelima, Manusia Nyadnya, upacara yang dilakukan untuk manusia yang masuh hidup misalnya, upacara ulang tahun otonan yang berlangsung 6 bulan sekali.
Seperti halnya dengan upacara-upacara keagamaan di Trunyan juga terdapat dari empat bagian, yaitu: pertama, tempat-tempat upacara keagamaan, yang kedua saat-saat upacara, ketiga, benda-benda dan alat-alat upacara, keempat, orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara. Karena upacara-upacara keagamaan adalah suatu yang dianggap kramat, maka semua yang merupakan bagian dari itu secara otomatis juga dianggap kramat.
Dalam kebudayaan orang Trunyan, jika seseorang tidak dalam keadaan Sebel maka bisa dikatakan bahwa upacara-upacara yang rutin akan di lakukan setiap 15 hari sekali. Dari kelima jenis  upacara diatas hanya upacara Odalan, Mercaru, dan Otonan yang dapat dikatakan sebagai upacara rutin.[17]
Ø  Tempat-tempat  Upacara suku Trunyan.
Tempat upacara bagi keempat kelompok upacara keagamaan di Trunyan tidak sama. Upacara Dewa Yadnya misalnya, harus dilakukan di tempat tertentu misalnya di Kuil Bali Desa Pancering Jagat Bali, baik di dalam maupun di luar kompleks kuil itu.  Upacara Resi Yadnya di lakukan di dalam Kuil Bali Desa Pancering Jagat. Upacara Buta Nyadnya di lakukan di muka Bali desa Pancering Jagat Bali, terutama di Pamedalan kalangan dari Bali Desa. Upacara Manusia yadnya dilakukan di tempat manusia Trunyan berada, yaitu di dalam rumah, di perkarangan masing-masing.
Tingkat kesucian, tempat-tempat keagamaan di Trunyan dapat di bagi menjadi dua yaitu: pertama, Kuil pertama Trunyan, dan kedua, Kuil-kuil tambahan serta tempat suci lainnya sebagian terletak di desa Induk Trunyan, dan sebagian lagi di tempek-tempek atau belongan-belongan lainnya. Dari kedua tempat suci tersebut yang tersuci adalah Kuil utama Trunyan.


Ø  Upacara-upacara Perkawinan Trunyan Bali
Perkawinan orang Trunyan lebih di tunjukan kepada perkawinan endogami dadia, yaitu menurut orang ideal Trunyan, warga dadia sebaikanya mencari jodoh dekat di kalangan dadinya sendiri yakni, misalnya pemuda dari Dadia Nang Saripen, sebaiknya mencari seorang gadis dari Dadia Nang Saripan. Biarppun demikian entogami dadia ini ada batasnya juga karena tidak boleh terjadi antara kerabat yang terlalu dekat hubungan kekerabatannya. Artinya paling sedikit harus diantara saudara sepupu derajat kedua. Perkawinan antara saudara sepupu derajat pertama hanya boleh terjadi di antara sodara-sodara sepupu yang merupakan anak-anak dari dua orang bersaudara sekandung yang bekelainan jenis kelamin (cross coushin). Jadi Ego di perbolehkan menikah dengan putri saudara perempuan sodara ayahnya (Paternal cross coushin). Ego boleh juga menikah dengan putri saudara laki-laki sekandung ibunya.
Usia pemuda Trunyan untuk menikah adalah 25 tahun, dan untuk pemudinya 20 tahun. Di Trunyan berlaku tiga macam cara untuk memulai suatu perkawinan, sebelum perkawinan itu disahkan dengan upacara keagamaan, yaitu dengan cara meminang si gadis (memadik), dengan cara lari bersama si gadis (ngerorot), dan kawin paksa dengan menculik gadis yang diingini (melegendang), di antar ketiga cara tersebut yang paling di gemari dan yang paling umum adalah yang kedua yaitu (ngerorot), atau bersama-sama melarikan diri. Menurut pendapat orang Trunyan cara ini berlandaskan pada percintaan yang datang dari kedua belah pihak sedangkan cara pertama yaitu meminang (memadik) sama sekali tidak berlandaskan cinta, karena berlandaskan kemauan orang tua belah pihak, dan yang ketiga yaitu kawin paksa dengan menculik gadis yang diingini (melegandang). Tidak berlandaskan percintaan sama sekali, karena cinta hanya datang dari pihak laki-laki terhadap seorang gadis yang menolak cintanya.
Persetubuhan sebelum diadakan upacara perkawinan adat (Pramalital union) diperbolehkan oleh adat Trunyan, karena tujuan utama Trunyan adalah untuk memperoleh keturunan, sehingga upacara keturunan adat yang mahal itu, baru akan diadakan jika seorang lelaki dengan pasti bahwa menjalin hubungannya dengan gadis idamannya ini akan menghasilkan keturunan baginya[18].
Dalam upacara ini selama enam hari sepasang mempelai tidak boleh menampakkan diri, jika tidak demikian di anggap sebagai tidak menghargai orang tua si gadis. Mereka akan menjadi marah benar jika merka sampai bertemu dengan bakal menantu atau putrinya persemian ini. Setelah persembunyaian 6 hari lamanya, sepasang mempelai itu boleh menampakan diri, dan harus segera mengunjungi rumah-rumah kediaman orang tua dan kerabat si gadis, lalu menyerahkan persembahan berupa ketupat dan sirih. Dalam upacara ini mempelai pria dia antar oleh saudara-saudaranya sendiri, kemudian ia kembali lagi kerumah mertuanya untuk di jamu, dan dari sana istrinya ia kembali kerumah ketempat persembunyan yang terletak beberapa meter dari rumah mertuanya.
Upacara pemesrah ini terdiri dari 4 tahap, yaitu Mebiekaon, memperagap atau mekalakalan, Bhakti Pascaren, Mepekandal. Sebelum menunaikan tempat upacara pengesahan perkawinan ini, kedua mempelai tersebut hanya di aku sebagai orang yang sudah kawin, tetapi belum sebagai anggota krama desa penuh karna masih di anggap belum bersih.
Unsur mas kawin tidak ada dalam adat perkawinan orang Trunyan. Unsur yang ada hanya apa yang di sebut gagapan. Gagapan adalah semacam oleh-oleh yang di berikan oleh orang tua mempelai laki-laki kepada calon menantunya sewaktu meminangnya. Gagapan terdiri dari sehelai kain batik, sepotong baju kebaya sehelai handuk berwarna menyala.
Pada waktu seorang gadis telah di setujui oleh orang tuanya untuk berumah tangga dengan pemuda pilihannya, maka ia oleh orang tuanya di beri semacam bawaan dari rumahnya yang di sebut metatadan. Metatadan adalah berupa bahan makanan, satu stel pakean perumpuan, hasil-hasil bumi seperti bawang merah, bawang putih untuk bibit, dan alat pertanian, jika orang tuanya orang berada, maka sigadis di beri juga perhiasan dari logam atau batu mulia[19].  
Ø   Cara Pemakaman Trunyan.
Cara pemakaman orang Trunyan ada 2 macam yaitu: pertama, Meletakan jenazah di atas tanah di bawah udara terbuka tilah mepasah dan kedua, di kuburkan di dalam tanah.
Orang-orang yang di mepasahkan adalah mereka yang pada waktu matinya termasuk orang-orang yang telah berumah tangga, orang-orang yang masih bujangan, dan anak kecil yang telah mekutus, yaitu telah tinggal gigi susunya. Adapun orang-orang yang di kebukan setelah meninggal adalah orang telah cacat tubuhnya sewaktu meninggal, yaitu misalnya sudah tidak lagi lengkap salah satu anggota tubuhnya, bahakan pada saat matinya pada tubuhnya terdapat luka yang belum sembuh, seperti yang terjadi pada tubuh para penderita penyakit cacar, lepra dan lain-lain.
Keperluan pemakaman di Desa Trunyan di sediakan tiga tempat pemakaman yaitu: Pertama, Sema Wayah kedua, Sema Nguda, ketiga, Sema Bantas. Sema Wayah di pergunakan untuk pemakan jenis mepasah, sedangkan Sema Bantas di pergunakan bagi jenis pemakaman dengan penguburan, Sema Nguda di pergunakan bagi kedua jenis pemakaman, yaitu baik mepasah, maupun penguburan. Sema Wayah, tempat pemakan secara mepasah bagi orang-orang yang pada waktu,  matinya sudah kawin, dan matinya normal artinya karena sakit biasa, atau sudah tua. Sema Bentas adalah tempat pemakaman secara mengubur bagi orang baik yang sudah kawin atau belum, baik anak-anak maupun orang muda, maupun orang tua yang matinya tidak wajar atau tubuhnya cacat. Sedangkan Sema Muda adalah pemakaman khusus bagi orang-orang yang belum kawin dan anak-anak yang sudah meketus yang di lakukan secara mepasah dan di samping itu juga di pergunakan sebagai tempat pemakaman bagi anak-anak bayi yang belum mekutus tetapi, secara penguburan. Hanya tempatnya untuk yang di mepasah di lakukan di tanah lapangan terbuka, sedangkan untuk penguburan di kaki lereng bukit batu. Perbedaan penguburan di Sema Bantas dengan penguburan di Sema Muda bagi anak-anak bayi yang belum meketus ialah mayat di timbuni dengan tanah melainkan dengan batu.[20]
Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa dalam mepasah, setelah upacara pembersihan dengan cara dimandikan dengan air hujan, jenazah hanya digeletakan di permukaan tanah. Tempat pembaringan jenazah diberi lubang sekitar 10 hingga 20 cm agar posisi jenazah tidak bergeser akibat kontur tanah pemakaman yang tidak rata. Kemudian selain bagian wajah, bagian tubuh jenazah dibalut kain berwarna putih. Sebagai penanda, jenazah ditutup dengan bambu yang disusun membentuk prisma yang disebut ancak saji. Yang unik adalah meski pun jenazah diletakan di permukaan tanah, mayat tersebut tidak tercium baunya. Jenazah tersebut diletakan di antara pohon Taru Menyan, taru berarti pohon dan menyan berarti harum. Kiranya, aroma yang keluar dari pohon taru menyan inilah yang dapat menetralisir udara di sekitarnya. Pohon yang mengeluarkan aroma khas yang kuat tersebut hanya dapat tumbuh didaerah ini, meskipun telah dicoba ditanam di daerah lain. Keunikan pohon ini agaknya telah menjadi cikal bakal nama desa Trunyan.[21] Di bawah satu pohon taru menyan, hanya dapat diletakakan maksimal sebelas jenazah. Hal tersebut sudah diatur oleh kepercayaan adat setempat. Tetapi ada yang mengatakan bahwa satu pohon taru menyan hanya bisa menetralisir sebelas jenazah, jadi jika lebih dari itu maka jenazah tersebut akan mengeluarkan bau. Bila ada jenazah yang baru, maka maka satu jenazah yang paling lama akan dipindahkan, ke tempat terbuka, tidak ditutupi dengan kurung ancak saji (Ancak saji merupakan anyaman bambu segitiga sama sisi). Jenazah yang lama akan disatukan dengan jenazah lainnya dalam tatanan batu atau di bawah pohon. Maka tidak heran jika di tempat tersebut, terdapat tulang belulang dan barang-barang bekal sesaji seperti sandal, sendok, piring, pakaian, dan lain-lain berserakan di area pemakaman. Hal tersebut memang disengaja karena tidak boleh ada barang yang yang dibawa keluar dari area pemakaman ini.[22]
Ø  Berikut Ini Contoh Gambar Pemakaman Trunyan Bali.
 http://samarabalitor.blogspot.com/2015/07/desa-trunyan-uniknya-pohon-penetralisir.html. diakses pada tanggal, 15 april 2016 pada pukul 08.00.
http://agungrarebali.blogspot.com/2015/03/desa-trunyan-uniknya-pohon-penetralisi.html. Diakses pada tanggal, 15 april 2016 pada pukul 18.00.

D.    Interaksi Kepercayaan Orang Trunyan Dengan Agama-agama Lain.
Interaksi antara etnis Bali dengan etnis Sasak (Islam). Kerjasama antara etnis Bali dan etnis Sasak sudah terjadi jauh sebelumnya, pada saat kedatangan Islam (Sasak) dengan pihak kerajaan Karangasem. Masyarakat Islam Sasak ditempatkan berdampingan dengan masyarakat hindu dan bekerja sama dalam menjaga keamanan wilayah kerajaan Karangasem dari serbuan kerajaan lainnya di Bali. Kerjasama tersebut berlanjut sampai sekarang, namun dalam konteks menjaga keamanan wilayan Desa Pakraman yakni sebagai pencalang dan jagabaya. Sebagai pencalang umat Hindu dan umat Islam ikut bergabung menjaga keamanan, berkeliling di wilayah Desa dan Banjar. [23]
Selain itu antara etnis Bali dan Etnis Sasak (Islam) juga terjadi interaksi jual beli di pasar tradisional antara pedagang etnis Sasak misalnya (pedagang sate, cendol, buah, kain, tukang jarit dan sebagainya) dengan pembeli masyarakat etnis Bali dan begitu pula sebaliknya. Tidak hanya sebatas pedagang dan pembeli, interaksi juga terjadi pada sesama pedagang etnis Bali dan Etnis Sasak. Mereka saling memberikan rekomendasi dagangan teman atau kerabat mereka kepada pembeli yang ingin membeli kebutuhan sehari-hari.
Dinamika budaya serta perubahan sosial  di Trunyan juga menjadi salah satu bukti interaksi Trunyan terhadap agama-agama lain. Letak Trunyan yang terpencil dari kehidupan orang bali pada umumnya, dan bangsa Indonesia pada lainnya. Biarpun seperti itu desa ini telah lama menjadi perhatian orang luar, terutama dalam penyebaran agama Hindu disana, yang mayoritas di anut oleh masyarakat Bali. Persentuhan desa Trunyan dengan budaya luar, sebenarnya sudah mulai sejak lama. Namun persentuhan tersebut sebatas pada Hindu Bali saja. Setelah itu, persentuhan yang dibawa dari masa kolonialisasi baik budaya Asia, seperti Jawa, India dan Cina, ternyata tidak berdampak begitu berarti pada perkembangan kepercayaan. Mereka dengan teguh tetap berusaha melestarikan kebudayaan yang dimiliki. Apalagi dewasa ini, Bali secara keseluruhan telah dikenal di mata Internasional menjadi salah satu tujuan wisata.
Dukungan dari pemerintah untuk peristiwa seperti ini yang menyebabkan tradisi budaya lokal terus digalakan perkembangannya. Dewasa ini, pertumbuhan pembanguna modern sudah sangat nampak di daerah Trunyan. Pembangunan hotel, villa, restaurant, serta tempat peristirahatan lainnya berkembang pesat. Disamping itu, pembanguna kuil sesembahan, tempat pemujaan, juga banyak di bangun, meski sepertinya ada sangat besar. Pergeseran nilai yang terjadi seperti pergeseran kehidupan pertanian ke sektor pariwisata, namun pelestarian kebudayaan dan kepercayaan masih trus akan bertahan dan berkembang.[24]
  

BAB III
Kesimpulan
Jadi begitulah asal usul suku Trunyan di Bali dengan proses yang sangat panjang mulai dari penamaan sampai menjadi desa yang cukup luas. Dari asal usul hingga tradisi,adat dan kebudayaan orang Trunyan yang menyimpan banyak keunikan didalamnya sehingga masyarakat Trunyan selalu menjaga dan melestarikannya sampai sekarang.



DAFTAR PUSTAKA

James Danandjaja, Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali, (Jakarta: penerbit Universitas Indonesia, 1989)
Trisila, Akulturasi Budaya Islam Hindu di Bali, (Depasar : Universitas Udayana, 2002).


[1] DR. James Danandjaja,  Kebudayaan Petani Desa Trunyan Di Bali,  (Jakarta: UI Press, 1989), h. 1-11.
 
[2] DR. James Danandjaja, opcit., h. 15
[3] Judul : http://travel.okezone.com/read/2011/02/21/407/426926/tradisi-masyarakat-desa-trunyaN pada tanggal, 15 maret 2016, Pada Pukul 08.00.
[4]   ”Judul” : http://travel.okezone.com/read/2011/02/21/407/426926/tradisi-masyarakat-desa-trunyaN pada tanggal, 15 maret 2016, Pada Pukul 08.00.
[5] DR. James Danandjaja, op. cit., h. 40-41.
[6] DR. James Danandjaja, op. cit., h. 309-210.
[7]. Ciwatri yang berarti malam Ciwa, tetapi di Bali diinterpretasikan sebagai “malm renungan suci” atau “malam peleburan dosa”. 
[8] . Saraswati adalah hari raya untuk memuja Sang Hyang Widhi dalam kekuatannya menciptakan ilmu pengetahuan dan ilmu pensucian.
[9] Pagerwasi adalah hari pemujaan Sang Hyang Widhi dengan Perbhawanya sebagai Sang Hyang Paramesti Guru yang sedang beryoga untuk kesentausaan alam ciptaannya dengan diiringi oleh para dewa, pitara-pitara
[10]. Tetebasan tersebut terbuat dari janur kelapa yang dirangkaikan serta diukir berbentuk bulat pipih seperti bulan, sedangkan tetebasan sapu lara juga terbuat dari janut kelapa tetapi berbentuk mahkota Raja Jawa dalam wayang orang (topeng).
[11]. DR. James Danandjaja, op. cit., h. 310.
[12] Nyam-pat adalah roh-roh empat saudara anak bayi Trunyan, sewaktu masih berada di dalam rahim ibunya. Empat saudara tersebut adalah Yeh Nyem, getih, ari-ari, dan tali pusar.
[13]. DR. James Danandjaja, op. cit., h. 312
[14] DR. James Danandjaja, op. cit., h. 315
[15]  DR. James Danandjaja, op. cit., h. 316.
[16] DR. James Danandjaja, op. cit., h. 290-292
[17]   DR. James Danandjaja, op. cit., h.356-357
[18]    DR. James Danandjaja, op. cit., h.161-163
[19] DR. James Danandjaja, op. cit., h. 190
[20] DR. James Danandjaja, op. cit., 349-350
[21] “judul” http://wisatabaliutara.com/2014/12/keunikan-desa-trunyan-bali-tentang-pemakaman.html/ diakses pada tanggal 14 maret 2016 pada pukul 17:00
[22] “ judu” http://www.wacananusantara.org/mepasah-tradisi-pemakaman-desa-trunyan-bali/ diakses pada tanggal 16 maret 2016 pukul 21:00
[23] Trisila, Akulturasi Budaya Islam Hindu di Bali, (Depasar : Universitas Udayana, 2002).h. 43
[24] Trisila, opcit,. H. 48

Tidak ada komentar:

Posting Komentar