Rabu, 01 Juni 2016

Suku Toraja


AGAMA LOKAL ORANG TORAJA

AGAMA-AGAMA LOKAL

Makalah ini disusun sebagai Tugas Mata Kuliah Agama-Agama Lokal Semester 4





Disusun Oleh:

Renaldo Caniago 11140321000028
Elva Nuzuliah 11140321000044
Endik Sudikna 11140321000029






JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2016


BAB I


PENDAHULUAN





Paham keagamaan agama Aluk To Dolo di Tana Toraja terbilang tidak begitu berkembang. Namun tradisi niliai Aluk To Dolo tetap dilestarikan oleh masyarakat Tana Toraja sebagai identitas dan ciri khas mereka. Tradisi budaya dirasa lekat dengan kehidupan keagamaan sehingga dapat dikatakan pada setiap upacara adatnya berbalut dengan ritual kegamaan, seperti upacara Rambu Solo dan Rambu Tuka. Upacara adat dan keagamaan ini menarik minat wisatawan domestik dan mancanegara untuk berkunjung ke Tana Toraja.

Agama pada dirinya sendiri hanyalah sebuah ajakan. Sebagai ajakan, ia hanya menawarkan pilihan antara mempercayai atau mengingkari. Ia sama sekali tidak memuat paksaan, kecuali sebuah konsekuensi logis bagi pemeluknya. Sebaliknya, terhadap mereka yang tidak mempercayainya, agama idak memiliki hak tuntutan kepatuhan apapun, apalagi pemaksaan. Namun, begitu agama diformalkan, baik dalam bentuk pelembagaan doktrin maupun lainnya, ia mudah terjebak sebagai instrumentalisasi kepentingan, baik kepentingan yang mengatasnamakan nama tuhan sebagai suara kekuasaaan, maupun berbagai kepentingan lain yang memanfaatkan agama sebagai legitimasi.

Dalam perspektif Islam yang mendasarkan definisi agama atas pengertian agama semitis yang memuat unsur adanya kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, memiliki sistem hukum yang jelas bagi para penganutnya, memiliki kitab suci, dan seorang nabi.


1.      Bagaimana asal-usul dan perkembangan paham/agama Aluk To Dolo?

2.      Apa pokok-pokok ajaran Aluk To Dolo?

3.      Bagaimana upacara keagamaan masyarakat Toraja?

4.      Bagaimana interaksi kepercayaan orang Toraja dengan agama-agama lain?





C. Tujuan Masalah


Mempelajari agama lokal orang Toraja mempunyai beberapa tujuan diantaranya :

1. Untuk mengetahui asal-usul dan perkembangan paham/agama Aluk To Dolo.

2. Bisa menyebutkan pokok-pokok ajaran Aluk To Dolo.

3. Untuk mengetahui upacara keagamaan masyarakat orang Toraja dan interaksi kepercayaan orang Toraja dengan agama-agama lain.

4. Untuk memperdalam ilmu tentang kehidupan beragama di Suku Toraja.







BAB II


PEMBAHASAN













Suku Toraja adalah suku yang menetap dipegunungan bagian utara Sulawesi Selatan. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan sekitar 500.000 diantaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti “orang yang berdiam di negeri atas”. Pemerintahan kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya.[2] Toraja pasca kemerdekaan Republik Indonesia, didirikan pada tahun 1960, adalah salah satu kabupaten yang berada di Sulawesi Selatan, dengan ibu kota Makale dan merupakan salah satu daerah tujuan wisata yang sangat menarik dengan alamnya yang indah, budayanya yang khas dan mempesona serta wilayahnya yang berliku-liku dengan dikelilingi pegunungan. Ada 7 gunung di Tana Toraja, seperti gunung Bebo’, Sado’ko’, Kandora, Buntu Batu, Messila, dan Sangbu, sehingga Tanah Toraja terasa dingin dan sejuk. Kondisi yang menarik wisata mancanegara, khusunya dari Prancis, Jerman, Belanda, Inggris, Negara Eropa lainnya serta wisatawan nusantara.[3]

Di kalangan masyarakat Toraja pada waktu dahulu belum mengenal agama seperti sekarang ini.  Mereka mempercayai suatu kepercayaan yang dikenal dengan nama Aluk To Dolo yang juga disebut Alukta. Alukta merupakan singkatan dari Aluk To Dolo. Kepercayaan ini oleh pemerintah Belanda pada waktu itu dikategorikan sebagai kepercayaan animisme. Istilah Aluk To Dolo baru popular setelah masuknya agama lain di Tana Toraja untuk membedakan keyakinan semula dengan keyakinan yang datang kemudian. Secara harfiah Aluk berarti kepercayaam atau agama. To Dolo artinya orang semula. Aluk To Dolo artinya orang semula. Aluk To Dolo berarti agama atau kepercayaan orang semula atau dahulu dengan kata lain agama atau kepercayaan peninggalan nenek moyang. Ajaran agama To Dolo diturunkan oleh Puang Matua kepada nenek moyang manusia yang pertama bernama Datu La Ukku’ dengan ajaran yang dikenal dengan sebutan Sukaran aluk, yaitu aturan-aturan agama. Datu La Ukku’ di beri tugas oleh Puang Matua untuk mengkoordinir dan berperan memelihara, membina dan mengembangkan seluruh peranan alam semesta ini, antara lain untuk memelihara hubungan mereka dengan Puang Matua sebagai penciptanya serta mengembangkan hubungan masing-masing isi alam ini.

Ajaran yang diturunkan Puang Matua kepada Datu La Ukku’, pada kisah yang lain bernama Puang Burang Langin, dan isterinya Kembang Bura, ialah yang membawa Aluk dan Adat berjumlah 7.777 buah, dengan sebutan Aluk Sanda Pitunna, yaitu Aluk pitung Sa’ba Pitung Ratu Pitung Pulo Pitu. Aluk ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan Aluk To Dolo yang artinya agama leluhur, yaitu agama yang memuja leluhur dan berbakti kepada Tuhan yang Maha Esa, yang mereka sebut dengan nama Puang Matua. Aluk Sunda Pituna inilah yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-harinya orang Toraja dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, budaya, politik, ekonomi dan pertahanan, yang dikenal dengan pesan “To Dolo”.

Menurut beberapa keterangan, penyebaran pertama bernama Pahane, kelahiran Puan. Ia kawin di Kesu dengan seorang wanita yang bernama Ambun. Namun tidak diketahui secara pasti kapan ajaran ini dikembangkan, tetapi yang jelas, daerah Kesu[4] dianggap sebagai daerah pertama pengembangan ajaran Aluk To Dolo ini dan diberi nama Panta’-anakan lolona sukaran aluk, yang berarti kira-kira Dewa Muda Syariat Agama. Karena ajaran itu hanya bersifat turun menurun, dan tidak banyak berupa ajaran tertulis, ,maka praktek peribadatannya banyak terdapat perbedaan antara satu suku daerah dengan daerah lainnya. Pada tiap-tiap desa praktek peribadatan dipimpin oleh seorang yang bernama To Parenggo Sokkong Baju. Terlepas dari berbagai informasi tentang asal muasal kata Aluk To Dolo tersebut, yang jelas dapat dipastikan bahwa ajaran paham keagamaan Aluk To Dolo diyakini sebagai agama atau kepercayaam orang-orang dahulu yang ada di Tana Toraja, bahkan sampai saat ini masih banyak penganutnya, walaupun tidak diketahui pasti berapa jumlah pengikutnya.[5]

Sebelumnya kita sudah mengetahui dan telah dijelaskan sebelumnya, bahwa tidak diketahui secara pasti berapa jumlah penganut agama Aluk To Dolo. Hanya diceritakan bahwa semua masyarakat Tana Toraja sudah sejak dahulu mempercayai Alukta atau Aluk To Dolo sebagai agama yang mereka yakni sebelumnya adanya agama lain di Tana Toraja. Menurut Dr. I. Y. Panggalo, M. T.h, sekretaris Badan Pekerja Sinode Gereja Panggolo, bahwa pada tahun 1950-an pemeluk agama Aluk To Dolo masih banyak, dan pada akhir tahun 1950 hingga tahun 1970 mereka banyak yang pindah ke agama lain, yaitu Kristen, Islam, Katolik dan pada masa orde baru mereka dimasukkan ke dalam agama Hindu. Pada tahun 1980-an di duga penganutnya berjumlah 20-30 ribu jiwa. Namun pada saat ini jumlah tersebut sudah tidak sebanyak itu lagi. Penganut agama Aluk To Dolo saat ini banyak tinggal di daerah-daerah pegunungan, menurut Tato Dena’ yang biasa di panggil Nek Sando, seorang Rohaniawaan (Tomina). Sekaligus kepala adat di Tana Toraja, bahwa penganut agama Aluk To Dolo masih menjalankan tradisi-tradisinya sampai sekarang. Pada tahun 1955, pada pemilu pertama pengikut Aluk To Dolo masih mayoritas. Namun akhir tahun 50-an banyak penganut agama Aluk To Dolo yang dipaksa pindah agama ke agama lain, karena tidak ada yang melindungi agama Aluk To Dolo. Dari peristiwa tersebut, banyak pengikut Alukta ini yang ketakutan dan pindah agama karena di ancam dan di takut-takuti oleh PKI bahkan ditangkap.

Setelah ada Sekber Golkar dan  Departemen Agama, Agama Aluk To Dolo berdasarkan SK dirjen Bimas Hindu dan Buddha No. Dd/M/200-VII/’69. Tanggal 15 Nopember 1969, dimasukkan menjadi penganut agama Hindu di bawah naungan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha, dan menunjuk petugas khusus yang dapat melaksanakan tugas-tugas pemerintah yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan umum beragama umat Hindu asal Aluk To Dolo, yaitu Bato’ Rita Palimbong. Ia bertugas atas nama Dirjen Bimas Hindu dan Buddha. Namun pada saat itu penganut Aluk To Dolo sudah banyak yang pindah agama. Pada tahun 1983, tato Dena bertemu dengan Drs. I Gusti Made Ngurah dan menyuruh untuk membentuk badan kecil Parasidha Hindu, belum ada Indonesianya, seperti PHDI[6] saat ini. Demi keberlangsungan kehidupan masyarakat Aluk To Dolo, maka tidak ada pilihan bagi kami kecuali untuk bergabung dengan Parasidha Hindu pada waktu itu, hingga saat ini. Mulaidari saat itu Agama Aluk To Dolo di Tana Toraja disebut sebagai Agama Hindu dan ditambahkan di ujungnya dengan Alukta, sehingga disebut Hindu/Alukta.[7]

a.       Profil orang Aluk To dolo

Pada umumnya masyarakat Aluk To Dolo adalah bercocok tanam, memelihara binatang ternak, seperti ayam, itik, babi, kerbau, ikan mas dan kerajinan tanganm seperti mengukir, menganyam, membuat sepatu, membuat kursi rotan, menenun kain, dan banyak juga yang menjadi pegawai pemerintah , guru/dosen, dan lain-lain. Orang Toraja dalam sehariannya mempergunakan bahasa mereka sendiri, yaitu bahasa Toraja, selain bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Ciri bahasa Toraja banyak memakai “koma a’in = (‘), seperti ta’de=haling, ma’rang=haus dan lain-lain.

Dalam strata sosial, orang Toraja pernah ada dan tingkatan sosial (kasta). Dalam masyarakatnya, baik dalam kegiatan pemeliharan adat, upacara keagamaan, sikap maupun tutur bahsa masing-masing mempunyai disiplin sendiri atau berbeda-beda. Ada empat tingkatan sosial (kasta), yaitu: tingkatan pertama adalah dari kaum bangsawan, tingkatan ke dua adalah golongan menengah yaitu dari bangsawan yang dari golongan menengah, tingkatan ke tiga adalah rakyat merdeka atau rakyat kebanyakan, dan yang terakhir ke empat adalah Kaunan atau budak dahulunya, mereka yang menjadi tulang punggung masyarakat Toraja.[8]

b.      Mitologi Tana Toraja

Konon, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana, mitos yang tetap melegenda turun temurun hingga kini secara lisan dikalangan masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja yang pertama menggunakan “tangga dari langit” untuk turun dari nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa). Lain lagi versi dari DR. C. CYRUT seorang anthtropolog, dalam penelitiannya menuturkan bahwa masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk (lokal/pribumi) yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang yang notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin (daratan Cina). Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya Imigran Indo Cina dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun pemukimannya di daerah tersebut.[9]

Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidendereng dan dari Luwu. Orang Sidendreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti “Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”, sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah “orang yang berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang-orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja. Konon manusia yang turun ke bumi, telah dibekali dengan aturan keagamaan yang disebut aluk. Aluk merupakan aturan keagamaan yang menjadi sumber dari budaya dan pandangan hidup leluhur suku Toraja yang mengandung nilai-nilai religius yang mengarahkan pola-pola tingkah laku hidup dan ritual suku Toraja untuk mengabdi kepada Puang Matua.

Cerita tentang perkembangan dan penyebaran Aluk terjadi dalam lima tahap, yakni: Tipamulanna Aluk ditampa dao langi’ yakni permulaan penciptaan Aluk diatas langit, Mendemme’ di kapadanganna yakni Aluk diturunkan kebumi oleh Puang Buru Langi’ dirura. Kedua tahapan ini lebih merupakan mitos. Dalam penelitian pada hakekatnya aluk merupakan budaya/aturan hidup yang dibawa kaum imigran dari dataran Indo Cina pada sekitar 3000 tahun sampai 500 tahun sebelum masehi. Beberapa Tokoh penting daiam penyebaran aluk, antara lain: Tomanurun Tambora Langi’ adalah pembawa aluk Sabda Saratu’ yang mengikat penganutnya dalam daerah terbatas yakni wilayah Tallu Lembangna.

Selain daripada itu terdapat Aluk Sanda Pitunna disebarluaskan oleh tiga tokoh, yaitu : Pongkapadang bersama Burake Tattiu’ menuju bagian barat Tana Toraja yakni ke Bonggakaradeng[10], sebagian Saluputti, Simbuang sampai pada Pitu Ulunna Salu Karua Ba’bana Minanga, dengan membawa pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja “To Unnirui’ suke pa’pa, to ungkandei kandian saratu yakni pranata sosial yang tidak mengenal strata. Kemudian Pasontik bersama Burake Tambolang menuju ke daerah-daerah sebelah timur Tana Toraja, yaitu daerah Pitung Pananaian, Rantebua, Tangdu, Ranteballa, Ta’bi, Tabang, Maindo sampai ke Luwu Selatan dan Utara dengan membawa pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja : “To Unnirui’ suku dibonga, To unkandei kandean pindan”, yaitu pranata sosial yang menyusun tata kehidupan masyarakat dalam tiga strata sosial.
Tangdilino bersama Burake Tangngana ke daerah bagian tengah Tana Toraja dengan membawa pranata sosial “To unniru’i suke dibonga, To ungkandei kandean pindan”, Tangdilino diketahui menikah dua kali, yaitu dengan Buen Manik, perkawinan ini membuahkan delapan anak. Perkawinan Tangdilino dengan Salle Bi’ti dari Makale membuahkan seorang anak. Kesembilan anak Tangdilino tersebar keberbagai daerah, yaitu Pabane menuju Kesu, Parange menuju Buntao’, Pasontik ke Pantilang, Pote’Malla ke Rongkong (Luwu), Bobolangi menuju Pitu Ulunna Salu Karua Ba’bana Minanga, Bue ke daerah Duri, Bangkudu Ma’dandan ke Bala (Mangkendek), Sirrang ke Dangle.[11]

Itulah yang membuat seluruh Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo diikat oleh salah satu aturan yang dikenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo arti harfiahnya adalah “Negri yang bulat seperti bulan dan Matahari”. Nama ini mempunyai latar belakang yang bermakna, persekutuan negeri sebagai satu kesatuan yang bulat dari berbagai daerah adat. Ini dikarenakan Tana Toraja tidak pernah diperintah oleh seorang penguasa tunggal, tetapi wilayah daerahnya terdiri dari kelompok adat yang diperintah oleh masing-masing pemangku adat dan ada sekitar 32 pemangku adat di Toraja. Karena perserikatan dan kesatuan kelompok adat tersebut, maka diberilah nama perserikatan bundar atau bulat yang terikat dalam satu pandangan hidup dan keyakinan sebagai pengikat seluruh daerah dan kelompok adat tersebut.[12]


Menurut Tato Dena’ (Tomina), Sila Siapa’ (Ketua adat Aluk To Dolo Sekecamatan Salapputi), Mani’ (Penganut Aluk To Dolo), bahwa ada beberapa pokok ajaran dalam paham keagamaan Aluk To Dolo, yaitu:





Konsep Ketuhanan

Tuhan yang tertinggi adalah Puang Matua, pencipta manusia pertama dan alam segala isinya. Puang Matua atau Totumampata ( yang menciptakan manusia ). Tato Dena’ ( Nek Sando ), sangat keberatan jika agama Aluk To Dolo dianggap kepercayaan terhadap animisme, politisme bahkan sinkretisme. Menurut beliau, agama Aluk To Dolo tidak menyembah batu-batu, pohon-pohon besar, hewan dan tumbuh-tumbuhan, seperti yang dituduhkan kebanyakan orang selama ini. Agama Aluk To Dolo menyembah Tuhan yang disebut Puang Matua ( Totumampata ). Adapun pohon, batu, hewan dan tumbuhan hanya media saja sebagai alat komunikasi untuk menuju kepada Puang Matua.

Puang Matua atau Tuhan-nya orang alukta sebagai pencipta segalanya, dimana sinarnya yang menghidupkan Deata uta ( masing-masing punya jiwa ), apabila ia terpisah dari kita, maka biasanya manusia bisa melihat, tapi bila telah melihat kearah mati atau jiwa yang sudah pergi ( bombo mediatana ), dan bila telah menghembuskan nafas terakhirnya ( bombo mengka puangana ). Puang Matua memberikan kuasa dan tugas pengawasan dan pengaturan tertibnya kehidupan masyarakat kepada Dewata, yang disebut nama Deata Titanan Tallu yang artinya Dewa berada di tiga tempat, yaitu:

1.      Dewa dilangit dunia atas ( Tanggana Langi ), yaitu dewa sang pemelihara di langit. Dewa yang menguasai isi langit dan cakrawala.

2.      Dewa menopang bumi ( Deata Patulakanannan Puang Karande Karua ), artinya yang menopang di enam bahkan delapan penjuru mata angina.

3.      Dewa di atas muka bumi ( Deata pannopadang puangla’abidaenan ), berarti ada dimana-mana, dia mengusai gunung, lembah, langit, bumi, hutan, padang ilalang, dan semuanya.[13]

Ketiga, Dewa tersebut disebut Deata Titanan Tallu Puang Tirindu Batu Lalikan, artinya Dewa itu terbagi dalam tiga tempat. Dari konsep Deata tersebut yang melahirkan dua upacara keagamaan pada masyarakat Aluk To Dolo, yaitu Aluk Rambu Tuka, dan Aluk Rambu Solo’.

Agama Aluk To Dolo mengajarkan umatnya untuk sembahyang setiap saat, dimana kalau dia ingin sembahyang atau menghadap kepada leluhur dia harus menghadap keselatan atau kebarat. Bila ingin menghadap ke Dewa, maka dia harus menghadap ke timur atau utara. Agama Aluk To Dolo juga mengenal adanya nabi. Dalam ajaran alukta, nabinya adalah nenek moyang mereka sendiri di Tana Toraja, yaitu nabitangdilino’dan Puang Tomboro’Langi’. Dikatakan nabi karena mereka inilah yang membagi atau menyebarkan ajaran Aluk. Namun dalam ajaran Alukta tidak ada kitab suci, dikarenakan tidak ada orang yang mencatat ajaran-ajarannya kedalam sebuah buku atau kitab. Kami pengikut Alukta hanya mengandalkan ingatan - ingatan di kepala kami saja secara turun temurun, demikian diungkapkan Nek Sando.[14]

Agama Aluk To Dolo atau Alukta berupa aturan-aturan keagamaan yang bernilai religius yang bersumber dari Puang Matua sebagai pandangan hidup dan sekaligus menjadi budaya masyarakat Tana Toraja. Hukum Aluk To Dolo ini disebut Pemali. Pemali ini harus di patuhi oleh penganutnya. Pemali antara lain:

1.      Pemali urusak potedi bolong, artinya tidak boleh mengganggu upacara penguburan orang mati.

2.      Pemali ma’panganbuni’, artinya tidak boleh berzina.

3.      Pemali unromok tatanan pasak, artinya tidak boleh mengacau pasar.

4.      Pemali unteka’ palanduan, artinya golongan budak dilarang kawin dengan golongan Tomakaka dan Tokapua[15].

5.      Pemali massape-ae’, artinya tidak boleh meninggalkan rumah pada hari yang sama dengan arah yang berdeda.

6.      Pemali Boko, artinya tidak boleh mencuri.

7.      Pemali umboko sunga’na pedanta telino, artinya jangan membunuh sesama manusia.

8.      Pemali ma’kada penduan, artinya tidak boleh berdusta.

9.      Pemali unkasirisan deata misanta, artinya jangan mengkhianati orang tua.

10.  Pemali ungkattai bubun, artinya jangan buang hajat besar di sumur.

11.  Pemali umbala’bala tomanglaa, artinya jangan menyiksa anak gembala.

12.  Pemali maloko, artinya dilarang mengambil barang dikuburan.

13.  Pemali umbala’-bala’ patuoan, artinya jangan menyiksa binatang ternak.[16]

Adapun pelanggaran terhadap pemali diberi sanksi berbeda-beda menurut berat ringannya pelanggaran tersebut. Sanksi yang berat seperti membunuh. Bila seorang membunuh, maka semua keluarga dari yang dibunuh bersumpah turun temurun tidak boleh berhubungan dalam bentuk apapun dengan keluarga pembunuh. Sanksi yang ringan seoarang hamba yang kawin dengan golongan bangsawan diusir seumur hidup dari masyarakat Tana Toraja.

Dalam Ajaran Agama Aluk To Dolo juga mengenal do’a - do’a dalam kehidupan sehari-hari mereka seperti juga dalam agama lainnya. Ada beberapa bacaan do’a - do’a pendek dalam Ajaran Alukta atau Aluk To Dolo, seperti:

1.      Do’a akan makan atau minum, ini harus menghadap ke utara atau timur, bacaannya adalah:

Kurre sumanga’na teburanna padang ladi popa muntu ti’i pe’.

Artinya: Syukurilah hasil bumi ini, kita akan mencicipinya semoga kekuatannya bagaikan besi yang tidak patah.

2.      Do’a pergi keluar rumah, bacaannya adalah:

Kurre suma’na te kaling kangku de na’ upa’ utang titodo sangka’ lako tutunna lalan.

Artinya: Syukurilah saya akan melangkahkan kaki dari tempat ini, semoga diperjalanan tidak ada halangan apa-apa.

3.      Do’a pulang kerumah, bacaannya adalah:

Kurre sumonga’ sulemana’ pa siamo’.

Artinya: Syukurilah, aku sudah kembali dengan selamat.

4.      Do’a anak-anak baru lahir dido’akan oleh Tominna[17]. Dalam acara itu terkadang do’a-do’a itu intinya adalah sebagai berikut;

a.      Kamu deata untarana kialo’kebongi.

Atinya: Disandarkan kepada dewa yang mengasuh dia siang dan malam.

b.      Tadoairi panotoba’ tang benni papa tuwinawa.

Artinya: Berikanlah dia kesabaran bahkan kepintaran.

c.       Anna pannotoba’teng unda’ka’ eanan sanda makamban sola barengapa sandarupanna.

Artinya: Berilah dia kesadaran dan kepintaran, semoga dapat mencari harta untuk hidupnya di muka bumi ini.


5.      Do’a orang sakit agar cepat sembuh, bacaannya adalah:

Denupa’ naeate sakiunangga’ lanbatang dikalena lati losong tengko anna mesonda, palesusampe tama pale suan annan ana susi manuku dira’ pannah annante bande patia’

Arrtinya: Semoga penyakitnya keluar melalui bantuannya dan kembali sehat bagaikan ayam yang lepas dan burung yang terbang.[18]


Aluk Todolo atau Alukta adalah aturan tata hidup yang telah dimiliki sejak dahulu oleh masyarakat Suku Toraja, Sulawesi Selatan. Aturan tata hidup tersebut berkenaan dengan sistem pemerintahan, sistem kemasyarakatan, dan sistem kepercayaan.[19]

Sesuai dengan sistem kepercayaan dan konsep ketuhanan yang dianut oleh para penganut Alukta, maka praktek penyembahan kepada para dewa disesuaikan dengan tindakan dan permohonan penyembahannya. Penyembahan itu dilakukan untuk memohon ampun atau tanda syukur terhadap nikmat yang diterimanya, misalnya karena turunnya hujan, menguningnya padi dan berkembangnya ternak pemeliharaan.

·         Penyembahan, Tingkatan-tingkatan, dan Struktur Aluk Todolo

Penyembahan kepada para dewa dilakukan pula karena menerima musibah, seperti sakit dan rusaknya tanam-tanaman atau karena memulai sesuatu pekerjaan, seperti mulai bertanam padi, menebang pohon, mulai mendirikan rumah dan sebagainya.[20]

            Penyembahan pun ada tingkatan-tingkatannya:

§  Ma’Babo bo’bo yaitu upacara penyembahan yang dilakukan seseorang yang dianggap tidak mampu. Dengan menyajikan sedikit nasi yang diambil dari tempat nasi dan ditempatkan didaun pisang kemudian diletakkan di sudut rumah.

§  Ma’Piong sanglampa yaitu setingkat dibawah ma’babo bo’bo. Satu Piong Lembang ditambah anak ayam yang paling kecil.

§  Ma’Likarang biag yaitu tiga piong lemang dan seekor ayam jantan kecil.

§  Ma’tadoran yaitu selamatan yang dilengkapi dengan memotong babi dan ayam.

§  Ma’tete’auo yaitu pada tingkat ini upacara dilakukan dengan memotong babi lebih dari satu.

§  Ma’palang yaitu sajian dan cara upacara lebih meningkat lagi.

§  Manganta’ yaitu upacara dilakukan jika suatu kampong terkena penyakit menular, seperti penyakit cacar.

§  Merek yaitu pemotongan babi dilakukan tanpa terbatas.

§  Ma’bua yaitu suasana upacara lebih meriah lagi karena dilaksanakan oleh orang yang paling kaya dan dihadiri oleh orang sekampung.

§  La’pa Kassalle yaitu sama nilainya dengan Ma’bua.[21]

Dalam struktur keagamaan nenek moyang dalam ajaran Aluk To Dolo di Tana Toraja mempunyai cirri dan penerapannya berbeda-beda sesuai dengan adat daerah masing-masing. Walaupun maksud dan tujuannya sama. Struktur keagamaan di Talolembang, Tana Toraja, adalah:

1.      Puang (Raja).

2.      Toparenge’ adalah penanggung jawab adat dan agama.

3.      Tobara’ adalah pembantu Toparenge’ dalam membina adat. Dalam tiap desa biasanya ada atau empat Tobara’.

4.      Tomenani dan Tominna (Rohaniawan/pendeta/ustad), mereka ini mempunyai tugas memberikan petunjuk kepada pengikutnya. Tomina ini mengetahui ajaran Aluk To Dolo dan mereka kuat ingatnnya karena peraturan agama tidak ada yang ditulis. Tomina mempunyai bahasa yang sulit dipahami oleh orang biasa. Penghidupan Tomina sangat sederhana.

5.      Toburake merupakan banci yang mendapatkan ilham, yang dapat menyembuhkan penyakit dan bertindak sebagai dukun serta memelihara gadis-gadis yang dipingit dalam Ma’bua’ka sale (upacara tertinggi dalam rumpun tertinggi).

6.      Pe toeatu’: yaitu orang yang berhak melaksanakan ritual keagamaan Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’. Petugasnya Rambu Solo’disebut toma’ kayo atau toma’ balun, orang ini yang bertugas membungkus dan memandikan mayat. Namun pada saat ini mayat dimandikan oleh keluarganya. Sedangkan petugas Rambu Tuka’ disebut Tominna/Tominani atau Toburake.

Upacara keagamaan di Tana Toraja di bagi dua. Yaitu: Upacara Kematian atau Rambu Solo’ (aluk rampe matampu) dan upacara syukuran atau rambu tuka (aluk rampe matallo). Upacara Rambu Solo’ , merupakan upacara keagamaan yang mempersembahkan kerbau dan babi untuk menghantarkan arwah leluhur atau untuk orang yang meninggal dunia agar jiwa seseorang tersebut damai dan selamat meninggalkan dunia yang fana menuju dunia jiwa yang tentram di Puya. Sedangkan upacara Rambu Tukak merupakan upacara syukuran yang menggembirakan atas segala yang baik-baik. Upacara ini dilaksanakan pada pagi hari dibagian timur dan selalu menghadap ke timur. Upacara ini untuk menyembah deata dan Puang Matua dengan memotong ayam, babi atau kerbau.

a)      Upacara Kematian 

Upacara kematian (Rambu Solo’) merupakan salah satu bentuk ritual yang digelar keluarga Aluk To Dolo untuk menghormati arwah orang sudah meninggal. Ritual Rambu Solo’ digelar semeriah mungkin agar arwah orang meninggal tersebut ke Puya (surge/akherat) tidak terhambat. Mereka mempercayai bahwa jiwa orang yang meninggal bisa mengendarai jiwa kerbau dan babi yang dikorbankan. Makanya hewan yang terbaik sebagai kendaraan menuju ke Puya adalah Kerbau Tedong Bonga yang dianggap kuat untuk melintasi gunung dan lembah Puya.[22]

Selain itu, Rambo Solo menjadi kewajiban bagi keluarga yang ditinggalkan. Karena hanya dengan cara Rambu Solo, arwah orang yang meninggal bisa mencapai kesempurnaan di Puya. Maka keluarga yang ditinggalkan akan berusaha semaksimal mungkin menyelenggarakan Upacara Rambu Solo. Akan tetapi, biaya yang diperlukan bagi sebuah keluarga untuk menyelenggarakan Rambu Solo tidaklah sedikit. Oleh karena itu, upacara pemakaman khas Toraja ini seringkali dilaksanakan beberapa bulan bahkan sampai bertahun-tahun setelah meninggalnya seseorang.[23]

Ada beberapa tingkatan dalam upacara Rambu Solo’, yaitu:

·         Disisli adalah upacara kematian/pemakaman paling sederhana. Orang miskin dari tingkatan budak sering dikuburkan dengan hanya membekali mayat dengan telur ayam tanpa upacara keagamaan.

·         Dipasang Bongi adalah upacara kematian yang dilakukan hanya satu malam di rumah dan hanya seekor kerbau dipotong dan beberapa ekor babi. Upacara ini bagi orang tua dari golongan terendah atau golongan menengah yang tidak mampu ekonominya.

·         Dipatallung Bongi adalah upacara penguburan yang berlangsung selama tiga malam di rumah. Empat ekor kerbau dan babi sepuluh ekor.

·         Dipalimang Bongi, upacara pemakaman selama lima hari lima malam.

·         Dipapitung Bongi, upacara tujuh hari tujuh malam. Setiap hari dan setiap malam ada acara pemotongan kerbau dan babi, keluarga terdekat pantang makan nasi selama acara berlangsung. Banyak babi dipotong, kerbau sebanyak 9 sampai 20 ekor.

·         Dirapai, upacara pemakaman orang meninggal yang paling mahal karena dua kali diupacarakan sebelum dikubur. Upacara pertama diadakan di rumah Tongkonandan kemudian diistirahatkan satu tahun kemudian upacara ke dua diadakan. Upacara ke dua, orang meninggal dipikul ratusan orang dari tongkonan atau rante tempat upacara ke dua. Upacara ini disebut ma’palo/ ma’pasonglo’. Orang meninggal dibungkus kain merah dilapis emas, diikuti oleh tau-tau dan janda almarhum dalam usungan yang dihiasi emas serta diiringi oleh puluhan ekor kerbau jantan yang siap diadu satu lawan satu. Dirapai terbagi tiga (3) rapasan dilayu-layu, dengan target terendah dua belas ekor kerbau. Kemudian rapasan sundun, dengan target minimum 24 ekor kerbau yang dipotong, rapasan sapurandanan dengan jumlah terendah 30 ekor kerbau yang dipotong.[24]

b)      Tempat Pemakaman

                        Di Tana Toraja banyak terdapat gunung batu dengan gua-gua yang jauh menjorok ke dalam gunung. Bagi suku Toraja yang tingkat ekonominya rendah, kerangka-kerangka jenaza mereka diletakkan begitu saja di dalam gua. Tapi bagi kalangan bangsawan orang-orang kaya, pemakaman mereka disimpan dalam liang buatan pada ketinggian ± 10 meter di tepi tebing batu yang hamper tegak lurus. Lubang itu digali dengan alat sederhana, seperti botol, palu, kampak, dan lain-lain. Pembuatan lubang itupun menghabiskan waktu tidak kurang dari 4 tahun, bahkan sebuah lubang yang disediakan untuk keluarga akan menghabiskan waktu puluhan tahun, mengingat lubang itu harus mampu ditempati peti kerangka yang kedalamannya tidak kurang dari dua meter, sementara panjang dan lebarnya sesuai dengan kebutuhan.

Menurut Lewis A. Coser:

            adanya praktik upacara yang berbeda-beda bentuk pelaksanaannya, baik dari hal waktu dilaksanakan, bentuk upacara, dan tingkat upacaranya. Ada upacara yang berlangsung hanya satu hari dan tidak boleh bermalam, tetapi ada juga upacara yang dapat berlangsung selama satu-dua malam, atau pun lebih dari tiga malam. Bentuk upacara yang dilakukan berbeda-beda untuk upacara yang berlangsung selama satu hari, satu-dua malam, atau yang lebih dari tiga malam. Hal itu dapat dilihat dari persiapan tempat untuk upacara pemakaman yang mana sangat bervariasi. Ada yang hanya memasang tenda, ada juga yang menyiapkan tempat berupa pondok/rumah (biasa disebut Lantang) dengan posisi melingkar di sebuah halaman yang luas (yang disebut Rante).

            Ada yang menggunakan kain merah dan ukiran, ada yang memakai patung, ada yang memiliki tempat khusus untuk menerima tamu yang datang, ada yang memiliki Lakkian (tempat menaruh jenasah selama upacara berlangsung), tetapi ada juga yang tidak boleh memakai kain merah dan Lakkian. Fakta lain yang juga peneliti temukan di lapangan ialah adanya perbedaan dalam bentuk dan banyaknya binatang yang dikorbankan (contohnya: babi dan kerbau). [25]

c)      Kelahiran dan Kematian Anak

Sebenernya tidak ada suatu upacara khusus dalam menyambut kelahiran anak. Persyaratan minimal adalah bantuan sang dukun dalam melahirkan, yang kemudian dihadiahi 20 ikat padi dan uang sekedarnya. Jika si bayi meninggal dalam keadaan belum tumbuh gigi, maka upacara adalah disilli, yakni jenazanya tidak boleh disemayamkan dirumah, tetapi bpleh dipotongkan ayam.[26]

Jika si anak menjelang dewasa, suatu keharusan bagi mereka untuk sunat. Proses upacara sunat itu dilakukan secara sembunyi. Aib bagi orang dewasa kalau diketahui bahwa ia belum disunat.[27]

d)     Pinangan/Perkawinan

Beberapa hari menjelang pernikahan, keluarga mengadakan mappaci, yaitu malam berbedak, bersolek, dan memerahi kuku atau berinai. Pada hari ini yang telah ditetapkan, kedua mempelai melakukan akad nikah menurut agama Islam yang dilakukan oleh penghulu, kemudian kedua mempelai melakukan upacara adat, yaitu mempelai pria menyentuh salah satu anggota badan mempelai wanita, seperti ibu jari atau tengkuk. Itu berarti bahwa mempelai wanita telah sah menjadi mempelai pria. Setelah itu, keluarga mempersandingn kedua pengantin di pelaminan, disaksikan oleh para tamu. Seluruh upacara perkawinan yang diramaikan dengan pesta ini berlangsung di rumah mempelai wanita dan upacara ini dinamakan marola.[28]

BDisetiap daerah tradisi alukta ini berbeda-beda dalam tahapan upacara keagamaannya, namun demikian intinya sama yaitu sama-sama menjalankan ajaran nenek moyang dulu menuju ke Puang Matua. Di Kecamatan Makale, Mekende’ dan Sangala’ yang nama lainnya Talu Lembang, tahapan-tahapan perkawinannya adalah sebagai berikut:

·         Di bo’ bo’ b’d’ngi, yaitu dimana pria diantar saja di rumah wanita selama 3 malam, setelah itu baru di jamu semua keperluannya, perkawinan dianggap sudah sah (dipasanda bongi).

·         Sinna suan, artinya ritual keagamaan berdasarkan 2 ekor babi dan pengantinnya diantar pada malam hari.

·         Rannufanang kappa disurangkana, dimana babi yang dipotong sekurang-kurangnya 2 ekor.

·         Kaberian allo, dimana perkawinan tertinggi seperti matahari, sehingga kawin harus pake potong kerbau.[29]

Dalam konsep perkawinan mereka, perceraian dapat dilakukan, namun denda yang harus dibayar untuk perceraian pun tidaklah sedikit. Bagi Kasta Tona Bulan akan dikenakan denda sebanyak 29 kerbau. Bagi Kasta Tona Basi akan dikenakan denda 12, 8, 4 dan dua ekor kerbau.[30]


Sistem kepercayaan yang dikenal pertama dan ada sampai sekarang di Tana Toraja adalah Aluk To Dolo. Sistem kepercayaan ini muncul pada abad ke 9M, yang apabila kita bandingkan dengan kemunculan Banua Tamben sebagai bentuk rumah Toraja ketiga pada abad 8 M dapat disimpulkan bahwa Aluk To Dolo tercipta setelah mendapatkan pengaruh dari budaya luar yang dikatakan oleh masyarakat Toraja sebagai puang-puang lembang.

Pengaruh yang ada semenjak abad ke 4 M di Indonesia adalah pengaruh Hindu-Buddha, karena semenjak abad ke 4 M mulai berdiri kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia.

Masuknya agama dan kebudayaan Hindu-Buddha sangat mempengaruhi kehidapan masyarakat di Indonesia baik dalam kehidupan politik, sosial, budaya, maupun keagamaan. Dengan masuknya agama dan kebudayaan Hindu-budhha menjadikan bangsa Indonesia mulai mengenal tulisan Pallawa dan baha Sansekerta. Dengan demikian, nbangsa Indonesia mulai memasuki zaman sejarah.

Unsur-unsur kebudayaan Hindu-Buddha dari India yang masuk ke wilayah lokal Indonesia, tidak langsung ditiru, tetapi sudah dipadukan dengan unsur kebudayaan asli Indonesia sehingga terbentuklah unsur kebudayaan baru yang dapat dikatakan lebih sempurna. Proses pencampuran antara Hindu dengan religi dan sosial budaya dari masyarakat Toraja seperti penyembahan kepada tiga unsur seperti penyembahan Trimurti agama Hindu serta sistem kasta yang terbagi empat pada masyarakat Toraja, sama halnya dengan sistem kasta berdasarkan agama Hindu. Aluk To Dolo dapat dikatakan sebagai pencampuran dari unsur lokal dengan agama Hindu, karena Aluk To Dolo juga menyembah kepada 3 unsur, yaitu:

1.      Puang Matua[31]

2.      Deata-deata

3.      To Mambali Puang



Pembagian kasta pada masyarakat Toraja sebagaimana struktur masyarakat Hindu di India, juga dikenal menjadi 4 kasta, yaitu:

1.      Tana’ bulaan terdiri dari bangsawan tinggi

2.      Tana’ bassi terdiri dari bangsawan menengah

3.      Tana’ karurung terdiri dari rakyat merdeka

4.      Tana’ kua-kua terdiri dari hamba sahaya.

Seiring berjalan waktu sistem kepercayaan Aluk To Dolo ini dihadapkan dengan agama-agama yang dibawa oleh bangsa pendatang, Agama Islam dibawa oleh para pedagang Bugis pada abad 15 M (1675). Akan tetapi akibat dari masuknya Islam ke Toraja dan tidak adanya toleransi dari religi lokal Aluk To Dolo dari Islam maka akhirnya timbullah perang pada 1683. Sedangkan agama Kristen dibawa oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1900. Setelah melalui proses lama, akhirnya agama Kristen dapat diterima karena ajaran Kristen dapat mentolerir ajaran Aluk To Dolo.[32] Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah.

Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya sekitar 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen. Pada tahun 1930-an penduduk muslim didaratan rendah menyerang Toraja. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin bekerja sama dengan Belanda untuk berpindah ke agama Kristen agar mendapatkan perlindungan politik, dan dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam.[33]

Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam[34], yang bertujuan untuk mendirikan sebuah Negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turur menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen.[35]




               

Upacara Keagamaan                                       upacara penyembahan

Culculture.blogspot.com                                 art-andarias.blogspot.com



               

Tingkatan Orang Miskin suku Toraja              tingkatan Orang Kaya Suku Toraja

Beritaastrabudaya.blogspot.com                     octaviani951022.wordpress.com



      

Struktur Suku Orang Toraja (Puang)              Upacara Kematian

Manukallodanga.wordpress.com                    derosaryebed.blogspot.com





      

            Upacara Pemakaman                           Upacara Kematian Anak

            Balitour.net                                         www.torajaparadise.com







  Upacara Perkawinan Suku Toraja

                           www.seputarpernikahan.com



DAFTAR PUSTAKA




Rosadi, Achmad. Perkembangan Paham Keagamaan Lokal Di Indonesia. Jakarta:Puslitbang Kehidupan keagamaan  Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. 2011

Johanes Raymond Hartanto. ”Wujud Sinkretisme Religi Aluk To Dolo Dengan Agama Kristen Protestan”. 2008

Rotua Tresna Nurhayati Manurung. “Upacara Kematian di Tana Toraja”. Dalam Kertas Karya Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan. 2009

Neng Darol Afia. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia. Jakarta: Perpustakaan Nasional. 1999

Panggara, Robi. konflik kebudayan. Toraja: Sekolah Tinggi Theologia Jaffray. 2014



http://id.m.wikipedia.org/wiki/suku Toraja. Diakses pada tanggal 9 Februari 2016



Aluk Todolo Kepercayaan Suku Toraja, Diakses Pada 22 April 2016, dari http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1020/aluk-todolo-kepercayaan-suku-toraja.



Upacara Adat Rambu Solo, Diakses Pada 22 April 2016, Dari  http://hasanuddin-airport.co.id/detail/wisata/upacara-adat-rambu-solo039-upacara-pemakaman--toraja.



Pemakaman Khas Toraja Upacara Rambu Solo, Diakses Pada 22 April 2016, Dari http://www.gocelebes.com/pemakaman-khas-toraja-upacara-rambu-solo/.

Dwi Hardianto, Makalah Tentang Toraja Diakses Pada 22 April 2016, Dari http://blaketupruk.blogspot.co.id/2010/01/makalah-tentang-toraja.html.







[1] Rangga Wijaya dan Putri Raudya. Makalah Suku Toraja. Hal. 1.
[2] http://id.m.wikipedia.org/wiki/suku Toraja. Diakses pada tanggal 9 Februari 2016
[3] Achmad Rosadi. Perkembangan Paham Keagamaan Lokal Di Indonesia. (Jakarta:Puslitbang Kehidupan keagamaan  Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011) hal.186-187
[4] Daerah Kesu adalah suatu desa wisata di kawasan Tana Toraja yang dikenal karena adat dan kehidupan tradisional masyarakat dapat ditemukan di kawasan ini
[5] Achmad Rosadi. Perkembangan Paham Keagamaan Lokal Di Indonesia. (Jakarta:Puslitbang Kehidupan keagamaan  Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011) hal.190-191
[6] PHDI adalah singkatan dari Parisida Hindu Dharma Indonesia, PHDI adalah majelis umat Hindu Indonesia yang mengurusi kepentingan keagamaan maupun sosial.
[7] Achmad Rosadi. Perkembangan Paham Keagamaan Lokal Di Indonesia. (Jakarta:Puslitbang Kehidupan keagamaan  Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011) hal.192-193
[8] Achmad Rosadi. Perkembangan Paham Keagamaan Lokal Di Indonesia. (Jakarta:Puslitbang Kehidupan keagamaan  Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011) hal.189-190
[9] Rangga Wijaya dan Putri Raudya. Makalah Suku Toraja. Hal 4.
[10] Bonggakaradeng adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Indonesia.
[11] Kesu, Buntao’, Pantilang, Rongkong (Luwu), Pitu Ulunna Salu Karua Ba’bana Minanga, Duri, Bangkudu Ma’dandan ke Bala , Dangle. Semua itu adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Indonesia.
[12] http://titusbercerita.blogspot.co.id/2011/11/asal-mula-tana-toraja.html. Di akses pada tanggal 24 April 2016 pada pukul 10:50
[13]Achmad Rosadi. Perkembangan Paham Keagamaan Lokal Di Indonesia. (Jakarta:Puslitbang Kehidupan keagamaan  Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011) hal.194
[14] Achmad Rosadi. Perkembangan Paham Keagamaan Lokal Di Indonesia. (Jakarta:Puslitbang Kehidupan keagamaan  Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011) hal.196
[15] Tokapua ini adalah tingkatan pada orang Tana Toraja, golongan ini terdiri dari kaum bangsawan, pemimpin adat, dan pemuka masyarakat.
[16]Achmad Rosadi. Perkembangan Paham Keagamaan Lokal Di Indonesia. (Jakarta:Puslitbang Kehidupan keagamaan  Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011) hal.196
[17] Tominna adalah salah satu tokoh adat masyarakat Toraja yang dalam kepercayaan leluhur masyarakat Toraja yang disebut Aluk To Dolo berfungsi sebagai pendoa dan pemimpin pemberian sesajen.
[18]Achmad Rosadi. Perkembangan Paham Keagamaan Lokal Di Indonesia. (Jakarta:Puslitbang Kehidupan keagamaan  Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011) hal.197-198
[19] Aluk Todolo Kepercayaan Suku Toraja, Diakses Pada 22 April 2016, dari http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1020/aluk-todolo-kepercayaan-suku-toraja
[20] Neng Darol Afia, Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Perpustakaan Nasional, 1999), h.122.

[21] Neng Darol Afia, Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Perpustakaan Nasional, 1999), h.122.
[22] Upacara Adat Rambu Solo, Diakses Pada 22 April 2016, Dari  http://hasanuddin-airport.co.id/detail/wisata/upacara-adat-rambu-solo039-upacara-pemakaman--toraja.
[23] Pemakaman Khas Toraja Upacara Rambu Solo, Diakses Pada 22 April 2016, Dari http://www.gocelebes.com/pemakaman-khas-toraja-upacara-rambu-solo/.

[24] Neng Darol Afia, Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Perpustakaan Nasional,1999), h. 198-201.
[25] Robi panggara, konflik kebudayan, (Toraja: Sekolah Tinggi Theologia Jaffray,2014), h.301.
[26] Neng Darol Afia, Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Perpustakaan Nasional,1999), h.124.
[27]  Neng Darol Afia, Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Perpustakaan Nasional,1999), h.124.
[28] Dwi Hardianto, Makalah Tentang Toraja Diakses Pada 22 April 2016, Dari http://blaketupruk.blogspot.co.id/2010/01/makalah-tentang-toraja.html.
[29] Neng Darol Afia, Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Perpustakaan Nasional,1999), h. 204.
[30] Neng Darol Afia, Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Perpustakaan Nasional,1999), h. 125.
[31] Sebutan “tuhan” bagi masyarakat suku Toraja yang menganut paham Aluk To Dolo
[32] Johanes Raymond Hartanto. Wujud Sinkretisme Religi Aluk To Dolo Dengan Agama Kristen Protestan. Hal.11-14
[33] Rangga Wijaya dan Putri Raudya. Makalah Suku Toraja. Hal. 2
[34] Darul Islam adalah tentara Islam Indonesia, merupakan gerakan politik yang didirikan pada tanggal 7 Agustus 1949 oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di sebuah desa yang berada di Tasikmalaya.
[35] Rangga Wijaya dan Putri Raudya. Makalah Suku Toraja. Hal. 3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar