Rabu, 01 Juni 2016

Suku Samin




AGAMA TRADISIONAL MASYARAKAT SAMIN

Revisi Makalah

Diajukan untuk Memenuhi Nilai Matakuliah Agama-Agama Lokal










Dosen : Siti Nadroh, MA.

Disusun oleh :

Kelompok 7

Dede Imron Rosadi             ( 11140321000019 )

Muhammad Samtoni            ( 11140321000014 )

Nur Afifah                           ( 11140321000004 )







JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2016



 KATA PENGANTAR

            Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat, karunia, serta kasih sayang terbesar-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Agama Tradisional Orang Samin”.

            Makalah ini disusun bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama-Agama Lokal. Selain itu sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan dan memotivasi mahasiswa/i dalam menyusun karya tulis.

            Kami menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dan keterbatasan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sekalian demi memperbaiki makalah ini untuk penulisan lain di kemudian hari.

            Semoga makalah ini dapat mendatangkan manfaat bagi kita semua. Sekian dan terimakasih.







Ciputat, 22 Maret 2016







                                                                                                             Penulis







A.    Pendahuluan

Masyarakat Samin adalah sekelompok masyarakat yang terdapat di daerah Blora, sebuah daerah yang berada di kawasan Propinsi Jawa Tengah.[1]

Menurut asal katanya, Samin berasal dari kata “sami-sami” yang berarti sama-sama. Kata ini merujuk pada konsep ajaran yang mengedepankan bahwa semua manusia itu sama, memiliki kedudukan yang sama, hak dan kewajiban yang sama, karena kesemuanya berasal dari keturunan yang sama, yakni Nabi Adam.[2]

Kata ini pun sebutan orang luar yang diberikan kepada kelompok pengikut Samin dengan menisbatkan kepada kelompok pengikut Samin dengan menisbatkan kepada pendiri ajarannya yang bernama Samin.

Konon, pengikutnya sendiri tidak suka dengan sebutan ini, mereka lebih suka disebut “wong sikep” yang berarti “laki-rabi” (kawin). Kenapa kawin? Karena kondep perkawinan bagian dari titik tolak ajaran mereka. Menurut mereka, dari sebuah perkawinan antara dua manusia yang berlawanan jenis inilah terjadinya dunia ini. Untuk mengukur apakah seseorang pengikut ajaran Samin atau bukan, terlihat dalam menjalankan “sikap rabi kukoh wali Adam” .[3] Oleh karena itu yang paling populer adalah Samin atau Sikep, pengikutnya sering dijulukin “Wong Sikep” atau “Wong Samin”.


B.            Latak Peta Geografis Masyarakat Samin


            Sumber: migas.bisbak.com

Kabupaten Blora terletak di antara 111°016' - 111°338' Bujur Timur dan di antara 6°582' - 7°248' Lintang Selatan. Di sebelah Utara Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Rembang dan Kabupaten Pati, di sebelah Timur dengan Kabupaten Bojonegoro (Jawa Timur), di sebelah Selatan Kabupaten Ngawi (Jawa Timur) dan di sebelah Barat dengan Kabupaten Grobogan. Luas wilayah Kabupaten Blora adalah 1.820,59 km 2 atau sekitar 5,5 % luas wilayah Propinsi Jawa Tengah. Kecamatan yang memiliki wilayah terluas adalah Randublatung seluas 211,13 km 2 edangkan Cepu dengan luas wilayah 49,15 km2 merupakan Kecamatan tersempit.[4]

C.      Profil Masyarakat Samin

Masyarakat Samin mempunyai norma tersendiri yang digunakan dalam menjalin kehidupan bersama. Norma-norma tersebut diturunkan nenek moyang. Sampai sekarang norma tersebut masih dipertahankan dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.[5] Salah satu norma yang dapat dicontoh adalah norma kejujuran. Masyarakat Samin mengedepankan kejujuran yang dapat dilihat dari perkataan maupun perbuatan.

Selain kejujuran juga terdapat kebersamaan. Kebersamaan ini bisa dilihat dari penyambutan tamu yang berkunjung ke masyarakat samin. Dalam penyambutan tamu, mereka bersikap ramah-tamah dan memberikan jamuan berbagai macam makanan tradisional.

Selain itu dalam masyarakat Samin, terdapat norma mengenai pernikahan.[6] Pernikahan yang boleh dilakukan hanya sekali seumur hidup, artinya tidak ada cerai dan polygami. Tetapi apabila salah satu pasangan telah meninggal maka diperbolehkan untuk menikah lagi.

Norma-norma umum seperti larangan berjudi, larangan mencuri dan norma norma lainnya masih tetap berlaku di masyarakat samin. Bahkan melekat kental dalam diri mereka. Apabila ada yang melanggar aturan-aturan dan norma, sanksi yang diberikan berupa teguran agar orang yang melanggar tidak mengulang perbuatan itu lagi.

Masyarakat diwilyahah kabipaten Blora ini sangat unik. Mereka memiliki ciri khas yang sangat berbeda dengan kemajuan industri yang melanda Indonesia kini, di mana masyarakatnya masih sangat menjunjung nilai-nilai warisan nenek moyang sampai saat ini.[7]



D.    Asal Usul Masyarakat Samin dan Perkembangannya

Ada banyak versi mengenai asal-muasal munculnya ajaran Samin dintaranya;

a.        Sumber menyebutkan, ajaran Samin diseberkan oleh seorang petani yang bernama Samin Surasentiko atauatau Surantiko samin, disebut pula Surontiko Sami.[8]Para pengikut yang mengkultuskannyamengatakan bahwa Suransentiko Samin adalah “wong tiban” atau orang yang tidak diketahui dari mana datangnya dan kemana perginya, Bahkan diantara pengikutnya ada yang beranggapan hingga kini Surosentiko samin masih hidup.

b.      Sumber lain menyebutkan Suresentiko Samin adalah cucu Kyai Keti dari Rejekwesi, Kabupaten Bojonegoro. Mereka masih mempunyai hubungan darah dengan Pangeran Kusumaningayu dari Kerajaan Pajang. Lahir kira-kira tahun 1859 di Desa Plosokediren ±30 meter dari Blora.[9]

c.       Pendapat lain mengatakan, Surosentiko Samin adalah keturunan salah seorang pengikut Pangeran Diponerogo yang melarikan diri ke daerah Blora karena di kejar-kejar Belanda. Ketika kolonial Belanda menangkap dan membuang Pangeran Diponerogo, Samin meneruskan perjuangan tersebut dengan hidup di hutan-hutan. Di hutan-hutan inilah dia banyak bertapa (tirakat). Pada suatu hari, ketika ia sedang bertapa (tirakat), konon ia akan mendapatkan buku yang berkhasiat, yaitu “Kalimo Sodo”.[10]

Buku Kalimasada ini merangkul ajaran-ajaran yang pada kemudian hari disebarkan kepada sanak famili dan masyarakat sekitarnya diantaranya;

a.       Serat  Punjer  Kawitan, berkaitan  dengan  ajaran  tentang  silsilah raja raja Jawa, adipati-adaipati wilayah Jawa Timur dan penduduk Jawa.

b.      Serat  Pikukuh  Kasejaten, ajaran  tentang  tata  cara  dan  hukum perkawinan yang dipraktikan oleh masyarakat Samin.

c.       Serta  Uri Uri  Pambudi, berisi  tentang  ajaran  perilaku  yang  utama terdiri  dari  ajaran: Angger-angger  pratikel (hukum  tingkah  laku), Angger-angger Pangucap (hukum  berbicara), Angger-angger Lakonono (hukum yang harus dilakukan).

d.      Serat  Jati  Sawit, buku  yang  membahas  tentang  kemulian  hidup sesudah mati (kemulian hidup di akhirat).

e.       Serat  Lampahing  Urip, buku  yang  berisi  tentang  primbon  yang berkaitan  dengan  kelahiran,  perjodohan,  mencari  hari  baik  untuk seluruh kegiatan aktivitas kehidupan.[11]

Proses penyebaran ajarannya disampaikan dari mulut ke mulut dari pada peristiwa-peristiwa penting, misalnya pada Surosentiko Samin menikahkan anak perempuannya yang bernama Samiyah dengan Surokidin. Menurut cerita, ketika berlangsung pesta pernikahan anak Samin, terjadi peristiwa hujan lebat hingga banjir, bagi mereka yang mempercayai ajaran Samin, terhindar dari genangan air, sedangkan bagi mereka yang tidak mempercayainya ajarannya, terkena air hujan dan basah kusup. Dari peristiwa itulah orang-orang sekitarnya banyak yang berminat mengikuti ajarannya hingga berkembang keluar daerah, meliputi daerah Bapangan, Kunduran, Meden, Bandul, Wirosari Klopoduwur, Ngawi, dan lain-lain.

Salah satu faktor mengapa kepercayaan ini mudah diterima sebagian masyarakat adalah karena konsep ajarannya yang sederhana, seperti penekanan pada persamaan manusia,kerukunan, sikap gotong royong kejujuran dan hidup sederhana, ditambah lagi dengan sederhana,ditambah lagi dengan hidup Suransentika Samin yang jujur, bersahaja, dan suka menolong sesama merupakan model yang menarik bagi masyarakat untuk mengikuti dan mengaguminya.[12]

Semakin hari semakin banyak pengikutnya, penerimaan pengikut diatur sedemikian rupa. Jika ada pengikut baru, diadakan upacara penerimaan dan di haruskan bersumpah setia menurut ajaran samin gurunya (dibaiat). Karena pengikut dari daerah pun semakin banyak, maka dibukalah berbagai perwakilan yang di anggap”tertua”.[13]

Ciri khas dari komunitas Samin adalah pemberontakannya pada penguasa Belanda. Mereka menolak membayar pajak dan membangkang pada aparat keamanan. Telrbih ketika Surasentika Samin diproklamirkan sebagai Ratu Adil oleh Surowiryo, seorang Carik Desa Medalem yang kemudian diangkat menjadi Patih. Akibat pemberontakan terhadap penguasa Belanda itu, pendiri ajaran Samin dan beberapa orang pemuka masyarakat Samin ditangkap oleh para penguasa, seperti Surosentiko Samin (Ploso Kediren), Surowiryo (Medalem), Saryani (Klupang, Randublatung), Ronodikmoro (Nggondel), Kamituwa Tengklik (Ploso Kederi).[14]

Mereka diajukan ke pengadilan dengan tuduhan melakukan deklarasi adanya Ratu Adil dan Patih. Tetapi pengadilan itu macet dan menghasilkan keputusan apa-apa karena Surosentiko Samin mengelak dan memberikan argumentasi :

“Dadi Ratu naning ratune bojone dewe, dadi patih yo patih bojone dewe” (Jadi raja bukan raja suatu negara, akan tetapi raja dari isterinya sendiri. Demikian pula jadi patih, ya patih untuk isterinya sendiri).[15]

Tetapi penguasa Belanda tidak berhenti mengawasi Samin sampai situ, mereka terus mencari-cari kesalahan Samin dan pengikutnya, sehingga Samin di penjarakan di Rembang selama 1 tahun, kemudian dikirim ke Jakarta dan selanjutnya bersama Kramamanggala dan Singotirto dikirim ke Lubuk Lagan, Padang, Sumatera Barat. Carik Surowiyro, Kamituwo Tangklik dan Kitokromo ke lampung Banjar, Manado. Sedangkan Sarejo, Saryati dan Ronodikrono dibuang ke Bengkulu. Setelah 8 tahun lamanya Sorosentiko Samin dalam pembuangan, ia pun meninggal dunia.[16]

Sepeninggal Surosantika Samin, pusat pimpinan penyabaran ajaran Samin berpindah ke desa Ploso Kediren ke desa Tanduran, kecamatan Kedung, Tuban,Cepu yang dipimpin oleh Surokidin, menantunya Samin, karena mereka sangat meyakini kebenaran ajarannya.

Meskipun tidak lagi dipimpin oleh Surosentiko Samin, komunitas Samin tetap tidak mau berkompromi dengan Belanda, menolak menjalankan perintah-perintah Pamongpraja dan alat negara tidak mau membayar pajak, membantah bekerja rodi, sehingga diantara mereka banayak yang dikenakan hukum, dikenai denda dan dirampas hak miliknya.[17]

Keadaan demikian baru berubah setelah datangnya pemerintah Jepang. Mereka menganggap pemerintah Jepang akan membawa keadilan. Oleh karena itu, mereka pun mentaati peraturan-peraturan yang diperintahkan oleh pemerintahan Jepang. Sikap seperti ini berlaku sampai diproklamasikannya Kemerdekaan RI, ditambah gencarnya usaha-usaha pemerintah RI agar masyarakat tidak terisolasi dengan masyarakat lain.



E.     Pandangan Hidup, Kepercayaan dan Ajaran Masyarakat Samin

a.       Agama

Agama menurut orang Samin berarti “gaman” (senjata), yaitu “gamane wong lanang”. Mereka sering mengatakan, “aku iki wong,agamaku Adam, jenengku lanang, Adam itu pengucapanku”, dari Adamlah asal dari kehidupan dan kematian, dan segalanya berasal dari Dia.[18]

b.      “Cilik” (masa kecil).”aku iki wong, agamaku Adam, jenengku lanang”

Adam Cilik ada tiga macam:

1.      Adam timur, yaitu anak kecil

2.      Adam Brai, yaitu seseorang yang sudah memasuki akil balig

3.      Adam Tungu, yaitu seseorang yang akan memasuki perkawinan, tinggal menunggu akad.[19]

c.       “Gede” (Besar memasuki perkawinan dan seterusnya). Bagi laki-laki “aku wong sikep, kukoh wali Adam” (Aku orang sikep, kekuatan wali Adam). Bagi perempuan “Aku wong Adam, jenengku wedok” (saya keturunan Nabi Adam, namaku perempuan).

Selain itu mereka membagi agama pada:

1.      Agama Adam Kawitan (permulaan)

Dalam agama kawitan ini dikemukakan, Adam diciptakan oleh Sang Hyang Tunggal, yang perwujudannya dianggap dewa, kemudian dari diri Adam keluar sang wanita sebagai pasangan, dari Adam dan pasangannya dengan “pengucapnya” timbul segala-galanya. Adamdisebut dewa, tetapi Adam adalah orang seorang yang juga setiap orang. Jadi Tuhan diri sendiri.

2.      Ketuhanan

Pada dasarnya acara berfikir mereka amat bersahaja, mereka hanya mempercayai dan mereka sesuatu yang dapat ditancap oleh panca indera. Hal-hal gaib, seperti Tuhan, Malaikat, Jin, Syetan tidak dipercayainya. Meskipun demikian tidak dapat dipastikan, apakah mereka itu percaya Tuhan atau tidak. Sebab pada hakekatnya, jika mereka melangsungkan perkawinan, ikatan janji sebuah perkawinan akan di anggap syah bila menunjukan jari keatas kebawah, ke langit (Bapak Kuasa) dan bumi (bumi pertiwi). Yang dianggap Tuhan itu di sebut “Yahi” atau “Sang Ngayahi” (yang melaksanakan), dan memberikan segala-galanya termasuk memberi hidup dan mati.[20]

3.      Manusia dan Kehidupan Alam Dunia

Menurut ajaran Samin, dunia ini hanya satu urip (hidup). Segala sesuatu yang menampakkan diri tidak lebih dari perwujudan hidup. Ia dapat wujud orang, hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya.[21] Semuaperwujudan ini dapat disimpulkan dalam kategori, yaitu 1) manuai (wong), 2)sadang papan. Segala sesuatu yang dapat digunakan adalah sadang. Sesuatu yang di makan adalah pangan. Selain pada sadang-pangan tadi hanyalah “manusia”.

Manusia pertama adalah Bapak Adam yang diciptakan oleh Bapak Kuasa (langit) dan Ibu Pertiwi (bumi). Kamudian dengan kekuatan yang ada pada Adam dia mengheningkan cipta dan lahirnya Ibu Hawa (hawaning fikir).[22] Dalam penyatuan tubuh keduanya (sikep laki rabi) lahirlah seorang puteri. Puteri tersebut dilamar oleh empat orang yang bernama lor, kidul, wetan, dan kulon. Kemudian Adam menciptakan tiga orang puteri lagi yang sama rupa yang bentuknya sama dari binatang kerbau, macan, dan kucing. Dalam “sikeplaki rabi” (perkawinan dan peyatuan antar lawan jenis) terciptalah umat manusia dan kemudian berkembang dengan bermacam sifat dan karakternya.

Semua aktifitas hidup manusia ditunjukan pada dua hal. Pertama, tatane wong (menciptakan manusia). Jika malam hari tiba, tugas manusia adalah melakukan hubungan seksual. Dalam dua hal ini terdapat pembagian tugas antara tugas suami dan isteri. Suami bertugas memenuhi kebutuhan sadang-pangan. Sementara istri bertugas melahirkan sekaligus merawatnya. Kedua, tata anggota, yakni segala kegiatan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sadang-pangan.[23]

Diantara kedua makhluk yang berada di muka bumi ini yang tertinggi dan Yang Maha Kuasa adalah manusia “wong”.

Lalu, siapa yang disebut manusia oleh ajaran Samin? Yang disebut manusia (wong) oleh karena ajaran Samin itu adalah orang yang baik, yang tidak pernah melakukan kejahatan, atau mereka yang menyebutnya “wong Jawa”.[24] Wong Jawa disini tidak diartikan secara harfiah orang Jawa yang berkaitan dengan salah satu suku bangsa di Indonesia, tetapi wong Jawa itu berarti jujur, tidak jahat, tidak suka berdusta, baik kepada diri sendiri maupun orang lain, dan tidak suka mencuri yang dapat merupakan orang lain.

Agar seseorang menjadi manusia (wong), maka orang tersebut harus malakukan praktek hidup dan tingkah laku (kelakuan) yang dijalani sepenuh hati. Seperti menjauhi perbuatan dusta (goroh), menghina (nginoh sapa-pada), iri hati (dahwen-kemiren),mencuri, mengutil dan sebagainya. Sementara sikap gotong royong dan rasa sosial sangat ditekankan pada konsep ajaran mereka, hal ini terlihat pada ajaran: [25]

-          Bergantian untuk saling tolong menolong antar saudara (Urute sandang pangan karo sanak sedulur)

-          Jika berhutang, harus dikembalikan sesuai dengan macam dan jumlahnya yang sama seperti pada waktu meminjamnya. (Urute utang sebawon balik sebawon,setali balik setali, serupiah balik serupiah). Mereka sangat menentang rente atau riba.

-          Tepat janji (kukoh waten)

-          Bagi mereka yang namanya janji harus ditepati. Jika ragu-ragu untuk menepati, mereka tidak mudah berjanji

-          Jika menuai padi harus dibagi empat (yen nderep pari mrapat, bawon ndok enggon). Sebagian untuk biti (benih), sebagian untuk dimakan (sandang-pangan), separuh untuk biaya yang mengerjakan, dan sebagian lagi kepada buruh penuai di tempat dan pada saat itu juga.

4.      Partikel

Partikel padaajaran Samin adalah sikap dan pedoman batin untuk memperoleh kesiapan dalam melaksanakan praktek hidup (kelakuan) seperti yang diajarkan diatas, dengan kesungguhan dan keyakinan bahwa apa yang dilaksanakan dan dipraktekan adalah benar adanya (tanpa ngiloh ngiwo nengen).[26]

Kalau sudah demikian, yakni orang yang sunggu-sungguh sudah melaksanakan kelakuan dan partikel, maka orang tersebut baru dianggap sempurna sebagai (“wong”).

5.      Jiwa

Jika seseorang yang menjadi hidup itu hanya satu. Oleh karena itu umur manusia juga satu. Penggunaan Jiwa oleh raga yang disebut “sandangan” bisa dihitung, entah setahun, seratus tahun atau berapa pula lamanya. Raga bila sudah ditinggalkan jiwa disebut “mayat”, tidak lagi disebut manusia “wong”.[27]



F.     Upacara Keagamaan Dalam Masyarakat Samin

a.       Khitan

Masyarakat Samin sebenarnya tidak mengenal tradisi khitan atau sunat. Mereka mempunyai pandanga, mengapa anggota tubuh yang sudah ada sejak lahir harus dikurangi atau dihilangkan. Akan tetapi dalam kenyataan sehari-hari, seorang laki-laki yang sudah menginjak masa “Adam Birahi“ juga disunat sebagiamana laki-laki yang beragama Islam.[28]

b.      Perkawinan

Bagi orang Samin atau sikap, seperti yang sudah disebut di atas, perkawinan merupakan hal yang sangat penting yang dianggap sebagai pangkal tolak ajaran Samin.[29]

Karena dengan perkawinan antar lawan jenis harus didasarkan atas suku sama suka (pada demene). Mereka tidak memperbolehkan adanya pemaksaan dalam perjodohan, peran orang tua hanya tinggal merestui menjadi saksi bahwa perkawinan itu harus berlangsung hingga seumur hidup. Monogami adalah prinsip dari perkawinan mereka

Sebelum dilangsungkan upacara perkawinan terlebih dahulu diadakan peminangan dari calon pengantin perempuan. Setelah peminangan diterima, calon mempelai laki-laki di antarkan oleh orang tuanya ke rumah calon pengantin perempuan untuk bertempat tinggal (mbateh) dan hidup bersama dengan calon pengantin perempuan agar hidup “rukun” (melakukan hubungan seksual). Hidup serumah sebelum melangsungkan perkawinan ini disebut juga sebagai “magang” (menunggu). Bila keduanya sudah benar-benar bisa melakukan senggama (rukun), maka calon pengantin laki-laki menghadap calon mertua untuk siap mengawini mempelai laki-laki menghadap calon mertua untuk siap mengawini mempelai perempuan. Sebaliknya, jika pada masa tunggu ini laki-laki itu berhasil menggauli si perempuan, apabila pihak perempuan menyatakan tidak suka atau ora demen,maka perkawinan ridak bisa dilaksanakan.

Setelah keduanya merasakan suka sama suka (podo demen), orangtua kedua belah pihak mendatangi Kepala Desa setempat untuk mengadakan semacam ijab kabul dengan mendatangkan saksi-saksi.

c.       Larangan Perkawinan

Yang dimaksud larangan perkawinan bagi ajaran Samin di sini adalah perkawinan tersebut tidak sah jika mereka mengawini keluarga sedarah[30] (ada hubungan keturunan), saudara sekandung, keluarga semenda, keluarga sepupu (satu nenek) saudara dan anak angkat disamping itu suatu perkawinan tidak dapata dilaksanakan jika terjadi besan rangkap (besan yang sama).

d.      Perceraian

Karena perkawinan dalam masyarakat Samin merupakan ajaran yang fundamental, dan di dasarkan pada pedoman satu untuk selamanya, maka perkawinan tidak boleh terputus atau terjadi perceraian, terkecuali kematian.[31]

Adapun perkawinan dalam masyarakat Samin dengan yang bukan pengikut Samin pada Prinsipnya tidak dilarang, asalkan calon pengantin, baik laki-laki maupun perempuan yang bukan Samin bersedia menyesuaikan diri dengan ajaran adat kebiasaan yang berlaku pada masyarakat Samin.

e.       Kematian

Sebagimana telah di singgung di atas, hakekat hidup (urip) itu hanya satu sekali untuk selama-lamanya. Bila seseorang meninggal, menurut mereka hal itu hanya berganti pakaian (salin sandangan), sedang jiwa mereka masih tetap hidup dengan memakai jasad yang baru.[32]

Jadi, manusia itu tidak akan pernah mati, yang mati dan rusak hanya jasadnya semata. Orang yang salin sandangan di kemudian hari akan melanjutkan hidup dengan mengenakan jasad yang lain. Jika dia orang baik, akan hidup menjadi orang baik. Jika dia jahat, maka akan menjadi hewan atau orang lain. Disini nampaknya ada keprcayaan reinkarnasi dalam konsep ajaran agama Hindu.

Selain itu, mereka percaya adanya hukum karma. Yaitu setiap manusia akan mendapatkan balasan yang setimpal dengan tindakannya, jika baik akan mendapat balasan baik, jika buruk akan mendapat balasan yang buruk pula.[33]

Mayat yang akan dikubur dipelihara sedemikian rupa, seperti sebelum dikubur dimandikan, dibungkus dengan kain kafan, kemudian dikubur menghadap kearah Utara Selatan, menghadap ke Barat, kemudian diberi nisan.

f.       Warisan

Jika orang tua seseorang meninggal, harta peninggalannya harus di wariskan kepada anak-anaknya secara merata di bawah pimpinan anak sulung. Biasanya, harta yang berada di dalam rumah, seperti perabotan rumah tangga, perhiasan yang berupa emas dibagi-bagikan kepada anak perempuan. Sementara anak laki-laki mendapatkan bagian harta yang terdapat di luar rumah, seperti sawah, ladang, ternak, dan lain-lain.  

g.      Adopsi (Mengangkat Anak)

Dalam masyarakat Samin ada tradisi mengangkat anak (adopsi). Tujuan pengangkat anak ini bisa bermacam-macam. Misalnya:

1.      Menolong sebuah keluarga yang terlantar

2.      Memancing (pengareh) agar supaya dikarunia anak

3.      Untuk menemani anak kandung seseorang

4.      Untuk memenuhi sumpahnya (Ngluari ujar)

5.      Untuk melanjutkan ahli waris atau keturunan, dan sebaginya.[34]

Di antara bermacam-macam tujuan pengangkatan anak ini yang paling penting adalah untuk menjadi ahli waris dan melanjutkan keturunan. Karena bagi masyarakat Samin seorang anak angkat itu mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban serta pembagian waris yang sama dengan anak kandung.

Pengangkatan anak ini diambil dari kerabat, sanak famili, keluarga miskin dan yatim piatu. Bagi anak yang mempunyai orangtua, ia harus meminta persetujuan orangtuanya dan ia harus menyatakan kesediannya kepada calon orang tua angkatnya. Tapi jika masih bayi, cukup hanya dengan persetujuan orangtuanya. Setelah di setujui, diadakan ucapan selamatan peresmian.[35]



G.    Etika dalam Masyarakat Samin

Agama samin mempunyai watak dan karakter yang menonjol dari masyarakat samin adalah:

-          Masyarakat Samin memegang teguh janji dan menempatinya (kukoh janji). Mereka pntang sekali mengingkari janji. Oleh karena itu, masyarakat Samin jarang sekali berjanji dan sangat berhati-hati jika merekatakut tidak mampu menepatinya.

-          Masyarakat Samin mempunyai sikap jujur dan sangat bersahaja, memiliki kejujuran yang mengagumkan dan pantang sekali untuk berdusta.

-          Masyarakat Samin mempunyai sifat sabar dan tidak suka kekerasan. Masyarakat Samin memiliki kesabaran yang cukup kuat, bahkan saking sabarnya mereka tampak dingin dan tak acuh. Mereka tidak suka kekerasan, pertengkaran dan pertentangan. Jika ada masalahdiselesaikan dengan jalan musyawarah dan dengan cara berdamai.

-          Masyarakat Samin mempunyai sifat ikhlas.

-          Masyarakat Samin sangat santun dalam menerima tamu. Walaupun mereka tidak banyak bicara tetapi mereka sangat menghormati tamu, bahkan tetangga dekatnya punkerapkali ikut menemani. Dalam penghormatan kepada tamu, ada usaha untuk menjamu yang disajikan dengan senang hati.[36]

a.       Sikap kerukunan dan gotong royong

Masyarakat samin merupakan suatu masyarakat yang menjunjung tinggi sikap gotong royong dan kerukunan.[37] Sikap gotong royong ini mereka lakukan dalam berbagai hal, seperti:

-          Dalam menggarap tanah pertanian;

-          Dalam pendirian rumah;

-          Upacara selamatan, seperti khitan, perkawinan dan lain-lain;

-          Tolong menolong bagi mereka yang tidak mampu.

b.      Bahasa dan songkok

Bahasa yang dipergunakan dalam percakapan sehari-hari masyarakat samin adalah bahasa jawa yang memiliki arti dan terminologi tersendiri, yang berbeda dengan bahasa jawa pada umumnya. Oleh karena itu, salah satu cara yang mudah untuk mengenal masyarakat samin adalah melalui percakapannya sehari –hari. [38]



H.    Interaksi Masyarakat

Komunitas Samin merupakan bagian dari masyarakat desa Klopoduwur yang menganut dan mempertahankan ajaran Samin Surosentiko. Komunitas Samin mempunyai tata cara, adat istiadat, bahasa serta norma-norma yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya.[39] Dalam kajian ini penulis menjelaskan tentang bentuk interaksi sosial antara komunitas Samin dengan masyarakat sekitar desa Klopoduwur, faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi sosial antar komunitas Samin dengan masyarakat desa Klopoduwur dan kendala yang dihadapi dalam interaksi sosial. Hasil kajian menunjukkan bahwa bentuk-bentuk interaksi sosial antara komunitas Samin dengan masyarakat sekitar berupa kerja sama, akomodasi dan asimilasi. Sedangkan konflik atau pertentangan dalam interaksi sosial antara komunitas Samin dengan mayarakat sekitar desa Klopoduwur tidak tampak jelas.

Interaksi sosial antara komunitas Samin dengan masyarakat sekitar dipengaruhi oleh berbagai faktor, yakni situasi sosial, kekuasaan norma kelompok, tujuan pribadi, kedudukan dan kondisi individu serta penafsiran situasi. Kendala-kendala yang dihadapi dalam interaksi sosial antara komunitas Samin dengan masyarakat sekitar adalah perbedaan bahasa yang sulit dipahami oleh masyarakat sekitar,dan adanya perbedaan nilai antara kedua kelompok sosial tersebut.[40]

Pengertian  interaksi  sosial  adalah  suatu  hubungan antara  2  individu atau lebih, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki   kelakuan   individu   yang   lain   atau   sebaliknya. Seiring   adanya interaksi  yang  dilakukan  oleh  masyarakat  Samin  di  Desa  Baturejo  Kecamatan Sukolilo  Kabupaten  Pati  dengan  masyarakat  luar  Samin  maka  tanpa  disadari identitas  Samin  yang  dahulu  sangat  khas  dibandingkan  dengan  masyarakat  lain.[41]

baik  secara  berpakaian,  bentuk  rumah,  pola  mata  pencaharian,  bicara (bahasa), adat  istiadat,  nilai-nilai,  norma-norma,  bahkan  agama  pun mengalami  perubahan atau   pergeseran   yang   sekarang   ini   telah   menjadi   seperti   masyarakatpada umumnya  (masyarakat  non-Samin). Masyarakat  berada  dalam  proses  perubahan, begerak  secara  dimanis  mengikuti  pola  tertentu  berdasarkan  faktor-faktor  yang melingkupinya,hal  yang  seperti  itu  telah terjadi pada  masyarakat  Samin  di  Desa Baturejo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati.[42]

Di  era  modernasi  ini  rentan  sekali  masuknya  nilai-nilai,  norma,  bahkan

ideologi baru yang secara mudah masuk kedalam masyarakat ataupun komunita--komunitas  yang bersifat  primitif,  masuknya  hal  tesebut  melalui  media  massa seperti acara  ditelevisi,  internet  yang  sekarang  ini  sudah  ada  diseluruh  pelosok negeri  tanpa  terkecuali.  Maka  di  era  modernisasi  ini  banyak  berdampak  pada perubahan baik  di  segi  sosial,  pemikiran,  identitas  maupun  keyakinan,  dampak dari perubahan itu ada yang diterima dengan baik ada juga yang diterima dengan tidak baik yang berujung dengan terjadinya konflik antara masyarakat yang masih memegang teguh ajaran, nilai-nilai, norma-norma, ideologi  yang dimiliki dengan yang menerima modernisasi.[43]

Masyarakat  Samin  walaupun telah  berusaha  untuk  tetap  mempertahankan identitas  dan  tradisi,  namun  demikian  terdapat  beberapa  identitas  masyarakat Samin  yang  telah  berubah  yang  meliputi:  identitas  diri,  paham  keagamaan,  dan keyakinan  terhadap  Tuhan.  Sedang  tradisi  Samin  yang  berubah  adalah  di  sekitar upacara   perkawinan   dan   kematian.   Bagi   generasi   tua   Samin   yang   masih memegang  kuat  ajaran  Samin  dan  bangga  akan  identitas  dirinya  sebagai  orang Samin biasanya ditunjukan melalui symbol-simbol seperti tata cara berpakain. Ini sangat   berbalik   dengan   generasi   muda   yang   identitas   diri   sebagai   Samin cenderung mulai ditinggalkan dan bahkan sekarang anak-anak muda Samin agak malu dan terkeasan marah jika dikatakan sebagai keturunan Samin. Sangat sedikit dari angkatan muda ini yang memakai sebutan “wong  Samin”, dan sebaliknya mereka lebih bangga kalau disebut masyarakat santri.

Modernisasi ditandai   dengan   terbukanya   masyarakat   Samin   terhadap budaya  luar  maupun  masyarakat  luar,[44]  dengan  adanya  interaksi  yang  dilakukan oleh  masyarakat  Samin telah  mengalami  perubahan pada  seluruh  sisi  kehidupan, tak  terkecuali  pada  masyarakat Samin  yang  sangat  kuat  memegang  ajarannya, namun   pengaruh   modernisasi   telah   membawa   masyarakat   Samin   kearah perubahan sosial yang signifikan.

Melihat   fakta   yang   terjadi   di   Desa   Baturejo Kecamatan   Sukolilo

Kabupaten     Pati     yang     mayoritas     komunitas     Samin.     Namun     untuk

mengindentifikasikan  bahwa  mereka  itu  masyarakat  Samin  atau  tidak sangatlah sulit, karena secara sekilas mereka seperti masyarakat pada umumnya baik pada generasi  muda  ataupun  generasi  tua  yang  memakai  pakaian  yang  bisa  dibilang modern  dibanding  dengan  pakaian  lokal  Samin  ada  pula  sebagian  dari  mereka yang  menggunakan  alat-alat  yang  canggih  seperti  handphone,  komputer  dan layanan    internet.    Namun    ada    pula    sebagian    dari    mereka    yang    masih mempertahankan  ajaran  Samin  baik  dari  segi  pakaian,  adat  istiadat,  bentuk bangunan  rumah  yang  masih  mereka  pegang  kuat, itu  merupakan  bentuk  dari berubahnya atau bergesernya identitas pada masyarakat Samin.

Rencana   pembangunan pabrik semen di Desa Sukolilo,   sebagian masyarakat   menentang   pembangunan pabrik   itu   pada   saat aksi   menetang pembangunan  pabrik  itu  yang  dilakukan  di  depan  kantor  Bupati  Pati.[45]  Apa  yang terjadi  mereka  beraksi  yang  menggunakan  identitas  “Samin”  sebagai  motor penggerak aksi penolakan itu.



I.       Lampiran Foto

 














  Rumah adat masyarakat sami                      Pendiri Suku Samin

           Sumber : www.wikiwand.com         Sumber : nusantaraislam.blogspot.com



          



        Acara Pernikahan                                                Pakaian Adat Suku Samin

        Sumber: berita.suaramerdeka.com                                   Sumber; www.brixcms.org







DAFTAR PUSTAKA



Lestari, Indah Puji, “Interaksi Sosial Komunitas Samin Dengan Masyarakat Sekitar”, dalam Komunitas Vol. 5 No.1, 2013.

Afia, Neng Darol. Badan Litbang Agama Departemen Agama RI. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. Jakarta: 1999.

http://deutromalayan.blogspot.co.id/2012/10/suku-samin.html

http://eprints.ums.ac.id/4947/1/D300050008.PDF

http://digilib.uin-suka.ac.id/7664/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf

http://bojonegoroselatan.blogspot.com/2015/02/masyarakat-suku-samin-di-kabupaten.html

https://saminist.wordpress.com/

http://berita.maiwanews.com/suku-samin-hidu-tanpa-prasangka-dan-anti-kekerasan-25363.html







[1] http://deutromalayan.blogspot.co.id/2012/10/suku-osing-jawa.html diakses pada tanggal 19 April 2016 pukul 20:08 Wib.
[2] Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama Departemen Agama RI: 1999). Hal. 29.
[3] Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama Departemen Agama RI: 1999). Hal. 30.
[4]http://eprints.ums.ac.id/4947/1/D300050008.PDF diakses pada tanggal 22 April 2016 pukul 17:00 Wib
[5] http://ririnsongfelani.blogspot.co.id/2012/12/masyarakat-samin.html diakses pada tanggal 24 April 2016 pukul 20:00 Wib.
[6] http://ririnsongfelani.blogspot.co.id/2012/12/masyarakat-samin.html diakses pada tanggal 24 April 2016 pukul 20:00 Wib.
[7] http://ririnsongfelani.blogspot.co.id/2012/12/masyarakat-samin.html diakses pada tanggal 24 April 2016 pukul 20:00 Wib.
[8] Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama Departemen Agama RI: 1999). Hal. 30.
[10] Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama Departemen Agama RI: 1999). Hal. 31.
[11] http://digilib.uin-suka.ac.id/7664/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf diakses pada tanggal 9 April 2016 pukul 20:16 Wib.

[12] Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama Departemen Agama RI: 1999). Hal. 31.
[13] Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama Departemen Agama RI: 1999). Hal. 32.
[14] http://deutromalayan.blogspot.co.id/2012/10/suku-samin.html diakses pada tanggal 19 April 2016 pukul 21:00 Wib.
[15] Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama Departemen Agama RI: 1999). Hal. 32.
[16] Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama Departemen Agama RI: 1999). Hal. 32.
[17] Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama Departemen Agama RI: 1999). Hal. 33.
[18] Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama Departemen Agama RI: 1999). Hal. 33.
[19] Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama Departemen Agama RI: 1999). Hal. 34.
[20] Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama Departemen Agama RI: 1999). Hal. 34.
[21] Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama Departemen Agama RI: 1999). Hal. 35.
[22] Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama Departemen Agama RI: 1999). Hal. 35.
[23] Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama Departemen Agama RI: 1999). Hal. 35.
[24] Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama Departemen Agama RI: 1999). Hal. 36.
[25] Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama Departemen Agama RI: 1999). Hal. 36.
[26] Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama Departemen Agama RI: 1999). Hal. 37.
[27] Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama Departemen Agama RI: 1999). Hal. 37.
[28] Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama Departemen Agama RI: 1999). Hal. 37.
[29] Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama Departemen Agama RI: 1999). Hal. 38.
[30] Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama Departemen Agama RI: 1999). Hal. 38.
[31] Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama Departemen Agama RI: 1999). Hal. 39.
[32] Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama Departemen Agama RI: 1999). Hal. 39.
[33] Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama Departemen Agama RI: 1999). Hal. 39.
[34] Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama Departemen Agama RI: 1999). Hal. 40.
[35] Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama Departemen Agama RI: 1999). Hal. 40.
[36] Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama Departemen Agama RI: 1999). Hal.41
[37] Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama Departemen Agama RI: 1999). Hal. 41
[38] Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. (Jakarta. Badan Litbang Agama Departemen Agama RI: 1999). Hal. 42.
[39] Lestari, Indah Puji, “Interaksi Sosial Komunitas Samin Dengan Masyarakat Sekitar”, dalam Komunitas Vol. 5 No.1, 2013, h.73
[40] Indah Puji Lestari, “Interaksi Sosial Komunitas Samin Dengan Masyarakat Sekitar”, dalam Komunitas Vol. 5 No.1, 2013, h.74.
[42] Lestari, Indah Puji, “Interaksi Sosial Komunitas Samin Dengan Masyarakat Sekitar”, dalam Komunitas Vol. 5 No.1, 2013, h.74
[44] http://digilib.uin-suka.ac.id/7664/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf diakses pada tanggal 9 April 2016 pukul 20:16 Wib.
[45] http://digilib.uin-suka.ac.id/7664/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf diakses pada tanggal 9 April 2016 pukul 20:16 Wib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar