Rabu, 01 Juni 2016

Suku sakai


AGAMA TRADISIONAL ORANG SAKAI
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Agama-Agama Lokal


Disusun oleh:

Agus Berani                (11140321000035)
Zikri Sulthoni              (11140321000012)
Siti Syifa Fauziah        (11140321000024)


PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016


KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Segala puji dan rasa syukur kami panjatkan kehadirat ilahirobbi yang telah memberikan taufik, hidayah, dan inayah-Nya. Sehingga kami mendapatkan kesempatan, kemampuan, dan kemudahan untuk dapat menyelesaikan makalah ini. Kemudian sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada nabi kita yakni Nabi Besar Muhammad SAW dan kepada keluarganya, para sahabatnya, umumnya kepada umat islam yang taat kepadanya.
Dalam menyusun makalah ini kami menyadari sepenuhnya bahwa banyak sekali kekeliruan dan kesalahan, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun, karena kami menyadari masih banyak kekurangan, terutama keterbatasan dalam mencari referensi untuk dijadikan sumber pembahasan.Dalam menyusun makalah ini juga tidak akan selesai tanpa bantuan dan dukungan dari semua pihak. Maka dari itu Kami mengucapkan banyak terimakasihyang sebesar-besarnya kepada:
            1.Ibu Siti Nadroh,M.A,. selaku dosen kita.
            2. Teman-teman yang telah memberikan motivasi kepada kami.
Akhir kata penyusun mengucakn banyak terimakasih, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun maupun pembaca umumnya. 




PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nama Sakai diberikan oleh orang luar yang merendahkan suku bangsa itu. Suku bangsa Sakai dianggap sebagai salah satu masyarakat terasing di Provinsi Riau, dalam arti belum terjangkau oleh kegiatan pengembangan dan kemajuan budaya yang lain, mereka berdiam di beberapa lokasi pemukiman kembali (resetlement) di sekitar Kabupaten Bengkalis, seperti di Kandis, Balai Pungut, kota Kapur, Minas, Duri, Sungai Siak dan Sungai Apit bagian hulu. Pada tahun 1984 yang lalu diperkirakan populasinya berjumlah sekitar 6.500 jiwa atau sekitar 1.400 keluarga. Suku bangsa ini diperkirakan sebagai sisa-sisa kelompok ras Melayu yang berlebihan yang kemudian datang ke daerah ini, kemudian terdesak oleh gelombang Melayu yang lebih muda. Bahasa yang mereka guanakan memang dapat digolongkan ke dalam kelompok bahasa Melayu, tetapi dengan beberapa ciri tersendiri. Masyarakat ini umumnya masih melakukan kegiatan mata pencaharian berburu dan meramu di hutan-hutan atau menangkap ikan di sungai-sungai. Sebagian kecil telah mulai bercocok tanam di ladang. Selain itu ada pula yang meramu hasil hutan seperti rotan, dammar, dan menebang kayu untuk di barter dengan keperluan sehari-hari dari pedagang perantara. [1]
Sistem kekerabatan mereka kurang jelas, tetapi mungkin cenderung parental atau bilateral. Rumah tangganya terbentuk dari kesatuan beberapa keluarga inti neolokal. Pemukiman mereka terbentuk dari hunian beberapa keluarga inti, yang biasa dipimpin oleh seorang tokoh senior yang mereka sebut batin[2], setiap masalah dalam komuniti mereka putuskan dengan musyawarah dan mufakat. Menurut catatan pemerintah perovinsi pada masa sekarang sebagian dari masyarakat ini sudah memeluk agama baru. Tahun 1985 sekitar 400 orang memeluk agama Islam, dan sekitar 600 orang memeluk agama Kristen yang disebarkan oleh pendatang Batak. Selebihnya masih mempertahankan keyakinan lama mereka yang animistis.[3]

B. Rumusan Masalah
1.    Apa itu Suku Sakai?
2.    Bagaimana mengetahui Suku Sakai ?
3.    Cara dan keagamaan Suku Sakai?
4.    Bagaimana cara interaksinya?

C. Tujuan Masalah
1.    Mengetahui apa itu Suku Sakai.
2.    Dapat di ketahui apa itu Suku Sakai.
3.    Mengetahui bagaimana cara mereka beragama dan adata budayanya.
4.    Mengetahui cara interaksinya Suku Sakai.
  

PEMBAHASAN
A. Asal-Usul Orang Sakai di Kepulauan Riau
Suku Sakai adalah salah satu komunitas pedalaman di Nusantara yang menempati wilayah Kabupaten Bengkalis Sebelum pemekaran wilayah, ketiga kabupaten tersebut dulunya merupakan satu wilayah kabupaten, yakni Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Jumlah terbanyak orang Sakai di daerah tersebut berada di Dusun Paneso, Kelurahan Muara Basung, Kecamatan Mandau. Daerah ini merupakan lokasi permukiman orang Sakai yang tertua. Tak mengherankan jika daerah ini menjadi inti atau sentral dari semua kebudayaan orang Sakai. Terdapat cukup banyak versi mengenai riwayat bagaimana orang Sakai dapat sampai ke Mandau dan daerah lainnya di Kabupaten Bengkalis. Ada versi yang mengatakan bahwa orang-orang Wedoid dan Austroloid yang merupakan penduduk asli nusantara terdesak ke daerah-daerah pedalaman dan hutan oleh golongan ras Proto-Melayu (Melayu Tua) yang datang sekitar tahun 2.500-1.500 SM. Kedatangan golongan ras Deutro-Melayu (Melayu Muda) pada tahun 300 SM menyebabkan golongan ras Proto-Melayu tersisih ke daerah pedalaman. Orang-orang Melayu Tua yang tersisih ini kemudian bertemu dengan orang-orang ras Wedoid dan Austroloid yang telah terlebih dahulu tersingkir ke daerah pedalaman. Ketiga golongan ras tersebut kemudian bercampur-baur dan melakukan kawin campur. Hasil perkawinan campur inilah yang kemudian diyakini sebagai nenek moyang orang-orang Sakai.[4]
Adapun versi kedua menyebutkan bahwa orang-orang Sakai berasal dari Kerajaan Minangkabau yang berpusat di Pagarruyung. Menurut versi ini, orang-orang Sakai dulunya adalah penduduk Negeri Pagarruyung (yang berjumlah sekitar 190 orang) yang dimigrasikan oleh Raja Pagarruyung ke kawasan rimba belantara di sebelah timur negeri tersebut untuk mencari pemukiman yang baru karena penduduk negeri Pagarruyung pada waktu itu sudah sangat padat. Setelah menyisir kawasan hutan, rombongan tersebut akhirnya sampai di tepi Sungai Mandau dan mendirikan permukiman baru di daerah tersebut. Keturunan merekalah yang kemudian dianggap sebagai orang-orang Sakai. Ada pula versi yang mengatakan bahwa orang-orang Sakai bermigrasi ke pedalaman di daerah Mandau karena mereka tidak mau tunduk kepada kekuasaan kolonial Beland. Terlepas dari perbedaan alasan kepindahan orang-orang Sakai dari Pagarruyung ke Mandau tersebut, orang-orang Sakai meyakini bahwa leluhur mereka memang berasal dari Negeri Pagarruyung.[5]
Dalam catatan sejarah Riau (Suwardi MS, 1980) dinyatakan bahwa wilayah ini pernah berada di dalam kekuasaan kerajaan Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan Melayu. Di samping itu dengan kedatangan bangsa Cina, Portugis, Inggris dan Belanda yang berdagang, dan bahkan belanda yang sempat berkuasa menjajah Indonesia, terdapat sisa-sisa dari pengaruh kebudayaan Hindu, Islam, Cina dan Barat (termasuk kebudayaan Belanda) dalam teradisi-teadisi kebudayaan dari masyarakat Riau. Secara umum teradisi Islam adalah yang terkuat dibandingkan dengan teradisi-teradisi budaya lainnya yang datang dari luar. Dengan mengikuti Suwardi MS, sejarah Riau secara terminologi terdapat diuraikan secara singkat sebagai berikut: [6]
1.                  Masa pengaruh kerajaan Sriwijaya: masa ini berlangsung sampai abad ke-13, yaitu sampai dengan menjelang akhir keruntuhannya. Kerajaan di Muara Takus diduga merupakan kerajaan yang mewakili kerajaan Sriwijaya dalam menguasai kerajaan-kerajaan kecil yang ada di Riau pada waktu itu. Kerajaan-kerajaan kecil tersebut adalah kerajaan-kerajaan Melayu yang kemudian bebas dan berdiri sendiri setelah runtuhnya kerajaan Sriwijaya.
2.                  Masa kemerdekaan kerajaan-kerajaan melayu: suatu masa dimana kerajaan-kerajaan melayu di Riau tidak dikuasai oleh suatu kekuasaan yang lebih besar dari sesuatu kerajaan lainnya. Kerajaan tersebut adalah Bintan Tumasik di kepulauan Riau dan malaka dan Malaka di semenanjung melayu, Kandis-Kuantan, Gasib-Siak, Keriteng-Indragiri, Rokan, Segati, Pekantuan, Andiku-Nan-44-Kampar.
3.                  Masa Pudarnya Kerajaan-kerajaan Melayu: suatu masa dimana kerajaan-kerajaan kecil melayu tersebut berada di bawah kekuasaan kerajaan Malaka, yang kemudian direbut oleh kerajaan Johor. Sedangkan kerajaan Andiku-Nann-44 dan kerajaan kuantan berada di bawah pengaruh kekuasaan kerajaan Pagarruyumg-Minang kabau.
4.                  Masa kepunahan kerajaan-kerajaan Melayu: suatu masa dimana dibuat Kerajaan-kerajaan kecil Melayu tersebut punah, yang kepunahaannya tidak diketahui sebab-sebabnya. Kerajaan-kerajaan yang punah tersebut adalah: Kandis, Segati, Pekantua, dan Gasib.
5.                  Masa munculnya kerajaan-kerajaan baru: suatu masa munculnya kerajaan-kerajaan: Siak Sri Indra Pura, Indra Giri, dan Pelalawan.
6.                  Masa kerajaan Riua-Lingga dan kemudian menjadi jaya menggantikan kejayaan kerajaan Johor, tetapi kemudian menghilang dan punah kekuasaannya bersama dengan berkuasanya kekuasaan Belanda di Indoneisa.
7.                  Masa menjelang kemerdekaan Indonesia: yang dalam masa tersebut terdapat kerajaan-kerajaan kecil: Siak Indrapura, Indra Giri, Pelalawan, Rokan, Singingi, Kampar Kiri, dan Kuantan. Pada masa sekarang kerajaan-kerajaan ini sudah tidak ada lagi. Walaupun demikian gelar-gelar kebangswanan masih di gunakan oleh orang-orang yang menjadi keturunan mereka, dan gelar-gelar tersebut antara lain adalah Tengku.[7]
B. Dalam Zaman Pemerintahan Kerajaan Siak
            Para Batin Orang Sakai (baik perbatinan Lima maupun Perbatina Delapan) memperoleh surat pengangkatan menjadi Batin dari Raja Atau Sultan Siak. Dua buah kelompok Perbatinan tersebut masing-masing di perlakukan sebagai sebuah satuan administrasi kekuasaan yang jelas Wilayah kekuasaan masing-masing. pemerintahan kerajaan Siak menarik Pajak dan upeti dari Perbatinan-perbatinan tersebut. pajak dan upeti yang ditarik berupa berbagai hasil hutan dan anak gadis. Pajak-pajak tersebut dalam Wilayah Perbatinan Lima di serahkan kepada Raja Siak melalui tangan Penghulu (Kepala Desa) Mandau, sedangkan pajak-pajak dari perbatina Delapan diserahkan melalui tangan Penghulu (Kepala Desa) petani. Adapun Gadis-gadis orang Sakai diserahkan di Balai pungut, tempat parabangsawan beristirahat (Balai=Rumah atau tempat, dan Pungut= memungut memilih untuk di ambil) seorang batin memperoleh bagian kira-kira 10% dari pajak-pajak yang telah dikumpulkan dan di serahkan kepada rakyat tersebut. pada mulanya daerah ini termasuk dalam wilayah perbatinan Tengganau. Melelui hubungan mengangkat saudara (hubungan adik beradik) yang di kukuhkan antara pegawai istana kerajaan tersebut yang menjadi kepala pemukiman Balai Pungut dengan Batin Tengganau maka Balai Pungut dapat dijadikan dan dinaikan kedudukannya sama dengan sebuah kepenghuluan (Desa) yang setaraf kedudukannya dengan Tengganau. Menurut para informan, Kepala Desa Balai Pungut pada waktu itu berfungsi sebagai mata-mata dalam sistem keamanan Orang Sakai.
            Pengangkatan seorang Batin pada Zaman kerajaan Siak selalu dilakukan dengan suatu upacara Penobatan yang diikuti dengan pesta minum-minum selama Tujuh hari Tujuh malam. Tugas seorang Batin dalam Zaman Kerajaan Siak yang kemudian juga dilanjutkan dalam masa pemerintaha kerajaan Belanda.[8]
C. Dalam Zaman Penjajahan Belanda Dan Jepang.
            Karena orang Sakai hidup di tempat-tempat pemukiman yang terletak di daerah pedalaman dan selalu menjauhkan diri dari kehidupan bermasyarakat yang lebih luas, mereka tidak pernah atau jarang mempunyai kontak langsung dengan orang-orang Belanda atau kekeuasaan pemerintahan penjajahan Belanda yang ada di Riau. Meneurut keterangan beberapa orang Sakai yang telah lanjut Usia, mereka selalu menghindari orang asing baik orang Belanda maupun orang Melayu karna takut dan malu. Mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan khusus, seperti pembunuhan, penyiksaan, barulah Opas atau Polisi, yang merupakan alat kekuasaan pemerintahan Belanda menangani maslah ini sampai kedareh-daerah pedalaman orang Sakai.
Selama zaman pendudukan Japang kehidupan orang sakai tidak dipedulikan oleh orang Jepang mereka dibiarkan menjalani cara hidup mereka sebagaimana sebelumnya, dan bahkan mereka terbebas dari kewajiban membayar pajak ataupun kerja wajib, walaupun wilayah tempat kehidupan mereka dijadikan tempat kegiatan-kegiatan pembangunan jalan dan kegiatan-kegiatan pembangunan-pembangunan lainnya mereka melihat kekejaman tentara jepang terhadap para pekerja wajib (Romusha) yang di datangkan dari jawa. Sebagian kecil dari Romusha ini dapat melarikan diri dari rombongan-rombongan tersebut. mereka di tolong dan di beri makan serta di sembunyikan oleh orang-orang Sakai setempat. Di antara mereka yang di tolong ini kemudian hidup bersama dengan dan menjadi warga masyarakat orang Sakai yang menolongnya dan kawin dengan wanita orang setempat.[9]
D. Zaman Kemerdekaan Republik Indonesia
            Kalau selama zaman pemerintahan jajahan Belanda dan jepang di Indonesia itu nasib ornag Sakai tidak diperhatikan maka ketika Indonesia mulai merdeka menjadi sangat diperhatikan oleh Indonesia sama dengan daerah-daerah pedalaman lainnya. Pada Tahun 1954, pemerintah Indonesia melakukan upaya ingin membebaskan kehidupan masyarakat Sakai dari keterasingan atau isolasi. Kegiatan ini dinamakan dengan Civilisatie Masyarakat Terasing dengan kegiatan-kegiatan melakukan inventarisasi jumlah penduduk dan cara-cara hidup mereka. Pada Tahun 1963, sebagai hasil lebih lanjut dari Civilisatie di dirikan Pos PMT (Pemukiman Masyarakat Terasing) di Muara Basung oleh Kantor Inspeksi Social Riau. Pos PMT di Muara Basung di dirikan di hutan yang sudah didirikan. Bangunan yang pertama di bangun adalah Kantor dan dua buah Rumah untuk petugas bangunan. Pada Tahun 1964 muali di bangun perumahan untuk penduduk orang Sakai yang akan di mukimkan perumahan yang di bangun sebanyak 30 buah, dan bersamaan dengan itu para petugas lapangan mulai mendatangi rumah-rumah penduduk yang tinggal di Ladang-ladang mereka, dalam kelompok-kelompok kecil 2 atau 3 Rumah, di tepi-tepi sungai di sekitar Muara Basung dalam radius 17 meter. Ketika pada Tahun 1965 perumahan tersebut selesai di bangun, dan penduduk di sekitar Muara Basung sudah siap masuk ke pemukiman samapai dengan permulaan Tahun 1970. Jumlah yang tercatat pada tahun tersebut sebanyak 68 keluarga. Masing-masing keluarga tersebut menerima tanah garapan seluas 32x80 meter persegi. Selama Satu Tahun mereka diberi bekal hidup secara Cuma-cuma oleh pemerintah, baik berupa bahan makanan pokok, pakaian, peralatan dapur mereka jug diberi peralatan sederhana untuk petani (pacul dan parang). Pemerintah juga menyediakan pelayanan kesehatan serta di berikan sebuah pesawat Televisi (dengan tenaga Batrai) yang dapat di nikmati secara bersama pada petang hari. Sejak Tahun1963 di Muara Basung telah didirikan sebuah sekolah yang bernama persiapan Sekolah Dasar yang terdiri sebuah ruang dan seorang Guru dengan muridnya 16 orang di selenggarakan oleh Departemen Sosial dan kemudian oleh Departemen pendidikan dan kebudayaan. Pada Tahun1967 ruang kelas tersebut roboh. Akhirnya para warga dan departemen social ingin memperbesar dan memperbanyak ruang kelas karena ada tambahnya murid berjumlah 65 orang.
            Nama pemukiman masyarakat terasing (PMT) Pada Tahun 1976 diganti namanya dengan Pembinana Kesejahtraan Masyarakat Terasing (PKMT). kelompok-kelompok masyarakat tersing yang telah dimukimkan dan dibina adalah di PKMT Buluh Kasap (1977), PKMT Sialang Rembon (1979), PKMT Kandis (1980) dalam zaman pemerintahan Repubilk Indonesia kelompok-kelompok orang Sakai yang tidak mau di mukimkan dan di bina di tempat-tempat pemukiman dibiarkan tinggal ditempat-tempat pilihan mereka masing-masing. [10]
E. Kepercayaan dan Magi Orang Sakai
Salah satu diantara ciri-ciri yang dimiliki orang Sakai dianggap oleh orang Melayu atau oleh golongan suku lainnya sebagai ciri-ciri orang Sakai, adalah agama mereka yang diselimuti oleh keyakinan pada “animisme”, kekuatan magi, dan tenung. Dalam kenyataannya walaupun mereka telah memeluk agama Islam tetapi “agama asli” mereka tetap diyakini. Orang Sakai dimuara Basung memeluk agama Islam. Tetapi hanya sebagian saja yang betul-betul menjalankan salat lima kali dalam satu hari dan berpuasa dalam bulan Ramadan. Mereka yang saat ini justru kebabanyakan adalah anak-anak muda. Sebagian diantara mereka yang taat menjalankan ibadah tersebut tergolong dalam dua kelompok keagamaan, yaitu tarekat Naksabandiyah dan Ahlusunnah Wal Jamaah.
Tarekat Naksbandiyah merupakan Aliran dalam Agama Islam yang telah berabad-abad berkembang di Riau dan Pulau Sumatra. Pada umumnya, dan di Riau ajaran ini berpusat di kerajaan Siak. Tarekat Naksabandiah menuntut pemeluknya agar melakukan sejumlah upacara ritual diluar kewajiban yang melakukan oleh para pemeluk Aliran Sunnah yang antar lain mencakup kegiatan-kegiatan seperti berdzikir, berpuasa dan lain-lainnya. mereka yang telah menjalankan upacara ritual di bawah bimbingan seorang guru atau Khalifah dan di anggap telah menamatkan nya dengan baik di namakan Khilafah. Karena oleh para pemeluk tarekat tersebut seorang khalifah dilihat sebagai orang yang banyak pengetahuan mengenai Agama Islam dan sebagai orang yang mempunyai kekuatan gaib dan sanggup mengatur dan menguasai makhluk-makhluk gaib yang berada disekitar kehidupan manusia, maka di mata pemeluk tarekat kedudukan sosial seorang Khalifah itu tinggi.[11] Sebagian Orang Sakai tidak terlibat dalam komflik-komflik tersebut, karena mereka tidak merasa menjadi bagian yang sebenarnya dari salah satu dua Aliran tersebut. mereka masih lebih percaya terhada kepada kepercayaan-keparcayaan asli nenek moyang mereka, bahwa lingkungan hidup mereka di huni oleh makhluk gaib yang dinamakan “antu” atau “hantu”. Antu itu ada yang baik dan ada yang buruk. Mereka tinggal dan menjadi penghuni Pepohonan, Sungai-sungai, Rawa-rawa, Wilayah hutan, Lading, tempat pemukiman, Rumah dan sebaginya. Seperti halnya dengan manusia, maka antu-antu ada yang hidup menyendiri dan ada juga yang hidup dalam satu kesatuan masyarakat yang kecil dan besar atau kerajaan. Dalam konsep budaya orang sakai kerajaan antu berada di tengah-tengan rimba belantara yang belum pernah di rabah manusia ataupun di rabah manusia di lihat dan di terawang. Orang Sakai percaya bahwa antu-antu hidup dalam dunia mereka sendiri yang berbeda dengan dunia manusia. Bedanya dengan manusia adalah bahwa manusia tidak dapat melihat antu akan tetapi antu-antu dapat melihat manusia dan bahkan mengganggu mereka. Hanya orang-orang tertentu yang memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk melakukan upacara sacral yang dapat berhubungan, memanggil serta menyeluruh antu-antu untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan yang di khendakinya.
Kemudian mengenai masalah penyakit yang mereka derita: kemalangan dan kematian, sebagian besar di sebabkan oleh bagian antu. Walaupun demikan tidak ada rasa takut terhadap antu, kecuali anak-anak keci yang biasanya di takut-takuti orang tuanya atau oleh mereka yang lebih tua kalau mereka selalu menangis atau tidak menurut perintah. Ketidak takutan mereka terhadap antu tersebut di sebabkan oleh adanya keyakinan bahwa antu-antu itu memang ada di Alam sekeliling tempat mereka hidup, dan bahwa ada mantra-mantara dan upacara-upacara ritual yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit-penyakit oleh antu tersebut.  
            Dalam konsep mereka, arwah dari orang-orang mati juga menjadi bagian dari antu-antu tersebut, arwah dari orang-orang yang meninggal ditakuti oleh anggota-anggota keluarganya yang masih hidup, terkecuali anak kecil atau bayi yang baru lahir ketakutan itu di sebabkan oleh adanya keyakinan bahwa arwah yang baru saja meninggal sebenarnya hidup di dunia lain tetapi berada di tempat anggota keluarganya yang masih hidup.[12] oleh karena itu, bila ada orang yang meninggal dunia maka keluarga yang di tinggalkan mati keluar meninggalkan rumah kediaman mereka selama satu minggu setelah si mati dikubur, dan supaya arwah si mati tidak menempel terus pada diri mereka maka caranya adalah menyebrangi sungai, karen orang mati tidak menyebrangi sungai.[13]
C. Upacara Adat Dan Keagamaan Suku Sakai
Suku Sakai merupakan komunitas asli suku pedalaman yang hidup di daratan Riau. Mereka selama ini sering dicirikan sebagai kelompok terasing yang hidup berpindah-pindah. Dari tempat tinggal, masyarakat Sakai dapat dibedakan menjadi Sakai Luar dan Sakai dalam. Sakai dalam merupakan warga Sakai yang masih hidup setengah menetap dalam rimba belantara, dengan mata pencarian berburu, menangkap ikan dan mengambil hasil hutan. Sakai Luar adalah warga yang mendiami perkampungan berdampingan dengan pemukiman-pemukiman Puak Melayu dan Suku lainnya. Propinsi Riau didiami masyarakat suku terasing yang terdiri dari 5 suku yang termasuk kategori masyarakat terasing. Kelima Suku terasing tersebut adalah:
Ø Suku Laut
Ø Suku Hutan
Ø Suku Talang Mamak
Ø Suku Bonai
Ø Suku Akit
Suku Sakai tergolong dalam Ras Veddoid dengan ciri-ciri rambut keriting berombak. Kulit coklat kehitaman, tinggi tubuh laki-laki sekitar 155 cm dan perempuan 145 cm. Untuk berhubungan satu sama lain, Orang Sakai menggunakan Bahasa Sakai. Banyak diantara mereka mengujar logat-logat bahasa batak Mandailing, Bahasa Minangkabau dan bahasa Melayu. Dilingkungan masyarakat Suku Sakai masih ditemukan upacara yang berkaitan dengan daur hidup. Pelaksanaan upacara tersebut dilaksanakan secara turun temurun yang masih dipertahankan oleh masyarakat suku Sakai. Adapun upacara tersebut antara lain:
Ø Upacara kematian
Sebelum orang Sakai memeluk Agama Islam atau Kristen maka jika ada seorang Sakai meninggal dunia, maka mayatnya di letakan di tengah-tenga rumah. Para kerabat dan tetangga satu “perbatinan” diberitahu. Jika seorang “pak kuneng” atau saudara laki-laki ibu tertua dari “ego” maka si “ego” harus segera mengambil sebilah parang dan dengan parah tersebut melukai keningnya sampai darahnya mengucur. Bila yang meninggal dunia seorang yang massih muda maka “pak kuneng” dari si mati melakukan hal yang sama. Darah yang mengucur tersebut harus diteteskan di muka dan dada si mayat.[14]
Ø Upacara kelahiran
Ø Upacara pernikahan
Ø Upacara penobatan batin (orang yang dituakan atau pemimpin suku) baru.
Selain upacara yang berkaitan dengan lingkungan hidup ada juga upacara yang berkaitan dengan peristiwa alam diantaranya,
Ø Upacara menanam padi
Ø Upacara menyiang
Ø Upacara sorang sirih
Ø Upacara tolak bala.
Pada saat ini masyarakat suku Sakai sudah mengalami perubahan sebagian sudah memeluk agama Islam dan memperoleh pendidikan mulai Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Masyarakat suku Sakai tidak hanya bekerja sebagai peramu tetapi sudah ada yang bekerja sebagai guru, pegawai negeri, pedagang, petani dan nelayan. Walaupun sudah mengalami perubahan dalam masyarakat Sakai tetapi masih berkaitan dengan upacara daur hidup masih melekat dalam kehidupan mareka. Masyarakat berpandangan apabila tidak melaksanakan upacara tersebut akan mendapatkan musibah menurut kepercayaan mereka yaitu akan diganggu oleh makhluk-makhluk gaib yang dinamakan antu (hantu).[15]
D. Interaksi Kepercayaan Orang Sakai Dengan Agama-Agama Lain
     Sebagian dari orang Sakai di kecamatan Mandau ada yang memeluk agama keristen di samping mayoritas agama keristen walaupun jumlah mereka yang memeluk agama Keristen amat sedikit bila di bandingkan dengan yang memeluk agama Islam, Tetapi Tokoh-Tokoh Islam Di Kecamatan Manda umeng khawatirkan perluasan jumlah mereka. Kemudian masyarakat Sakai yang memeluk Agama Kristen ini tetap menjalankan cara-cara kehidupan mereka sebagai Orang Sakai yaitu berladang; sedangkan bagian lainnya mengubah mata pencaharian mereka menjadi pedagang atau buruh. Yang menarik adalah bahwa kalau sehari-hari Orang-orang Sakai beragama Kristen itu tampak kumal tetapi pada hari Minggu, pada waktu pergi ke gereja, mereka tampak berpakaian rapih. Karena itu Agama Orang Sakai itu bersifat lokal dan hanya berlaku untuk tingkat lokal, baik dalam pengertian wilayah maupun corak kegiatannya yang khusus lokal yang tidak tercakup di dalam dan oleh ajaran-ajaran Agama besar Islam dan Kristen. Salah satu perwujudannya adalah cara pengobatan yang mereka namakan “dikir” (yang tidak sama “zikir” dalam Islam).[16]
         




DAFTAR PUSTAKA
Hidayah Zulyani, Ensiklopedia: Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: PT pustaka LP3ES, 1997.
http://www.knowledge-leader.net/2011/03/definisi-agama-di-indonesia-sebuah-dilema-agama-pribumi/
Suparlan Supardi, orang sakai di riau: Masyarakat Terasing Dalam Masyarakat Indonesia. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia : 1995.
























[1] Zulyani Hidayah, Ensilopedia, Suku Bangsa di Indoneisa.( Jakarta: PT Pustaka LP3ES, 1997) Hal. 330)
[2] Kepala suku
[3] Zulyani Hidayah, Ensiklopedia: Suku Bangsa di Indonesia.(Jakarta: PT pustaka LP3ES, 1997) Hal. 331
[4] http://melayu.online.com/ind/culture/dig/2597/umah-rumah-panggung-tradisional-orang-sakai-di-riau, pada waktu 03:36, hari kamis
[5] http://melayu.online.com/ind/culture/dig/2597/umah-rumah-panggung-tradisional-orang-sakai-di-riau, pada waktu 03:36, hari kamis
[6] Parsudi Suparlan, Orang Sakai di Riau, (Jakarta, Yyasan Obor Indonesia, 1995) hal. 40
[7] Parsudi Suparlan, Orang Sakai di Riau, (Jakarta, Yyasan Obor Indonesia, 1995) hal. 41
[8] Parsudi Suparlan, Orang Sakai di Riau, (Jakarta, Yyasan Obor Indonesia, 1995) hal. 82
[9] Parsudi Suparlan, Orang Sakai di Riau, (Jakarta, Yyasan Obor Indonesia, 1995) hal. 83-84
[10] Parsudi Suparlan, Orang Sakai di Riau, (Jakarta, Yyasan Obor Indonesia, 1995) hal. 84-88
[11] Parsudi suparlan, orang sakai di riau: Masyarakat Terasing Dalam Masyarakat Indonesia. (Jakarta. Yayasan Obor Indonesia 1995) hal. 194-196
[12] Parsudi Suparlan, Orang Sakai di Riau, (Jakarta, Yyasan Obor Indonesia, 1995) hal. 197-199
[13] Parsudi Suparlan, Orang Sakai di Riau, (Jakarta, Yyasan Obor Indonesia, 1995) hal. 200
[14] Parsudi Suparlan, Orang Sakai di Riau, (Jakarta, Yyasan Obor Indonesia, 1995) hal. 188-189
[15]http://onlineallarticles.blogspot.co.id/2011/10/makalah-adat-istiadat-suku-sakai.html
[16] Parsudi Suparlan, Orang Sakai di Riau, (Jakarta, Yyasan Obor Indonesia, 1995) hal. 201-211

Tidak ada komentar:

Posting Komentar