Rabu, 01 Juni 2016

Suku Jawa


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT. Karena berkat rahmat hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul Agama Tradisional Orang Jawa yang mana tujuan dari penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas diskusi mata kuliah Agama-Agama Lokal.
Dalam penyusunan makalah ini kami berusaha memaparkan dan menjelaskan tentang kepercayaan Tradisional Orang Jawa, Upacara Keagamaan, Kepercayaan Kejawen, Kitab-kitab Kejawen dan Interaksi Kepercayaan Orang Jawa . Kami menyadari, tidak ada manusia yang sempurna, sehingga bila terdapat kesalahan, baik dalam penulisan atau dalam pembahasan makalah ini, dimohon kritik dan sarannya. Agar dapat kami jadikan referensi di masa yang akan datang.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk menyumbang ilmu dan Pengetahuan dalam bidang kajian Agama Tradisional orang Jawa

PENDAHULUAN

Seluruh kepercayaan manusia Jawa berunsur pada animisme dari jaman prasejarah sampai sekarang, termasuk kepercayaan tentang mahluk halus, roh leluhur yang mendiami macam-macam tempat tertentu. Dalam sejarah pulau Jawa ada tiga jaman pokok mengenai agama yaitu :
Jaman prasejarah sampai abad 8, dimana jaman itu rakyat Jawa tinggal di dalam masyarakat kecil dan kepercayaan animisme. Kepercayaan animisme termasuk kepercayaan manusia mengenaqi mahluk halus dan roh lelehur yang mendiami bermacam-macam tempat.
Jaman kerajaan Hindu-Budha. Pertama dengan kerajaan Mataram dari abad 8 sampai abad 10 yang terletak di Jawa Tengah, kerajaan Majapahit dari abad 13 sampai abad 16 yang terletak di Jawa Timur. Pada jaman tersebut masyarakatnya beragama Hindu serta Budha.
Jaman Islam setelah abad 16 waktu kerajaan Majapahit turun. Kerajaan Islam yang dibentuk masih menyimpan banyak tradisi dari kerajaan Hindu-Budha tetapi memakai agama Islam.
Karena ketiga jaman agama tersebut, agama Jawa saat ini berlapiskan tiga, yaitu kepercayaan animisme, agama Hindu-Budha, dan agama Islam. Walaupun mayoritas orang Jawa beragama Islam, agama Islam yang dilakukan di Jawa punya perbedaan dari agama Islam yang di lakukan di daerah Timur Tengah. Agama Islam di Jawa dicampuri dengan kepercayaan manusia lain asli Jawa, yaitu kepercayaan animisme dam kepercayaan dari kerajaan Hindu-Budha yang di sebut dengan Kejawen, dimana kata “Kejawen” berasal dari kata Jawa, sebagai kata benda yang memiliki arti dalam bahasa Indonesia yaitu segala yg berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa (Kejawaan).
Penamaan “kejawen” bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar ibadahnya menggunakan bahasa Jawa. Dalam konteks umum, kejawen merupakan bagian dari agama asli Nusantara. Seorang ahli anthropologi Amerika Serikat, Clifford Geertz pernah menulis tentang agama ini dalam bukunya yang ternama The Religion of Java atau dalam bahasa lain, Kejawen disebut “Agama Jawa”. Kejawen dalam opini umum berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap serta filosofi orang-orang Jawa. Kejawen juga memiliki arti spiritualistis atau spiritualistis suku Jawa.
Penganut ajaran kejawen biasanya tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian seperti agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku. Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat, dan menekankan pada konsep “keseimbangan”. Dalam pandangan demikian, kejawen memiliki kemiripan dengan Konfusianisme atau Taoisme, namun tidak sama pada ajaran-ajarannya. Hampir tidak ada kegiatan perluasan ajaran (misi) namun pembinaan dilakukan secara rutin.
Simbol-simbol “laku” biasanya melibatkan benda-benda yang diambil dari tradisi yang dianggap asli Jawa, seperti keris, wayang, ritual, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, dan sebagainya. Akibatnya banyak orang yang tidak memahami yang dengan mudah mengasosiasikan kejawen dengan praktek klenik dan perdukunan.
Ajaran-ajaran kejawen bervariasi, dan sejumlah aliran dapat mengadopsi ajaran agama pendatang, baik Hindu, Buddha, Islam, maupun Kristen. Gejala sinkretisme ini sendiri dipandang bukan sesuatu yang aneh karena dianggap memperkaya cara pandang terhadap tantangan perubahan zaman.
Sejak dulu, orang Jawa mengakui keesaan Tuhan sehingga menjadi inti ajaran Kejawen, yaitu mengarahkan insan : Sangkan Paraning Dumadhi (lit. "Dari mana datang dan kembalinya hamba tuhan") dan membentuk insan se-iya se-kata dengan tuhannya :Manunggaling Kawula lan Gusthi (lit. "Bersatunya Hamba dan Tuhan"). Dari kemanunggalan itu, ajaran Kejawen memiliki misi sebagai berikut:
1.         Mamayu Hayuning Pribadhi (sebagai rahmat bagi diri pribadi)
2.         Mamayu Hayuning Kaluwarga (sebagai rahmat bagi keluarga)
3.         Mamayu Hayuning Sasama (sebagai rahmat bagi sesama manusia)
4.         Mamayu Hayuning Bhuwana (sebagai rahmat bagi alam semesta)
Berbeda dengan kaum abangan, kaum kejawen relatif taat dengan agamanya, dengan menjauhi larangan agamanya dan melaksanakan perintah agamanya namun tetap menjaga jati dirinya sebagai orang pribumi, karena ajaran filsafat kejawen memang mendorong untuk taat terhadap tuhannya. jadi tidak mengherankan jika ada banyak aliran filsafat kejawen menurut agamanya yang dianut seperti : Islam Kejawen, Hindu Kejawen, Kristen Kejawen, Budha Kejawen, Kejawen Kapitayan (Kepercayaan) dengan tetap melaksanakan adat dan budayanya yang tidak bertentangan dengan agamanya.

A.kepercayaan Tradisional Jawa Dan Aneka Laku Yang Dipraktekan Orang Jawa Sehari-hari
            Definisi kepercayaan adalah suatu keadaan psikologis pada saat seseorang menganggap sesuatu itu benar menurutnya dan belum tentu benar menurut orang lain. Dan kata tradisional juga berasal dari kata tradisi dalam bahasa latinnya : Traditio,”diteruskan” atau kebiasaan dalam pengertian yang paling sederhana adalah suatu yang sudah dilakukan sejak lama secara turun tumurun dari nenek moyang dan menjadi bagian dari suatu kelompok masyarakat dan tradisional sendiri.[1]
Jadi tradisi adalah suatu hal yang telah menjadi kebiasaan seseorang atau sekelompok masyarakat yang telah melewati proses yang sangat cukup lama, yaitu dari nenek moyang sebelumnya dan sampai sekarang hingga tradisi pun dapat mengalami perubahan .
            Kalau di bahas lebih dalam makna dari budaya sebagai tradisi dan tradisionalisme pada masyarakat jawa merupakan suatu simpulan dari segimana kita melihat budaya pada masyarakat jawa. Contoh dari pada adanya fakta-fakta positif yang menggambarkan sikap kita terhadap kebudayaan jawa atau cara pandang terhadap kebudayaan jawa dalam menghadapi tantangan dan perubahan zaman. Sikap itu adalah yakin dan sadar bahwa nilai-nilai dalam kebudayaan jawa sungguh kuat dan elastis dalam menghadapi setiap tantangan zaman.
Dan koentjaraningrat sera teritis lebih melihat budaya sebagi tradition seluruh kepercayaan,anggapan, dan tingkah laku melembaga yang mewariskan dan diteruskan dari generasi kegenerasi yang memberikan kepada masyarakatnya sistem norma untuk dipergunakn menjawab tantangan zaman akan berubah secara wajar atau lenyap dengan sendirinya.Dalam tradisi atau tindakan orang jawa selalu berpegang teguh dalam dua hal :
1. Kepada pandangan hidupnya atau bisa di sebut falsafah hidupnya yang religious dan mistis’
2. Pada sikap hidupnya yang etis dan menjunjung tinggi moral atau derajat hidupnya. Pandangan     hidupnya yang selalu menghubungkan segala sesuatu dengan tuhan yang secara rohaniah atau mistis dan magis, dengan menghormati arwah nenek moyang atau karuhunya serta kekuatan-kekuatan yang tidak tampak oleh indra manusia.

B.Aneka laku yang dilakukan oang jawa sehari-sehari
Aneka laku adalah kebiasaan masyarakat jawa sehari-hari misalnya dalam berbicara, bahasa. Dan perbuatan. Kebiasaan ini yang di lakukan oleh orang jawa secara turun tumurun tentunya dalam hidup bermasyarakat seperti melakukan ritus-ritus dan ritual lainnya yang sifatnya ketradisionalan misalnya melakukan dan menjalankan kebatinan dan mengagungkan berbagai tembang :
Tembang panembahan
Nuladha laku utama,
Tumrape wong tanah jawi
Wong agung hing ngeksi ganda
Panembahan senopati
Kapati hamarsudi,
Sudane haw lan nepsu[2]


Pinesu tapabrata,
Tanahpihing siang ratri

Amemangun karianak
Tyasing sasama
Samangsane pasamuan
Membangun matamartani
Sinambi hing saben masa,kalakalaning asepi
Lelana tka-teki ngayuh geyoganing kayun,
Kayungyun heninging tyas;sanetyasa pinrihatin punguh pangah
Cegah dahar lawan hindra
Saben nindri saking wisma lelono laladan sepi
Ngisep sipuhig supana ,mrih prana pranaweng kapti titising tyas marsudi ,mardawaning budi tulus
Mesu reh masudarman ,neng tepining jolo nidhi sruning brata kataman wahyu jatmika
Mencontohlah tingkah laku yang utama untuk kalangan orang tanah jawa orang mulia dari mataram : penambahan senapatti seseorang yang sangat tekun mengurangi hawa nafsu dengan jalan bertapabrata di siang dan malam hari membangun kebahagiaan hati sesama dalam suatu pertemuan menciptakan kebahagiaan merata sambil di setiap saat waktu-waktu yang sepi berkelana sambil bertapa demi mencapai cita-cita terpendam di lubuk hati selalu berprihatin berpegang teguh mengurangi makan dan tidur setiap pergi meninggalkan istana, pergi ketempat sepi menyerap berbagai ilmu keutamaan agar faham dan jelas kelak yang di tuju maksud hati mencapai kehalusan budi yang tulus mempelajari ilmu tua di tepi samudra dari ketekunannyalah di dapat petunjuk yang baik.[3]
Tembang ini menggambarkan nasihat orang tua atau dalam kata bahasa jawanya piniseupuh kepada mereka yang ingin mendalami kebatinan dengan cara kejawen. Kiranya perlu dipahami bhwa tujuan yang sebenarnya (hakiki) dari kejawen bahwasannya berusaha mendpatkan ilmu sejati untuk mencapai kehidupan yang sejati. Sehingga manusia berada dalam keadaan hidup yang harmonis hubugan kawula dengan gusti (pencipta )pendekatan kepada yang maha kuasa secara total .
Keadaan spiritual ini dapat di capai oleh setiap orang percaya kepada tuhan, yang mempunyai moral yang baik, bersih dan jujur, beberapa laku harus di praktekan dengan penuh kesadaran diri dan ketetapan hati yang mantap dan matang. Pencari dan penghayat ilmu sejati di wajibkan untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi semua orang serta melalui kebersihan hati dan tindakannya. Diantaranya cipta, rasa, karsa dan karya harus elegan,benar, suci dan ditujukan untuk mamayu hayuning bawono ati suci jumbuhing kawulo gusti – hati suci itu adalah hubugan yang serasi antara manusia dan tuhan yaitu gusti alloh. Kejawen adalah aset masyarakat tradisional orang jawa yang berusaha memahami dan mevariasi makna dan hakikat hidup yang sesungguhnya dan mengandung nilai-nilai.
Dalam budaya jawa sangat terkenal adanya simbolisme. yaitu suatu faham yang menggunakan simbol lambang atau simbol untuk memmbimbing pemikiran manusia terhadap pemahaman terhadap sesuatu hal yang lebih mendalam. Dan juga manusia menggunakan simbol itu digunakan sebagai media penghantar komunikasi antar sesama dan segala sesuatu yang dilakukan manusia. Merupakan perlambang dari tindakan karakter dari manusia itu generasi seanjutnya. Ilmu pengetahuan adalah simbol-simbol dari tuhan, yang diturunkan kepada manusia,dan oleh manusia pulalah simbol-simbol itu di kaji di telaah di buktikan, kemudian di ubah menjadi simbol-simbol yang lebih mudah difahami agar bisa diterima oleh manusia lainnya karena manusia itu memiliki daya tangkap yang berbeda-beda.
Biasanya sebutan orang jawa adalah orang yang hidup di wilayah sebelah timur sungai citanduy dan cilosari.Bukan berarti wilayah di sebelah baratnya bukan wilayah orang jawa dan masyarakat jawa sangat mnjungjung tinggi rasa kekeluargaan dan suka bergotong royong dengan semboyannya dalam bahasa jawa “saiyeg saekoproyo”berarti sekata satu tujuan.

C.Asal Usul suku jawa
Asal usul lahirnya sukujawa dengan kedatangan seorang satriya pinandita yang bernama Aji Saka, sampai kemudian satriya itu menulis sebuah sajak yang kemudian sajak tersebut diakui menjadi huruf jawa dan di gunakan sebagai tanda di mulainya penanggalan tarikh Caka.[4]
Kejawen adalah faham orang jawa atau aliran kepercayaan yang muncul dari masuknya berbgai macam agama ke jawa. Dan kejawen juga mengakui adanya Tuhan Allah tetapi juga mengakui adanya kekuatan mistik yang berkembang dari ajaran tasawuf dari agama-agama yang ada.
Tindakan tersebut dibagi tiga bagian :
1. Tindakan simbolis dalam religi
2. Tindakan simbolis dalam tradisi
3. Tindakan simbolis dalam seni
Tindakan simbolis dalam religi adalah contoh kebiasaan orang jawa yang percaya bahwa tuhan adalah dzat yang tidak mampuh di jangkau oleh penalaran manusia. Karenanya harus disimbolkan agar dapat diterima dan di akui keberadaannya msalnya dengan menyebut tuhan dengan bahasa khas jawanya Gusti ingkang murbheng dumadi, gusti ingkang maha kuaos, dan sebagainya.
            Tidakan simbolis dalam tradisi dimisalkan adanya tradisi upacara kematian yaitu dengan cara mendoakan orang yang meninggal pada tiga hari ,tujuh hari,empat puluh hari ,seratus hari,satu tahun,dua tahun, tiga tahun, dan bahkan sampai seribu hari nya setelah seseorang meninggal diadakan tahlilan bahasa jawanya tawasul.
            Tindakan simbolis dalam seni di misalkan dengan berbagai macam warna yang terlukis pada wajah wayang kulit; warna ini menggambarkan karakter dari masing-masing tokoh dalam wayang dan sebagainya.
·         Mangkunegara
            Mangku negara memiliki empat ajaran utama yang meliputi sembah raga , sembah cipta ,(kalbu) , sembah jiwa, dan sembah rasa :
1.      Sembah raga
Sembah raga ialah menyembah tuhan dengan mengutamakan gerak laku badaniah atau amal perbuatan yang bersifat lahiriah. Cara bersuciny sama dengan sembahyang biasa, yaitu dengan mempergunakan Air wudhu. Sembah yang demikian biasa dikerjakan lima kali sehari semalam dengan mengindahkan pedoman secara tepat, tekun dan terus menerus,seperti bait berikut.
Sembah raga puniku/ pakartiningwong amagang laku/ secucine asarana saking warih/ kang wus lumrah limang wektu/wantu wataking wawaton[5].
2.      Sembah cipta (kalbu)
Sembah ini kadang-kadang di sebut sembah cipta dan kadang-kadang di sebut sembah kalbu ,seperti terungkap pada pupuh gambuh bait 1 terdahulu dan pupuh gambuh bait11 berikut.
Samengkon sembah kalbu
Yen lumintu uga dadi laku
Laku agung kang kagungan narapati
Patitis teteking kawruh
Meruhi marang kang momong
Apabila cipta mengndung arti gagasan angan-angan harapan atau keinginan yang tersimpan di dalam hati maka sembah cipta disini mengandug sembah laku atau sembah hati ,bukan sembah gagasan atau nagan-angan.
3.      Sembah jiwa
Sembah jiwa dalah sembah kepad hyang sukma(Allah) dengan menggunakan peran jiwa .jika sembah cipta /kalbu mengutamakan peran kalbu ,maka sembah jiwa lebih halus dan mendalam dengan menggunakan jiwa atau rus .sembah ini hendaknya diresapi secara menyeluruh tanpa batas setiap hari dan dilaksanakan dengan tekun dan konsisten secara terus menerus seperti terlihat dalam bait berikut.
Samengko kang tinutur
Sembah katri kang sayekti katur
Mring hyang sukma suksmanen saari-ari
Arahen dipun kecakup
Sembahing jiwa sutengong.[6]
Sembah jiwa ini menempati kedudukan yang sangat penting .Ia di sebut  pepuntoning laku (poko tujuan atau perjalanan akhir suluk ) inilah perjalanan terakhir hidup batiniah. Cara bersucinya ini sangat berbeda dengan sembah-sembah cipta, rasa . dan sembah jiwa ini tidak pula seperti pada sembah kalbu dengan menundukan hawa nafsu ,tetapi dengan awas emut (selalu waspada dan ingat /zikir kepada keadaan alam baka /langgeng ), alam illahi betapa penting dan sangat mendalam sembah jiwa ini tampak dengan jelas pada bait tersebut.
Sayekti luwih perlu
Ingaranan pepuntoning laku
Kelakuan kang tumrap bangsaning batin
Sucine lan awas emut
Maring alaming lama amota.

B.Upacara Keagamaan Dan Makna keselamatan Orang Jawa
            Upacara (ritual) adalah kegiatan yang meliputi berbagai bentuk ibadah sebagaimana yang terdapat dalam rukun islam yaitu syahadat ,sholat,zakat,puasa, dan haji. Agama islam mengajarjkan kepada umatnya supaya melakukan kegiatan –kegiatan upacara /ritualistik dalam ritual sholat dan puasa selain terdapat dalam solat wajib yang lima waktu.
Waktu dan puasa wajib di bulan ramadhan, terdapat pula sholat dan puasa sunnah .yang inti dari solat adalah doa yang ditujukan kepada Allah swt, sedangkan puasa adalah suatu bentuk pengendalian nafsu dalam rangka pensucian rohani.
            Dalam doa dan puasa mempunyai pengaruh yang begitu besar dan luas, mengenai berbagai bentuk upacara tradisional orang jawa.bagi orang jawa, hidup ini penuh dengan upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidup manusia sejak dari keadaannya dalam perut ibu, lahir,  anak-anak, remaja, dewasa, sampai kematiannya.
            Dalam kepercayaan lama, upacara dilakukan dengan mengadakan sesaji atau semacam korban yang di sajikan kepada daya-daya kekuatan ghaib tertentu yang bertujuan supaya kehidupannya senantiasa dalam keadaan selamat. Setelah islam dating, secara luwes Islam memberikan warna baru dalam kepercayaan itu dengan sebutan kenduren atau selamatan.dalam uapacara ini yang pokok adalah yang di pimpin oleh kiai dalam selamatan ini terdapat seperangkat makanan yang diidangkan pada peserta selamatan, serta makanan yang di bawa kerumah seperti berkat. [7]
Berkaitan dengan lingkaran hidup orang jawa koentjaraningrat memaparkan bahwa jenis uupacara yang di lakukan oleh orang jawa diantaranya:
1.      Upacara tingkeban atau miyoni
Upacara ini di lakukan pada saat janin berusia 7 bulan dalam perut ibu .dalam tradisi santri , pada uapacara tingkeban ini seperti dilakukan di daerah bagelen di bacakan nyanyian perjanjen atau perjanji dengan alat tamborin kecil.
2.      Upacara kelahiran
Upacara ini dilakukan pada saat anak di beri nama dan pemotonggan rambutt pada bayi berumur 7 hari atau sepasar .karena itu selamatan ini disebut juga selametan nyepasari.
3.      Upacara Sunatan
Upacara ini dilakukan pada saat anak laki-laki di khitan.namun pada usia mana anak itu dikhitan pada berbagai masyarakat berbeda.
4.      Upacara Perkawinan
Upacara ini dilakukan pada saat muda-mudi akan memasuki jenjang berumahtangga.selamatan yang dilakukan berkaitan dengan upacara perkawinan sering dilaksanakan dalam beberapa tahap yakni pada saat sebelum akad nikah,pada tahap akad nikah dan sesudah akad nikah .
5.      upacara kematian
Upacara ini dilakukan pada sat persiapan penguburan orang mati yang di tandai dengan memandikan mengkafani ,mensholati dan pada akhirnya menguburkan.[8]

C. KEPERCAYAAN KEJAWEN (KEPERCAYAAN ORANG ABANGAN DI JAWA)
1. Slametan Pesta Komunal Sebagai Upacara Inti
Di pusat seluruh sistem keagamaan orang Jawa terdapat suatu upacara yang sederhana, formal, tidak dramatis dan hamper-hampir mengandung rahasia slametan (kadang di sebut juga kenduren). Slametan adalah versi Jawa dari apa yang barangkali merupakan upacara keagamaan yang paling umum di dunia, ia melambangkan kesatuan mistis dan social mereka yang ikut serta di dalamnya. Di mojokerto slametan merupakan semacam wadah bersama masyarakat, yang mempertemukan berbagai aspek kehidupan social dan pengalaman perseorangan, dengan suatu cara yang memperkecil ketidakpastian, ketegangan dan konflik ¬ atau setidak-tidaknya dianggap berbuat demikian.
Slametan dapat diadakan untuk memenuhi semua hajat orang sehubungan dengan suatu kejadian yang ingin diperingati, ditebus atau dikuduskan. Kelahiran, perkawinan, sihir, kematian, pindah rumah, mimpi buruk, panen, ganti nama, membuka pabrik, sakit, memohon kepada arwah penjaga desa, khitanan, dan memulai suatu rapat politik, semuanya itu bisa memerlukan slametan. Dari seluruh upacara itu, sebagian dilakukan dengan intens dan meriah, sementara di bagian lainnya agak di kendorkan. Suasana kejiwaannya mungkin berubah-ubah sekedarnya, tetapi struktur upacara yang mendasarinya tetap sama. Senantiasa ada hidangan khas (yang berbeda-beda menurut slametan), dupa, pembacaan doa Islam, dan pidato tuan rumah yang disampaikan dalam bahasa Jawa tinggi yang sangat resmi (yang isinya tentu saja berbeda-beda menurut peristiwanya) selalu terlihat tata karma yang sopan dan sikap malu-malu, yang mengesankan bahwa sekalipun penyelenggaraan upacara itu begitu ringkas dan tidak dramatis, tetapi sesuatu yang penting sedang berlangsung. [9]
·         Pola Slametan
Kebanyakan slametan di selenggarakan di waktu malam, segera setelah matahari terbenam dan sembahyang maghrib telah dilakukan oleh mereka yang mengamalkannya. Upacaranya hanya dilakukan oleh kaum pria. Wanita tinggal di mburi ( belakang dapur ), tetapi mereka ini tentu saja mengintip lewat dinding bumbu ke ngarepan (depan – di ruangan utama) di mana kaum pria bersila di atas tikar melakukan upacara dan menikmati hidangan yang mereka siapkan.[10]
Secara tradisional, acara slametan di mulai dengan doa bersama, dengan duduk sila di atas tikar sambil melingkari tumpeng dengan lauk pauk dan sesaji. Sesaji yang diadakan untuk mengiringi upacara, maksud dan tujuannya adalah untuk doa. [11]
Tamu yang di undang biasanya para tetangga yang rumahnya dekat dengan rumah yang mengadakan slametan tersebut. Para tamu laki-laki akan duduk sila di atas tikar, yang di tengahnya ada berbagai macam sesaji dan tumpeng. Lalu barulah upacara tersebut di mulai.
Tuan rumah membuka upacara dengan bahasa Jawa tinggi yang sangat resmi. Pertama-tama, ia mengucapkan terima kasih atas kehadiran tetangganya, karena mereka menganggap bahwa para tamu yang dating itu adalah saksi keikhlasan dan kesungguhan niatnya. Kedua, ia mengutarakan niatnya ia menyebutkan maksud khusus slametan itu. Kemudian ia menyebut maksud umum upacara itu. 
Bila tuan rumah sudah menyelesaikan sambutan pembukaan yang di sebut Ujub, ia meminta salah seorang yang hadir untuk membacakan doa dalam bahasa arab. Sebenarnya kebanyakan mereka yang berkumpul itu tidak tahu bagaimana cara berdoa, tetapi tuan rumah selalu takkan melupakan agar seseorang yang bisa membaca doa terdapat juga di situ. Untuk jasanya itu, pebaca doa memperoleh sekedar uang yang disebut wajib.
Setelah upacara pembukaan selesai, irama datar doa Arab telah diimbangi kembali dengan sambutan bahasa Jawa yang iramanya mekanis dan tetap, maka suguhan hidangan pun dimulai. Setiap yang hadir ( kecuali tuan rumah yang tidak makan ) menerima secangkir teh dan piring dari daun pisang yang berisikan macam-macam pangan yang telah di hidangkan di tengah tikar. Makanan itu jauh lebih baik dari makanan biasa, biasanya ada beberapa macam daging, ayam atau ikan basah, plus aneka warna panganan dari beras atau bubur, masing-masing mengandung arti yang masih di ketahui atau sudah tidak diketahui lagi oleh hadirin. [12]
·         Makna slametan
Mengapa orang Jawa menyelenggarakan slametan ? bagi orang Jawa alasannya yaitu, bila anda menyelenggarakan slametan, tak seorang pun merasa dirinnya dibedakan dari orang lain, dan menjaga mereka dari roh-roh halus, dengan begitu roh-roh halus tdak akan mengganggu anda ,[13] dan bersyukur kepada gusti tuhan, serta semoga dengan berkah-Nya segala tugas akan di laksanakan dengan baik, selamat, benar, juga membawa kesejahteraan.  [14]

2. Kepercayaan Terhadap Makhluk Halus
Kepercayaaan orang abangan terhadap mahkluk ghaib yang mereka percayai adalah Pertama, memedi (tukang menakut-nakuti), jenis ini hanya menakuti-nakuti orang saja tanpa membahayakan bagi orang yang ditakutinya. Memedi laki-laki disebut gondoruwo dan yang perempuan disebut wewe (istri gendoruwo yang selalu menggendong anak kecil dengan selendang di pinggang sebagaimana ibu-ibu biasa). Memedi biasanya ditemukan pada malam hari, khususnya ditempat-tempat yang gelap dan sepi. Seringkali mereka ini tampak menyerupai orang tua atau wujud lainnya. Kedua, lelembut (mahkluk halus) sebaliknya dari Memedi, dapat menyebabkan orang menjadi jatuh sakit atau gila. Lelembut biasanya masuk kedalam tubuh orang, dan kalau orang tidak diobati oeleh seorang dukun maka akan menyebabkan orang tersebut menjadi gila bahakan ia bisa mati, dan dukun ini biasanya orang jawa asli. Ketiga, Tuyul (anak-anak mahkluk halus), Tuyul menyerupai anak-anak dan biasanya dapat menjadikan sesorang menjadi kaya raya. Dan masih banyak lagi yang lainnya seperti, Sundel Bolong(pelacur dengan lubang di tubuhnya), Danyang (roh pelindung) dan lain sebagainya.[15]

3. Siklus Slametan : Slametan Menurut Penanggalan
Berikut slametan penanggalan yang di akui oleh orang Jawa :
·         1 Suro : Ini lebih merupkakan hari raya Budha dari pada hari raya Islam, dan karena itu ia hanya diadakan oleh mereka yang secara sadar anti Islam.
·         10 Suro : Untuk menghormati Hasaan dan Husein , yang menurut cerita ingin mengadakan slametan untuk Nabi Muhammad ketika beliau sedang berperang melawan kaum kafir. Slametan ini di tandai dengan 2 mangkuk bubur, yang satu dengan krikil dan pasir, dan satunya kacang dan potongan ubi goreng untuk melambangkan ketidakmurnian.
·         12 Mulud : Hari yang menurut konvensi, Nabi dilahirkan dan meninggal dunia. Slametan ini disebut Muludan. Slametan ini di tandai dengan ayam utuh yang diisi sesuatu di dalamnya.
·         27 Rejeb : Slametan ini merayakan mi’raj, perjalanan Nabi menghadap Allah dalam satu malam.penanganannya sama saja dengan Muludan.
·         29 Ruwah : Permulaan puasa, yang disebut Megengan. Slametan ini tanpa kecuali diadakan oleh mereka yang paling sedikitnya salah seorang dari orangtuanya sudah meninggal. Slametan ini ditandai adanya panganan dari tepung beras, apem, yang merupakan lambing orang Jawa untuk kematian.
·         21, 23, 25, 27, atau 29 Pasa : Slametan yang diadakan pada salah satu dari hari-hari ini disebut Maleman, karena diadakan malam hari, sebab makan pada siang hari bulan Puasa di larang. Kadang-kadang orang mengatakan 21, 23, 25 adalah untuk orang “ islam sejati “ ( kaum santri ), tanggal 27 untuk orang muda, dan tanggal 29 untuk orang tua.
·         1 Sawal : Mengakhiri puasa, yang disebut Bruwah. Nasi kuning dan sejenis telur dadar merupakan hidangan yang special.
·         7 Sawal : Suatu slametan kecil yang disebut Kupatan. Hanya mereka yang memiliki anak kecil yang telah meninggal di anjurkan untuk mengadakan slametan ini.
·         10 Besar : Ini adalah penghormatan terhadap pengorbanan Nabi Ibrahim dan hari Jemaah haji berkumpul di Mekkah untuk melaksanakan lagi pengorbanan itu. Biasanya dengan adannya sembelih sapi dan kambing untuk fakir miskin, tetapi jarang diadakan slametan. [16]

4.      Pengobatan, Dan Sihir
 Kalau kepercayaan-kepercayaan mengenai roh dan berbagai slametan merupakan dua sub-kategori yang paling umum daripada agama Abangan, maka kompleks pengobatan, sihir, dan magi yang berpusat di sekitar peranan seorang dukun merupakan sub-kategori yang ketiga. Sebenarnya membatasi dukun-dukun kepada konteks Abangan saja tidaklah benar, karena kepercayaan dan ketidakpercayaan terhadap baik kekuatan mereka maupun mereka sebagai orang-orang yang menjalankan seni pendukunan yang sebenarnya, tersebar di seluruh masyarakat Jawa baik dikalangan priyai, santri, maupun abangan. Tetapi frekuensi yang lebih besar dan lebih penting dalam kehidupan sehari-hari dan barangkali lebih besarnya kepercayaan kepada pedukunan itu di kalangan abangan yang predominan, dengan dukun-dukun santri dan priyai sebagai variasi sekunder.[17]

·         Dukun : Tabib, Juru Sihir Dan Spesialis Keupacaraan
Ada beberapa macam dukun : dukun bayi, dukun pijet, dukun prewangan ( medium ), dukun calak ( tukang sunat ), dukun wiwit ( ahli upacara panen ), dukun temanten atau ahli upacara perkawinan, dukun petungan ( ahli meramal dengan angka ), dukun sihir atau juru sihir, dukun susuk, dukun japa ( tabib yang mengandalkan mantra ), dukun jampi ( tabib yang menggunakan tumbuh-tumbuhan dan berbagai obat asli ), dukun siwer, spesialis dalam mencegah kesialan alami seperti datangnya hujan saat pesta, dan supaya piring tidak pecah saat pesta, dll, dan dukun tiban, tabib yang kekuatannya temporer dan merupakan hasil dari kerasukan roh. [18]
Menjadi dukun dianggap berbahaya bagi seseorang, karena kekuatan luar biasa yang menjadi alatnya dapat menghancurkan dirinya sendiri kalau dia tidak kuat secara spiritual. Karena menjadi gila adalah akibat yang tipikal bagi orang yang mencoba dengan segala daya sepanjang garis ini. [19]
·         Teknik-Teknik Pengobatan
Dalam konteks ini, metode yang biasa dipakai adalah mengambil hari lahir orang yang bersangkutan dalam hubungannya dengan hari jatuhnya sakit, dana dengan berbagai perhitungan bisa dihasilkan satu angka yang berkaitan dengan suatu bentuk pengobatan dan dalam beberapa kasus juga menunjukkan sebab sakitnya. Ini adalah metode diagosa paling umum, khususnya di kalangan dukun, karena ini paling mudah dan paling cepat diterapkan.
Analisa tentang gejala penyakit memang kena, khususnya untuk penyakit-penyakit yang spesifik dengan penggambaran penyakit yang di rumuskan secara baik dan didasarkan atas kategori yang cermat dan cukup akurat, yang tersebar luas dikalangan penduduk pada umumnya. Jika seseorang pergi kepada seorang dukun, ia akan memperoleh tumbuhan obat, dan juga mantra yang dilekatkan kepadanya.[20]

5.      Perkawinan
Menurut pandangan abangan pada umumnya berpendapat bahwa perkawinan hendaknya dilakukan atau diselenggarakan di luar keluarga, karena jika tidak, apabila perkawinan tersebut berakhir dengan perceraian maka hubungan antara keluarga yang semula dekat itu akan menjadi goyah dan bahkan mungkin tidak saling bertegur sapa untuk waktu yang lama.
Pola pinangan secara formal yang benar menurut kejawen terdiri dari dua tahap yaitu :
·         Tahap pertama, Semacam perundingan penjajakan yang dilakukan oleh seorang teman atau saudara si pemuda, dengan maksud menghindarkan rasa malu apabila ditolak.
·         Tahap kedua, sekurang-kurangnya dengan suatu jamuan yang serba basa-basi, kunjungan resmi pemuda tersebut ke rumah si gadis yang disertai ayah atau sanak saudaranya yang lain, kunjungan ini di namakan nontoni.
Setelah dipinang didakan proses lamaran ( nglamar ) yang intinya itu adalah memohon agar anak perempuannya diperbolehkan untuk diambil menantu. Dalam acara nglamar peran congkok sudah tidak diperlakukan lagi, namun kadang-kadang tugasnya berlanjut menjadi juru bicara pihak laki-laki. Orang tua pihak laki-laki beserta anaknya, dan beberapa anggota keluarga juga turut hadir ke rumah pihak perempuan.
Jika latar belakang proses akan besanan ini jauh hari sudah tidak ada masalah lagi, maka acara nglamar ini sebenarnya hanya memenuhi formalitas adat seperti yang dipahami oleh masyarakat jawa. Akan tetapi jika kedua belah pihak masih belum saling mengenal, dan memerlukan jawaban yang pasti, maka upacara nglamar menjadi begitu penting dan menentukan sekali.[21]
Acara selanjutnya dilanjut dengan upacara Ningset. Pningset atau ningset, artinya mengikat, dalam hal ini terjadinya komitmen akan sebuah perkawinan antara putra putri kedua pihak.
Bila lamaram diterima, pada hari yang disepakati keluarga laki-laki datang kerumah pihak perempuan dengan maksud untuk menyerahkan beberapa barang penyerahan ( peningset ) sebagai bukti bahwa anak perempuan tersebut sudah dipasangkan ( akan dijodohkan ) dengan anak laki-lakinya. [22]
Barang-barang apa saja yang dibawa sebagai peningset, tergantung kemampuan pihak laki-laki. Berikut ini sekedar contoh yang sedarhana, apa saja yang biasanya dibawa sebagai peningset :
a. Jarit ( kain ) batik dengan motif yang dapat dipilih.
b. Kemben ( jarit kecil tutup dada ) corak pelangi
c. Cincin pengantin
d. Jodhang ( peti tempat kue dan makanan yang ditandu oleh dua orang ) berisi,
Pada saat pertemuan untuk menyerahkan peningset, biasanya dibicarakan juga hari pernikahan. Dalam adat jawa, yang mempunyai hajat mengawinkan adalah pihak orang tua perempuan, sehingga hari yang baik untuk pernikahan biasanya ditentukan oleh pihak orangtua perempuan. Jika tidak ada halangan yang luar biasa pentingnya, biasanya pihak laki-laki hanya menyetujui saja hari yang ditentuksan oleh orangtua anak perempuan.
Orang jawa tidak mau mengadakan upacara pernikahan maupun resepsi pernikahan pada bualan Sura (penaggalan jawa). Mereka mempercayai bahwa pernikahan bulan tersebut akan berakhir dengan perpisahan atau penderitaan.[23]
Kebanyakan orang jawa menganggap bahwa pendaftaran perkawinan pada kantor pejabat agama kecamatan ( naib ), kurang penting bila dibandingkan dengan upacara makan bersama secara keagamaan  ( slametan ), yang diadakan di rumah pengantin perempuan. Pada kesempatan penjamuan kecil bersama beberapa tetangga ini, orang tua pengantin secara resmi memohon agar arwah baureksa rumah dan desa memberikan kesehatan dan kesejahteraan kepada pasangan baru tersebut nantinya.
Kegiatan upacara perkawinan yaitu:
·         Upacara pasang tarub merupakan upacara pertama. Tarup mengambil kisah legenda Ki Jaka Tarup. Tarub itu sendiri berarti pemasangan bangunan tambahan antara lain janur (daun kelapa muda), gula kelapa dan ragam hiasan lainnya seperti pohon pisang raja, tebu, cengkir, padi dan daun beringin serta janur yang semuanya mempunyai arti paedagogis.
·         Upacara buangan (bucalan) merupakan pengadaan sesaji untuk roh halus baik ataupun jahat, yang tediri dari:
a) Pecok bakal yaitu berupa biji kacang-kacangan, jagung, kluwak, kemiri, telur ayam mentah dan masi banyak lagi. Semua itu ditempatkan dalam satu wadah besar.
b) Gecok mentah yang terbuat dari daging sapi mentah yang sudah dipotong-potong lalu dibumbui bawang, lombok, garam, kencur, santan yang kemudian diwadahi lalu diletakan di pojok-pojok ruangan. Diletakan pada malam hari.
c) Buncalan diletakan, seperti setiap pintu, sumur, toilet, pawuhan ( tempat sampah ), regol ( gapura masuk halaman ), perempatan jalan terdekat, sungai terdekat,jembatan terdekat.
·         Upacara menyiagakan beras di pedharingan. Maksudnya adalah bapak ibu yang mempunyai hajatan sudah siap untuk memakai pakaian jawa.
·         Upacara menanak nasi . Upacara ini dilakukan oleh Ibu dibantu dengan Bapak dimana Bapak mengambil beras dan air kemudian Ibu mencuci beras dan dibawa ke dapur lalu bapak menyalakan api.
·         Upacara pasang tuwuhan, yang bermaksud agar kedua pengantin kelak mendapatkan keturunan yang baik. Kegiatan ini dilakukan di depan rumah ataupun di pintu kamar mandi calon pengantin wanita. [24]

6.      Siklus Kelahiran
 Upacara peralihan tahap ( rites of passage ) orang Jawa menggambarkan sebuah busur, mulai dari gerak-gerik kecil tak teratur yang melingkungi kelahiran, sampai kepada pesta dan hiburan besar yang di atur rapi pada khitanandan perkawinan dan akhirnya upacara-upacara kematian yang hening dan mencekam perasaan. Dalam keseluruhannya slametan menyediakan kerangka, apa yang berbeda adalah intensitas, suasana hati, dan kompleksitas simbolisme khusus dari peristiwa itu. Upacara-upacara itu menekankan kesinambungan dan identitas yang mendasari semua segi kehidupan dan transisi serta fase-fase khusus yang dilewatinya.[25]

·         Tingkeban
 Tingkeban mencerminkan perkenalan seorang wanita Jawa kepada kehidupan sebagai Ibu. Karena ketentuang yang relative tentang waktu konsepsi, maka tingkeban tidak di adakan pada hari tertentu sesuai dengan mulainya kehamilan, tetapi selalu pada hari sabtu yang terdekat dengan bulan kandungan yang ketujuh sepanjang hal itu bisa diperkirakan.
Tingkeban itu diselenggarakan di rumah ibu si calon ibu, dan slametan yang khusus disiapkan dengan unsur-unsur utama berikut :
1. Sepiring nasi untuk setiap tamu dengan nasi putih di atas dan nasi kuning di bawahnya. Nasi putih melambangkan kesucian, dan nasi kuning melambangkan cinta. Dihidangkan di atas daun pisang yang direkatkan dengan jarum baja, agar sang anak lahir dengan kuat dan tajam fikirannya.
2. Nasi di campur dengan parutan kelapa dan ayam irisan. Ini dimaksudkan untuk menghormati Nabi Muhammad maupun utuk menjamin slamet bagi semua tamu dan anak yang akan lahir.
3. 7 tumpeng nasi yang melambangkan 7 bulan kehamilan.
4. 8 atau 9 bola nasi putih yang di bentuk dari genggaman tangan untuk melabangkan 8 atau 9 wali penyebar Islam yang legendaris di Indonesia.
5. Sebuah tumpeng nasi yang besar, biasanya disebut tumpeng “ kuat “ karena ia sibuat dari beras ketan, yang dimaksudkan agar anak yang di dala kandungan itu kuat dan juga memuliakan danyang desa itu.
6. Beberapa hasil tanaman yang di bawah tanah ( seperti singkong )bdan beberapa buah yang tumbuh bergantung di atas ( seperti buah-buahan umumnya ), yang pertama untuk melambangkan langit, yang masing-masingnya di anggap mmemiliki 7 tingkatan.
7. Tiga jenis bubur : putih, merah,, dan campuran dari keduanya yang putih di seputar bagian luar dan yang merah di tengah piring. Bubur putih sebagai “ air “ sang ibu, yang merah “ air “ ayah, dan campuran keduanya di anggap sangat mujarab untuk mencegah masuknya makhluk halus jenis apapun.
8. Rujak legi, suatu ramuan dari berbagai jenis tanaman buah-buahan, cabe, bumbu-bumbu dan gula. Konon, bila rujak itu terasa “ pedas “ atau “ sedap “ oleh si ibu, ia akan melahirkan anak perempuan, sebaliknya kalau terasa biasa saja, ia akan melahirkan anak laki-laki.[26]
Tata cara pelaksanaan upacara Tingkeban :
a. Siraman dilakukan oleh sesepuh sebanyak 7 orang.bermakna mohon doa restu, supaya suci lahir dan batin. Setelah upacara siraman selesai, air kendi tujuh mata air di pergunakan untuk mencuci muka, setelah air dalam kendi habis, kendi di pecahkan.
b. Memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain calon ibu oleh suami melalui perut sampai pecah, hal ini merupakan simbol harapan supaya bayi lahir dengan lancar.
c. Berganti nyamping sebanyak tujuh kali secara bergantian, serta kain putih. Kain putih sebagai dasar pakaian pertama, yang melambangkan bahwa bayi yang akan di lahirkan adalah suci, dan mendapat berkah dari Tuhan YME. [27]
7. Kematian
Kalau terjadi kematian disuatu keluarga, maka hal pertama yang harus di lakukan adalah memanggil modin dan kedua menyampaikan berita di daerah sekitar bahwa suatu kematian telah terjadi. Kalo kematian itu terjadi di sore atau malam hari, mereka menunggu sampai pagi berikutnya untuk memulai proses pemakaman.
Bila modin tiba, ia akan membuka pakaian orang yang mati itu, menutupi kemaluan si mati dengan sarung secara longgar, mengikuti rahang mayat dengan tali keatas kepalanya agar mulut tidak terbuka dan mengikat kedua talinya menjadi satu. Kedua lengan si mayat di silangkan ke dada, tangan tangan di atas tangan kiri, dengan ujung-ujung jarinya menyentuh lengan, dan badan jenazah ditidurkan dengan kepala ke arah kepala, kadang-kadang dengan sebuah lampu yang dinyalakan di atas kepalanya. Jasad si mayat kemudian dimandikan oleh keluarga dan teman dekatnya. Kalau mayatnya perempuan maka diutamakan orang-orang perempuan, dan kalau laki-laki meninggal maka diutamakan laki-laki di bawah pimpinan modin.
Jenazah itu dimandikan dihalaman depan, dilingkari tabir anyaman banbu yang dipasang terbur-buru. Biasanya digunakan tiga jenis air, masing-masing dalam tempayan  yang berbeda, satu dengan bunga di dalamnya, satu dengan uang, sejenis daun khusus, dan bermacam-macam tumbuhan obat, dan satunya lagi air murni tanpa campran apa-apa. Sebagai tambahan di sediakan obat keramas dari erang yang dibakar untuk mencuci rambut. Modin menuangkan gayung air yang pertama, lalu diikuti oleh anggota keluarganya secara bergilir. Kesanggupan memangku jenazah saat dimandikan disebut orang tegel.
Setelah pemandian ayat selesai, dilanjutkan ddengan membaca ayat suci Al-Qur’an. Pembacaan itu berlangsung selama 5-10 menit. Kemudian mayat di letakkan diusung bamboo yang ditutup dengan beberapa helai kain baru dengan untaian bunga yang diletakkan melintang diatasnya, namun kain tidak di kuburkan bersama jenazah.
Usungan dibawa ke halaman dan keturunannya akan berlari-lari kecil pulang balik dibawahnya sebanyak tiga kali untuk melambangkan bahwa mereka ikhlas. Sekedar uang receh dalam bungkusan kertas kemudian di berikan kepada para tamu yang hadir pada pemakaman itu untuk ide yang sama, yaitu sebagaimana mereka tidak menyesal melepaskan uang, mereka bisa melepaskan almarhum tanpa perasaan yang tercekam ( namun, terkadang mereka diberikan sebungkus nasi sebagai gantinya ). Sebuah kendi penuh air dilemparkan ke tanah juga melambangkan bahwa mereka sudah ikhlas, dan usungan itu pun mulai bergerak ke mmakam dipikul oleh kaum pria, sementara kaum wanita tinggal dirumah, menaburkan garam agar jiwa almarhum tidak pulang lagi dan mengganggu mereka. Lalu, jenazah tersebut di kubur menghadap utara dan di tidurkan di atas 7 batu. Lalu, sang modin membacakan 2 kalimat syahadat.[28]
 Setelah jenazah dikebumikan terdapat tradisi selametan yang haruh dijalankan. Bagi masyarakat, selamatan yang berkenaan dengan kematian tidak hanya dilakukan pada malam pertama (turun tanah) saja, tetapi juga malam ke-2 (mendua hari), ke-3 (meniga hari), ke-7(memitung hari), ke-25 (mayalawi), ke-40 (mematang puluh),  yang disebut sebagai dan ke-100 hari (manyaratus hari), dan 1000 hari (nyewu) terhitung dari meninggalnya seseorang. Dalam setiap slametan terdapat tahlilan yang harus dilaksanakan. Cara menentukan hari-hari selamatan kematian orang Jawa memiliki teknik tersendiri. Untuk menentukan hari itu, mereka menggunakan perhitungan hari dan pasaran dengan perhitungan:
1. Ngesur tanah dengan rumus jisarji, maksudnya hari ke satu dan pasaran juga ke satu.
2. Nelung dina dengan rumuslusaru, yaitu hari ketiga dan pasaran ketiga
3. Menujuh hari (mitung dina) dengan rumus tusaro, yaitu hari ketujuh dan pasaran kedua
4. 40 hari (matangpuluh dina) dengan rumus masarama, yaitu hari ke lima dan pasaran ke lima
5. 100 hari (nyatus dina) dengan rumus rosarama, yaitu hari ke dua pasaran ke lima
6. Peringatan tahun pertama (mendhak pisan) dengan rumus patsarpatyaitu hari ke empat dan pasaran ke empat
7. Perigatan seribu hari (nyewu) dengan rumus nemasarma yaitu hari ke enam dan pasaran ke lima. [29]


D. KITAB-KITAB KEJAWEN
1. Kitab Serat Wulangreh
Serat Wulang Reh Putri berisi nasihat dari Paku Buana X kepada para putri-putrinya tentang bagaimana sikap seorang wanita dalam mendampingi suaminya. Isi nasihat itu antara lain bahwa bahwa seorang istri harus selalu taat pada suami. Disebutkan bahwa suami itu bagaikan seorang raja, bila istri membuat kesalahan, suami berhak memberi hukuman. Istri harus selalu setia, penuh pengertian, menurut kehendak suami, dan selalu ceria dalam mengahadapi suami meski hatinya sedang sedih.
Struktur Serat Wulang Reh terdiri dari 13 macam tembang (pupuh), dengan jumlah pada/bait yang berbeda, yaitu :
1.      Dandanggula, terdiri 8 padha/bait
Lenggah madyeng pandhapa Sang Aji/ lan kang garwa munggwing nging dhadhampar/ panganten estri kalihe/ munggwing ngarsa Sang Prabu/ duk wineling kang putra kalih/ winuruk ing masalah/ angladosi kakung/ Prabu Tarnite ngandika/ anak ingsun babo den angati-ati/ abagus lakinira//.
Sang raja duduk ditengah pendopo, dan sang istri berada di singgasana, kedua mempelai putrid, berada didepan sang raja, kedua putrinya diberi pesan, diajarkan suatu hal, tentang melayani suami, Raja Ternate berkata, “anakku, berhati-hatilah!, baik-baik lah pada suami”
2.      Kinanthi terdiri 16 padha/bait
Dene ta pitutur ingsun/ marang putraningsun estri/ den eling ing aranira/ sira pan ingaran putri/ puniku putri kang nyata/ tri tetelu tegesneki//.
Bahwa ajaranku (nasihatku), kepada anak perempuanku, agar ingat akan namamu, engkau disebut putri, itu putri  yang sejati, tiga, ketiganya ini maksudnya.
3.      Gambuh terdiri 17 padha/bait
4.      Pangkur terdiri 17 padha/bait
5.      Maskumambang terdiri 34 padha/bait
6.      Megatruh terdiri 17 padha/bait
7.      Durma terdiri 12 padha/bait
8.      Wirangrong terdiri 27 padha/bait
9.      Pocung terdiri 23 padha/bait
10.  10.Mijil terdiri 26 padha/bait
            Ingsun nulis ing layang puniki/ atembang pamiyos/ awawarah wuruk ing wijile/ marang sagung putraningsun estri/ tingkahing akrami/ suwita ing kakung//.
            Saya menulis karya ini, dalam bentuk tembang, memberikan petuah dalam bentuk (tembang) mijil, kepada seluruh anak perempuan saya, (tentang) tata karma dalam perkawinan, mengabdi kepada suami.
11.Asmaradana terdiri 28 padha/bait
            Pratikele wong akrami/ dudu brana dudu rupa/ among ati paitane/ luput pisan kena pisan/ yen gampang luwih gampang/ yen angel-angel kelangkung/ tan kena tinambak arta//.
            Bekal orang menikah, bukan harta bukan pula kecantikan, hanya berbekal hati (cinta), sekali gagal, gagallah, jika mudah terasakan amat mudah, jika sulit terasakan amat sulit, uang tidak menjadi andalannya.
12Sinom terdiri 33 padha/bait
13.Girisa terdiri 25 padha/bait [30]

2. Kitab Serat Weddatama
            Serat Wedhatama adalah sebuah karya sastra Jawa Baru yang bisa digolongkan sebagai karya moralistis-didaktis yang sedikit dipengaruhi Islam. Karya ini secara formal dinyatakan ditulis oleh KGPAA Mangkunegara IV. Walaupun demikian didapat indikasi bahwa penulisnya bukanlah satu orang Serat ini dianggap sebagai salah satu puncak estetika sastra Jawa abad ke-19 dan memiliki karakter mistik yang kuat. Bentuknya adalah tembang, yang biasa dipakai pada masa itu.
Serat ini terdiri dari 100 pupuh (bait, canto) tembang macapat, yang dibagi   dalam lima lagu, yaitu:
• Pangkur (14 pupuh, I - XIV))
• Sinom (18 pupuh, XV - XXXII)
• Pocung (15 pupuh, XXXIII - XLVII)
• Gambuh (35 pupuh, XLVIII - LXXXII)
• Kinanthi (18 pupuh, LXXXIII - C)
Isinya adalah merupakan falsafah kehidupan, seperti hidup bertenggang rasa, bagaimana menganut agama secara bijak, menjadi manusia seutuhnya, dan menjadi orang berwatak ksatria.[31]

3. Kitab Serat Gatholoco
a. Adapun isinya adalah sebagai berikut:
• Pupuh 1 dhandhanggula berisi 13 bait
• Pupuh 2 mijil berisi 20 bait
• Pupuh 3 khinanti berisi 29 bait
• Pupuh 4 gambuh berisi 69 bait
Pupuh 4 bait 56 menyatakan:
Kawula Gusti jumbuh/ Lan rasane apa bedanipun/ Seje-seje jinis/ Rasa kawula Gusti den ranan tunggal kumpul/ den ranana seje saos.
            Artinya:
Hamba Tuhan bersatu/ Dan rasa apa bedanya/ Berlain-lainan jenisnya/ Rasa Kawula Gusti dikatakan satu nyatanya menyatu/ dikatakan berbeda nyatanya lain-lain.


            Pupuh 4 bait 58 menyatakan:
Kalihnya lir linimput/ Kasorotan srengenge semunu/ Ningyektine morsarahsa anyoroti/ wor tunggal cahyo tetelu/ Allah Suksma jumbuh.
            Artinya:
Keduanya (bulan dan bintang) seperti tertutup/ Disinari sinar matahari yang cemerlang/ Padsahal bersama rahsa bersinar/ Sinar ketiganya bersatu/ Allah, Rasul, Suksma menjadi satu.
            Dalam kedua bait itu dikatakan bahwa unsur manusia yang bersatu dengan Allah itu ada dua,yang rohaniah yaitu rahsa dan Rasul dan suksma, yang diberi simbol bulan dan bintang. Bulan dan bintang ini mempunyai sinar sendiri-sendiri tetapi sinar keduanya akan redup kalau berhadapan dengan sinar matahari yang dipergunakan untuk menyimbolkan Tuhan. Matahari, bulan, dan bintang adalah simbol Allah, rahsa dan suksma.
           Pupuh 5 sinom berisi 87 bait
Pupuh 5 bait 13 menyatakan:
Awit prentahe kang nanggap/ Ingkang nanggap Kiai sepi/ tan ketingal/ Anane datan ningali/ Langgeng tan kena ginsir/ Tanpa kurang tanpa wuwuh/ Tan pangreh tan panggonan/ Iku ingkang misesa sami/ Ing solahe ki dalang kelawan wayang.
            Artinya:
Karena atas perintah yang nanggap/  yang nanggap itu adalah Kiai Sunyi/ Arti sunyi tidak terlihat/ Ada tetapi tidak terlihat/ Bersifat tetap tidak berubah-ubah/ Tidak kurang tidak tambah/ Tidak ada yang memerintah serta tidak menempat/ Itulah dia yang berkuasa dan mempunyai wewenang/ Terhadap semua tingkah laku dalang dan wayangnya.
            Bait tersebut  menggambarkan sifat Allah yang dinamakan sebagai Yang Sunyi, Kiai Sunyi. Kemudian Tuhan yang dinamakan Kiai Sepi itu diberi sifat-sifat yang diberikan oleh ahli ilmu kalam golongan Asy’ariyah .[32]
           
           Pupuh 6 pangkur berisi 68 bait
Pupuh 6 bait 63 menyatakan:
Dene sir bis ngucap/ Suksmane wong kafir mandung yomani/ Suksmane wong Islam iku/ Kabeh mungguh swarga/ Apa sir dhewe wis nglakoni lampus/ Wus weruh kang swarga/ Sira nyipati pribadi.
            Artinya:
Anda dapat berkata/ Suksmane orang kafir mendapatkan kecelakaan/ Sedang Suksma orang Islam itu/ Semuanya masuk surga/ Apa anda sudah pernah mengalami mati/ Sudah melihat yang namanya surga itu/ Dan anda menghayati sendiri.
            Jelas sekali bait ini mencela kepercayaan terhadap surga, walaupun dalam tasawuf Islam ada juga yang kurang mempercayai surga ini dan hanya mengharapkan dapat bertemu dengan Tuhan. Memang dalam mistikisme itu tujuan akhir bukan surga tetapi pertemuan dan persatuan dengan Tuhan.
           Pupuh 7 asmaradana berisi 65 bait
Pupuh 7 bait 9 menyatakan:
Tanpa gawe sira muji/ Yen tan trus panembahira/ Tiwas tuwan muji bae/ Angucap Usali parlan/ Tegese iku lapal/ Aweruha asal-usul/ Urip uga prapteng pejah.
            Artinya:
Tidak berguna anda memuji/ Kalau tidak mengerti siapa yang disembah/ Sampai tua selalu menyempah/ Mengatakan usali parlan (mestinya ushalli fardlal dan seterusnya niat shalat menurut Syafiiyyah)/ Lafaz itu mempunyai arti/ Hendaknya manusia mengetahui asal-usul hidupnya/ juga mengetahui masalah matinya.
• Pupuh 8 gambuh berisi 16 bait
• Pupuh 9 sinom berisi 45 bait
• Pupuh 10 khinanti berisi 25 bait
• Pupuh 11 pangkur berisi 80 bait
• Pupuh 12 khinanti berisi 12 bait[33]                              

b.         Diantara isi kitab Gatholoco adalah sebagai berikut:
           Semua barang menurut Gatholoco adalah halal, artinya dapat dan boleh dimakan, asalkan diperoleh dengan baik. Babi dan anjing kalau mendapatkannya dengan cara membeli adalah halal, daripada kambing yang diperoleh dengan cara mencuri.
           Gatholoco kurus karena minum candu. Katanya ia berbuat demikian karena yang menyuruh adalah Rasulullah. Tetapi dikatakannya yang dimaksud Rasulullah itu bukanlah orang Arab yang hidup di Arab sana, sebab nyatanya ia sudah mati dan letaknya sangat jauh dari Jawa ini. Dikatakannya juga bahwa menyembah kepada Rasulullah orang Arab itu juga tidak bermanfaat sembahnya. Gatholoco menyembah Rasul yang ada dalam dirinya, katanya.
           Pertunjukan wayang kulit merupakan pemisalan dari kehidupan dunia ini. Yang pokoknya adalah lampu, sebelum lampu menyala tidak ada gerakan wayang. Sesudah lampu padam tidak ada apa-apa. Yang ada hanya kosong dan sunyi. Sebelum hidup didunia ini kita tidak ada.  Begitu juga setelah mati nanti tidak ada apa-apa lagi.
           Aku (Gatholoco) ini Tuhan dan berada di pusat dunia. Rasulullah adalah hati Gatholoco (manusia). Agama Gatholoco adalah agama rasa.
           Pedoman hidupku (Gatholoco) adalah bahrul qalbi, yakni lautan hati yang maha luas lagi sangat dalam.
           Gatholoco menyatakan selalu sembahyang tidak putus-putus. Sembahyang adalah nafasnya. Nafas dari ubun-ubun adalah sembahyang kepada Tuhan. Nafas dari mulut adalah sembahyang terhadap Muhammad.[34]
           Ada nafas yang keluar dari hidung, itu adalah tali kehidupan. Oleh karena itu nafas manusia (Gatholoco) itu berbunyi Allah Allah.
           Kiblat Gatholoco adalah dirinya sendiri yang dinamakan Baitullah. Bait diartikan baita (bahasa Jawa yang artinya kapal atau perahu) perahu butan Allah. Ka’bah itu bukan kiblat manusia Jawa (Gatholoco) karena Ka’bah itu buatan Nabi Ibrahim bukan buatan Allah.
           Sebelum dunia ini ada, sebelum ada bintang dan matahari, yang ada adalh Nur Muhammad, yaitu yang ada dibintang johar dan bintang itu menjadi puser (pusat) Nabi Muhammad.

4.         Kitab Serat  Darmogandhul
a.         Sejarah suluk Darmogandhul
Darmogandhul kerangka ceritanya adalah Tanya jawab antara Ki Kalamwadi dengan muridnya yang bernama Darmogandhul, yang menceritakan jatuhnya kerajaan Majapahit karena serangan orang-orang Islam pimpinan Raden Patah dan panglima perangnya Sunan Kudus dan Sunan Ngudung. Raden Patah adalah anak raja Majapahit ketika itu yaitu Prabu Brawijaya.[35] 
b.         Isi suluk Darmogandhul adalah sebagai berikut:
           Pupuh 1 Darmogandhul 58 bait
Pupuh ini menceritakan raja Majapahit terakhir ayahanda Raden Patah yang bernama Prabu Brawijaya yang mempunyai permaisuri dari Cempa. Kemenakan permaisuri yang bernama Sayid Rahmat diberi tanah di Tuban dan dijadikan adipati di sana serta diberi kebebasan menyiarkan agama Islam. Putra raja dengan ibu Palembang yang bernama Raden Patah dari tanah Demak dijadikan adipati disana serta diberi kebebasan menyiarkan agama Islam. Ada juga yang menceritakan perdebatan antara Sunan Bonang atau Raden Rahmat dengan jin yang bernama Ki Buta Locaya.
           Pupuh 2 Asmarandana 88 bait
Pupuh ini meneruskan cerita tentang Sunan Bonang dengan jin Nyi Plencing dan jin Ki Buta Locaya. Di antara isinya menceritakan terjadinya beberapa nama desa di daerah Kediri yang dilalui Sunan Bonang. Di antara nama-nama desa itu adalah desa Gedhah dan desa Kewanguran.
           Pupuh 3 Dhandhanggula 52 bait
Pupuh ini berisi cerita perintah Prabu Brawijaya untuk mengusir orang Islam dari wilayah Majapahit dan perintah penyerbuan ke Giri yang di tempati Sunan Giri yang masih kemenakan permaisuri raja yang nama aslinya Sayid Rahmat. Giri akan diserang karena dianggap membahayakan kekuasaan Majapahit.
           Pupuh 4 Pangkur 86 bait
Diantaranya berisi serbuan kaum muslimin ke Majapahit di bawah pimpinan Raden Patah yang di akhiri dengan kekalahan Majapahit. Prabu Brawijaya meloloskan diri lari meninggalkan istana menuju wilayah timur ke Blambangan yang diikuti oleh keponaknnya yang bernama Sabdapalon dan Nayagenggong. Terakhir, juga menceritakan keterangan bahwa rakyat Majapahit masuk Islam.
           Pupuh 5 Sinom 43 bait
Nyi Ngampe Gading memperingatkan Raden Patah bahwa penyerbuannya ke Majapahit itu salah dan mengkhawatirkan. Karena Prabu Brawijaya  mempunyai anak yang bernama Bathara Katong, Adipati Ponogoro. Juga mempunyai menantu yang bernama Adipati Andayaningrat, Adipati Pengging. Keduanya sakti-sakti. Disamping itu Prabu Brawijaya juga banyak mempunyai sahabat di tanah seberang. Oleh karena itu, dinasehatkan agar mencari Prabu Brawijaya dan mengembalikan tahta ke kerajaan serta meminta maaf kepada Sang Prabu.
           Pupuh 6 Dhandhanggula
Diantara isi pupuh ini adalah wejangan Sunan Bonang kepada Raden Patah untuk memantapkan sikapnya melawan Majapahit, walaupun Prabu Brawijaya itu adalah ayahnya sendiri. Karena perjuangan Raden Patah adalah perjuangan melawan kekufuran. Juga berisikan keterangan tentang dukungan Sunan Giri terhadap Raden Patah. Berisi juga cerita perjalanan Sunan Kalijaga melacak kepergian Prabu Brawijaya serta bagaimana Sunan Kalijaga membujuk Sang Prabu untuk kembali ke Majapahit.
           Pupuh 7 Sinom
Diantara isi pupuh ini adalah cerita tentang perjumpaan Sunan Kalijaga sebagai utusan Raden Patah dengan Prabu Brawijaya di Blambangan. Subab Kalijaga membujuk Prabu Brawijaya untuk mau kembali ke Majapahit dan mau memeluk agama Islam. Untuk itu Sunan Kalijaga menerangkan syarat-syarat masuk Islam dan bagaimana kalau sudah masuk Islam, apa yang harus dikerjakan, apa yang tidak boleh dikerjakan dan lain sebagainya.  [36]
           Pupuh 8 Pangkur
Prabu Brawijaya mengajak abdi pengawalnya yang bernama Sabdapalon dan Nayagenggong untuk bersama-sama masuk agama Islam. Sabdapalon dan Nayagenggong yang merupakan penjelmaan makhluk halus penguasa pulau Jawa itu tidak mau dan malah menerangkan bahwa agama yang sudah dipeluknya, yaitu agama Budha Jawa adalah agama yang sesuai untuk orang Jawa dan tidak kalah baik dengan agama Islam. Argumentasi tersebut menggoyahkan keyakinan Prabu Brawijaya yang tadinya sudah cenderung meyakini Islam. Selanjutnya, juga menceritakan tentang Sunan Kalijaga meninggalkan Blambangan menuju Ngampelgadhing sambil menceritakan asal-usul nama Banyuwangi.
           Pupuh 9 Asmarandana
Prabu Brawijaya dari Ngampelgadhing berkirim surat kepada Sultan Demak mengundangnya agar dating ke Ngampelgadhing. Karena Sultan Demak tidak segera datang, kepada ayahandanya di Ngampelgadhing, maka sang ayah yaitu Prabu Brawijaya meramalkan (nyedakake) bahwa Raden Patah menjadi penguasa Demak hanya dua keturunan saja.
           Pupuh 10 Dhandhanggula
Diantara isi pupuh ini adalah menjelekkan orang Islam yang diberi kebaikan tetapi dibalas dengan menyerbu dan meruntuhkan kerajaan Majapahit.[37]
           Pupuh 11 Mijil
Ki Kalamwadi bercerita tentang kisah Adam dan Hawa yang tidak ada didalam kitab orang Jawa. Kitab Jawa yang tersisa hanya kitab Manikmaya. Semua kitab Budha sudah dibakar oleh Sunan Kalijaga. Kemudian, juga menceritakan tentang pelestarian wayang kulit Oleh Sunan Kalijaga. Yang terakhir, menceritakan tentang keunggulan agama Budha. Menurutnya, agama inilah yang cocok untuk orang Jawa, karena sudah dipeluk orang Jawa sejak zaman nenek moyang meraka.
           Pupuh 12 Khinanti Pembelaan Darmogandhul terhadap kelebihan agama Jawa, agama Budha. Bahwa, agama ini sesuai dengan orang Jawa, sedangkan Islam sesuai dengan orang Arab. Agama Jawa adalah agama Makrifat, sedangkan agama Islam adalah agama Tarekat. Naik haji ke Mekkah tidak menjamin seseorang untuk masuk Surga. Yang dapat memasukkan seseorang ke dalam Surga adalah yang mempunyai hati yang bersih dan jiwa yang bersih.
           Pupuh 13 Megatruh
Pupuh ini berisi penjelasan Ki Kalamwadi tentang tujuan Tuhan menciptakan agama yang bermacam-macam kepada manusia, agar manusia dapat memilih agama yang terbaik untuk mereka. Dan untuk orang Jawa, agama Budha lah yang mereka anggap yang paling baik.
           Pupuh 14 Pucung
Pupuh ini berisi ajaran tentang tugas suami terhadap istri yaitu memberikan pelajaran agama kepada istri. Kalau sudah baik diusahakan agar lebih baik. Ki Kalamwadi mengibaratkan suami-istri ini seperti Nahkoda dengan kapalnya, keris dengan sarungnya. Dijelaskan juga rumah tangga itu harus ada akar, pari, dan picis (seks, pangan, dan uang).
           Pupuh 15 Asmarandana
Dalam pupuh ini Ki Kalamwadi mengibaratkan rumah tangga dengan yang lain lagi. Rumah tangga ibaratkan perahu. Suami ibarat satang (penggerak), istri ibarat kemudi. Penggerak dan kemudi haruslah seirama.
           Pupuh 16 Gurisa
Ki kalamwadi memberikan pelajaran bahwa pengetahuan orang kuno dengan orang sekarang itu tidak untuk diperbandingkan tetapi untuk dikaitkan. Ibarat sebatang pohon, maka pengetahuan orang kuno ibarat akarnya yang menghujam kedalam tanah yang membuahkan pohon yang berdiri.  [38]

5.         Kitab Serat Wirid Hidayat Jati
A.        Sejarah singkat Kitab Serat Wirid Hidayat Jati
            Serat Wirid Hidayat Jati merupakan salah satu dari sekian banyak hasil karya pujangga mahsyur kraton Surakarta Raden Ngabehi Ronggowarsito. Tulisan ini disempurnakan pada tahun Jawa 1791 atau tahun 1862 yang ditulis dalam bahasa Jawa karma gancaran (prosa) yang halus dan indah dengan tulisan huruf Jawa. Kemudian dibangun kembali diantaranya oleh R. Tanoyo yang menyadari dengan dilatinkan, maka mudah membacanya walaupun belum pasti mudah mengambil pengertiannya. Ada juga orang lain yang mengubahnya kedalam huruf latin, yaitu Honggoprandoto. [39]

B. Menurut R. Tanoyo Isi Kitab Serat Wirid Hidayat Jati adalah sebagai berikut: 1.Bebukaning Wirid (pembukuan wirid)
Dalam pembukuan wirid ini antara lain diuraikan sebagai berikut:
a.         Persiapan yang harus dilakukan sebelum pelaksanaan wejangan oleh guru mengenai ngelmu makrifat kasampurnaning ngaurip, berwujud:
            • Guru dan murid mengambil air wudhu;
            • Murid memakai pakaian yang suci ala penganten;
            • Menyediakan srikawin (sesaji/ maskawin) disertai bunga dan kemenyan;
            • Guru dan murid menuju ketempat wejangan (pemberian pelajaran). Waktunya                 pada tengah malam, jika suasana sunyi, dan disertai empat orang saksi yang        seperguruan (seilmu);
b.         Uraian secara garis besar pokok-pokok ajaran yang dipersiapkan sebagai ajaran pendahuluan. Pokok-pokok ajaran itu ada delapan dalil:
           Wisikan ananing Dzat (bisikan keberadaan Dzat);
           Wedaran wahananing Dzat (uraian kejadian Dzat);
           Gelaran kahananing Dzat (pembentangan keadaan Dzat)
           Pambukaning Tatamalige ing dalem Baitulmakmur (pembukuan Tahta Mahligai di Baitul Makmur);
           Pambukaning Tatamalige ing dalem Baitulmuqaddas (pembukuan Tahta Mahligai di Baitul Muqaddas);
           Santosaning imam (keteguhan imam);
           Sasahidan (kesaksian);
c.         Amarah patrape praboting ngelmu. Pasal ini memuat penerapan penyatuan dengan Dzat Tuhan. Dalam hal ini diuraikan tentang:
           Pamuja (pemujaan);
           Tobat (taubat);
           Pangruwat (perawatan);
           Saksi ing Dzat kita (saksi didalam Dzat kita);
           Angawinake badan karo nyawa (mengawinkan badan dengan nyawa);
           Sangkan paraning tanazul taraqqi (asal usul dan tujuan tanazzul dan taraqqi);
           Pemberat asaling cahyo (menghilangkan asalnya cahaya);
d.  Siswa diberi perjanjian bahwa selama gurunya masih hidup tidak diperkenankan berdiri sebagai guru, perjanjian demikian dikritik oleh Bratakesawa dalam SERAT I.T.M.I sebagai alat akal-akalan menutup kurang sempurnanya pengetahuan guru.
e. Selamatan sebagai penutup wejangan.

2. Uraian tentang syarat dan kewajiban guru dan murid.
3. Babaring wirid kang awama murad lan maksud (terbukanya maksud dan tujuan yang dinamakan wirid). *lihat poin b
4. Macam-macam wejangan dari para guru, yang mencakup lima macam ialah:
• Wejangan guru yang menguraikan tentang apa yang dinamakan “rahsaning ngelmu wisikan ananing Dzat’’ (rahasia ilmu tentang tanda-tanda Dzat);
• Wejangan guru yang menguraikan tentang apa yang dikatakan “rahsaning ngelmu wedaran wahananing Dzat” (rahasia ilmu tentang tanda-tandaDzat);
• Wejangan guru yang menguraikan tentang “rahsaning ngelmu gelaran kahananing Dzat” (rahasia ilmu tentang keadaan Dzat);
• Wejangan guru yang menguraikan “rahsaning ngelmu kayektening kahanan” (rahasia ilmu tentang hakikat keadaan);
• Wejangan guru yang menguraikan “rahsaning ngelmu saha santosaning imam” ( rahasia ilmu serta kuatnya imam).
5. Perjalan kembali kepada Tuhan.
6. Pasal selanjutnya membicarakan segala sesuatu yang akan terjadi pada zaman karamatullah. Di waktu itu manusia sempurna dipandang sebagai kembali kealam uluhiyah dengan melalui:
•Alam ruhiyah;
•Alam siriyah;
•Alam nuriyah;
•Alam nuriyah luhur;
•Alam uluhiyah;
•Alam uluhiyah luhur;
•Alam uluhiyah paling luhur.[40]
7.Wewarah (ajaran) Hidayat Jati
Didalam ini dijelaskan tentang “sangkan paraning manungsa” yang berarti ajaran tentang asal usul serta tujuan hidup manusia. Secara ringkas dikatakan bahwa setiap setiap manusia di dunia ini pada hakikatnya adalah Dzat Tuhan. Di samping itu dalam pembahsan ini dijelaskan tentang tata cara menekung atau semedi yang katanya merupakan wasiat dari Panembahan Senopati, salah seorang raja Mataram.
8.Tanda-tanda kematian
Akan datangnya kematian sedari masa yang jauh sampai dekat proses kematian bahkan sampai proses kematiannya serta bagaimana cara menghadapinya.[41]

E. INTERAKSI KEPERCAYAAN ORANG JAWA DENGAN AGAMA-AGAMA LAIN
·         Interaksi kepercayaan orang Jawa dengan Agama Hindu dan Buddha
Pengaruh Hindu dan Buddha yang paling mengakar dalam kehidupan orang Jawa terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur cukup kental, karena Hindu Buddha memberikan alat tulis, perhitungan tahun Saka, serta sastra yang mengandung filsafat keagamaan beserta ajaran mistik yang cukup halus. Artinya, Hinduisme memberikan dan mengangkat budaya intelektual selapis suku Jawa dan melahirkan kerajaan-kerajaan besar dengan budaya religi animism dan dinamisme yang asli dan telah mengakar dengan berbagai macam tradisi dan aturan-aturan (hukum) adatnya.
Agama Hindu-Buddha menguasai pulau Jawa selama delapan abad dan agama itu memang mempengaruhi kepercayaan manusia Jawa terhadap gunung. Tempat bergunung-gunung sepanjang sejarah agama ini dipakai sebagai tempat semedi. Simbolisme agama Hindu dalam kepercayaan manusia Jawa memang kuat sekali.
Sebenarnya agama Hindu-Buddha tidak mematikan budaya Jawa asli akan tetapi sebaliknya justru memupuk dan menyuburkannya. Tidak hanya itu, Hinduisme meningkatkan filsafat hidup dan wawasan tentang alam raya beserta teori-teori kenegaraan yang dipengaruhi oleh raja-raja yang keramat sebagai wakil para dewa untuk mengatur kehidupan masyarakat yang diberkati para dewa. Oleh karena itu, Hinduisme kemudian mengakar dalam dan menjadi penyangga kebudayaan priyayi kejawen yang menjulang di lingkungan istana kerajaan-kerajaan. [42]
 

DAFTAR PUSTAKA

1.      Koentjoroningrat,19977”system gotong royong dan jiwa gotong royong“.dalam berita antropology,Jakarta
2.      Jamil,Abduldkk,islam &kebudayaan Jawa,yogyakarta:Gama Media 2002
3.      Dr, Abdullah Ciptoprawiro, Filsafat Jawa, Balai Putaka, 2000
4.      Sutardjo,Imam.2010.Kajian Budaya Jawa.Surakarta: Jurusan Sastra Daerah FSSR UNS
5.      http://s-moc.blogspot.co.id/2012/12/agama-dan-kepercayaan-orang-abangan-di.htmlt-jawa/. Diakses pada tanggal 5-4-2016.
6.      Andrew Beatty, 2001, Variasi Agama di Jawa Suatu Pendekatan Antropologi,
Jakarta, Raja Grafindo
8.        http://oetjoepz.blogspot.co.id/2012/01/adat-perkawinan-orang-jawa-yang-kental.html
9.      Mulder, Nieles.1973”kepribadian jawa dan pembangunan nasional”.yogyakarta;Gadjah mada University Press
10.  http://www.jagadkejawen.com/index.php?option=com_content&view=article&id=7&Itemid=7&lang=id. Di akses pada tanggal 5-06-2016
11.  Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, Gramedia Pustaka Utama, 2003
12.  http://tjokrosuharto.com/id/content/8-upacara-tingkepan. diakses pada tanggal 5-06-2016
13.  https://v3maximillion.wordpress.com/2012/07/19/makna-simbolis-tradisi-slametan-kematian-bagi-masyarakat-penganut-islam-kejawen/. Diakses pada tanggal 5-06-2016
14.  Drs. Romdon, MA. Ajaran Ontologi Aliran Kebatinan hal.68-70
15.  http://googleweblight.com/?lite_url=https://alifbraja.wordpress.com/about/serat-wulangreh-putri. diakses pada tanggal 6 april 2016 22:00 WIB
16.  Clifford Geerz, “ Abangan, Santri, Priyai dalam masyarakat Jawa “, terj. Aswab Mahasin, Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1983
17.  http://googleweblight.com/?lite_url=http://m.kompasiana.com/bernad/religi-orang-jawa-masa-akulturasi-budaya-jawa-agami-jawi-gerakan-mistik-magic-ilmu-kebatinan-serta-memahami-konstruksi-sosial-tradisi-islam-lokal. diakses pada rabu, 6 april 2016 waktu 22:30


[1] Koentjoroningrat,19977”system gotong royong dan jiwa gotong royong“.dalam berita antropology,jakarta
[2] Andrew Beatty, 2001, Variasi Agama di Jawa Suatu Pendekatan Antropologi,
Jakarta, Raja Grafindo
[3] Jamil,Abduldkk,islam &kebudayaan Jawa,yogyakarta:Gama Media 2002
[4] Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, Gramedia Pustaka Utama, 2003
[5]   Mulder, Nieles.1973”kepribadian jawa dan pembangunan nasional”.yogyakarta;Gadjah mada University Press
[6] Dr, Abdullah Ciptoprawiro, Filsafat Jawa, Balai Putaka, 2000
[7] Sutardjo,Imam.2010.Kajian Budaya Jawa.Surakarta: Jurusan Sastra Daerah FSSR UNS
[8] Koentjaraningrat .manusia dan kebudayaan di indonesia.jakarta:2002,
[9] Clifford Geerz, “ Abangan, Santri, Priyai dalam masyarakat Jawa “, terj. Aswab Mahasin, ( Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1983 ), Hal. 13
[10] Clifford Geerz, “ Abangan, Santri, Priyai dalam masyarakat Jawa “, terj. Aswab Mahasin, ( Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1983 ), Hal.14
[11] https://karlinasetiyanti.wordpress.com/budaya-jawa/pranata-upacara-selamatan-masyarakat-jawa/. Diakses pada tanggal 5-4-2016.
[12] Clifford Geerz, “ Abangan, Santri, Priyai dalam masyarakat Jawa “, terj. Aswab Mahasin, ( Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1983 ), Hal : 16
[13] Clifford Geerz, “ Abangan, Santri, Priyai dalam masyarakat Jawa “, terj. Aswab Mahasin, ( Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1983 ), Hal : 17
[14] https://karlinasetiyanti.wordpress.com/budaya-jawa/pranata-upacara-selamatan-masyarakat-jawa/. Diakses pada tanggal 5-06-2016
[15]   http://s-moc.blogspot.co.id/2012/12/agama-dan-kepercayaan-orang-abangan-di.html
[16] Clifford Geerz, “ Abangan, Santri, Priyai dalam masyarakat Jawa “, terj. Aswab Mahasin, ( Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1983 ), Hal : 109
[17]Clifford Geerz, “ Abangan, Santri, Priyai dalam masyarakat Jawa “, terj. Aswab Mahasin, ( Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1983 ), Hal : 116
[18] http://buletinmadubranta.blogspot.co.id/2012/03/dukun-beserta-kemampuannya.html. di akses pada tanggal 5-06-2016.
[19] Clifford Geerz, “ Abangan, Santri, Priyai dalam masyarakat Jawa “, terj. Aswab Mahasin, ( Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1983 ), Hal : 116
[20] Clifford Geerz, “ Abangan, Santri, Priyai dalam masyarakat Jawa “, terj. Aswab Mahasin, ( Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1983 ), Hal : 123
[21] http://oetjoepz.blogspot.co.id/2012/01/adat-perkawinan-orang-jawa-yang-kental.html
[22] http://www.jagadkejawen.com/index.php?option=com_content&view=article&id=7&Itemid=7&lang=id. Di akses pada tanggal 5-06-2016
[23] http://oetjoepz.blogspot.co.id/2012/01/adat-perkawinan-orang-jawa-yang-kental.html
[24] http://www.jagadkejawen.com/index.php?option=com_content&view=article&id=7&Itemid=7&lang=id. Di akses pada tanggal 5-06-2016
[25] Clifford Geerz, “ Abangan, Santri, Priyai dalam masyarakat Jawa “, terj. Aswab Mahasin, ( Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1983 ), Hal : 48
[26] Clifford Geerz, “ Abangan, Santri, Priyai dalam masyarakat Jawa “, terj. Aswab Mahasin, ( Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1983 ), Hal : 50
[27] http://tjokrosuharto.com/id/content/8-upacara-tingkepan. diakses pada tanggal 5-06-2016
[28] Clifford Geerz, “ Abangan, Santri, Priyai dalam masyarakat Jawa “, terj. Aswab Mahasin, ( Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1983 ), Hal : 91
[29] https://v3maximillion.wordpress.com/2012/07/19/makna-simbolis-tradisi-slametan-kematian-bagi-masyarakat-penganut-islam-kejawen/. Diakses pada tanggal 5-06-2016
[30] http://googleweblight.com/?lite_url=https://alifbraja.wordpress.com/about/serat-wulangreh-putri. diakses pada tanggal 6 april 2016 22:00 WIB
[31] https://id.wikipedia.org/wiki/Wulang_Reh diakses pada tanggal 11Maret 2015 20:00  WIB
[32] Drs. Romdon, MA. Ajaran Ontologi Aliran Kebatinan (Jakarta:Rajawali Pres,1996) hal.25-40
[33] Drs. Romdon, MA. Ajaran Ontologi Aliran Kebatinan hal 41-46
[34] Drs. Romdon, MA. Ajaran Ontologi Aliran Kebatinan hal 33-34
[35] Drs. Romdon, MA. Ajaran Ontologi Aliran Kebatinan hal.47
[36] Drs. Romdon, MA. Ajaran Ontologi Aliran Kebatinan hal48-50
[37] Drs. Romdon, MA. Ajaran Ontologi Aliran Kebatinan 50-53

[38] Drs. Romdon, MA. Ajaran Ontologi Aliran Kebatinan 50-53
[39] Drs. Romdon, MA. Ajaran Ontologi Aliran Kebatinan hal.67
[40] Drs. Romdon, MA. Ajaran Ontologi Aliran Kebatinan hal.68-70
[41] Drs. Romdon, MA. Ajaran Ontologi Aliran Kebatinan hal 70-71
[42] http://googleweblight.com/?lite_url=http://m.kompasiana.com/bernad/religi-orang-jawa-masa-akulturasi-budaya-jawa-agami-jawi-gerakan-mistik-magic-ilmu-kebatinan-serta-memahami-konstruksi-sosial-tradisi-islam-lokal. diakses pada rabu, 6 april 2016 waktu 22:30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar