Rabu, 01 Juni 2016

Suku Sunda Wiwitan


AGAMA TRADISIONAL SUKU SUNDA



DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS AGAMA-AGAMA LOKAL









DISUSUN OLEH :

DEWI NURSALINA (11140321000009)

MUHAMMAD WAHYU (11140321000010)

RIDWAN EFENDI (11140321000023)

 




















PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2016

A.           Asal-Usul Agama Sunda Wiwitan

Sunda wiwitan berasal dari kata sunda dan wiwitan. Istilah kata “sunda” menurut P. Djatikusumah dimaknai dalam tiga kategori konsep mendasar, yaitu:

1.        Sunda filosofis: sunda berarti bodas (putih), bersih, cahaya, indah, bagus, cantik, baik dan sebagainya.

2.        Sunda etnis: sunda berarti merujuk pada komunitas masyarakat suku bangsa sunda yang tuhan ciptakan seperti halnya suku dan bangsa lain di muka bumi. Dalam hal ini tentunya berkaitan pula dengan kebudayaan sunda yang melekat cara dan ciri manusia sunda itu sendiri.

3.        Sunda geografis: sunda berarti mengacu sebagai penamaan suatu wilayah geografis berdasarkan peta dunia sejak masa lalu terhadap wilayah Indonesia atau nusantara yaitu sebagai tataran wilayah sunda besar (the greater sunda island) meliputi himpunan pulau yang berukuran besar (Sumatra, Jawa, Madura, Kalimantan) dan sunda kecil (the lesser sunda island) yaitu deretan pulau yang berukuran lebih kecil yang terletak di sebelah timur pulau jawa (Pulau Bali, Lombok, Flores, Sumbawa, Sumba, Rote dll.).[1]

Dengan demikian, sunda wiwitan secara harfiah berarti orang etnis sunda awal atau awal mula orang sunda. Sunda wiwitan yang sejauh ini dianggap oleh para antropolog Indonesian sebagai salah satu konsep sistem religi dan identitas masyarakat sunda khususnya masyarakat baduy atau kanekes.

Muhammad Rais yang lebih popular dengan sebutan Madrais, “pendiri” agama Djawa Sunda atau Sunda Wiwitan, menurut riwayat adalah seorang pangeran dari Gebang, sebuah pusat kekuasaan jaman VOC yang letaknya disebelah timur Cirebon, kira-kira 9 km dari kota Losari, kabupaten Brebes, menurut keadaan sekarang. Gebang dahulunya merupakan bagian dari kesultanan Cirebon, dan oleh campur tangan VOC di tahun 1689 Gebang memisahkan diri dari kesultanan Cirebon.

Pemisahan ini merupakan keinginan pangeran Gebang, karena dengan menjadi bawahan Cirebon yang telah mengikat perjanjian menjadi sekutu VOC. Sejak itu, Gebang menjadi pusat kekuasaan yang merdeka, sama statusnya dengan Cirebon dan daerah-daerah lainnya seperti Sumedang, Indramayu, Pamanukan, Ciasem, Tanjung Pura dan Priangan.

Pada akhir abad 18 terjadi pemberontakan rakyat Gebang, sasaran pemberontakan adalah orang-orang cina dan VOC serta penguasa Cirebon, karena dianggap telah menjadi antek VOC. Tahun 1802 meletus pemberontakan rakyat yang dipimpin oleh Sidung Arisim dan suarsa dari Gebang. Setelah pemberontakan itu dapat ditumpas maka pangeran gebang dicopot dari kekuasaan karena dianggap tidak dapat mengendalikan rakyatnya. Wilayah gebang lalu dibagi menjadi tiga kesultanan Cirebon, yakni kasepuhan, kanoman dan kacirebonan. Pangeran gebang terakhir yang berkuasa waktu itu adalah Pangeran Alibasa. Ia merupakan pangeran Gebang ke 9.

Pangeran Alibasa menikah dengan R Kastewi, keturunan kelima tumenggung Jayadipa susukan, dari perkawinan ini lahirlah pangeran sadewa pada tahun 1822, dalam silsilah ia juga dikenal sebagai Pangeran Surya Nata. Pada usia 3 tahun, anak tersebut dititipkan kepada Ki Sastrawadana di desa Cigugur, Kuningan dan diberi nama Madrais. Pangeran Madrais mendirikan pesantren di Cigugur, Madrais dikenal sebagai kyai yang sangat alim dan berpengaruh luas. Setelah keraton Cirebon mengakui asal-usulnya, maka diperbolehkan ia memakai gelar kebangsawanannya. Dipakailah nama ayahnya, dan jadilah nama lengkapnya Pangeran Sadewa Alibasa Kusuma Wijaya Ningrat, sebagai pemimpin pesantren yang berpengaruh, nama populernya kyai Madrais.[2]

Sebagai kyai, Madrais tentulah seorang yang alim dalam agama Islam, namun dalam perkembangannya ia menemukan ajaran baru yang sebagiannya kemudian bertentangan dengan agama Islam, ajaran itu adalah berkenaan pentingnya setiap manusia itu memperhatikan dan memberi penghargaan yang tinggi terhadap cara dan ciri kebangsaannya sendiri, yakni Jawa Sunda. Sepeninggal kyai Madrais, ajaran yang sudah terkenal dengan sebutan agama djawa sunda itu terus dikembangkan oleh puteranya, Pangeran Tedjakusuma, dan kemudian Pangeran Djati Kusumah sekarang ini.



B.            Pendiri dan Tokoh-Tokohnya

Pendiri dan tokoh dari sunda wiwitan disini dapat kita kelompokan menjadi tiga periode sejarah.

1.              Periode Madrais

Madrais merupakan tokoh pendiri dari Agama Djawa Sunda atau sunda wiwitan yang juga merupakan seorang kyai pada masa kesultanan Cirebon. Pendirian Agama Djawa Sunda oleh Madrais dilakukan atas anjuran dari Gubernur Deandles, saat itu Deandles mengatakan agar ajaran Sunda Wiwitan (Sunda yang asli) yaitu keyakinan asli sunda sebelum masuknya agama Islam dijadikan satu agama. Anjuran ini bermakna dua. Pertama, Madrais dijebak oleh kolonial untuk mengadu domba dan membuat kerusuhan seperti yang diyakini pengikutnya, dan kedua Madrais merupakan “perselingkuhan” dengan Belanda supaya agama katholik bisa masuk ke daerah kuningan, ini terlihat dari ucapan Madrais bahwa kelak akan ada kerusuhan dan supaya aman hendaklah berteduh dibawah pohon cemara putih.

2.              Periode Tedjabuana

Selepas Madrais meninggal tahun 1939, kedudukan pimpinan ADS digantikan oleh anaknya, yaitu Tedjabuana. Dia memimpin sampai tahun 1976, dalam perjalanan sejarahnya, penghayat kepercayaan pernah mengalami pencekalan dan pelarangan berkali-kali. Hal ini terkait dengan kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah terhadap keberadaan mereka. Seperti yang terjadi pada tahun 1944 oleh pemerintah jepang dan pemimpinnya, Tedjabuana, dibuang ke Bandung kemudian tahun 1954 ketika pemberontakan DI/TII masuk daerah Cigugur, dan ketiga tahun 1964 setelah terjadi konflik dengan umat Islam.




Pemerintah saat itu melarang perkembangan ADS dan memimpin ketika itu, Pangeran Tedjabuana, anak dari Madrais, memerintahkan para pengikutnya untuk memasuki agama apapun sesuai pilihan mereka. Dia sendiri kemudian menganut Agama Katholik, oleh karena itu, tidak aneh jika banyak pengikutnya juga menganut Agama Katholik, masuknya mereka ke dalam Agama katholik bukan didasari oleh keyakinan akan kebenaran ajaran katholik, tetapi mengikuti pemimpin mereka.

3.              Periode Djatikusumah

Setelah Tedjabuana, masyarakat yang mayoritas sudah berpindah menjadi agama katholik dipimpin oleh Djatikusumah. Walaupun telah menjadi katholik, namun ikatan emosional dengan pemimpinnya masih sangat kuat.pada periode ini, upacara seren taun yang merupakan tradisi masyarakat sunda secara umum dilaksanakan di Cigugur. Upacara ini merupakan suatu upacara yang menggabungkan gelar budaya dan prosesi spiritual masyarakat pasundan yang mnemiliki kedalaman makna sebagai bentuk ungkapan rasa syukur pada tuhan yang telah melimpahkan kesejahteraan, berkah, perlindungan dan kekayaan alam dan manfaatnya bagi kehidupan manusia, dari upacara ini diharapkan hasil panen tahun depan akan lebih melimpah dan memberikan kesejahteraan.



C.            Pokok-Pokok Ajaran Agama Sunda Wiwitan

Kekuasaan tertinggi berada pada Sang Hyang Kersa (Yang Mahakuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Dia juga disebut sebagai Batara Tunggal (Tuhan yang Mahaesa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Dia bersemayam di Buana Nyungcung. Semua dewa dalam konsep Hindu (Brahma, Wisnu, Siwa, Indra, Yama, dan lain-lain) tunduk kepada Batara Seda Niskala. [3]




Ada tiga macam alam dalam kepercayaan Sunda Wiwitan seperti disebutkan dalam pantun mengenai mitologi orang Kanekes:

1.              Buana Nyungcung: tempat bersemayam Sang Hyang Kersa, yang letaknya paling atas.

2.              Buana Panca Tengah: tempat berdiam manusia dan makhluk lainnya, letaknya di tengah.

3.              Buana Larang: neraka, letaknya paling bawah.

Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapis alam yang tersusun dari atas ke bawah. Lapisan teratas bernama Bumi Suci Alam Padang atau menurut kropak 630 bernama Alam Kahyangan atau Mandala Hyang. Lapisan alam kedua tertinggi itu merupakan alam tempat tinggal Nyi Pohaci Sanghyang Asri dan Sunan Ambu.

Sang Hyang Kersa menurunkan tujuh batara di Sasaka Pusaka Buana. Salah satu dari tujuh batara itu adalah Batara Cikal, paling tua yang dianggap sebagai leluhur orang Kanekes. Keturunan lainnya merupakan batara-batara yang memerintah di berbagai wilayah lainnya di tanah Sunda. Pengertian nurunkeun (menurunkan) batara ini bukan melahirkan tetapi mengadakan atau menciptakan.

Paham atau ajaran dari suatu agama senantiasa mengandung unsur-unsur yang tersurat dan yang tersirat. Unsur yang tersurat adalah apa yang secara jelas dinyatakan sebagai pola hidup yang harus dijalani, sedangkan yang tersirat adalah pemahaman yang komprehensif atas ajaran tersebut. Ajaran Sunda Wiwitan pada dasarnya berangkat dari dua prinsip, yaitu Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri Bangsa.[4]




Cara Ciri Manusia adalah unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan manusia. Ada lima unsur yang termasuk di dalamnya:

·     Welas asih: cinta kasih

·     Undak usuk: tatanan dalam kekeluargaan

·     Tata krama: tatanan perilaku

·     Budi bahasa dan budaya

·     Wiwaha yudha naradha: sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum melakukannya

Kalau satu saja cara ciri manusia yang lain tidak sesuai dengan hal tersebut maka manusia pasti tidak akan melakukannya.

Prinsip yang kedua adalah Cara Ciri Bangsa. Secara universal, semua manusia memang mempunyai kesamaan di dalam hal Cara Ciri Manusia. Namun, ada hal-hal tertentu yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya. Dalam ajaran Sunda Wiwitan, perbedaan-perbedaan antarmanusia tersebut didasarkan pada Cara Ciri Bangsa yang terdiri dari:

·            Rupa

·            Adat

·            Bahasa

·            Aksara

·            Budaya[5]

Kedua prinsip ini tidak secara pasti tersurat di dalam Kitab Sunda Wiwitan, yang bernama Siksa Kanda-ng karesian. Namun secara mendasar, manusia sebenarnya justru menjalani hidupnya dari apa yang tersirat. Apa yang tersurat akan selalu dapat dibaca dan dihafalkan. Hal tersebut tidak memberi jaminan bahwa manusia akan menjalani hidupnya dari apa yang tersurat itu. Justru, apa yang tersiratlah yang bisa menjadi penuntun manusia di dalam kehidupan.

Awalnya, Sunda Wiwitan tidak mengajarkan banyak tabu kepada para pemeluknya. Tabu utama yang diajarkan di dalam agama Sunda ini hanya ada dua.

·                 Yang tidak disenangi orang lain dan yang membahayakan orang lain

·                 Yang bisa membahayakan diri sendiri

Akan tetapi karena perkembangannya, untuk menghormati tempat suci dan keramat (Kabuyutan, yang disebut Sasaka Pusaka Buana dan Sasaka Domas) serta menaati serangkaian aturan mengenai tradisi bercocok tanam dan panen, maka ajaran Sunda Wiwitan mengenal banyak larangan dan tabu. Tabu (dalam bahasa orang Kanekes disebut "Buyut") paling banyak diamalkan oleh mereka yang tinggal di kawasan inti atau paling suci, mereka dikenal sebagai orang Baduy Dalam.

 Pokok ajaran Sunda Wiwitan didasarkan pada kepercayaan akan Gusti Pangeran Sikang Sawiji-wiji, tuhan pencipta alam semesta dengan segala sifat dan keunikan tiap-tiap makhluk-Nya, salah satu wujud kemahakuasaan Tuhan adalah diciptakannya manusia dengan cara-cirinya yang inheren, dan diciptakannya bangsa yang juga memiliki cara-cirinya.

Pandangan bahwa semua agama sama tidak lepas dari cara-ciri mansia dan cara-ciri bangsa yang dalam konsep agama ini merupakan naluri, atau taken from granted dari Tuhan. Pandangan seperti itu di satu pihak merupakan dasar toleransi beragama ditengah kemajemukan agama masyarakat Indonesia, dipihak lain merupakan identitas mereka.

Pandangan hidup masyarakat sunda wiwitan atau agama djawa sunda tentunya tidak terlepas dari pandangan hidupnya Pangeran Madrais selaku pendiri dari agama djawa sunda tersebut. Pada awalnya sebagai pedoman filsafat atau pedoman teologis Pangeran Madrais mengekspresikan pemikirannya dalam bentuk sebagai berikut:

1.              Percaya ka Gusti Sikang Sawiji-wiji (percaya kepada tuhan yang maha esa)

2.              Ngaji badan (mawas diri)

3.              Akur rukun jeung sasama bangsa (hidup rukun dengan sesama)

4.              Hirup ulah pisah ti mufakat (mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat)

5.              Hirup kudu silih tulungan (hidup harus saling tolong menolong)




Dalam perkembangan selanjutnya tuntunan pangeran Madrais semakin di intensifkan. Penyajian materi, tuntunan kepada pengikutnya dipusatkan di Cigugur, Pangeran Madrais tidak hanya berfatwa melainkan menunjukan pula ketauladannya dalam konteks kehidupan sehari-hari. Semenjak itu pandangannya memperoleh wujud yang semakin jelas lewat produk pemikiran yang disebut “pikukuh tilu” yang masih diterapkan dan masih dijalankan oleh pemeluk agama djawa sunda di Cigugur. Pikukuh yang berarti peneguh dan tilu yang berarti tiga. Tiga peneguh sebagai landasan hidup untuk mencapai kesempurnaan hidup. Isi pikukub tilu itu ialah Ngaji Badan, tuhu mituhu kana tanah, dan madep ka raja-ratu 3-2-4-5 lilima 6.



D.           Upacara Kegamaan Agama Sunda Wiwitan

Sebagai sebuah sistem religi, Sunda Wiwitan tentu juga memiliki upacara-upacara keagamaan sebagai bentuk penyembahan terhadap Tuhan. Menurut masyarakat suku Baduy, secara umum ibadah didalam ajaran Sunda Wiwitan dibagi ke dalam dua jenis. Pertama adalah ibadah umum, ibadah umum diyakini oleh masyarakat suku Baduy adalah ibadah yang lebih mengarah kepada perilaku hidup sehari-hari sesuai ajaran Sunda Wiwitan, dan yang kedua adalah ibadah khusus, ibadah khusus adalah ibadah yang untuk melakukannya hanya ada di waktu-waktu tertentu yang telah ditetapkan, yaitu: Kawalu, Ngalaksa, dan Seba. Selain ibadah umum dan ibadah khusus, ada ketentuan-ketentuan lain di dalam ajaran Sunda Wiwitan yang mengatur cara hidup dan berinteraksi antar masyarakat suku Baduy, antara lain: tata cara mendoakan jenazah, tata cara mendoakan perempuan yang sedang hamil, dan lain sebagainya.

a.               Kawalu

Kawalu adalah salah satu bagian dari ibadah khusus bagi masyarakat suku Baduy, Kawalu  dilaksanakan selama tiga bulan pada bulan Kasa, Karo, dan Katiga. Jika dikonversi ke dalam penanggalan masehi maka kegiatan Kawalu dilaksanakan pada sekitar akhir bulan Desember sampai dengan bulan Maret.




Secara kronologis Kawalu terbagi menjadi tiga, yaitu bulan Kawalu Tembay (awal) di bulan Kasa, Kawalu Tengah di bulan Karo , dan Kawalu Tutug (besar atau penutup) di bulan Katiga. Kegiatan inti dari Kawalu adalah berpuasa pada bulan Kawalu  (Kasa,Karo, Katiga) selama satu hari penuh tanpa sahur hingga terbenam matahari. Berpuasa hanya dilaksanakan selama satu hari pada setiap bulannya, jadi total puasa yang dilaksanakan oleh masyarakat suku Baduy adalah tiga hari.

Selama Kawalu berlangsung wilayah terutama Baduy Dalam tidak diperbolehkan didatangi oleh tamu dalam jumlah besar, sedangkan untuk tamu yang datang secara perorangan masih bisa diterima apabila ada salah satu dari orang Baduy Dalam yang dikenal.

b.              Ngalaksa

Ngalaksa  juga menjadi salah satu bagian dari ibadah khusus bagi masyarakat suku Baduy yang dilaksanakan pada setiap bulan Katiga didalam penanggalan adat masyarakat suku Baduy. Ngalaksa menjadi sebuah ibadah khusus yang juga dilaksanakan pada salah satu bulan Kawalu, yaitu bulan katiga. Kegiatan inti dari Ngalaksa adalah pembuatan makanan yang diberi nama laksa, laksa merupakan makanan yang harus dibuat pada pelaksanaan Ngalaksa. Laksa merupakan makanan sejenis mie yang berbentuk pipih dan lebar yang terbuat dari tepung beras. Ngalaksa dilaksanakan oleh seluruh masyarakat  suku Baduy dari wilayah suku Baduy Dalam dan wilayah suku Baduy Luar. Mereka berkumpul dikampung Cibeo yang menjadi pusat dari pelaksanaan Ngalaksa.

Ibadah khusus Ngalaksa  merupakan waktu dimana seluruh masyarakat suku Baduy  berkumpul. Laksa yang telah dibuat kemudian dibagikan secara menyeluruh tanpa terkecuali meskipun ada yang masih bayi. Pelaksanaan Ngalaksa juga dimanfaatkan sebagai kegiatan sensus bagi masyarakat suku Baduy, karena pada saat itu semua berkumpul di satu tempat dan satu waktu. Selain membuat laksa, Ngalaksa juga dijadikan sebagai momen untuk “ngasah diri” dan tutup tahun di dalam penanggalan adat masyarakat suku Baduy.




c.               Seba

Ibadah khusus yang lain adalah Seba, yang dilaksanakan setelah Kawalu dan Ngalaksa. Seba adalah ibadah khusus yang dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur atas hasil panen yang diterima selama satu tahun. Bentuk pelaksanaan Seba adalah dengan mengunjungi pemerintah daerah untuk bersilaturahmi dan juga berkoordinasi. Di dalam Seba masyarakat suku Baduy pergi dengan rombongan besar untuk bersilahturami dengan membawa berbagai macam hasil bumi yang berasal dari tanah mereka.

Masyarakat suku Baduy menganggap Seba sebagai sebuah hari raya besar yang dilakukan setelah dua ibadah khusus lainnya, yaitu Kawalu dan Ngalaksa. Pemerintah daerah yang menjadi tujuan dari masyarakat suku Baduy untuk bersilaturahmi adalah pemerintah Provinsi Banten, kegiatan itu dimanfaatkan oleh mereka sebagai sarana untuk berkoordinasi dan melaporkan situasi serta perkembangan dari wilayah adat suku Baduy.

Upacara Seren Taun adalah ungkapan syukur dan doa masyarakat Sunda atas suka duka yang mereka alami terutama di bidang pertanian selama satu tahun yang telah berlalu dan yang akan datang.

Dalam upacara Seren Taun, digelar berbagai acara selain ritual-ritual yang bersifat sakral, digelar pula berbagai atraksi kesenian dan hiburan. Dengan kata lain, upacara ini tidak hanya meliputi kegiatan spiritual dalam kaitan hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga dengan sesama makhluk atau alam , baik lewat kegiatan kesenian, pendidikan, sosial ataupun budaya.




Ada beberapa rangkaian acara yang biasa digelar dalam perayaan upacara Seren Taun, yakni:

1.                   Ngajayak

Ngajayak merupakan acara penjemputan padi dari tempat penjuru mata angin. Padi yang dibawa dari empat penjuru mata angin ini kemudian dibawa dan dikumpulkan di gedung Paseban. Padi yang telah terkumpul sebagian akan disimpan dan sebagian lagi akan ditulu (ditumbuk) secara tradisional oleh penduduk. Beras hasil tumbukan akan dibagikan kepada penduduk akan tetapi padi yang terkumpul akan dipergunakan sebagai benih untuk proses menanam di tahun yang akan datang. Acara Ngajayak diadakan pada tanggal 18 Rayagung.

2.                   Tari Buyung

Tari Buyung merupakan tarian hasil refleksi ibu Amelia Djatikusumah, istri Pangeran Djatikusumah dari keseharian ibu-ibu dan pemudi Cigugur yang setiap hari mengambil air dari sungai dengan menggunakan buyung, sejenis wadah yang terbuat dari tanah liat. Tarian ini diperkenalkan pada masyarakat Cigugur pada tahun 2002 melalui acara Seren Taun. Tujuan dimasukannya tarian yang masih terbilang baru ini, merupakan suatu bentuk kreatifitas yang menjadi contoh untuk generasi mendatang.

3.                   Pesta Dadung

Pesta Dadung merupakan upacara sakral yang dilaksanakan di Mayasih, yang dahulu dikenal dengan Situ Hyang. Asal kata dari situ dan hyang. Situ merupakan tempat dan hyang bermakna sempurna atau penyempurna. Hyang yang merupakan tempat di daerah Kabuyutan lama di tatar Sunda yang fungsinya sebagai penyempurna dan penyeimbang. Konon tempat tersebut dipercaya sebagai tempat yang dapat “menyempurnakan” unsur negatif untuk menjaga keseimbangan antara kekuatan positif dan negatif di alam. Jadi, makna penyelenggaraan pesta Dadung di Mayasih sebagai upaya meruat dan menjaga keseimbangan alam agar hama dan unsur negatif tidak mengganggu kehidupan manusia.




Pelaksanaan didahului oleh suka ria budak angon atau pengembala dengan menggunakan dadung atau tambang dari ijuk berwarna hitam yang kemudian diakhiri dengan acara membuang hama. Budak angon dalam tradisi Sunda dimaknai bukan hanya pengembala namun sesuai dengan “wangsit siliwangi” adalah figur atau sosok yang ditunggu, figur pemimpin yang sederhana dan dapat melayani orang banyak.

4.                   Ngareremokeun

Ngareremokeun merupakan satu upacara yang dilakukan untuk mengawinkan benih padi jantan dan betina. Dalam tradisi Sunda Ngareremokeun merupakan tahap bertemunya Sang Hyang Asri Pwah Aci yang disimbolkan dalam kekuatan tumbuhnya pucuk pohon (energi maskulin) dan kesuburan tanah (energi feminim).

5.                   Tarawangsa

Berdasarkan sumber lisan dari tokoh-tokoh seni Tarawangsa berasal dari Mataram kira-kira abad ke-17 M. Pada waktu itu Sumedang di bawah pemerintahan Kerajaan Mataram. Di antara sesepuh Ranca Kalong yaitu Mbah Riguna, Mbah Jakusumah, Mbah Sumanimbang, Mbah Wisa Negara, dan Icah. Mereka mengajukan permohonan kepada Raja Mataram agar diberi alat-alat kesenian yang dapat digunakan untuk hiburan setelah panen. Dengan restu sang raja, mereka diberi dua buah alat kesenian yakni tarawangsa berkawat dua dan sebuah kecapi berkawat tujuh. Kemudian mereka berlatih dan kemudian terwujudlah seni tarawangsa.

Seni tarawangsa disebut juga seni jentreng menginduk kepada suara kecapi, juga ada yang menamai ngengkreng menginduk kepada suara tarawangsa. Pada awalnya yang dipentaskan hanya tabuhan kecapi dan tarawangsa saja, akan tetapi agar lebih menarik, akhirnya tarawangsa dilengkapi dengan tarian sederhana yang disebut tari Badaya.




6.                   Damar Sewu

Damar Sewu merupakan sebuah gelaran budaya yang mengawali rangkaian upacara Seren Taun. Damar Sewu  memiliki beberapa aspek yang syarat dengan makna-makna spiritual. Diawali dengan rajah pembuka yang merupakan ungkapan bentuk rasa syukur dan pujian manusia kepada Tuhan yang maha Esa, yang telah memberikan kelengkapan jasmani dan rohani sebagai penuntun kepada kesadaran terhadap eksistensi dan tujuan hidupnya.

7.                   Tari Pwah Aci

Pwah Aci atau biasa dikenal dengan Dewi Sri merupakan tokoh yang telah melegenda dan memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat agraris tatar sunda. Ia dihormati sebagai dewi kesuburan dan kemakmuran yang mencurahkan welas asih dalam bentuk pangan bagi keberlangsungan hidup manusia. Tari Pwah Aci merupakan salah satu seni tari spiritual yang di dalamnya tersirat ungkapan rasa hormat dan bakti kepada sang pemberi hidup melalui gerakan dan ekspresi.




DAFTAR PUSTAKA



Abdurrahman, Skripsi Konsep Ajaran Agama Islam Dalam Kepercayaan Sunda Wiwitan Masyarakat Desa Kanekes, Jakarta: UIN Jakarta, 2014.

Hariyanto, Didik, Skripsi Implementasi Kepercayaan Sunda Wiwitan Sebagai Falsafah Dalam Kehidupan Masyarakat Cigugur, Jakarta: UIN Jakarta, 2013.

Mulyana, dedi, Skripsi Tuhan dan Manusia Dalam Perspektif Aliran Kebatinan Djawa Sunda, Jakarta: UIN Jakarta, 2010

Nuraini, Skripsi Kearifan Budaya Lokal Sunda Wiwitan Terhadap Masyarakat Cigugur, Jakarta: UIN Jakarta, 2014.

Suhanah, Dinamika Agama Lokal di Indonesia, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2014.

Yusuf, Angga Syaripudin, Skripsi Kerukunan Umat Beragama Antara Islam Kristen dan Sunda Wiwitan, Jakarta: UIN Jakarta, 2014.



[1] Nuraini, Skripsi Kearifan Budaya Lokal Sunda Wiwitan Terhadap Masyarakat Cigugur, Jakarta: UIN Jakarta, 2014. Hal. 56

[2] Suhanah, Dinamika Agama Lokal di Indonesia, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2014). Hal 58
[3] https://id.wikipedia.org/wiki/Sunda_Wiwitan diakses pada 18 maret 2016 pukul 23.12
[4] Abdurrahman, Skripsi Konsep Ajaran Agama Islam Dalam Kepercayaan Sunda Wiwitan Masyarakat Desa Kanekes, (Jakarta: UIN Jakarta, 2014) hal 121
[5] Yusuf, Angga Syaripudin, Skripsi Kerukunan Umat Beragama Antara Islam Kristen dan Sunda Wiwitan, (Jakarta: UIN Jakarta, 2014) hal. 32

Tidak ada komentar:

Posting Komentar