Rabu, 01 Juni 2016

Suku Dayak


AGAMA TRADISIONAL ORANG DAYAK

Makalah
Diajukan untuk Memenuhi Nilai Matakuliah Agama-Agama Lokal




Dosen : Siti Nadroh, MA.
Disusun oleh :
Kelompok 1 ( IVA )
                Adiba Zahrotul Wildah        ( 11140321000025 )
                Firda Devy Rahmawati        ( 11140321000039 )
                Syamsul Arifin                     ( 11140321000034 )


JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016





KATA PENGANTAR

            Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat, karunia, serta kasih sayang terbesar-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Agama Tradisional Orang Dayak”.
            Makalah ini disusun bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama-Agama Lokal. Selain itu sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan dan memotivasi mahasiswa/i dalam menyusun karya tulis.
            Kami menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dan keterbatasan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sekalian demi memperbaiki makalah ini untuk penulisan lain di kemudian hari.
            Semoga makalah ini dapat mendatangkan manfaat bagi kita semua. Sekian dan terimakasih.



Ciputat, 12 Maret 2016


Penulis





DAFTAR ISI

 

HALAMAN JUDUL .......................................................................................    i

KATA PENGANTAR ......................................................................................   ii

DAFTAR ISI ....................................................................................................  iii

A.    Pendahuluan .....................................................................................................   1
B.     Asal Usul Orang Dayak ...................................................................................   1
C.     Mite dan Magi Orang Dayak ...........................................................................   5
D.    Struktur Keagamaan Orang Dayak
(Faham Kaharingan dan Ajarannya) ................................................................  11
E.     Upacara Adat Kematian dan Penguburan Orang Dayak ..................................  23
F.      Kesenian Suku Dayak ......................................................................................  26
G.    Interaksi Kepercayaan Orang Dayak dengan Agama-Agama Lain..................  30
H.    Lampiran Gambar ............................................................................................  33
I.       Kesimpulan ......................................................................................................  38

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................  39






PEMBAHASAN


A.    Pendahuluan
Indonesia adalah nama Negara kepulauan di Asia Tenggara yang terletak diantara benua Asia dan benua Australia. Indonesia terkenal sebagai Negara yang memiliki berbagai macam suku, budaya, adat istiadat, tradisi, dan bahasa.
Pada kesempatan kali ini kelompok kami akan membahas tentang Suku Dayak yang merupakan salah satu suku asli Indonesia. Mulai dari asal-usul, mite, magi, struktur keagamaan, dan interaksi suku Dayak dengan agama-agama lain.

B.     Asal Usul Orang Dayak
Kata “Dayak” pada awalnya digunakan untuk menyebut penduduk asli di pedalaman Pulau Kalimantan. Terutama untuk membedakan dengan masyarakat di pesisir yang umumnya memeluk agama Islam. Di Kalimantan Timur penduduk asli yang memeluk agama Islam dan amat dipengaruhi oleh sistem pemerintahan kerajaan dan kesultanan zaman dulu dikenal dengan sebutan Halok atau Halo’ atau orang Kutai. Di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah penduduk asli yang beragama Islam cenderung menggolongkan diri ke dalam kelompok suku bangsa Banjar.[1] Sedangkan istilah “Dayak” merupakan sebutan bagi orang Dayak yang non-Islam.


Menurut pengertian dan penjelasan komunitas Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu, kata “Suku” artinya kaki, yang mengandung makna bahwa setiap manusia berjalan dan berdiri diatas kakinya masing-masing untuk mencapai tujuan sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan masing-masing. Kata Dayak berasal dari kata “Ayak” atau “Ngayak” yang artinya memilih, menyaring, bisa juga diartikan banyaknya kepercayaan manusia. Makna kata Dayak disini adalah menyaring, memilah, dan memilih mana yang benar dan mana yang salah.[2]
Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati, namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra, Jawa, dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam dan lambat laun mereka hidup terpencar-pencar tersebar ke seluruh pelosok wilayah Kalimantan, bahkan adapula yang mendiami pesisir pulau Kalimantan. Semboyan orang Dayak adalah “menteng ueh mamut” yang artinya seseorang yang memiliki kekuatan, gagah berani, serta tidak mengenal menyerah atau pantang mundur.
            Kelompok-kelompok pertama yang masuk wilayah Kalimantan adalah kelompok Negrid dan Weeddid, yang sekarang sudah pupus. Kemudian disusul oleh kelompok yang lebih besar, yang disebut Melayu Proto. Perpindahan ini berlangsung selama 1000 tahun, antara 3000-1500 SM. Lebih lanjut disebutkan bahwa sekitar lima ratus tahun sebelum Masehi berlangsung lagi suatu perpindahan besar dari daratan Asia ke pulau-pulau Indonesia oleh kelompok Melayu Deutro.
Suku Dayak termasuk pada kelompok yang bermigrasi secara besar-besaran dari daratan Asia. Suku bangsa Dayak merupakan keturunan daripada imigran yang berasal dari wilayah yang kini disebut Yunnan di Cina Selatan. Dari tempat itulah kelompok kecil mengembara melalui Indo China ke Jazirah Malaysia yang menjadi loncatan untuk memasuki pulau-pulau di Indonesia. Selain itu, ada kelompok yang memilih batu loncatan lain, yakni melalui Hainan, Taiwan dan Filipina. Perpindahan itu tidak begitu sulit, karena pada zaman glazial (zaman es) permukaan laut sangat turun (surut), sehingga dengan perahu-perahu kecil sekalipun mereka dapat menyeberangi perairan yang memisahkan pulau-pulau itu. Migrasi menjadi salah satu sebab adanya berbagai sifat yang berbeda dalam kelompok-kelompok suku Dayak, baik dalam bahasa maupun ciri-ciri budaya mereka.[3]
Pada tahun 1977-1978, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian Nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras Mongoloid dari Asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”.
            Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut “Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389. Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak datang bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).
            Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat yang sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).
            Tidak hanya dari Nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan, seperti bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643.         Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci), dan peralatan keramik.[4]
Menurut Tjilik Riwut, suku Dayak terbagi dalam tujuh suku besar dan beberapa suku kecil, yaitu
1.      Dayak Ngaju
a.       Dayak Ngaju, terbagi dalam 53 suku kecil,
b.      Dayak Ma’anyaan, terbagi dalam 8 suku kecil,
c.       Dayak Dusun, terbagi dalam 8 suku kecil,
d.      Dayak Tawangan, terbagi dalam 6 suku kecil.
2.      Dayak Apu Kayan
a.       Dayak Kenya, terbagi dalam 24 suku kecil,
b.      Datak Kayan, terbagi dalam 10 suku kecil,
c.       Dayak Bahau, terbagi dalam 26 suku kecil.
3.      Dayak Iban atau Heban (Dayak Laut) terbagi dalam 11 suku kecil.
4.      Dayak Klemantan (Dayak Darat)
a.       Dayak Klemantan, terbagi dalam 47 suku kecil,
b.      Dayak Ketungan, terbagi dalam 40 suku kecil.
5.      Dayak Murut
a.       Dayak Murut, terbagi dalam 28 suku kecil,
b.      Dayak Idaan (Dusun), terbagi dalam 6 suku kecil,
c.       Dayak Tidung, terbagi dalam 10 suku kecil.
6.      Dayak Punan
a.       Dayak Basap, terbagi dalam 20 suku kecil,
b.      Dayak Punan, terbagi dalam 24 suku kecil,
c.       Dayak Ot, terbagi dalam 5 suku kecil,
d.      Dayak Bukar, terbagi dalam 3 suku kecil.
7.      Dayak Ot-Danum, terbagi dalam 61 suku kecil.[5]
Meskipun terbagi kepada ratusan sub suku, kelompok suku Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khasCiri-ciri tersebut ialah rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau (senjata tajam sejenis parang), sumpit beliong (kapak Dayak), pandangan terhadap alam, mata pencarian (berdagang, berburu, dan berladang), dan kesenian.

C.    Mite dan Magi Orang Dayak
1.      Mite Orang Dayak
            Di dalam mite orang Dayak, legenda, dan cerita-cerita rakyat itu akan ditemui berbagai macam dewa-dewa, roh-roh ghaib, kekuatan-kekuatan sakti, berbagai tata kehidupan dan sebagainya. Sikap dan pandangan hidup suku Dayak sebagian besar berdasarkan tradisi yang diwarisi dari nenek moyang. Tradisi ini meliputi doktrin dan mite dalam memberikan pedoman yang samar-samar, misalnya untuk membedakan antara dewa-dewa dan roh-roh ghaib. Roh-roh ghaib ini pun tidak berbeda dengan roh-roh para leluhur dan semuanya harus dipuja.
            Untuk melihat kenyataaan-kenyataan di atas, akan dikemukakan salah satu contoh mengenai mitos orang Dayak, yaitu kepercayaan tentang kejadian alam, manusia, dan benda sakti.
            Hampir disetiap suku bangsa di Indonesia ini, mempunyai pandangan yang berbeda-beda mengenai kejadian alam dan manusia. Hal ini tidak terkecuali pada suku Dayak yang terdapat pula berbagai variasi, menurut suku dan kelompoknya masing-masing. Variasi-variasi tersebut dapat dipelajari melalui cerita-cerita atau mitologi suku Dayak, diantaranya adalah mitologi tentang Ranying Pohatora dan Peres, Batang Garing, Mandau, dan sebagainya.
a.       Cerita tentang Ranying Pohatora dan Peres
            Berdasarkan mitologi suku Dayak, manusia itu diciptakan setelah Mahatalla selesai menciptakan alam semesta dengan segala isinya. Setelah itu Peres[6] datang dan mendapatkan manusia, terdiri dari pria dan wanita yang telah diciptakan oleh Ranying Pohatora[7] dari telur yang ditemukan dalam pengembaraannya. Namun pada saat itu ciptaan Ranying Pohatora belum sempurna karena belum mempunyai nafas dan tulang. Untuk mendapatkan nafas dan tulang itu, Ranying Pohatora kembali mengembara untuk mendapatkan nafas dan tulang dari batu.
            Pada saat itulah Peres datang, lalu dia membujuk Andin Ramban (istri Ranying Pohatora) agar mau memberikan nafas yang tidak kekal, yaitu nafas dari angin dan tulang dari kayu. Hal ini menurut Peres akan menguntungkan manusia itu sendiri, karena dapat hidup dan mati, kemudian hidup dan mati kembali, begitu seterusnya.
            Mendengar penjelasan Peres itu maka Andin Ramban setuju, lalu mereka bekerja sama untuk menghidupkan manusia itu. Disaat mereka sedang menghidupkan manusia itu, datanglah Ranying Pohatora, dia tidak dapat marah karena diantara mereka ada istrinya sendiri. Meskipun manusia saat itu sudah mempunyai nafas dan tulang itupun belum sempurna, karena belum memiliki gigi, kuku, dan rambut. Dengan jiwa besar Ranying Pohatora menyempurnakan wujud manusia tersebut.
b.      Tentang Batang Garing
            Cerita ini amat populer dikalangan suku Dayak, yang mengisahkan tentang dunia yang dijadikan oleh Ranying Mahatalla Langit dan Bawing Jata Balawang Bulau. Pertama-tama Mahatalla melepaskan lawung (destar) yang terbuat dari emas dengan bertahtakan berlian lalu dilemparkannya dan dari destar itu terjamahlah Batang Garing[8]. Tak lama kemudian pohon itu berubah dan berdaunkan segala macam permata, seperti emas, intan, berlian, dan batu-batu mulia lainnya.
            Setelah batang garing terbentuk, lalu Jata melepaskan burung tinggang betina dari sangkar emasnya, kemudian burung itu terbang dan hinggap diatas pohon itu dan memakan buah pohon itu. Melihat kenyataan itu, Mahatalla melemparkan kerisnya yang bertahtakan emas dan permata. Kemudian menjelma menjadi burung tinggang jantan, yang dinamakan Tambariang lalu dia memakan buah pohon itu pula.
            Kehadiaran kedua ekor burung  di atas pohon batang garing itu, menimbulkan kecemburuan dan keirian dikalangan mereka, lalu timbullah perkelahian yang cukup dahsyat dan menurut kepercayaan suku Dayak perang ini disebut sebagai “perang suci”. Akibat perkelahian ini, makin hancurlah pohon batang garing secara berkeping-keping dan dari kepingan-kepingan itulah terjadinya manusia pria dan wanita.
            Selain daripada itu terjelma pula dua bahtera permata dan masing-masing mereka melayari satu. Bahtera pertama, dinamakan Putir Kahukup Bungking Garing (putri dari kepingan garing) dipergunakan oleh yang wanita. Bahtera kedua, bernama Manjamei Limut Garing Balua Unggom Tinggang (sari pohon kehidupan yang dipatahkan oleh tinggang) dipergunakan oleh pria. Akibat pertempuran itu, kedua tubuh burung itupun hancur lebur dan dari bagian-bagian tubuh itu terciptalah alam semesta, bersama dengan isi-isinya, seperti hutan, rimba, gunung, bukit, sugai, laut, dan seluruh hasil kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
            Setelah kedua manusia itu tercipta, keduanya lalu melakukan pengembaraan di tengah-tengah laut, sampai pada akhirnya si lelaki meminta si wanita menjadi istrinya. Si wanita bersedia menjadi istrinya dengan beberapa persyaratan :
1)      Si lelaki harus membuatkan sebuah dataran untuk tempat tinggal mereka
2)      Agar di atas tanah tersebut didirikan rumah tempat mereka hidup.[9]
c.       Mandau
Mandau merupakan senjata khas suku Dayak. Dalam kehidupan sehari-hari senjata ini tidak lepas dari pemiliknya. Artinya, kemanapun pemiliknya pergi, mandau selalu dibawanya karena mandau juga berfungsi sebagai simbol seseorang (kehormatan dan jatidiri). Dahulu mandau memiliki mitos yang dipercaya masyarakat Dayak mengandung unsur magis dan hanya digunakan dalam acara ritual tertentu seperti perang, pengayauan, perlengkapan tarian adat, dan perlengkapan upacara. Mandau dipercaya memiliki tingkat-tingkat keampuhan atau kesaktian. Kekuatan saktinya itu tidak hanya diperoleh dari proses pembuatannya yang melalui ritual-ritual tertentu, tetapi juga dalam tradisi pengayauan (pemenggalan kepala lawan).
Ketika itu (sebelum abad ke-20) semakin banyak orang yang berhasil dikayau, maka mandau yang digunakannya semakin sakti. Biasanya sebagian rambutnya digunakan untuk menghias gagangnya. Mereka percaya bahwa orang yang mati karena dikayau, maka rohnya akan mendiami mandau sehingga mandau tersebut menjadi sakti.[10]
2.      Magi Orang Dayak
            Suku Dayak dikenal dengan ilmu magisnya. Ilmu magis ini diperoleh dari berbagai sumber yaitu mangaji (berguru), balampah (bertapa), katuahan (keberuntungan), nupi (mimpi), minyak, dan ada yang memang memiliki ilmu magis sejak lahir.
a.       Mangaji atau Basurah
            Mangaji atau Basurah adalah salah satu cara untuk mendapatkan ilmu magis Dayak dari seorang guru dengan membayar syarat yang disebut Sarat Panduduk. Bentuk pembayaran syarat ini  tentu mengikuti cara tertentu, intinya pembayarannya tidak boleh lebih mahal atau lebih murah dari jumlah pembayaran pada saat sang guru mengaji dengan gurunya. Jika terjadi penyimpangan oleh sang guru baik tentang jumlah pembayaran maupun pemberian ilmu magis kepada muridnya, hal ini akan mengakibatkan kematian. Sang guru akan mengajarkan ilmu kepada muridnya sesuai jenis ilmu magis yang diinginkan dan sesuai pula dengan tingkat pembayaran.
b.      Balampah
            Suku Dayak percaya dengan balampah dapat bertemu dengan Dewa, Sangiang, ataupun arwah orang-orang yang sudah meninggal. Biasanya suku Dayak melakukan balampah dengan tujuan untuk pergi berperang, mengaji atau akan pergi merantau. Tempat yang dipilih biasanya tempat yang dianggap keramat seperti kuburuan keramat, hutan angker, pahewan, pangantuha, kuburan orang mati saat melahirkan, kuburan bayi yang mati ketika baru lahir, air terjun, pohon beringin, gua batu, dan sebagainya.
            Balampah atau bertapa dilakukan dengan dua cara yaitu atas dasar mangaji atau atas dasar keinginan sendiri. Balampah atas dasar mengaji biasanya dilakukan oleh murid bersama gurunya. Sang guru akan menentukan tempat dan waktu yang tepat. Balampah dengan cara ini jauh lebih mudah dibandingkan balampah atas dasar keinginan sendiri, karena disini sang murid hanya duduk bersemedi mengikuti petunjuk gurunya. Sang guru akan memanggil roh-roh yang diperlukan, setelah roh-roh ini datang maka sang guru akan menjadi saksi antara muridnya dengan roh tersebut. Jika sang murid beruntung maka roh-roh itu akan memberikan ilmu magisnya secara langsung sesuai permintaan.[11]
            Balampah atas keinginan sendiri, biasanya harus mencari tahu syarat-syarat apa saja yang diperlukan pada daerah tertentu itu dari seorang juru kunci atau tokoh adat di sekitar tempat keramat tersebut. Untuk waktu balampah, akan ditentukan oleh orang tersebut sendiri. Orang yang balampah ini akan pergi secara diam-diam tanpa diketahui oleh seorangpun sambil membawa persembahannya yang akan diberikan kepada Dewa atau Sangiang, biasanya pada sekitar jam 8 malam menuju tempat yang telah ditentukannya. Disaat menjalani tapa, biasanya ia akan mendapat banyak godaan dari roh-roh ghaib di sekitar. Roh-roh tersebut akan datang dalam wujud binatang seperti ular, ulat bulu, lipan, kalajengking, dan suara-suara yang tidak diketahui asalnya. Jika orang tersebut berhasil melewati godaan tahap pertama maka roh-roh ini selanjutnya akan muncul dalam rupa binatang-binatang buas seperti harimau, macan, dan lain-lain. Bila orang ini mampu bertahan maka akan muncul sosok seperti manusia yang tinggi besar, kadang hanya mendengar suara yang tidak kelihatan orangnya dan kadang juga datang dalam bentuk nenek moyang yang telah meninggal. Bila balampah sudah selesai maka pulangnya akan diantarkan oleh Dewa, Sangiang, ataupun arwah leluhur.
            Di Kalimantan Tengah tempat yang terkenal untuk balampah adalah Bukit Batu dan Bukit Bondang di Puruk Cahu. Konon jika ingin balampah di puruk Bondang harus membawa hati manusia yang baik.
c.       Katuahan atau Kanuahan
Ilmu yang diperoleh secara kebetulan disebut Katuahan atau keberuntungan. Peristiwa ini tergolong langka, misal seseorang mendapatkan kumala lipan, mendapat pelanduk bertanduk, kijang putih, ular berkepala dua, dan benda-benda aneh lainnya yang dipercaya dapat memberikan kekuatan magis.
d.      Nupi atau Mimpi
Orang Dayak sangat percaya bahwa nupi atau mimpi mempunyai arti khusus atau dapat juga dikatakan sebagai pertanda yang diberikan Ranying, Dewa, Malaikat, Sangiang kepada manusia. Suku Dayak juga meyakini bahwa dengan mimpi, mereka dapat bertemu dengan roh nenek moyang. Biasanya mimpi yang memiliki arti akan berupa sebuah teka-teki. Orang yang mendapatkan ilmu melalui mimpi, ia akan didatangi didalam mimpinya oleh roh dan memberikan petunjuk di suatu tempat terdapat benda magis yang memiliki kemampuan khusus. Atas petunjuk yang cukup jelas yang diterima melalui mimpi tersebut, orang yang bermimpi hanya tinggal mengambil benda pemberian itu untuk dimanfaatkan.[12]
e.       Minyak dan Kayu
            Ilmu Dayak juga dapat diperoleh melalui macam-macam minyak, ada yang dikenal dengan minyak bintang dan ada juga minyak besi yang memberikan kekebalan, minyak main, dan minyak garak digunakan oleh orang yang sudah luluskuntau atau dikenal dengan istilah batamat. Ada sangat banyak jenis minyak yang digunakan oleh Suku Dayak. Minyak-minyak ini ada yang ditelan dan ada juga yang digantung di mandau atau diikat dipinggang sebagai Penyang. Selain minyak ada juga jenis kayu-kayuan yang digunakan sebagai ajian, misal kayu kepot sala, kayu manang, dan lain-lain.
f.       Ilmu Magis Sejak Lahir
            Ilmu magis sejak lahir adalah ilmu yang dibawa seseorang sejak lahirnya, ini sesuatu yang jarang terjadi. Bagi kalangan Dayak Benuaq dan Tunjung salah satu yang diyakini adalah apabila anak lahir bungkus atau terbungkus dengan selaput dalam bahasa Dayak Ngaju disebut Kalubut atau Suut dalam bahasa Benuaqnya, maka konon ia memiliki kembaran seekor buaya. Untuk membuka selaputnya harus dengan hati-hati menggunakan padi atau ilalang dan tata cara tertentu. Jika bungkus ini dibuka dengan benda lain maka ilmu yang seharusnya didapat oleh bayi tersebut menjadi tidak berfungsi atau gagal. Konon orang yang memiliki ilmu yang dibawa sejak lahir ini maka tidak ada ilmu magis yang mampu menyamai atau menandinginya. Menurut penelitian peristiwa langka ini banyak terjadi pada bayi-bayi yang lahir premature. Hal ini merupakan kejadian yang terjadi diantara 1 banding 80.000 bayi.[13]

D.    Struktur Keagamaan Orang Dayak (Faham Kaharingan dan Ajarannya)
Kaharingan berasal dari bahasa Sangen (Dayak kuno), yang berasal dari kata “Haring” yang berarti ada dan tumbuh atau hidup, dilambangkan dengan Batang Garing atau Pohon Kehidupan. Pohon ini berbentuk seperti tombak dan menunjuk tegak ke atas. Bagian bawah pohon terdapat guci berisi air suci yang melambangkan Jata atau dunia bawah. Antara pohon sebagai dunia atas dan guci sebagai dunia bawah merupakan dua dunia yang berbeda tapi diikat oleh satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling membutuhkan. Tempat bertumpu Batang Garing adalah Pulau Bantu Nindan Tarung yaitu pulau tempat kediaman manusia pertama sebelum manusia diturunkan ke bumi. Dengan demikian orang-orang Dayak diingatkan bahwa dunia ini adalah tempat tinggal sementara bagi manusia, karena tanah air manusia yang sebenarnya adalah di dunia atas yaitu di Lawu Tatau.[14]
Kaharingan merupakan agama asli suku Dayak, yang biasa disebut dengan agama Hindu Kaharingan. Agama ini berbeda dengan agama Hindu Bali, tetapi masih merupakan bagian dari agama Hindu Dharma yang telah diakui sebagai salah satu agama di Indonesia. Agama Kaharingan memuja roh-roh ghaib, roh-roh leluhur mereka, ataupun roh-roh lainnya. Mereka juga percaya bahwa seluruh benda-benda dan tumbuh-tumbuhan yang ada di sekelilingnya berjiwa dan berperasaan seperti manusia, serta adapula diantara benda-benda tersebut yang mereka percayai mempunyai kekuatan sakti.
Penamaan Hindu Kaharingan tampaknya tidaklah dimaksudkan agar mereka menyembah dewa-dewa orang Hindu Bali seperti Dewa Siwa, Brahma, Wisnu, melainkan mereka menyembah roh-roh ghaib dan roh-roh nenek moyang mereka sendiri. Demikian juga halnya suku Dayak, tidak ikut merayakan upacara-upacara agama Hindu Bali, seperti Nyepi, Galungan, Kuningan, Saraswati, dan lain sebagainya, bahkan mereka tidak mengenal sama sekali istilah Sang Hyang Widhi, yaitu sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa dikalangan penganut Hindu Bali. Mereka hanya mengenal Tuhan mereka adalah Ranying Hatalla Langitatau Raja Tontong Matanandu Kanarohan Tambing Kabanteran Bulau (penguasa alam atas) dan Bawing Jata Balawang Bulau (penguasa alam bawah).[15]
Agama Kaharingan percaya pada satu Tuhan yang disebut dengan Ranying Hatalla(Tuhan Yang Maha Esa). Upacara Basarah merupakan upacara sembahyang bagi umat Kaharingan yang dilakukan setiap hari Senin dan Kamis, waktunya pada sore hari yaitu di kala matahari akan tenggelam. Tempat pertemuan semacam tempat ibadah disebut dengan Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Sejumlah buku suci yang memuat ajaran dan seperangkat aturan adalah:
1.      Panuturan Karak Tungkup (awal dari segala kejadian) sejenis kitab suci
2.      Talatah Basarah atau Kandayu (kumpulan doa)
3.      Tawar (petunjuk tata cara memina pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras)
4.      Pemberkatan perkawinan
5.      Buku penyumpahan atau pengukuhan untuk acara pengambilan sumpah jabatan.[16]
Menurut Koentjaraningrat, agama kaharingan memiliki empat unsur pokok yaitu[17] :
1.      Emosi keagamaan
            Emosi keagamaan ini memiliki unsur-unsur yang dapat mempertinggi emosi keagamaan atau aktifitas keagamaan yaitu yang pertama, adanya kesadaran akan makhluk-makhluk halus yang merupakan roh-roh nenek moyang mereka yang belum dibebaskan dari ikatan dunia melalui upacara tiwah. Karena menurut kepercayaan orang Dayak, orang yang sudah meninggal dan belum diadakan upacara tiwah, maka rohnya masih berada di alam dunia bahkan di sekitar kerabatnya. Kemudian setelah diadakan upacara tiwah, barulah liau memiliki tempat tinggal tetap.
            Kedua, perasaan takut akan krisis dalam hidup. Hal ini timbul akibat ketidakberdayaan mereka dalam menghadapi masa-masa krisis dalam kehidupannya, misal ketika seorang wanita hamil kehilangan bayi di dalam kandungannya, tanpa tahu sebab atau akibat yang dapat dilihat. Akibatnya wanita tersebut mengalami shock berat dan mengalami pendarahan fatal yang mengakibatkan wanita itu meninggal.
            Ketiga, kepercayaan terhadap gejala-gejala alam. Gejala-gejala alam seperti banjir besar, gempa bumi, dan sebagainya tidak dapat diterangkan dan dikuasai oleh akal fikiran mereka. Seperti yang pernah terjadi di daerah Tanjung Jariangau yaitu banjir besar yang berhasil menghanyutkan rumah-rumah penduduk dan menghilangkan beberapa nyawa. Keadaan ini mendorong penduduk Tanjung Jariangau yang masih hidup untuk pindah ke desa Pemantang.
            Keempat, kepercayaan terhadap kekuatan sakti. Mereka percaya akan adanya kekuatan sakti dalam alam yang dapat menyusahkan dan menggangu hidup mereka. Tetapi kekuatan itu juga dapat dipengaruhi dan dikendalikan oleh ilmu ghaib, seperti yang digunakan oleh para balian atau dukun untuk diminta bantuannya, misal untuk menyuburan tanah pertanian, menyembuhkan penyakit, mendatangkan hujan, atau mengusir hujan.
            Kelima, adanya emosi solidaritas dalam masyarakat. Dalam hal ini yang dimaksud adalah emosi kesatuan antar masyarakat menggelora, misalnya pada masa pelaksanaan upacara keagamaan, terutama upacara tiwah. Upacara ini wajib dilaksanakan seluruh anggota keluarga, bahkan masyarakat sekeliling juga ikut terlibat didalamnya sehingga terjadi kesatuan dan persatuan antar keluarga dan masyarakat.
            Keenam, kepercayaan akan adanya dewa tertinggi. Suku Dayak percaya akan adanya dewa atau roh ghaib yang menduduki posisi tertinggi yang mendiami alam atas dan alam bawah.[18] Ada empat nama dewa atau roh ghaib yang mendiami alam atas yang menjadi sebutan orang Dayak, yaitu
a)      Bungai atau Tingang, istilah ini berasal dari nama burung yang dianggap mempunyai kesaktian. Nama ini menurut bahasa asli suku Dayak.
b)      Raja Tontong MatanandanKanarohan Tambing Kabanteran Bulan(Raja Penjuru Matahari, Pangeran kelengkapan Bulan. Nama ini juga menurut bahasa asli suku Dayak.
c)      Mahatara.Sebutan Mahatara mendekati istilah Hindu yaitu Maha-Batara, yang menurut istilah Suku Dayak Ot-Danum disebut Pohatora.
d)     Mahatalla, yang dalam bahasa sehari-hari disebut HatalaLahatala, atauAlatala. Istilah tersebut mendekati istilah Islam yaitu Allah Ta’ala.[19]
            Sedangkan yang mendiami alam bawah disebut Basuhun Bulau Rabia yang berarti sungai emas, yang mengalirkan segala kekayaan dan kebahagiaan. Roh-roh tersebut dikenal baik oleh suku Dayak. Nama lain yang biasa disebut juga oleh orang Dayak untuk roh ini adalah:
a)      Tambon, yang berwujud naga atau ular sakti yang melambangkan kelamin betina sebagai perlambang kesuburan tempat memohon berkah, misalnya untuk mendapatkan keturunan bagi orang yang belum mempunyai anak.
b)      Bawin Jata Balawang Bulau (wanita Jata berpintu permata). Dalam bahasa sehari-hari disebut Jata dan menurut istilah suku Dayak Maanyan disebutDiwata.[20]
2.      Sistim kepercayaan
            Sistim kepercayaan suku Dayak meliputi kepercayaan kepada dunia ghaib, kekuatan-kekuatan sakti, penyakit dan kematian, kehidupan sesudah mati, dan mitologi.
            Di dalam dunia ghaib ini suku Dayak percaya akan adanya makhluk-makhluk ghaib yang tidak dapat terjangkau oleh panca indra manusia dan kekuatan-kekuatan sakti yang tidak bisa dikuasai oleh manusia biasa, yang bisa hanyalah para balian, dukun, ataupun para tukang sihir. Makhluk ghaib yang sakti itu dinamakan ganan.
Berikut roh-roh yang dekat dengan kehidupan manusia yaitu :
1)         Ranying Hatalla
Merupakan sumber dari segala sesuatu yang ada dan tidak ada, yang merupakan zat pertama dan terakhir mendiami alam semesta.
2)         Jata
Merupakan zat yang diciptakan dari bayangan Ranying Hatalla di bawah langit (bumi). Jata dapat memberi berkat dan rezeki yang berlimpah kepada manusia. Jata bersama dengan Ranying Hatalla, menciptakan bumi selama 7 hari, yaitu: (a) hari pertama menciptakan bumi; (b) hari kedua menciptakan air; (c) hari ketiga menciptakan pohon atau tumbuhan; (d) hari keempat menciptakan laut atau lautan; (e) hari kelima menciptakan awan atau angkasa dan pelangi; (f) hari keenam menciptakan langit, bulan, binatang, matahari, dan segala isinya; dan (g) hari ketujuh menciptakan cakrawala langit, siang, malam, memisahkan bumi, langit, dan laut dengan segala isinya.
3)         Raja Tuntung Tahaseng
Raja Tuntung Tahaseng bersemayam di atas langit dan oleh Ranying Hatala diberi tugas untuk memperhatikan umur manusia.
4)         Janjahulung Tatu Riwut
Janjahulung Tatu Riwut bersemayam di atas langit dan bertugas untuk memperhatikan nafas manusia, dia terkenal dengan sebutan roh nafas.
5)         Gamala Tajan Tanggara
Roh ini bertugas memperhatikan nafas manusia dan dikenal juga sebagai roh angin ribut atau topan.
6)         Sangsaria Anak Nyahu Menteng
Bertempat di langit, bertugas memelihara dan menguasai guntur dan kilat.[21]
7)         Tamanang Tarai Bulau
Tinggal di atas langit dan bertugas membantu ketiga saudaranya (Janjahulung Tatu Riwut, Gamala Tajan Tanggara, Sangsaria Anak Nyahu Menteng).
8)         Raja Mandurut Untung
Tinggal di atas langit dan bertugas memelihara, memberi dan memperhatikan rezeki manusia.
9)         Raja Pamise Andau
Bersemayam di atas langit dan bertugas menghitung-hitung hari atau waktu manusia hidup sampai meninggal dunia.
10)     Manyamai Malinggar Langit
Dia adalah seorang manusia laki-laki pertama yang hidup di muka bumi. Dia diciptakan dalam keadaan telanjang, Jata-lah yang memberinya pakaian. Dia bertugas memelihara dan menguasai segala sesuatu makhluk (binatang dan tumbuhan) yang ada di atas tanah dan segala sesuatu yang berada di bawah langit.
11)     Kamelu Baja Humat Hintan
Dia merupakan kembaran Manyamai Malinggar Langit yang memiliki tugas yang sama dengan kembarannya. Bedanya Kamelu Baja Humat Hintan adalah seorang wanita.
12)     Indu Sangumang
Dia adalah roh dari anak Nabi Sulaiman yang bersemayam di hutan darat. Dia menampakan wujud dirinya menyerupai manusia laki-laki bermata bulat, dia bersifat baik dan suka menolong orang-orang yang tersesat di dalam hutan. Diapun dapat memberi rezeki kepada manusia.
13)     Kangkalingen Ranying
Dia adalah roh penguasa air, bisa dikatakan sebagai pembantu Jata dalam memelihara makhluk-makhluk yang hidup di dalam air.[22]
14)     Raja Palimbahan
Roh ini adalah seorang laki-laki yang meninggal yang berasal dari Banjarmasin, sifatnya baik dapat mengobati orang sakit dan memberi rezeki.
15)     Bawin Urang Urei
Dia adalah roh penunggu hutan. Wujudnya seperti perempuan, sifatnya baik dan dapat memberi rezeki kepada orang yang meminta pertolongannya.
16)     Raja Salungkit Bulau
Roh ini adalah roh orang laki-laki yang meninggal dunia, berasal dari Danau Pantau. Roh ini dapat memberi rezeki dan mengenali penyakit.
17)     Raden Pampang
Roh ini adalah roh orang yang meninggal, berasal dari Banjarmasin. Dia roh yang baik, dapat memberikan rezeki, dapat mengenali, dan menyembuhkan penyakit, dan dapat memberikan pertolongan bagi orang yang minta tolong.
18)     Putri Ulak Nayang
Roh ini adalah istri dari Raden Pampang, keduanya bersemayam di dalam air. Roh ini bersifat lemah lembut, suka menolong, dapat memberi rezeki, dan dapat menyembuhkan penyakit.
19)     Eteng
Roh ini adalah roh orang yang meninggal dunia, berasal dari Danau Pantau. Dia berwujud perempuan yang lucu dan sifatnya bisa baik dan juga bisa mencelakakan.[23]
20)     Nyahu Papamu Taliwu Santep Dandang Tajahan
Roh ini adalah roh penjaga kampung. Dia tinggal di dalam rumah kecil yang dinamakan Pasah Pangatuhu yang dibuatkan oleh umat Kaharingan yang ditempatkan di sebelah kanan pekarangan rumah untuk melindungi penduduk kampung dari roh-roh jahat.
21)     Pampahilep
Roh ini adalah roh penunggu hutan yang berwujud gadis cantik berambut panjang. Dia dapat bersifat baik dan jahat.
22)     Nyaring
Roh ini merupakan roh yang paling jahat (ganas) yang berwujud seperti laki-laki berambut merah berbadan besar dan tinggi. Sifatnya menyakiti manusia dan berada di dalam hutan.
23)     Bawin Kamiak (Kangkamiak)
Roh ini adalah roh penunggu hutan, roh ini termasuk jahat, dapat menyesatkan dan menggoda laki-laki karena wujudnya merupakan seorang wanita cantik yang memiliki kuku tajam.
24)     Bawin Kulang Kulit
Roh ini adalah roh jahat penunggu hutan. Wujudnya menyerupai wanita cantik, memiliki kuku panjang, bisa menyesatkan, dan menyakiti orang saat berada di hutan. Dia juga dapat menampakan wujudnya berupa burung kulang kulit.
25)     Bawin Kalabawa
Roh ini adalah roh jahat yang tinggal di hutan. Dia menyerupai wanita cantik dan menumpangi burung kalabawa. Bagi umat Kaharingan, burung kulang kulit, kalabawa, dan burung kumiak dianggap sebagai binatang totem[24].
26)     Bawin Kariau
Roh penunggu hutan ini bersifat baik, suka menolong orang, dan dapat memberi petunjuk bagi orang yang tersesat di hutan. Dia menyerupai wanita berbadan kecil dan sering terlihat berjalan di hutan.[25]
27)     Bahutai
Roh ini adalah roh ganas, jahat, dan dapat menyakiti orang di hutan. Dia dapat bersahabat dengan orang-orang jahat pula untuk menyakiti orang lain. Dia menyerupai anjing hitam atau merah berbadan tinggi dan besar.
28)     Buhai
Roh ini adalah roh yang meninggal yang berasal dari Basirih. Roh ini dapat bersifat baik dan jahat.
29)     Jin Rambe Hai
Jin Rambe Hai adalah roh halus yang berada di muara-muara sungai, sifatnya dapat baik maupun jahat. Pada malam hari roh ini mendatangi kampung yang ditandai oleh suara lolongan anjing.
30)     Rajan Pali
Roh ini adalah roh ghaib penunggu kuburan, dia memiliki sifat baik dan jahat.
31)     Gila Lontar
Roh ini merupakan roh orang yang meninggal dunia yang berasal dari hulu sungai Kapuas. Roh ini berada di darat. Sifatnya baik, bisa menolong orang sakit dan memberi kemampuan luar biasa kepada orang yang disurupi.[26]
            Dari beberapa penjelasan mengenai roh-roh yang memiliki kemampuan dan sifat-sifat berbeda terlihat bahwa manusia terutama umat Kaharingan harus menjaga hubungan baik dengan roh-roh yang memiliki sifat baik maupun jahat. Menjaga hubungan baik dapat dilakukan melalui upacara, saji-sajian, pengorbanan, serta taat dan patuh akan anjuran maupun larangan yang berlaku sesuai adat masyarakat terutama umat Kaharingan tersebut.  
            Orang Dayak juga melakukan hubungan baik dengan roh-roh ghaib guna mengambil hatinya supaya terhindar dari penyakit dan kematian. Karena mereka percaya dan meyakini bahwa penyakit dan kematian merupakan dua hal yang sangat erat dengan roh-roh ghaib. Namun upaya ini ada kalanya berhasil dan tak sedikitpun yang gagal, sehingga kematian tidak dapat terhindarkan.
            Suku Dayak juga mempercayai bahwa kehidupan di dunia merupakan kehidupan pertama dan masih ada kehidupan selanjutnya yaitu alam baka. Dengan demikian apa yang terjadi setelah manusia meninggal, kemana roh mereka akan pergi, bagaimana mencapai kehidupan dunia dan akhiratnya, serta makna dari upacara-upacara kematian yang dilakukan semuanya sesuai dengan ajaran agama Kaharingan.
3.      Sistim upacara keagamaan
            Menurut kepercayaan suku Dayak, makhluk-makhluk ghaib dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: (a) roh ghaib yang menduduki tempat utama, seperti Ranying Hatalla Langit, Bawin Jata Balawang Bulau, serta beberapa pembantunya; (b) roh-roh ghaib yang bersifat baik, seperti roh-roh nenek moyang mereka sendiri dan roh-roh orang yang meninggal dengan tenang atau mayat yang sudah dilakukan upacara tiwah; (c) roh-roh ghaib yang bersifat jahat merupakan roh-roh yang tidak tahu darimana asalnya, roh-roh para leluhur yang mati penasaran, dan orang-orang yang meninggal yang terlambat atau tidak dilakukan upacara tiwah.[27]
            Pengelompokkan tersebut diterapkan dalam bagaimana mereka memperlakukan roh-roh ghaib tersebut dalam pelaksanaan upacara keagamaan. Misalnya saat mereka melakukan upacara penghormatan terhadap roh-roh utama (dewa-dewa), biasanya upacara ini dilakukan secara besar-besaran yang didukung oleh peralatan upacara yang mereka anggap memiliki kekuatan sakti, seperti gong, beras, dan pelaksanaan upacara pengorbanan beberapa ekor binatang besar, seperti kerbau, sai, ataupun babi. Upacara ini dilakukan berdasarkan rasa cinta, hormat,bakti, dan segan.
            Penghormatan kepada roh-roh baik, termasuk roh nenek moyang dapat dilakukan sendiri-sendiri tanpa perantara balian atau basir, dengan diikuti sajian-sajian berupa makanan. Upacara ini biasanya dilakukan sebagai ucapan terimakasih kepada roh-roh tersebut karena berkat pertolongannya, mereka terhindar dari berbagai macam mala petaka.
            Sedangkan penghormatan terhadap roh-roh jahat dilakukan berdasarkan perasaan takut, ngeri, dan memandang rendah. Upacara ini dilakukan dalam rangka memohon agar roh-roh tersebut tidak mengganggu atau bisa juga mereka memberikan hukuman terhadap roh-roh tersebut atas perbuatan jahatnya. Sajiannya dalam upacara ini biasanya berupa makanan, seperti lemang, ketan, telor, dan sebagainya.[28]
4.      Kelompok keagamaan
            Kelompok keagamaan dalam suku Dayak terwujud melalui adanya pelaksanaan upacara tiwah. Karena upacara tiwah ini merupakan upacara yang wajib dilaksanakan oleh semua anggota keluarga, upacara tiwah ini menjadi pendorong terwujudnya kelompok keagamaan. Dalam pelaksanaan upacara ini terjadi pertemuan antara banyak orang, baik dari semua anggota keluarga maupun orang-orang sekitar. Kesempatan itu mereka gunakan untuk melepaskan kerinduan dengan bersenda gurau dan membicarakan masalah-masalah keluarga, seperti perkawinan, warisan, dan masalah keluarga lainnya.[29]
Dengan demikian struktur keagamaan orang Dayak asli yaitu agama Kaharingan yang percaya akan adanya roh-roh ghaib, kekuatan sakti, kematian, kehidupan setelah kematian, dan kepercayaan akan tanda-tanda tertentu seperti tanda-tanda yang diperlihatkan oleh hewan, alam, mimpi, maupun lainnya. Umat Kaharingan sering mengikut sertakan balian sebagai pemimpin dan perantara dalam pelaksanaan keagamaan, misal dalam pelaksanaan upacara-upacara tertentu, sembahyang, dan kegiatan lainnya yang tidak bisa dilakukan oleh manusia biasa.
           
E.     Upacara Adat Kematian dan Penguburan Orang Dayak
Bagi masyarakat Dayak yang tinggal di pedalaman Kalimantan, memiliki dua makna dalam penyelenggaraan upacara kematian, yakni makna religius dan makna sosial. Makna religius adalah sebagai penghormatan terakhir  dan pensucian arwah sekaligus mengantarkannya ke dunia yang abadi. Sedangkan makna sosial sebagai media berinteraksi antar sanak saudara, tetangga, dan masyarakat sekelilingnya.
Bagi orang Dayak, orang yang mati diadakan dua macam penguburan, yaitu upacara kematian biasa (ritus penguburan) dan pesta kematian yang disebut tiwah[30]. Upacara kematian dimaksudkan untuk memimpin liau[31] ke tempat peristirahatan sementara, yaituBukit Pasahan Raung. Para liau menunggu hingga diadakan upacara kedua yaitu upacaratiwah. Upacara tiwah ini tidak boleh diabaikan, karena apabila diabaikan akan mendatangkan bencana kepada keluarga yang masih hidup. Upacara ini merupakan upacara pemakanan terakhir yaitu dengan memakamkan tulang-tulang sang wafat di tempat peristirahatan tetap yang disebut sandong.[32]
1.      Upacara Kematian Biasa (ritus penguburan)
Upacara kematian biasa atau penguburan sementara merupakan langkah penguburan orang yang telah meninggal dunia sebelum dilakukan upacara tiwah oleh anggota keluarga. Mayat orang yang telah meninggal, tidak langsung dikuburkan, melainkan disemayamkan di dalam rumah selama tiga sampai tujuh hari. Hal ini dimaksudkan supaya para kerabat yang datang bisa bertemu dengan mayat tersebut. Mayat tersebut diletakkan di dalam peti mati di tengah-tengah ruangan rumah dengan kepala menghadap ke sebelah barat dan kaki ke sebelah timur.
Setelah tiba masanya mayat dimakamkan, maka balian memulai acara dengan membacakan mantera dengan suara seperti bernyanyi yang sangat sedih. Dalam nyanyian itu biasanya balian mengisahkan kebaikan-kebaikan yang pernah dilakukan oleh mayat tersebut selama masa hidupnya. Sebelum peti mati diusung ke luar rumah, semua keluarga dekat diminta untuk memegang tangan balian seperti orang bersalaman, barulah mayat diberangkatkan dari rumah.
Prosesi pemakaman diawali dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh balian. Kemudian peti mati dimasukkan ke dalam lubang dan bersamaan dengan dimasukkannya pula kepala-kepala manusia hasil pengayauan[33] atau kepala binatang sebagai pengganti.
Selesai prosesi penguburan, anggota keluarga dari mayat tersebut bergembira ria, perbuatan demikian dimaksudkan agar mayat dapat disambut oleh para roh di alam baka dengan suasana yang meriah. Selain itu, upacara bergembira ria ini dimaksudkan pula agar keluarga yang ditinggalkan tidak merasa sedih dan kesepian. Upacara ini dilakukan selama tiga hari tiga malam atau sampai tujuh hari tujuh malam.
Pada hari terakhir, upacara gembira itu ditutup oleh balian dengan pembacaan doa. Kemudian diadakan upacara penyembelihan binatang dan makan bersama diantara orang sekampung. Upacara ini dimaksudkan sebagai ucapan terimakasih atas perlakuan mereka terhadap prosesi penguburan si mayat. Serta mengundang para roh dan menggembirakan mereka agar bersedia menerima kedatangan arwah si mayat di alam roh.[34]
2.      Pesta Kematian (tiwah)
Pesta kematian tiwah sangat membutuhkan biaya yang sangat besar karena kesakralan upacara ini membutuhkan berbagai macam perlengkapan yang tidak sedikit jumlahnya. Upacara ini dilakukan selama tujuh hari tetapi persiapannya dilakukan dari bulan-bulan sebelumnya, seperti mendirikan tempat upacaranya, membuat tempat pemakaman tetap (sandong), belanja perlengkapan, menumbuk padi, dan persiapan lainnya. Hal ini dilakukan karena pelaksanaan upacara tiwah tidak hanya dilakukan untuk satu orang wafat tetapi dilakukan untuk berpuluh-puluh orang wafat, karena semakin banyak upacara ini dilakukan oleh banyak orang wafat semakin ringan biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing keluarga orang wafat. Dengan ini membuat tamu yang akan mengikuti upacara tiwah dari masing-masing anggota orang wafat terkumpul dengan jumlah besar sehingga jamuan yang disediakanpun harus dalam jumlah besar.
Tiga hari sebelum tiwah dimulai, orang menjemput sang wafat yang mula-mula dimakamkan untuk sementara dengan suatu pawai. Tulang-tulang sang wafat yang berada di dalam peti dibawa ke balai. Setelah peti-peti jenazah ditempatkan di balai, seluruh desa dan sungai dinyatakan najis. Dimulailah pali[35] selama tujuh hari. Perbatasan desa dan sungai diberi rintangan rotan sebagai tanda bahaya. Berikut urutan acara pesta kematian tiwah selama tujuh hari:
Hari pertama, perempuan mempersiapkan makanan untuk hari berikutnya. Untuk keperluan ini, seekor kerbau disembelih. Hari pertama disebut juga hari pesta perempuan. Menjelang malam dimulailah upacara yang disebut magah liau, yaitu menghantarkanpanyalumpok liau[36] ke alam akhirat. Upacara ini terdiri dari seorang imam sebagai perantara Tempon Telon yang menjadi pemimpin liau dalam melakukan perjalanan ke alam akhirat. Upacara ini berakhir pagi hari, menandakan waktu bahwa jiwa para wafat sudah tiba di lewu liau[37].
Hari kedua, merupakan hari korban manusia yang disebut andau kabalik. Korban manusia ini diganti dengan korban kerbau. Korban ini dimaksud untuk membuat jiwa budak itu melayani para wafat di alam baka.
Hari ketiga, dilakukan magah liau karahang yaitu pemakaman tulang-tulang para wafat ke dalam makam yang tetap. Para wafat dimandikan di dalam kolam air hidup untuk mendapatkan hidup yang baru di dalam dunia nenek moyangnya, kemudian dibersihkan menggunakan kain bersih.
Hari keempat, diperuntukkan bagi para perempuan lagi. Mereka mempersiapkan makanan untuk pesta berikutnya, yaitu puncak tiwah.
Hari kelima, yang disebut andau laboh, perkabungan dan pali berakhir. Seluruh suku diundang untuk berpesta, juga mereka yang sudah tidak berada di alam orang hidup. Untuk berkumpul, orang yang sudah mati, biasanya diwakili oleh orang-orang yang memakai topeng. Hari ini dimulai dengan malalohan yaitu pemberian hadiah dari masyarakat desa tetangga, biasanya mereka membawa beras, tuak, buah kelapa, binatang untuk korban, uang, dan sebagainya.
Hari keenam dan ketujuh adalah hari pensucian semua orang yang ikut serta di dalam perayaan tiwah ini. Hari itu dinamakan Hari Menggetu Rutas Pekasindus, yaitu hari melepaskan segala kesialan dan seluruh halangan-halangan yang mungkin timbul, sehubungan dengan kepergian liau atau arwah menuju alam baka. [38]

F.     Kesenian Suku Dayak
Suku Dayak memiliki berbagai macam kesenian, seperti seni tari, seni suara, seni lukis, dan kesusasteraan. Kesenian suku Dayak tidak hanya bernilai seni tetapi juga mengandung nilai-nilai ritual keagamaan. Seperti halnya seni tari yang sering dilakukan saat pelaksanaan upacara-upacara keagamaan yang biasanya tarian ini merupakan bentuk penyambutan dan penghormatan atas kehadiran roh-roh yang dihadirkan dalam upacara keagamaan tersebut. Seni suara sama halnya dengan seni tari yang sering digunakan dalam pelaksanaan upacara keagamaan. Dalam seni suara, kemerduan suara dan keindahan lirik tidak merupakan unsur utama, tetapi yang dianggap utama adalah nilai-nilai sakral yang terkandung dalam nyanyian itu. Selain seni tari dan seni suara, adapula seni lukis dan kesusasteraan yang juga memiliki nilai-nilai sakral dalam ritus keagamaan. Berikut macam-macam seni tari, seni suara, seni lukis, dan kesusasteraan dalam masyarakat suku Dayak:   
1.      Seni Tari
a.       Tari Manasai
Tarian ini merupakan tari gembira, diikuti irama gendang penuh semangat. Tari ini digunakan untuk menyambut kedatangan tamu-tamu agung, ataupun menyambut pahlawan-pahlawan yang menang perang. Tarian ini mengandung makna kesyukuran terhadap para dewa dan roh-rh nenek moyang yang telah memberi kesempatan kepada masyarakat dan tamu-tamu atau para pahlawan dari medan perang untuk bertemu dan bergembira ria. 
b.      Tari Karang Dedeo
Tarian ini dilakukan pada saat upacara perkawinan atau upacara-upacara gembira lainnya. Tarian ini dilakukan sambil mengelilingi tihang potong atau lengan bulau, diikuti dengan nyanyian lagu karang dedeo yaitu seperti pantun-pantun yang dilagukan oleh para penari secara bergiliran atau bersahut-sahutan.
c.       Tari Bukan
Tarian ini ditarikan oleh pemuda dan pemudi yang berjumlah 1-7 oang orang dengan menggunakan alat bambu dan tombak. Tarian ini digunakan untuk menyambut para panglima yang baru pulang dari medan perang.[39]
d.      Tari Gumbeuk
Tarian ini diadakan khusus untuk upacara kematian, yaitu pada upacara tiwah. Dalam tarian ini terkandung makna ritual dan doa-doa agar si mati mendapat perlindungan dari para dewa dan roh-roh nenek moyang.
e.       Tari Kanjan
Tari ini dilakukan pada upacara-upacara kematian, termasuk dalam upacara tiwah. Tarian ini bersifat sakral dan dibawakan oleh orang tua-tua, baik laki-laki ataupun perempuan. Tarian ini bersifat doa keselamatan atau kerekatan terhadap sesuatu yang dilakukan dengan mengelilingi sangkaraya huma (janur bambu dalam rumah), sangkaraya petak (janur bambu di tanah), sapundu (tempat mengikatkan ternak), dan pantar (kayu panjang sebagai tanda bagi orang yang akan ditiwahkan).  
f.       Tari Giring-giring
Tarian ini merupakan tarian yang cukup popular, bahkan sudah dikenal oleh masyarakat internasional. Pada awalnya alat yang digunakan sangat sederhana yaitu 2 potong bambu kering yang diisi batu kerikil yang akan menimbulkan bunyi sesuai gerakan penarinya. Namun dalam perkembangannya, bunyi-bunyian tersebut dihasilkan oleh kumpulan gelang yang terbuat dari logam yang melingkar di tangan dan kaki para penari, serta melingkari tombak atau mandau yang dipegang para penari.[40]
Tari-tarian tersebut merupakan beberapa tarian yang sering dilakukan oleh suku Dayak dalam kegiatan-kegiatan tertentu yang memiliki makna tersendiri, baik dalam gerakan, bunyi-bunyian yang mengiringi, dan peralatan yang digunakan. Tari-tarian tersebut bersifat monoton karena gerakan dari masing-masing tarian hampir dikatakan sama. Kemiripan gerakan dalam tarian-tarian suku Dayak disebabkan oleh latar belakang tari-tarian tersebut merupakan refleksi dari upacara ritus keagamaan orang Dayak.
2.      Seni Suara
a.       Nyanyian Kandan
Nyanyian ini dinyanyikan oleh laki-laki ataupun perempuan secara bergantian dalam suatu pesta perkawinan atau dalam rangka menyambut pejabat pemerintah yang berkunjung ke desa mereka.
b.      Nyanyian Setangis
Nyanyian ini dinyanyikan dalam upacara kematian. Isinya menceritakan tentang riwayat hidup orang yang meninggal itu, serta puji-pujian dan doa terhadap si mayat agar arwahnya diterima oleh Sangiang dengan baik.  .
c.       Nyanyian Kayau Pulang
Nyanyian ini dinyanyikan orang tua untuk anak yang sedang dalam buaian sebelum tidur malam hari. Makna yang terkandung adalah doa-doa dan puji-pujian kepada dewa agar memberi berkat dan bimbingan kepada anaknya yang masih kecil dalam mengarungi hidup.  
d.      Mohing Asang
Nyanyian ini dinyanyikan secara bersama-sama, dengan penuh semangat dan menambah keberanian. Nyanyian ini merupakan komando yang didengungan panglima perang sebagai tanda dimulainya peperangan.
e.       Nyanyian Kandayu
Nyanyian ini merupakan nyanyian rohani yang dinyanyikan saat upacara sembahyang. Nyanyian ini bersifat pemujaan terhadap Ranying Hatalla Langit, serta pengharapan agar dilimpahkan kebahagiaan hidup bersama sanak keluarganya, serta terhindar dari segala gangguan roh-roh jahat dan segala bentuk mara bahaya.[41]
f.       Nyanyian Sansana Bandar
Nyanyian ini bersifat pemujaan dan pengagungan terhadap sifat kesatriaan yang telah ditunjukkan oleh seorang yang bernama Bandar[42]. Nyanyian ini dijadikan sebagai suatu pedoman hidup bermasyarakat dan berumah tangga bagi masyarakat Dayak.[43] 
3.      Seni Lukis
Seni lukis dalam tradisi suku Dayak mengandung unsur-unsur ritual, tidak hanya unsur seni saja. Seni lukis yang berkembang dalam masyarakat Dayak adalah tato atau tutang ataucacah ada tubuhnya. Tato menjadi tanda terutama kelak jika seorang Dayak meninggal dunia dan telah menjalani tiwah, maka tato yang melekat ditubuhnya berwarna hitam akan berubah warna menjadi keemasan. Hal ini akan menjadi pertanda bahwa mereka adalah suku Dayak dan keturunan dari Antang Bajela Bulau. Dengan demikian akan memudahkan mereka di alam baka dan terhindar dari siksaan buruk.[44]
Selain tato, masyarakat Dayak juga memiliki ciri khas lain yaitu pesek (tindik telinga) atau telinga panjang. Orang Dayak  dahulu banyak hidup di hutan, sehingga hal ini bertujuan untuk membedakan antara manusia dengan monyet, menurut mereka “Jika telinganya pendek berarti dia itu monyetUntuk kaum lelakinya biasanya bandul telinganya dibuat ukir-ukiran.[45]

G.    Interaksi Kepercayaan Orang Dayak dengan Agama-Agama Lain
Suku Dayak adalah suku yang memiliki agama sendiri  yang disebut dengan agama kaharingan. Dimana menurut mitosnya agama ini diturunkan dari langit ketujuh oleh Ranying Mahatalla Langit. Suku Dayak memiliki lambing yang dilambangkan dengan batang haringyang memiliki arti pohon kehidupan. Pohon kehidupan ini memiliki makna filosofis keseimbangan atau keharmonisan hubungan antara sesama manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Suku Dayak menjadikan pohon kehidupan sebagai pedoman untuk interaksi, bergaul, atau berhubungan dengan sesama manusia, manusia dengan alam, manusia dengan Tuhan serta berhubungan baik antar umat beragama.
Orang Dayak awal beragama Kaharingan, tapi seiring dengan berkembangnya zaman dan terjadinya asimilasi antara orang Dayak dan  suku pendatang maka suku Dayak sendiri ada yang beragama Hindu, Budha, Kristen dan juga islam atau selain dari agama Kaharingan.Agama Kaharingan lahir dari budaya setempat sebelum bangsa Indonesia mengenal agama pertama yakni Hindu. Karena Hindu telah menyebar luas di dunia terutama di Indonesia dan lebih dikenal luas jika dibandingkan dengan suku Dayak, maka agama Kaharingan dikategorikan ke cabang Hindu.
Bangsa Dayak yang mendiami pesisir Kalimantan Barat, hidup dengan    tradisi dan budayanya masing-masing. Kemudian datanglah pedagang dari Gujarat yang beragam Islam (Arab Melayu) dengan tujuan jual beli barang-barang dari, dan, kepada masyarakat Dayak. Karena seringnya mereka berinteraksi, bolak-balik mengambil dan mengantar barang-barang dagangan dari, dan, ke Selat Malaka, mereka berkeinginan menetap di daerah baru yang mempunyai potensi dagang yang besar bagi keuntungan mereka. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Dayak ketika bersentuhan dengan pendatang yang membawa pengetahuan baru yang asing ke daerahnya. Karena sering terjadinya proses transaksi jual beli barang kebutuhan, dan interaksi kultural, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai dikunjungi masyarakat lokal (Dayak) dan pedagang Arab Melayu dari Selat Malaka.[46]
Di masa itu sistem religi masyarakat Dayak mulai terpengaruh dan dipengaruhi oleh para pedagang Melayu yang telah mengenal pengetahuan, pendidikan, dan agama Islam dari luar Kalimantan. Karena hubungan yang harmonis terjalin baik, maka masyarakat lokal atau Dayak ada yang menaruh simpati kepada pedagang Gujarat tersebut yang lambat laun terpengaruh, maka agama Islam diterima dan dikenal mulai tahun 1.550 M di Kerajaan Tanjung Pura pada pemerintahan Giri Kusuma yang merupakan Kerajaan Melayu dan lambat laun mulai menyebar di Kalimantan Barat. Selain itu, orang Dayak yang beragama Islam juga tersebar di Kalimantan Selatan dan Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).
Masyarakat Dayak masih memegang teguh kepercayaan dinamismenya, mereka percaya setiap tempat-tempat tertentu ada penguasanya, yang mereka sebut Jubata, Petara, Ala Taala, Penompa dan lain-lain. Orang Dayak yang masih memegang teguh kepercayaan dinamismenya dan budaya aslinya, mereka memisahkan diri untuk masuk semakin jauh ke pedalaman, beberapa masuk ke pedalaman  di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas, dan Watang Balangan..
Adapun segilintir masyarakat Dayak yang telah  masuk agama islam karena perkawinan, lebih banyak meniru gaya hidup pendatang yang dianggap telah mempunyai peradaban maju karena banyak hubungan dengan dunia luar. Pada umumnya masyarkat Dayak yang pindah agama Islam di Kalimantan Barat dianggap oleh suku Dayak sama dengan suku Melayu. Suku Dayak yang masih asli (memegang teguh kepercayaan nenek moyang) di masa lalu, hingga mereka berusaha menguatkan perbedaan, suku dayak yang masuk Islam (karena perkawinan dengan suku Melayu) memperlihatkan diri sebagai suku Melayu. Setelah penduduk pendatang di pesisir berasimilasi dengan suku Dayak yang pindah (lewat perkawinan dengan suku Melayu) ke agama Islam, agama Islam lebih identik dengan suku Melayu dan agama Kristiani atau kepercayaan dinamisme lebih identik dengan suku Dayak. Sejalan terjadinya urbanisasi ke Kalimantan, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, karena semakin banyak dikunjungi pendatang, baik lokal maupun Nusantara lainnya.[47]

H.    Lampiran Gambar-Gambar

Keterangan :
1.      Dayak Ngaju
2.      Dayak Apu Kayan
3.      Dayak Iban
4.      Dayak Klemantan
5.      Dayak Murut
6.      Dayak Punan
7.      Dayak Ot Danum










Gambar 1. Peta Persebaran Suku Dayak.




Gambar 2. Rumah Panjang Suku Dayak.
               



Gambar 3. Pohon Batang Garing atau Pohon Kehidupan.


                               Gambar 4. Mandau (Senjata Khas Suku Dayak). Diambil dari http://www.padepokanspiritual.com/2013/10/senjata-suku-dayak-mandau-terbang.html.




Gambar 5. Sapundu




Gambar 6. Patuhu

Gambar 7. Pakaian Adat Suku Dayak.

Gambar 8. Tato Tubuh Orang Dayak.

Gambar 9. Telinga Panjang Suku Dayak

Gambar 10. Minyak Bintang dan Minyak Besi

Gambar 11. Kayu Kepot Sala dan Kayu Manang.

Gambar 12. Lipan, Kijang Putih, dan Ular Berkepala Dua.

 
Gambar 13. Bayi Berselaput.

I.       Kesimpulan
Dari apa yang sudah kita bahas diatas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa suku dayak adalah salah satu suku di Indonesia yang terletak di pulau Kalimantan. Suku dayak memiliki agama sendiri yang disebut dengan agama Kaharingan. Agama kaharingan menurut mitos suku dayak merupakan agama yang diturunkan dari langit ketujuh yang diturunkan olehRanying Mahatalla Langit. Suku dayak memiliki simbol yang disebut dengan batang garingatau pohon kehidupan. Batang garing ini melambangkan kedamaian kerukunan antar sesama manusia, manusia dengan makhluk lain, dan manusia dengan tuhan. Di dalam suku dayak ini sendiri terdapat banyak sekali mitologi dan magi yang mereka percayai dapat memberikan kekuatan kepada mereka dan membuat mereka menjadi kuat.




DAFTAR PUSTAKA

Hadiwijono, Harun,Religi Suku Murba di Indonesia, (Jakarta: Gunung Mulia, 2003).
Hidayah, Zulyani, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015).
Hadikusuma, Hilman, Antropologi Agama, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993).
Lana, Yasir, Kepercayaan dan Praktik Ritual Agama Lokal Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu, Skripsi, (Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010). 
Salam, Syamsir, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009).
Aliansi Pemuda Dayak FPPI dan Komunitas FOD, Cara Mendapatkan Ilmu Magis, diakses pada tanggal 9 Maret 2016 pukul 15.23 WIB darihttp://folksofday.wordpress.com/2014/02/23/cara-mendapatkan-ilmu-magis-day.html.
Kancana, Okky Rusyandi Cahya, Suku Dayak, diakses pada tanggal 15 Maret 2016 pukul 22.15 WIB dari http://documents.tips/documents/makalah-suku-dayak.html. 
Mirwaty, Budaya yang Tersembunyi di Indonesia, diakses pada tanggal 7 Maret 2016 pukul 15.25 WIB dari http://mirwaty.blogspot.co.id/2013/05/udaya-yang-tersembunyi-di-indonesia11.html.


Mpuh, Den,Sejarah Awal Adanya Suku Dayak di Indonesia, diakses pada tanggal 9 Maret 2016 pukul 17.45 WIB dari http://den-mpuh.blogspot.co.id/2013/06/sejarah-awal-adanya-suku-dayak-di.html.
Tria,Septy, Suku Dayak Kenyah, diakses pada tanggal 25 Maret 2016 pukul 20.24 WIB darihttp://www.slideshare.net/septytria/suku-dayak-47391558.
Zakaria, Sejarah Suku Dayak,  diakses pada tanggal 16 Maret 2016 pukul 16.25 WIB darihttps://malieyusronzakaria.wordpress.com/tag/teori-migrasi/.   







[1] Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), h. 111.
[2] Yasir Lana, Kepercayaan dan Praktik Ritual Agama Lokal Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu, Skripsi, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 9. 
[3] Zakaria, Sejarah Suku Dayak,  diakses pada tanggal 16 Maret 2016 pukul 16.25 WIB dari https://malieyusronzakaria.wordpress.com/tag/teori-migrasi/.

[4] Den Mpuh, Sejarah Awal Adanya Suku Dayak di Indonesia, diakses pada tanggal 9 Maret 2016 pukul 17.45 WIB dari http://den-mpuh.blogspot.co.id/2013/06/sejarah-awal-adanya-suku-dayak-di.html.

[5] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 68-69.
[6] Peres merupakan penyempurna dari kejadian manusia, dengan memberikan nafas yang tidak kekal.
[7] Ranying Pohatora atau Mahatalla merupakan pencipta alam semesta dan manusia.
[8] Pohon Batang Garing adalah pohon gading atau lebih terkenal dikalangan suku Dayak sebagai pohon kehidupan.
[9] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 148-150.
[10] Zakaria, Sejarah Suku Dayak,  diakses pada tanggal 16 Maret 2016 pukul 16.25 WIB dari https://malieyusronzakaria.wordpress.com/tag/teori-migrasi/.
[11] Aliansi Pemuda Dayak FPPI dan Komunitas FOD, Cara Mendapatkan Ilmu Magis, diakses pada tanggal 9 Maret 2016 pukul 15.23 WIB darihttp://folksofday.wordpress.com/2014/02/23/cara-mendapatkan-ilmu-magis-day.html.
[12] Aliansi Pemuda Dayak FPPI dan Komunitas FOD, Cara Mendapatkan Ilmu Magis, diakses pada tanggal 9 Maret 2016 pukul 15.23 WIB darihttp://folksofday.wordpress.com/2014/02/23/cara-mendapatkan-ilmu-magis-day.html.
[13] Aliansi Pemuda Dayak FPPI dan Komunitas FOD, Cara Mendapatkan Ilmu Magis, diakses pada tanggal 9 Maret 2016 pukul 15.23 WIB darihttp://folksofday.wordpress.com/2014/02/23/cara-mendapatkan-ilmu-magis-day.html.
[14] Mirwaty, Budaya yang Tersembunyi di Indonesia, diakses pada tanggal 7 Maret 2016 pukul 15.25 WIB dari http://mirwaty.blogspot.co.id/2013/05/udaya-yang-tersembunyi-di-indonesia.11.html.
[15] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah,(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 105-106.
[17] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 108.
[18] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 108-111.
[19] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), h. 43.
[20] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), h. 44.
[21] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 114-116.
[22] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 116-117.
[23] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 117-119.
[24] Binatang Totem merupakan binatang keramat yang tidak boleh ditangkap ataupun dibunuh.
[25] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 119-120
[26] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 120.
[27] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 161.
[28] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 162.
[29] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 167. 
[30] Upacara Tiwah merupakan upacara terakhir dari rentetan upacara kematian bagi pemeluk agama Kaharingan yang dimaksudkan untuk mengantarkan  liau dalam perjalanannya ke alam akhirat menuju ke lewu liau (alam baka) yaitu tempat jiwa dipersatukan dengan nenek moyangnya. 
[31] Liau tidak lain dari sang wafat sendiri, artinya liau adalah bentuk eksistensi manusia yang dimulai dengan kematiannya yang sangat berbeda dengan bentuk eksistensinya yang semula.
[32] Harun Hadiwijono, Religi Suku Murba di Indonesia, (Jakarta: Gunung Mulia, 2003), h.66.
[33] Pengayauan dalam tradisi suku Dayak merupakan tradisi membunuh musuh saat bepergian. Namun sekarang mengalami pergeseran makna yaitu mengayau berarti melindungi pertanian, mendapatkan tambahan daya jiwa, dan sebagai daya tahan berdirinya suatu bangunan.
[34] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 137-138.
[35] Pali adalah larangan.
[36] Panyalumpok Liau merupakan penyatuan jiwa dari segi jasmani dan rohaninya.
[37] Lewu Liau bisa diartikan surga bagi suku Dayak. Lewu Liau digambarkan sebagai suatu daerah yang penuh dengan air (sungai, telaga, dan sebagainya) sehingga ada kesuburan, suasana yang tenang, tidak ada pembunuhan dan pencurian, dan juga dikatakan bahwa keadaan disana serba terbalik (kanan menjadi kiri, atas menjadi bawah, dan sebagainya). 
[38] Harun Hadiwijono, Religi Suku Murba di Indonesia, (Jakarta : Gunung Mulia, 2003), h. 67-70.
[39] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 85-86.
[40] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 86-88.
[41] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 88-90.
[42] Bandar dikenal sebagai sosok panutan dan teladan bagi kehidupan para lelaki karena sikap tanggung jawabnya terhadap keluarganya.
[43] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 89-90.
[44] Syamsir Salam, Agama Kaharigan: Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 91.
[45] Septy Tria, Suku Dayak Kenyah, diakses pada tanggal 25 Maret 2016 pukul 20.24 WIB dari http://www.slideshare.net/septytria/suku-dayak-47391558.
[46] Okky Rusyandi Cahya Kancana, Suku Dayak, diakses pada tanggal 15 Maret 2016pukul 22.15 WIB dari http://documents.tips/documents/makalah-suku-dayak.html.  
[47] Okky Rusyandi Cahya Kancana, Suku Dayak, diakses pada tanggal 15 Maret 2016pukul 22.15 WIB dari http://documents.tips/documents/makalah-suku-dayak.html.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar